Kerugian negara dari prespektif hukum perdata ialah berkurangnya kekayaan negara kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa
uang, surat berharga atau saham, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan
negaraperusahaan daerah yang disebabkan oleh perbuatan yang melanggar norma.
133
Kerugian negara berdasarkan perspektif hukum pidana ialah suatu perbuatan yang menyimpang terhadap penggunaan dan pengelolaan keuangan negara sehingga
dikualifikasikan sebagai perbuatan merugikan keuangan negara sebagai tindak pidana korupsi, dengan pemenuhan unsur; pertama, perbuatan tersebut merupakan
perbuatan melawan hukum, baik dalam pengertian formil maupun meteriil atau penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya; dan kedua,
para pihak ada yang diperkaya dan diuntungkan, baik sipelaku sendiri, orang lain maupun korporasi Dalam praktek terjadi pemahaman yang tidak seragam diantara
para penegak hukum criminal justice system dalam memahami kerugian negara tersebut.
134
B. Hambatan dalam Pembebanan uang Pengganti
133
Lihat ketentuan yang berlaku dalam UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
Hambatan yang dimaksud adalah mengenai pembebanan uang pengganti dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh lebih dari satu orang. Ada 2 dua
134
Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Universitas Sumatera Utara
model pembebanan yang selama ini diterapkan oleh hakim memutus perkara korupsi. Model pertama adalah pembebanan tanggung-renteng, sedangkan model yang kedua
adalah pembebanan secara proporsional.
135
Tanggung-renteng tanggung-menanggung bersama, yang lebih dikenal dalam ranah hukum perdata, adalah cara terjadinya suatu perikatan dengan jumlah
subjek yang banyak. Dalam konteks hukum perdata, dikenal ada 2 dua bentuk tanggung-renteng yakni aktif dan pasif. Tanggung-renteng dapat dikatakan aktif
apabila jumlah pihak yang berpiutang kreditur lebih dari satu, dan sebaliknya tanggung renteng pasif terjadi apabila jumlah pihak yang berutang debitur lebih
dari satu.
136
Merujuk pada konsep tanggung-renteng tersebut, maka tanggung-renteng dalam konteks pemidanaan uang pengganti dapat dikategorikan sebagai tanggung-
renteng pasif, dimana negara dalam hal ini berkedudukan sebagai kreditur dan para terdakwa sebagai debitur. Artinya apabila negara melalui majelis hakim telah
menjatuhkan pidana uang pengganti secara tanggung-renteng kepada lebih dari satu terdakwa maka tiap-tiap dari mereka memiliki kewajiban untuk memenuhi hukuman
tersebut.
137
135
Michael Barama, Op.Cit. hal 22
Tanggung-renteng tanggung-menanggung bersama, yang lebih dikenal dalam ranah hukum perdata, adalah cara terjadinya suatu perikatan dengan jumlah
subjek yang banyak. Dalam konteks hukum perdata, dikenal ada 2 dua bentuk
136
C. Asser’s ,Pengajian Hukum Perdata Belanda” diterjemahkan oleh sulaiman Binol cet I jakarta : Dian Rakyat : 1991, hal. 119
137
Sie Infokum – Ditama Binbangkum , Uang Pengganti Dittama Binbakum 2011 hal. 3
Universitas Sumatera Utara
tanggung-renteng yakni aktif dan pasif. Tanggung-renteng dapat dikatakan aktif apabila jumlah pihak yang berpiutang kreditur lebih dari satu, dan sebaliknya,
tanggung renteng pasif terjadi apabila jumlah pihak yang berutang debitur lebih dari satu.
138
Dalam konsep keperdataan, apabila salah satu dari terdakwa telah melunasi seluruh jumlah uang pengganti maka otomatis kewajiban terdakwa lain gugur secara
otomatis. Dengan model tanggung-renteng, majelis hakim dalam putusannya hanya menyatakan para terdakwa dibebani pidana uang pengganti sekian rupiah dalam
jangka waktu tertentu. Majelis hakim negara sama sekali tidak ‘ambil pusing’ bagaimana cara para terdakwa mengumpulkan sejumlah uang pengganti tersebut,
entah itu ditanggung sendiri oleh salah satu terdakwa atau urunan dengan porsi tertentu. Sesuai dengan spirit yang melatar belakangi konsep pemidanaan uang
pengganti, negara ‘hanya’ peduli bagaimana uang negara yang telah dirugikan karena tindak pidana korupsi dapat kembali.
139
Model kedua, pembebanan secara proporsional adalah pembebanan pidana uang pengganti dimana majelis hakim dalam amarnya secara definitif menentukan
berapa besar beban masing-masing terdakwa. Penentuan jumlah uang pengganti tersebut didasarkan pada penafsiran hakim atas kontribusi masing-masing terdakwa
dalam tindak pidana korupsi terkait.
138
C. Asser’s , “Pengkajian Hukum Perdata Belanda” hal. 119
Pada prakteknya, kedua model tersebut diatas
139
Michael Barama, Op.Cit hal. 23
Universitas Sumatera Utara
diterapkan secara acak tergantung penafsiran hakim. Ketidak seragaman ini kemungkinan besar terjadi karena tidak jelasnya aturan yang ada.
140
Model tanggung-renteng berpotensi memunculkan masalah. Yaitu, penerapan model ini dapat memunculkan sengketa perdata diantara para terdakwa. Hal ini
sangat mungkin terjadi karena dengan tidak menetapkan beban uang pengganti kepada masing-masing terdakwa, majelis hakim berarti telah melemparkan ‘bola
panas’.
141
Masing-masing terdakwa bisa saja saling menuding dan mengklaim mengenai berapa beban yang mereka harus tanggung. Bahkan, tidak menutup
kemungkinan perselisihan ini akan bermuara di pengadilan, apabila salah satu atau kedua pihak mengajukan gugatan perdata. Alhasil, eksekusi pidana uang pengganti
kemungkinan akan berlarut-larut dengan dalih menunggu putusan pengadilan atas gugatan perdata yang diajukan salah satu terpidana.
142
140
Ibid, hal. 6
UU No. 31 Tahun 1999, melalui Pasal 18 ayat 2, memang menetapkan jangka waktu yang sangat mepet yakni 1 satu bulan bagi terpidana untuk melunasi
pidana uang pengganti. Masih dalam ayat yang sama, UU No. 31 Tahun 1999 juga menyediakan ‘cadangan’ pidana berupa penyitaan harta terpidana yang kemudian
akan dilelang untuk memenuhi uang pengganti. Dalam ayat berikutnya, terpidana bahkan diancam dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman
141
http:www-errol273ganteng.blogspot.com200708uang -pengganti-2-eksekusi-dan- masalah.html
142
Ibid
Universitas Sumatera Utara
maksimum dari pidana pokoknya. Jadi, terpidana sebenarnya tidak akan lolos walaupun berdalih ada gugatan perdata yang sedang diproses.
Masalahnya, eksekusi penyitaan dan pelelangan serta pidana penjara sebagai back up
pidana uang pengganti tidak sesederhana rumusan pasalnya. Pihak kejaksaan yang akan mengeksekusi putusan majelis hakim, pasti akan sulit melakukan
penyitaan. Masalahnya, majelis hakim tidak menetapkan jumlah yang harus ditanggung oleh masing-masing terpidana sehingga jaksa tidak mempunyai acuan
yang jelas dalam menentukan berapa banyak harta yang harus disita. Permasalahan ini mungkin tidak akan muncul apabila model yang dipakai
adalah model proporsional. Dengan model proporsional, jaksa dapat menyita harta terpidana yang senilai dengan pidana uang pengganti yang telah ditetapkan oleh
majelis hakim. Kendala yang sama juga dapat terjadi dalam eksekusi pidana penjara sebagai
pengganti apabila harta terpidana ternyata tidak mencukupi untuk menutup jumlah pidana uang pengganti. Pasal 18 ayat 3 memang memberikan batasan bahwa pidana
penjara sebagai pengganti pidana uang pengganti tidak boleh melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya. Namun dalam ayat yang sama juga disebutkan
bahwa lamanya pidana penjara pengganti sudah ditentukan dalam putusan majelis hakim.
Majelis hakim akan mengalami kesulitan dalam menetapkan pidana penjara pengganti apabila besarnya uang pengganti masing-masing pihak tidak ditetapkan
secara definitif. Jika harta terpidana ternyata mencukupi tapi hanya sebagian.
Universitas Sumatera Utara
Ditambah lagi, majelis hakim harus menebak-nebak berapa lama pidana penjara yang pantas untuk menggantikan jumlah pidana uang pengganti.
143
Sebagai ilustrasi, misalnya majelis hakim menjatuhkan pidana uang pengganti sebesar Rp1 miliar secara tanggung-renteng kepada X dan Y. Dalam
jangka waktu lebih dari 1 satu bulan ternyata baik X dan Y tidak memenuhi kewajibannya sehingga harta mereka harus disita untuk kemudian dilelang. Namun,
setelah diinventarisir harta X dan Y ternyata hanya mampu menutupi 10 dari jumlah pidana uang pengganti.
Ketidak pastian hitung-hitungan matematis yang harus dihadapi oleh jaksa maupun hakim dalam mengeksekusi penyitaan dan menetapkan pidana penjara untuk
menggantikan pidana uang pengganti demikian tidak diatur secara pasti dalam UU. Penerapan model tanggung-renteng juga akan menimbulkan masalah yang
tak kalah pelik apabila kasus yang melibatkan lebih dari satu terdakwa ternyata diajukan dalam surat dakwaan terpisah split dan kemudian setelah putusan tingkat
pertama ternyata salah satu terpidana mengajukan upaya hukum banding.
C. Kelemahan dalam mekanisme penyelesaian Pembayaran uang Pengganti