dengan fungsinya sebagai kepala rumah tangga. Islam telah menetapkan bahwa kepala rumah tangga adalah tugas pokok dan tanggung jawab laki-laki.
Pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki dalam Islam bukanlah bermaksud untuk mendiskriminasikan salah satu pihak. Tapi lebih pada kepantasan
akan pekerjaan yang akan dikerjakan. Hal itu adalah pembagian yang wajar dan realistis dari sebuah pekerjaan yang menggerakkan kehidupan dan masyarakat,
sehingga peradaban manusia bisa berjalan secara normal.
46
D. Undang-Undang No.71984 mengenai penghapusan segala bentuk
diskriminasi terhadap perempuan
Pemerintah Indonesia telah menandatangani Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan pada tanggal 29 Juli 1980 yaitu ketika
diadakan Konperensi Sedunia tentang Perempuan di Kopenhagen. Empat tahun kemudian yakni pada tanggal 24 Juli 1984 Konvensi ini diratifikasi dengan UU
No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan
Diskriminasi terhadap Wanita.
Jauh sebelumnya Indonesia juga telah meratifikasi beberapa Piagam dan Konvensi Internasional yang berkaitan dengan persamaan hak perempuan dan laki-
laki. Piagam dan Konvensi tersebut antara lain adalah Piagam PBB, Konvensi yang berkaitan dengan pekerjaan perempuan di dalam tanah dan pertambangan,
Konvensi yang berkaitan dengan pembayaran kepada pekerja laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya Konvensi ILO No. 100,
Konvensi tentang hak-hak politik perempuan UU No. 181956, Konvensi terhadap diskriminasi dalam pendidikan dan sebagainya. Beberapa prinsip dalam
46
Ibid, hal 59
Universitas Sumatera Utara
konvensi-konvensi tersebut secara eksplisit telah tertuang pula dalam peraturan perundangan.
47
Namun jika kita kaji lebih jauh tampak bahwa pelaksanaan Konvensi ini menghadapi kendala kultural maupun struktural. Kendala kultural menyangkut
sikap masyarakat yang masih enggan untuk mengakui persamaan laki-laki dan perempuan. Sikap ini seringkali dikuatkan oleh berbagai ajaran agama, adat dan
budaya yang masih dianut sampai saat ini. Tragisnya sikap ini kemudian diadopsi menjadi sikap resmi negara sebagaimana yang dapat kita baca dalam penjelasan
UU Nomor 7 Tahun 1984 yang berbunyi :Dalam pelaksanaannya, ketentuan dalam Konvensi ini wajib disesuaikan dengan tata kehidupan masyarakat yang meliputi
nilai-nilai budaya, adat istiadat serta norma-norma keagamaan yang masih berlaku dan diikuti secara luas oleh masyarakat Indonesia.
48
Sebuah Peraturan Menteri No. SE-04Men1988 yang dikeluarkan dengan mengacu pada UU No. 7 Tahun 1984, ternyata justru bertentangan dengan prinsip
yang ada di dalam Konvensi Perempuan tersebut. Peraturan Menteri tentang pelaksanaan larangan diskriminasi pekerja wanita tersebut antara lain mengatur
tentang jaminan pemeliharaan kesehatan yang antara lain menyatakan bahwa baik pekerja laki-laki maupun perempuan memperoleh tunjangan kesehatan yang sama
kecuali pekerja perempuan tersebut telah mendapat tunjangan kesehatan dari suaminya, baik dari perusahaan yang sama maupun dari perusahaan yang
berbeda.
49
47
Asri Wijayanti, Sinkronisasi Hukum Perburuhan Terhadap Konvensi ILO : Analisis Kebebasan Berserikat dan Penghapusan Kerja Paksa di Indonesia, Bandung : Penerbit CV. Karya
Putra Darwati, Cetakan I, 2012, hal 56
48
Ibid, hal 57
49
Ibid, hal 58
Ini berarti, jika pekerja perempuan telah mendapat tunjangan kesehatan
Universitas Sumatera Utara
dari suaminya, maka ia dianggap berstatus tidak menikah, sehingga ia kehilangan haknya untuk memperoleh tunjangan yang sama dengan rekannya yang laki-laki.
Kebijakan ini jelas sangat diskriminatif dan secara prinsipil bertentangan dengan pesan pokok yang terkandung dalam Konvensi Perempuan juncto UU No.
7 tahun 1984 tersebut yang justru menjadi dasar dikeluarkannya Peraturan Menteri tersebut. Jelas di sini bahwa pandangan resmi pemerintah terhadap perempuan
masih dilihat sebagai istriibu dan oleh karena itu statusnya selalu dikaitkan dengan suaminya. Padahal seorang perempuan mungkin saja adalah seorang istri atau ibu.
Namun ia tetap seorang individu dengan jatidiri tersendiri otonom, seorang warganegara yang mempunyi hak-hak yang sama pentingnya dengan warganegara
yang lain baik dirumah,ditempat kerja ataupun di sektor publik yang lain. Ia adalah manusia yang sama derajatnya dengan manusia lainnya apakah itu suaminya,
ayahnya, anak laki-lakinya ataupun teman sekerjanya yang laki-laki. Inilah pesan yang paling dasar dari Konvensi Perempuan ini yang nampaknya belum
tersampaikandipahami baik oleh para pengambil keputusan maupun oleh masyarakat sendiri.
50
Perjuangan kaum perempuan untuk memperoleh dan menikmati hak asasi yang diharapkan. Ratifikasi berbagai konvensi tidak menjadi jaminan bahwa hak-
hak itu akan terpenuhi. Masih harus dilakukan semacam agenda kerja dan aksi untuk merealisasikan yang sudah disepakati dalam berbagai konvensi tersebut. Ini
bukan hanya tugas kaum perempuan saja tapi tugas kaum laki-laki juga. Karena pada akhirnya segala usaha untuk pemenuhan hak asasi manusia umumnya dan
50
Rahima, Swara. 2004. Perempuan Bekerja, Dilemma Tak Berujung. http:www.or.idSR12-04fokus-html diakses tanggal 10 Mei 2013
Universitas Sumatera Utara
hak asasi perempuan khususnya bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan seluruh umat manusia laki-laki dan perempuan tanpa kecuali.
51
E. Undang-Undang Ketenagakerjaan No.132003 Perlindungan terhadap Diskriminasi Perempuan