Konvensi ILO mengenai perlindungan kehamilan

B. Konvensi ILO mengenai perlindungan kehamilan

Menurut Konvensi ILO Pasal 2, dalam Konvensi ini, istilah ”wanita” berarti seorang wanita, tanpa pembatasan umur, kebangsaan, ras atau keturunan, baik menikah atau tidak menikah, dan istilah ”anak” adalah anak baik yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan maupun tidak. Sedangkan Pasal 3 yakni : 1. Wanita untuk siapa Konvensi berlaku, setelah menunjukkan keterangan medis yang menyatakan perkiraan tanggal melahirkannya, berhak untuk mendapatkan cuti hamil. 2. Masa cuti hamil harus sekurang-kurangnya duabelah minggu, dan harus meliputi masa cuti wajib setelah melahirkan. 3. Masa cuti wajib setelah melahirkan akan ditentukan oleh peraturan perundang- undangan negara, tetapi selalu tidak boleh kurang dari enam minggu; sisa seluruh masa cuti hamil dapat diberikan sebelum tanggal melahirkan yang diperkirakan atau setelah berakhirnya masa cuti wajib atau sebagian sebelum tanggal melahirkan yang diperkirakan dan sebagian lagi setelah berakhirnya masa cuti wajib sebagaimana dapat ditentukan oleh peraturan perundang- undangan negara. 4. Cuti sebelum tanggl melahirkan yang diperkirakan harus diperpanjang selama masa antara tanggal melahirkan yang diperkirakan dan tanggal melahirkan yang sebenarnya dan masa cuti wajib yang dijalani setelah melahirkan tidak boleh dikurangi karena adanya perbedaan ini. 5. Dalam hal sakit yang secara medis diterangkan sebagai timbul karena kehamilan, maka peraturan perundang-undangan Negara harus menentukan cuti tambahan sebelum melahirkan, yang masa Universitas Sumatera Utara maksimumnya dapat ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Kelompok masyarakat yang paling banyak mengalami kehilangan pekerjaan adalah kelompok perempuan dengan tingkat pendidikan menengah ke bawah dan keterampilan seadanya. Akan tetapi desakan yang dialami oleh sektor industri tersebut di lain pihak terjadi peningkatan di sekor perdagangan dan jasa. Hampir semua kota-kota di Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi melalui peranan sektor ini. Tidak kalah pentingnya adalah semakin pentingnya peranan sektor perdagangan dan jasa tersebut dalam menyediakan lapangan kerja level pendidikan menengah ke bawah dan kemampuan keterampilan yang rendah. Gejala umum yang terjadi dari aspek ketenagakerjaan adalah semakin besarnya peluang bagi tenaga kerja perempuan. 42 Kesehatan merupakan hak dasar semua warga negara, hal ini secara jelas dinyatakan dalam Pasal 28H ayat 1 UUD Tahun 1945. Terkait dengan hak reproduksi wanita yang merupakan hak khusus dikarenakan fungsi reproduksinya, -yang tidak dimiliki laki-laki, Pasal 28H ayat 2 menyebutkan bahwa ”Setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.” Selanjutnya, ketentuan mengenai hak reproduksi diatur dalam UU HAM. Pasal 49 ayat 2 UU HAM menyatakan bahwa ”Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita”. Penjelasan ayat 2 menjelaskan aspek perlindungan khusus tersebut pada dua hal yakni pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan haid, hamil, melahirkan, dan pemberian kesempatan untuk menyusui anak. Hal ini diperkuat dengan ketentuan pada ayat 3 yang menegaskan bahwa ”Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum.” Dengan kata lain, hak reproduksi harus dijamin dan 42 Soepomo Iman, Hukum Perburuhan, Bidang Hubungan Kerja, Jakarta : Penerbit Djambatan, 2001, hal 64 Universitas Sumatera Utara dilindungi, sehingga serta merta melahirkan kewajiban-kewajiban bagi suami, masyarakat, negara, dan pihak terkait lainnya untuk memenuhi hak-hak perlindungan bagi wanita terkait hak reproduksinya tersebut. Di dalam hak perlindungan itulah, hak reproduksi mendapatkan tempatnya. Perlindungan merupakan segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman dan jaminan terhadap hak perempuan dalam segala aspek kehidupan. Ketentuan dalam UU HAM merupakan ruh dari perlindungan terhadap hak reproduksi wanita. Namun demikian, akan menjadi sia-sia semangat perlindungan tersebut jika tidak dibarengi dengan realisasi dalam kebijakan-kebijakan di bidang lain yang terkait erat seperti kebijakan kesehatan, kependudukan, dan ketenagakerjaan. Terkait dengan konsep gender, kebijakan pemerintah di berbagai bidang seharusnya mendukung dan melindungi hak reproduksi wanita. Pada tataran perundang-undangan, beberapa Undang-undang telah menjadikan isu perlindungan hak reproduksi dalam ketentuan dan pengaturan yang mengikat. Namun demikian masih terdapat catatan-catatan terhadap adanya ”jarak” antara kondisi ideal sebagaimana diarahkan dalam UU HAM dengan kebijakan-kebijakan tersebut. Pada tataran peraturan pelaksana, terdapat beberapa kebijakan secara normatif sudah mengarah dan mendukung pemenuhan perlindungan hak khusus tersebut namun belum tersosialisai dan diimplementasikan dengan baik. 43 C. Konvensi ILO mengenai pengupahan yang sama bagi pekerja laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya Upah adalah segala macam pembayaran yang timbul dari kontrak kerja, terlepas dari jenis pekerjaan dan denominasinya. Upah menunjukkan penghasilan 43 http:khofiaziadah.wordpress.com20101025perlindungan-hak-reproduksi-wanita- hamil-melahirkan-dan-menyusui-perspektive-perundang-undangan-bag-ii-habis diakses 12 April 2013 Universitas Sumatera Utara yang diterima oleh pekerja sebagai imbalan atas pekerjaan yang dilakukannya. Upah dapat diberikan baik dalam bentuk tunai atau natura, atau dalam bentuk tunai natura. Sistem pengupahan merupakan kerangka bagaimana upah diatur dan ditetapkan. Sistem pengupahan di Indonesia pada umumnya didasarkan kepada tingkat fungsi upah, yaitu menjamin kehidupan yang layak bagi pekerja dan keluarganya, mencerminkan imbalan atas hasil kerja seseorang dan menyediakan insentif untuk mendorong peningkatan produktivitas kerja. Perempuan tidak terbebani tugas kewajiban mencari nafkah, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarganya. Perempuan justru berhak mendapatkan nafkah dari suaminya bila perempuan tersebut telah menikah atau dari walinya bila belum menikah. Bahkan sekalipun sudah tidak ada lagi orang yang bertanggung jawab terhadap nafkahnya, Islam telah memberikan jalan lain untuk menjamin kesejahteraannya, yakni dengan membebankan tanggung jawab nafkah perempuan, bukan dengan jalan mewajibkan perempuan bekerja. 44 Ada beberapa pekerjaan yang sama-sama layak dikerjakan oleh perempuan dan laki-laki, ada juga beberapa pekerjaan yang khusus dikerjakan oleh masing-masing atau secara sendiri-sendiri. Pekerjaan yang membutuhkan kerja otot selamanya akan menjadi bagian dari tugas laki-laki. Dengan demikian, seorang perempuan tidak layak baginya melakukan pekerjaan- pekerjaan yang membutuhkan kerja otot, seperti melakukan penggalian, pengeboran, pembangunan, industri besi, kayu, dan sejenisnya yang menuntut jerih payah luar biasa dan memberatkan perempuan. 45 Akan tetapi bila suatu hukum ditetapkan khusus untuk jenis manusia tertentu laki-laki saja atau perempuan saja, maka akan terjadi pembebanan hukum yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Misalnya kewajiban mencari nafkah bekerja hanya dibebankan kepada laki-laki, karena hal ini berkaitan 44 Tunggul, Hadi Setia, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta : Harvavindo, 2009, hal 66 45 Safa’at, Rachmad, Op.Cit, hal 58 Universitas Sumatera Utara dengan fungsinya sebagai kepala rumah tangga. Islam telah menetapkan bahwa kepala rumah tangga adalah tugas pokok dan tanggung jawab laki-laki. Pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki dalam Islam bukanlah bermaksud untuk mendiskriminasikan salah satu pihak. Tapi lebih pada kepantasan akan pekerjaan yang akan dikerjakan. Hal itu adalah pembagian yang wajar dan realistis dari sebuah pekerjaan yang menggerakkan kehidupan dan masyarakat, sehingga peradaban manusia bisa berjalan secara normal. 46

D. Undang-Undang No.71984 mengenai penghapusan segala bentuk