Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Pungutan Liar (Studi Kasus Pungutan Liar Di Jembatan Timbang Sibolangit Sumatera Utara)

(1)

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI PUNGUTAN LIAR

(STUDI KASUS PUNGUTAN LIAR DI JEMBATAN TIMBANG SIBOLANGIT SUMATERA UTARA)

TESIS

Oleh :

IVAN NAJJAR ALAVI

107005066/HK

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2012


(2)

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI PUNGUTAN LIAR

(STUDI KASUS PUNGUTAN LIAR DI JEMBATAN TIMBANG SIBOLANGIT SUMATERA UTARA

)

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar

Magister Hukum Dalam Program Studi Ilmu Hukum Pada Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

IVAN NAJJAR ALAVI

107005066/HK

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis :PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI PUNGUTAN LIAR (STUDI KASUS PUNGUTAN LIAR DI JEMBATAN TIMBANG SIBOLANGIT SUMATERA UTARA)

Nama Mahasiswa : Ivan Najjar Alavi Nomor Pokok : 107005066

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

K e t u a

(Prof. Chainur Arrasyid, SH)

(Dr. Marlina, SH, M.Hum) (Dr. Madiasa Ablisar, SH, MS) A n g g o t a A n g g o t a

Ketua Program Studi Dekan Fakultas Hukum

(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum)


(4)

Telah diuji pada Tanggal 28 Juli 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Chainur Arrasyid, SH Anggota : 1. Dr. Marlina, SH, M.Hum

2. Dr. Madiasa Ablisar, SH, MS 3. Dr. M. Hamdan, SH, MH 4. Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum


(5)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana pengaturan hukum tentang tindak pidana korupsi pungutan liar dalam KUHP, dan Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang PTPK dan menganalisis penanganan perkara pungutan liar dalam kasus No. 03/Pid.Sus-K/2011/PN. Mdn serta menganalisis hambatan-hambatan yang dihadapi dalam penegakan hukum terhadap pungutan liar. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif-empiris dan bersifat deskriptis analitis, dengan menggunakan Teori Penegakan Hukum.

Pengaturan perbuatan pidana terhadap seseorang yang melakukan perbuatan pungutan liar diatur di dalam KUHP (Wet Book Van Strafrecht) dan di dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. KUHP sendiri memiliki Pasal 368 KUHP, Pasal 423 KUHP, Pasal 425 KUHP yang dapat mengakomodir perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan pungutan liar. Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 memiliki Pasal 12 huruf e dan Pasal 12 huruf f yang dapat mengakomodir perbuatan pungutan liar. Kedua pasal ini merupakan hasil konversi dari Pasal 423 dan Pasal 425 KUHP.

Proses penanganan perkara dalam kasus pungutan kasus pungutan liar di Unit Pelaksana Penimbangan Kendaraan Bermotor (UPPKB)/Jembatan Timbang Sibolangit. Dalam kasus posisi yang dilihat dari kronologis kasus, dakwaan jaksa, tuntutan jaksa, fakta-fakta hukum, pembuktian hakim atas fakta-fakta hukum, putusan hakim lalu dimulailah dengan analisis kasus.

Hambatan dalam pemberantasan korupsi yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut; Hambatan pertama, masalah pembagian kewenangan penyidikan. Hambatan kedua, lemah dan tidak jelasnya mekanisme perlindungan saksi. Hambatan ketiga, keterbatasan dana dalam melakukan penanganan perkara. Hambatan keempat, permasalahan kurangnya personil dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi.

Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa KUHP sendiri memiliki Pasal 368 KUHP, Pasal 423 KUHP, Pasal 425 KUHP yang dapat mengakomodir perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan pungutan liar. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang-Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 memiliki Pasal 12 huruf e dan Pasal 12 huruf f yang dapat mengakomodir perbuatan pungutan liar Proses penanganan perkara dalam kasus pungutan kasus pungutan liar di Unit Pelaksana Penimbangan Kendaraan Bermotor (UPPKB)/Jembatan Timbang Sibolangit. Hambatan dalam penegakan hukum terhadap pungutan liar dapat diklasifikasikan mengenai masalah pembagian kewenangan penyidikan, lemah dan tidak jelasnya mekanisme perlindungan saksi, keterbatasan dana, dan kurangnya personil.


(6)

ABSTRACT

The aim of the research was to see how legal provisions on corruption, illegal fee in KUHP (the Penal Code), and Law No. 31/1999 in conjunction with Law No. 20/2001 on PTPK, to analyze the handling of the case of illegal fee No. 03/Pid.Sus-K/2011/PN. Mdn., and to analyze the obstacles in enforcing law against illegal fee. The research was judicial normative-empirical study with descriptive analytic approach, using Law Enforcement Theory.

The regulation for criminal act on someone who exercises illegal fee is regulated in KUHP (Wet Book Van Strafrecht) and in Law No. 31/1999 in conjunction with Law No. 20/2001. The Penal Code itself contains Article 368 KUHP, Article 423 KUHP, and Article 425 KUHP which can accommodate any actions concerning illegal fee. Law No. 31/1999 in conjunction with Law No. 20/2001 contain Article 12e and Article 12f which can also accommodate any actions concerning illegal fee. These two articles are the result of the conversion from Article 423 and Article 425 of KUHP.

The process of handling the cases of illegal fee was at UUPKB (the Implementation Unit of Weighing Motorized Vehicles)/Sibolangit Weigh Station. The position of the case chronologically began with the prosecutor’s charge, the prosecutor’s demand, the legal facts, the judge’s evidence on legal facts, and the judge’s verdict and was followed by the case analysis.

Some obstacles in eradicating corruption can be classified as follows: the first obstacle is the problem of distributing the authority to investigate. The second obstacle is the weakness and the obscurity of the mechanism of protecting witnesses. The third obstacle is the lack of funds in handling the case. The fourth obstacle is the lack of personnel in inquiring and investigating the criminal act of corruption.

The result of the research shows that KUHP itself contains Article 368 KUHP, Article 423 KUHP, and Article 425 KUHP which can accommodate any actions concerning illegal fee. Law No. 31/1999 in conjunction with Law No. 20/2001 contain Article 12e and Article 12f which can accommodate any actions concerning illegal fee. The process of handling the case of illegal fee was at UUPKB/Sibolangit Weigh Station. The obstacles in enforcing law against illegal fee can be classified as follows: the problem of distributing the authority to investigate, the weakness and the obscurity of the mechanism of protecting witnesses, the lack of funds, and the lack of personnel.


(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis persembahkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan segala rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, Sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Dalam rangka melengkapi tugas-tugas dan syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum pada jenjang Strata dua (S2) Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Penulis menyusun tesis berjudul: “PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI PUNGUTAN LIAR (STUDI KASUS

PUNGUTAN LIAR DI JEMBATAN TIMBANG SIBOLANGIT SUMATERA UTARA)”.

Penulis sangat menyadari dalam penulisan tesis ini demikian banyak mengalami kendala, namun berkat adanya bantuan, motivasi serta bimbingan, maupun doa dari semua pihak, akhirnya tesis ini dapat diselesaikan. Untuk itu pada kesempatan ini Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM)., Sp.A(K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis selama mengikuti Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, yang telah memberikan kesempatan dan bantuan kepada penulis untuk mengikuti dan membina ilmu pengetahuan pada Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ketua dan Sekretaris Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, dan Bapak Dr.


(8)

Mahmul Siregar, SH, M.Hum, yang telah memberikan kesempatan dan bantuan kepada penulis untuk mengikuti dan menimba ilmu pengetahuan pada Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Prof. Chainur Arrasyid, SH, selaku Ketua Komisi pembimbing yang telah banyak memberikan perhatian dan kesempatannya setiap saat pada penulis dalam memberikan petunjuk dan pengarahan untuk menyelesaikan tesis ini.

5. Ibu Dr. Marlina, SH, M.Hum, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan perhatian dan kesempatannya setiap saat pada penulis dalam memberikan petunjuk dan pengarahan untuk menyelesaikan tesis ini.

6. Bapak Dr. Madiasa Ablisar, SH, MS, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan perhatian dan kesempatannya setiap saat pada penulis dalam memberikan petunjuk dan pengarahan untuk menyelesaikan tesis ini. 7. Bapak Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum, selaku Penguji dalam menyelesaikan tesis

serta pengujian tesis di Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara memberikan ide dan pertanyaan-pertanyaan terhadap penulis.

8. Bapak Dr. M. Hamdan, SH, MH, selaku Penguji dalam menyelesaikan tesis serta pengujian tesis di Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara memberikan ide dan pertanyaan-pertanyaan terhadap penulis.


(9)

9. Para Bapak/Ibu Dosen yang telah memberikan khazanah ilmu pengetahuan dan membuka cakrawala berfikir penulis, yang sangat bermanfaat dalam menghadapi kehidupan dimasa yang akan datang.

10.Bapak Kepala Seksi Penyidikan Bidang Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara yaitu Bapak Jufri SH MH yang telah membantu penulis dalam penelitian tesis ini.

11.Teristimewa kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta Mulatua Pohan, SH dan Nizmah Hidayati, yang telah mendidik putranya dan senantiasa mengiringi penulis dengan doa dan kasih sayangnya serta memberi dorongan, semangat dan bantuan baik moril maupun materil yang sungguh besar nilainya bagi penulis dalam menyelesaikan studi Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

12.Teristimewa kepada Istri penulis tersayang Ivo Farah Zara, SH yang selalu memberi semangat dan membantu saya dalam menyelesaikan tesis di Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

13.Sahabat-sahabat saya yang terdahulu pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara stambuk 2006, Tessa Yudistira, Egi Arjuna, Bambang Heri, Indra, Jimmy, Alvin, Vidya, Hengki, Randi, Irene, Syahril, Anggi, Cherlisven, Tondi, Immanuel, Juli yang selalu menjadi motivasi bagi saya dalam menyelesaikan tesis ini.

14.Sahabat-sahabat saya di Kejaksaan Negeri Medan, Bang Ifhan Taufiq Lubis, Mas Bondan Subroto, Bang Firman Halawa, Bang Romi, Bang Alberth, Mbak Riama


(10)

Silaen yang selalu memberikan semangat dan arahan kepada saya dalam menyelesaikan tesis ini.

15.Seluruh Sahabat seperjuangan di Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara stambuk 2010 yang selalu membantu saya dalam penulisan tesis.

16.Sahabat-sahabat saya satu angkatan pada Kejaksaan RI (NRP 611) di seluruh nusantara yang selalu memberikan semangat dan motivasi kepada saya untuk selalu maju dan bangkit dalam segala hal.

17.Para Pegawai di lingkungan di Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yakni Kak Fika, Kak Fitri, Kak Juli, Ibu Ganti, Ibu Niar, Bang Hendra, Bang Udin, Bang Herman, yang selalu meberikan motivasi dan bantuan kepada penulis.

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan hidayah, limpahan rahmat dan karunia-Nya serta membalas segala kebaikan dengan yang lebih baik lagi. Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih banyak kekurangan sehingga memerlukan kritik dan saran yang sifatnya membangun, akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama bagi kemajuan ilmu pengetahuan.

Medan, Juli 2012 Penulis


(11)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Ivan Najjar Alavi.

Tempat/tanggal lahir : Yogyakarta, 17 Mei 1988.

Agama : Islam.

Status : Kawin.

Nama orang tua

Ayah : Mulatua Pohan, SH.

Ibu : Nizmah Hidayati.

Alamat : Jl. Gatot Subroto KM 7,8/ Jl. Gereja No. 78 . e-mail :

Hp : 081375544433.

ivannajjaralavi@yahoo.com.

Riwayat Pendidikan :

1. TK Harapan Bunda Medan Lulus Tahun 1993-1994

2. SD Free Methodist Medan Lulus Tahun 1994-2000

3. SLTP Swasta Free Methodist 2 Medan Lulus Tahun 2000-2003

4. SMA Negeri 1 Medan Lulus Tahun 2003-2006

5. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Lulus Tahun 2006-2010 6. Program Studi Magister Ilmu Hukum USU Lulus Tahun 2010-2012

Medan, Juli 2012


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP... vii

DAFTAR ISI... viii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Keaslian Penelitian ... 10

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional ... 11

1. Kerangka Teori ... 11

2. Landasan Konsepsional ... 21

G. Metode Penelitian ... 25

1. Jenis Pendekatan ... 25

2. Sumber Data Penelitian ... 26

3. Teknik Pengumpulan Data ... 28

4. Metode Analisis Data ... 29

BAB II : PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI PUNGUTAN LIAR DI INDONESIA ... 30

A. Sejarah Pungutan liar di Indonesia ... 30

B. Pengaturan Pungutan Liar Dalam KUHP ... 43


(13)

2. Pasal 423 KUHP ... 47

3. Pasal 425 KUHP ... 55

C. Pengaturan Pungutan Liar Dalam Undang-Undang No. 31 tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001... 60

1. Pasal 12 Huruf e KUHP ... 64

2. Pasal 12 Huruf f KUHP ... 69

BAB III : PROSES PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI KASUS PUNGUTAN LIAR (Studi Kasus No. 03/Pid.Sus-K/2011/PN. Mdn)………... 74

A. Kasus Posisi... 74

1. Kronologis Kasus ... 74

2. Dakwaan Jaksa ... 85

3. Tuntutan Jaksa ... 87

4. Fakta-Fakta Hukum ... 88

5. Pembuktian Hakim Atas Fakta Hukum ... 93

6. Putusan Hakim ... 105

B. Analisis Kasus... 106

1. Masalah Saksi ... 106

2. Masalah Tuntutan Jaksa ... 108

3. Masalah Putusan Hakim... 111

BAB IV : HAMBATAN-HAMBATAN YANG DIHADAPI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PUNGUTAN LIAR ... 124

A. Pembagian Kewenangan Penyidikan yang Tidak Jelas ... 124

B. Mekanisme Perlindungan Saksi yang Belum Jelas ... 129

C. Keterbatasan Dana Dalam Melakukan Penanganan Perkara ... 132


(14)

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 136 A. Kesimpulan ... 136 B. Saran ... 139

DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN...


(15)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana pengaturan hukum tentang tindak pidana korupsi pungutan liar dalam KUHP, dan Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang PTPK dan menganalisis penanganan perkara pungutan liar dalam kasus No. 03/Pid.Sus-K/2011/PN. Mdn serta menganalisis hambatan-hambatan yang dihadapi dalam penegakan hukum terhadap pungutan liar. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif-empiris dan bersifat deskriptis analitis, dengan menggunakan Teori Penegakan Hukum.

Pengaturan perbuatan pidana terhadap seseorang yang melakukan perbuatan pungutan liar diatur di dalam KUHP (Wet Book Van Strafrecht) dan di dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. KUHP sendiri memiliki Pasal 368 KUHP, Pasal 423 KUHP, Pasal 425 KUHP yang dapat mengakomodir perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan pungutan liar. Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 memiliki Pasal 12 huruf e dan Pasal 12 huruf f yang dapat mengakomodir perbuatan pungutan liar. Kedua pasal ini merupakan hasil konversi dari Pasal 423 dan Pasal 425 KUHP.

Proses penanganan perkara dalam kasus pungutan kasus pungutan liar di Unit Pelaksana Penimbangan Kendaraan Bermotor (UPPKB)/Jembatan Timbang Sibolangit. Dalam kasus posisi yang dilihat dari kronologis kasus, dakwaan jaksa, tuntutan jaksa, fakta-fakta hukum, pembuktian hakim atas fakta-fakta hukum, putusan hakim lalu dimulailah dengan analisis kasus.

Hambatan dalam pemberantasan korupsi yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut; Hambatan pertama, masalah pembagian kewenangan penyidikan. Hambatan kedua, lemah dan tidak jelasnya mekanisme perlindungan saksi. Hambatan ketiga, keterbatasan dana dalam melakukan penanganan perkara. Hambatan keempat, permasalahan kurangnya personil dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi.

Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa KUHP sendiri memiliki Pasal 368 KUHP, Pasal 423 KUHP, Pasal 425 KUHP yang dapat mengakomodir perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan pungutan liar. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang-Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 memiliki Pasal 12 huruf e dan Pasal 12 huruf f yang dapat mengakomodir perbuatan pungutan liar Proses penanganan perkara dalam kasus pungutan kasus pungutan liar di Unit Pelaksana Penimbangan Kendaraan Bermotor (UPPKB)/Jembatan Timbang Sibolangit. Hambatan dalam penegakan hukum terhadap pungutan liar dapat diklasifikasikan mengenai masalah pembagian kewenangan penyidikan, lemah dan tidak jelasnya mekanisme perlindungan saksi, keterbatasan dana, dan kurangnya personil.


(16)

ABSTRACT

The aim of the research was to see how legal provisions on corruption, illegal fee in KUHP (the Penal Code), and Law No. 31/1999 in conjunction with Law No. 20/2001 on PTPK, to analyze the handling of the case of illegal fee No. 03/Pid.Sus-K/2011/PN. Mdn., and to analyze the obstacles in enforcing law against illegal fee. The research was judicial normative-empirical study with descriptive analytic approach, using Law Enforcement Theory.

The regulation for criminal act on someone who exercises illegal fee is regulated in KUHP (Wet Book Van Strafrecht) and in Law No. 31/1999 in conjunction with Law No. 20/2001. The Penal Code itself contains Article 368 KUHP, Article 423 KUHP, and Article 425 KUHP which can accommodate any actions concerning illegal fee. Law No. 31/1999 in conjunction with Law No. 20/2001 contain Article 12e and Article 12f which can also accommodate any actions concerning illegal fee. These two articles are the result of the conversion from Article 423 and Article 425 of KUHP.

The process of handling the cases of illegal fee was at UUPKB (the Implementation Unit of Weighing Motorized Vehicles)/Sibolangit Weigh Station. The position of the case chronologically began with the prosecutor’s charge, the prosecutor’s demand, the legal facts, the judge’s evidence on legal facts, and the judge’s verdict and was followed by the case analysis.

Some obstacles in eradicating corruption can be classified as follows: the first obstacle is the problem of distributing the authority to investigate. The second obstacle is the weakness and the obscurity of the mechanism of protecting witnesses. The third obstacle is the lack of funds in handling the case. The fourth obstacle is the lack of personnel in inquiring and investigating the criminal act of corruption.

The result of the research shows that KUHP itself contains Article 368 KUHP, Article 423 KUHP, and Article 425 KUHP which can accommodate any actions concerning illegal fee. Law No. 31/1999 in conjunction with Law No. 20/2001 contain Article 12e and Article 12f which can accommodate any actions concerning illegal fee. The process of handling the case of illegal fee was at UUPKB/Sibolangit Weigh Station. The obstacles in enforcing law against illegal fee can be classified as follows: the problem of distributing the authority to investigate, the weakness and the obscurity of the mechanism of protecting witnesses, the lack of funds, and the lack of personnel.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Korupsi bukan lagi sekedar masalah negara berkembang seperti Indonesia, tetapi telah menjadi masalah dunia. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memandang perlu mengadopsi “ United Nations Convention Againts Corruption” (UNCAC) untuk memerangi korupsi di seluruh dunia. Indonesia menjadi salah satu negara yang telah meratifikasi konvensi tersebut melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Againts

Corruption.1

Korupsi memang telah menjadi ancaman nyata bagi kelangsungan bangsa ini. Korupsi di Indonesia seperti tidak ada habis-habisnya dari tahun ke tahun, bahkan perkembangannya semakin meningkat, baik dalam jumlah kasus dan kerugian negara maupun kualitasnya. Perkembangan korupsi akhir-akhir ini nampak semakin sistematis dan terpola. Luas lingkupnya juga telah menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat dan lintas batas negara.2 Oleh sebab itu, secara nasional disepakati bahwa korupsi bukan saja sebagai kejahatan luar biasa, tetapi juga sebagai kejahatan transnasional.3

1

Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi,

(Surabaya : Indonesia Lawyer Club, 2010), hal. 2-3.

2

Marwan Effendy, “Pengadilan Tindak Pidana Korupsi”, Lokakarya Anti Korupsi Bagi Jurnalis, Surabaya, 2007, Hal. 1.

3

Kejahatan Transnasional dilakukan di satu negara tetapi melibatkan kelompok kriminal yang terlibat dalam kegiatan kriminal di lebih dari satu negara atau dilaksanakan di satu negara tetapi berdampak pada negara lain.


(18)

Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang dilakukan oleh setiap subyek hukum, baik orang maupun badan hukum yang secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan penyalahgunaan keuangan negara. 4

Media massa di Indonesia selalu menyoroti banyaknya tindak pidana korupsi yang dilakukan pejabat negara dan pegawai negeri selama ini. Namun demikian, tidak banyak kasus tindak pidana korupsi yang diproses secara hukum dan ternyata hanya sedikit perkara tindak pidana korupsi yang bisa dibuktikan secara hukum oleh instansi penegak hukum.

Akibat tindak pidana korupsi berdampak sangat luas, bukan hanya menyangkut keuangan negara, tetapi juga mampu merusak sistem pemerintahan, perekonomian dan pembangunan. Terpuruknya perekonomian dan pembangunan di Indonesia yang terus menerus pada saat ini mempengaruhi sendi-sendi kehidupan di dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara.

5

Salah satu bentuk tindak pidana korupsi yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari adalah pungutan liar. Sektor pelayanan publik khususnya sektor transportasi pada jembatan timbang merupakan salah satu sektor yang paling rentan terhadap aktifitas pungutan liar. Uang pungutan liar masuk ke kantong oknum pegawai dan keuangan daerah dirugikan. Sementara itu banyak angkutan barang yang

4

Niniek Suparni dan Baringin Sianturi, Bunga Rampai Korupsi, Gratifikasi, dan Suap, (Jakarta : MISWAR, anggota IKAPI, 2011), hal. 8.

5

Lihat Koran Orbit, dalam artikel “Penanganan Kasus Korupsi Abu-Abu” pada Hari Kamis 29 Maret 2012.


(19)

kelebihan muatan namun tidak dikenakan sanksi, sehingga jalan-jalan menjadi cepat rusak.6

Kasus pungutan liar ini, istilah “Tahu Sama Tahu” (TST) menjadi sangat populer. Istilah ini mengandung arti pengetahuan timbal balik, dan saling membenarkan dari perbuatan-perbuatan di luar hukum dan amoral. Sebagai contoh, seorang oknum dinas perhubungan menerima pemberian uang dari seorang pengemudi truk yang muatannya melebihi batas yang diizinkan secara ilegal.7

Pungutan liar tidak harus merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.8 Pungutan liar merupakan perbuatan tercela yang dilakukan untuk menguntungkan diri sendiri dengan penyalahgunaan kekuasaan, memaksa orang lain untuk memberikan keuntungan finansial, melanggar kepercayaan dan merusak mental para pegawai negeri.9

Nilai pungutan liar terhadap pelaku usaha transportasi darat ditaksir cukup besar. Menurut penelitian Himpunan Pengusaha Indonesia (HIPMI) Research Center, hasil hitungan total pungutan liar dari proses administrasi kendaraan hingga kutipan kepada sopir di jalan mencapai lebih dari Rp. 25 triliun tiap tahun. Tiap perusahaan

6

Lihat Koran Kompas pada artikel “ Jalan Rusak Buka Peluang Pungutan Liar” pada Hari Minggu 27 Maret 2011.

7

Mochtar Lubis, dkk, Bunga Rampai Korupsi, (Jakarta : Yayasan Obor Jakarta, 1988), hal. 35.

8

Lihat Ermansjah Djaja, Tipologi tindak Pidana Korupsi di Indonesia, (Bandung : Mandar Maju), 2010, hal. 53-85. Terdapat 30 jenis tindak pidana korupsi yang diantara itu hanya dua jenis yang terkait kerugian negara. Sedangkan 28 jenis lainnya terkait dengan suap-menyuap (12 jenis), perbuatan curang (6 jenis), penggelapan dengan menggunakan jabatan (5 jenis), pemerasan (3 jenis), bantuan kepentingan dalam pengadaan (1 jenis), dan gratifikasi (1 jenis).

9

Pungutan Liar yang dilakukan oleh pegawai negeri sama halnya dengan Korupsi berbentuk pemerasan yang diatur dalam Pasal 12 huruf e, dan f Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


(20)

transportasi menyisihkan sedikitnya 25 persen pendapatan untuk membayar pungutan liar. Pungutan itu terjadi pada saat pengurusan administrasi maupun di jalan raya.10

Pemerintah semestinya serius memerangi pungutan liar di sektor transportasi. Upaya yang setengah hati membuat kejahatan ini terus merajalela sekaligus membebani ekonomi dan merugikan negara. Besarnya biaya pungutan liar juga menjadi salah satu penyebab amburadulnya layanan transportasi kita.

Kerusakan jalan nasional di banyak titik ternyata lebih disebabkan oleh melintasnya truk-truk dengan beban berlebih. Kebijakan Menteri Perhubungan untuk tidak mentoleransi kendaraan yang melebihi muatan diabaikan. Jembatan timbang tidak berfungsi optimal dan menjadi sumber pungutan liar bagi aparat.11

Pungutan liar dilarang dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun praktek ini terjadi setiap hari di semua kota di Indonesia. Pemerintah bukannya tidak mengetahui persoalan akut ini. Tapi belum ada upaya serius untuk memberantas pungutan liar atau menghukum pelakunya. Hanya menjelang Lebaran biasanya mereka sibuk melakukan razia. Pada waktu-waktu lainnya, pungutan liar berjalan seperti biasa.

10

Majalah Tempo, 15 Februari 2012, hal 12.

Hari Selasa tanggal 28 Februari 2012.


(21)

Akibatnya, para pengusaha harus mencari akal dengan menekan ongkos. Kondisi ini mengakibatkan “kanibalisasi”12

Tingginya “biaya siluman”

suku cadang angkutan umum lazim dilakukan. Sehingga tidak heran jika banyak bus dengan rem aus atau tanpa spion tetap digenjot untuk menutup biaya. Faktor keselamatan mereka kesampingkan demi keuntungan.

13

Upaya penegakan hukum memerangi pungutan liar, selama ini Kementerian Perhubungan, instansi penegak hukum, dan pemerintah daerah berjalan sendiri-sendiri. Tak ada gerakan serentak dan serius untuk memeranginya. Bahkan banyak pejabat, baik pusat maupun daerah, yang sengaja membiarkan praktek ini karena menikmati setoran dari pelaku pungutan liar.

juga membuat pengusaha angkutan menekan upah sopir. Para sopir terpaksa lembur untuk mengejar setoran. Akibatnya, mereka kelelahan dan ceroboh saat menyetir. Ini pula yang menjadi salah satu pemicu besarnya angka kecelakaan bus antarkota.

14

Upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi pungutan liar sangat terkait dengan peraturan hukum dan institusi penegak hukum, kalau yang pertama menyangkut peraturan perundang-undangannya, sedangkan yang kedua menyangkut institusi penggeraknya, seperti Kepolisian RI, Kejaksaan RI, Pengadilan dan

12

Pembongkaran bagian mobil, tidak untuk merusak, tetapi untuk memperoleh bagian-bagian itu karena persediaannya tidak ada, tidak dijual di pasar, atau menghemat biaya.

13

Biaya siluman adalah biaya atau tarif yang tidak sesuai dengan perangkat aturan yang mengatur tentang biaya muatan jembatan timbang yang diatur dalam Peraturan Daerah maupun Peraturan Menteri Perhubungan.

14

Denny Indrayana, Cerita di Balik Berita, Jihad Melawan Mafia, (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2011), hal. 15.


(22)

Lembaga Pemasyarakatan, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penegakan hukum merupakan bagian tak terpisahkan dari pembangunan hukum, sedangkan pembangunan hukum itu sendiri adalah komponen integral dari pembangunan nasional.

Berbagai lembaga pengawas eksternal15

Penyebab utama korupsi ialah lemahnya integritas moral yang turut melemahkan disiplin dari aparatnya, lemahnya sistem, lemahnya mekanisme di berbagai sektor birokrasi, seperti dikeluhkan pengusaha kecil maupun pengusaha asing, karena masih banyaknya mata rantai yang harus dilalui untuk memperoleh suatu pelayanan publik. Keadaan yang demikian menyebabkan suburnya pungutan liar sebagai salah satu bentuk perbuatan korupsi. Kelemahan sistem tersebut tidak dapat berdiri sendiri. Sistem adalah produk dari integritas moral, dan untuk

juga telah dibentuk untuk melakukan kontrol terhadap kinerja aparatur penegak hukum dalam menjalankan fungsi dan wewenangnya secara transparan, seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi kepolisian Nasional. Hal ini sebagai wujud dari fungsi pemberdayaan masyarakat yang diharapkan dapat menjadi mitra yang mampu bersinergi secara dinamis dan harmonis dengan pengawasan masing-masing internal institusi penegak hukum, sehingga harapan masyarakat untuk memiliki aparat penegak hukum yang bersih dan jujur dapat tercapai.

15

Lembaga pengawasan internal belum berjalan secara efektif karena adanya semangat untuk saling melindungi, lebih dari itu kekurangan lainnya adalah tidak adanya transparansi kepada publik tentang bentuk kontrol dan sanksi yang diberikan kepada yang melakukan pelanggaran. Keberadaan lembaga pengawasan eksternal dan bersifat independen yang dilakukan oleh kalangan “civilsociety”


(23)

memperbaiki sistem tergantung pada integritas moral, karena yang dapat berfikir perlunya diperbaiki sistem ialah yang bermoral. Orang yang tidak bermoral atau bermoral rendah meskipun tidak mungkin terdorong untuk memperbaiki sistem karena kelemahan sistem itu sendiri diperlukannya untuk melakukan penyelewengan. Pola perbuatan ini sudah menjadi salah satu gejala umum yang sulit diberantas, karena korupsi ini dilakukan dengan rapi. Selain itu umumnya dilakukan oleh kalangan yang berpendidikan tinggi,16

Kompleksitas permasalahan di atas memang menjadi dilematis bagi pemerintah saat ini. Upaya untuk menimalisir terus dilakukan secara berkesinambungan, dengan perbaikan-perbaikan dan penyempurnaan sistem hukum, yang meliputi substansi hukum (Legal Substance), struktur hukum ( Legal Structure) dan kultur hukum (Legal Culture).

sehingga pemberantasannya sering menghadapi hambatan.

17

Berbagai institusi penegak hukum pun telah berbenah diri dengan melakukan pembaharuan internal dengan melibatkan kalangan-kalangan eksternal yang kompeten dan mempunyai kepekaan serta kepedulian yang tinggi terhadap pembangunan hukum.18

16

Kajian white collar crime sendiri mulai dipopulerkan oleh Edwin H. Sutherland pada tahun 1939, saat berbicara di depan pertemuan tahunan American Sociological Society ke-34 di Philadelphia tanggal 27 Desember, yang dia istilahkan sebagai perbuatan kejahatan oleh orang yang terhormat dan

memiliki status tinggi serta berhubungan dengan pekerjaannya,

17

Dikutip dariLegal

culture adalah bagian dari budaya keseluruhan sebuah masyarakat yang dibutuhkan agar masyarakat menjadi lebih taat hukum dan taat asas. Legal Structure adalah sistem hukum dengan berbagai macam fungsi dalam rangka mendukung bekerjanya sistem tersebut. substansi hukum dalam sebuah sistem hukum yang menjadi landasan dan syarat-syarat legitimasi bagi implementasi legalitas hukum.

18

Chaerudin, dkk, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, (Bandung : PT. Refika Aditama, 2009), hal 8.


(24)

Adapun alasan penulis memilih kasus pungutan liar di Jembatan Timbang Sibolangit Sumatera utara dengan dasar pertimbangan bahwa upaya memberantas pungutan liar oleh instansi-instansi penegak hukum selama ini berjalan sendiri-sendiri, tidak ada gerakan serentak dan serius untuk memeranginya. Kasus pungutan liar yang terjadi, tidak banyak yang terangkat atau diproses secara hukum. Terungkapnya kasus pungutan liar di Jembatan Timbang Sibolangit Sumatera utara merupakan gebrakan yang dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara dengan menyamar sebagai awak truk untuk menindak para pelaku pungutan liar.

Berdasarkan permasalahan di atas, penulis tertarik untuk mengkaji dan mengetahui bagaimana proses penanganan perkara kasus pungutan liar, dengan judul “Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana Korupsi Kasus Pungutan Liar (studi kasus pungutan liar di Jembatan Timbang Sibolangit Deli Serdang Sumatera Utara).”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, dapat diambil tiga pokok permasalahan, yaitu :

1. Bagaimanakah pengaturan hukum tindak pidana korupsi pungutan liar?

2. Bagaimanakah mekanisme penanganan perkara tindak pidana korupsi kasus pungutan liar dalam Kasus No: 03/Pid.Sus-K/2011/PN. Mdn?

3. Bagaimanakah hambatan-hambatan yang dihadapi dalam penegakan hukum kasus pungutan liar?


(25)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian yang terdapat pada perumusan masalah di atas maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan memahami pengaturan hukum tindak pidana korupsi pungutan liar.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis proses penanganan perkara terhadap tindak pidana korupsi pungutan liar dalam Kasus No: 03/Pid.Sus-K/2011/PN. Mdn. 3. Untuk mengetahui dan memahami hambatan-hambatan yang dihadapi dalam

penegakan hukum kasus pungutan liar.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat memberikan sejumlah manfaat kepada para pihak, baik secara teoritis maupun praktis, manfaat tersebut adalah:

1. Secara teoritis, penelitian ini dapat membuka wawasan dan paradigma berfikir dalam memahami dan mendalami permasalahan hukum khususnya pemahaman tentang sejauh mana penegakan hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi pungutan liar di Indonesia. Selain itu, penelitian ini dapat menjadi bahan perbandingan dan referensi bagi peneliti selanjutannya serta dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan. Penelitian ini juga sebagai kontribusi bagi penyempurnaan perangkat peraturan mengenai tindak pidana korupsi di Indonesia;


(26)

2. Secara praktis penelitian ini bermanfaat bagi kalangan aparat penegak hukum khususnya penegakan terhadap tindak pidana korupsi pungutan liar, agar dapat lebih mengetahui dan memahami tentang peranan aparat penegak hukum sebagai institusi yang diharapkan berada pada garda terdepan dalam penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti diketahui bahwa judul penelitian tentang “Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana Korupsi Kasus Pungutan Liar (studi kasus pungutan liar di jembatan timbang Sibolangit Deli Serdang Sumatera Utara) ” belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama, walaupun ada beberapa topik penelitian tentang tindak pidana korupsi tapi jelas berbeda. Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang sama, maka sebelumnya peneliti telah melakukan penelusuran di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, dan di Perpustakaan Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum USU. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

Penulis khusus memusatkan penelitian pada proses penanganan perkara tindak pidana korupsi pungutan liar (berdasarkan Kasus Pungutan Liar di Jembatan Timbang Sibolangit Deli Serdang Sumatera Utara).

Selanjutnya penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan, yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka, sehingga penelitian ini dapat


(27)

dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka untuk kritikan-kritikan yang sifatnya membangun sehubungan dengan topik dan permasalahan dalam penelitian ini.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Sistem peradilan pidana merupakan istilah yang digunakan sebagai padanan Criminal Justice System. Dalam Black Law Dictionary, Criminal Law Justice System didefinisikan sebagai ”the network of courts and tribunals which deal with criminal

law and its enforcement”.19

Sistem Peradilan Pidana dalam geraknya akan selalu mengalami interaksi, interkoneksi dan interpendensi (interface) dengan lingkungannya dalam peringkat-peringkat, masyarakat, ekonomi, politik, pendidikan, dan teknologi serta subsistem-subsistem dari sistem peradilan pidana itu sendiri (subsystems of criminal justice

system), salah satu indikator keterpaduan sistem peradilan pidana adalah

Pengertian itu lebih banyak menekankan pada suatu pemahaman mengenai jaringan di dalam lembaga peradilan. Selain itu, pengertian itu juga menekankan pada fungsi dari jaringan tersebut untuk menegakkan hukum pidana. Jadi, tekanannya bukan semata-mata pada adanya penegakan hukum oleh peradilan pidana, melainkan lebih jauh lagi dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum tersebut, peradilan menjalankannya dengan membangun suatu jaringan.

19

Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, (St Paul: West Publishing Co,1990), hal. 374.


(28)

“sinkronisasi” pelaksanaan penegakan hukum. Selanjutnya sistem peradilan pidana harus dilihat sebagai sistem terbuka (open system) sebab pengaruh lingkungan seringkali berpengaruh terhadap keberhasilan sistem tersebut mencapai tujuannya. 20

Definisi yang lain seperti dikemukakan Remington dan Ohlin sebagaimana dikutip oleh Romli Atmasasmita, bahwa criminal justice system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.21

Terkait dengan pengertian di atas, oleh Hagan seperti dikutip Romli Atmasasmita, membedakan pengertian antara criminal justice system dan criminal justice process. Menurut Hagan, criminal justice process adalah setiap tahap dari suatu putusan yang dihadapkan seorang tersangka kedalam proses yang membawanya kepada penentuan pidana baginya. Criminal justice system adalah interkoneksi antara Pengertian tersebut memberi pemahaman bahwa sistem peradilan pidana merupakan proses interaksi secara terpadu antara peraturan perundang-undangan pidana, praktik administrasi yang dijalankan lembaga peradilan pidana dan pelaksananya.

20

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponogoro 1995), hal. 7.

21

Romli Atmasasmita, Sistim Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, (Bandung: Bina cipta, 1996), hal. 14


(29)

keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana.22

Proses peradilan pidana itu adalah suatu sistem dengan kepolisian, kejaksaan, pengadilan, serta pemasyarakatan sebagai sub-subsistem. Pelanggar hukum berasal dari masyarakat dan akan kembali pula ke masyarakat, baik sebagai warga taat pada hukum (non residivis), maupun mereka yang kemudian akan mengulangi kembali perbuatannya (residivis).

Peradilan pidana sebagai ”proses” menurut pengertian Hagan, didalamnya terdapat pentahapan penanganan oleh komponen-komponen terkait yang masing-masing memberikan suatu keputusan hingga ada penentuan status hukum bagi tersangka/terdakwa. Sedangkan peradilan pidana sebagai ”sistem” didalamnya terdapat keterkaitan hubungan keputusan yang dibuat setiap komponen terkait dalam prosesnya ke arah suatu tujuan.

23

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana menganut sistem yang disebut Integrated Criminal Justice System.24 Sistem tersebut setiap tahap dari pada proses penyelesaian perkara berkait erat dan saling mendukung satu sama lain.25

22

Ibid.

Tahap dalam proses penyelesaian yang dimaksud adalah suatu proses bekerjanya lembaga-lembaga yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan

23

Mardjono Reksodiputro, Survei Dan Riset Untuk Sistem Peradilan Pidana Yang Lebih Rasional, Kriminologi Dan Sistem Peradilan Pidana Kumpulan Karangan Kedua, (Jakarta : Universitas Indonesia, 1997), hal 99.

24

Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) adalah sistem dalam masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi maksudnya disini yaitu usaha untuk menanggulangi kejahatan. penegakan hukum pidana khususnya di bidang penyelidikan, penyidikan, penuntutan, maupun pelaksanaan putusan.

25

Harun M. Husein, Surat Dakwaan, Teknik Penyusunan, Fungsi, dan Permasalahannya


(30)

Lembaga Pemasyarakatan. Penanganan suatu perkara pidana yang terjadi, seorang tersangka akan diperiksa melalui tahap-tahap; penyidikan oleh Polisi, Penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum, Sidang Pengadilan oleh Hakim, dan Pembinaan oleh Lembaga Pemasyarakatan.26

Keempat subsistem peradilan pidana yaitu subsistem penyidikan, subsistem penuntutan, subsistem pengadilan dan subsistem pelaksanaan putusan sebagaimana tersebut di atas, merupakan suatu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral atau yang sering dikenal dengan istilah Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System).

27

Kejaksaan sebagai bagian dari subsistem dari sistem peradilan pidana, dalam penanganan tindak pidana korupsi memiliki kekhususan yaitu tidak hanya sebagai lembaga penuntutan tetapi juga sebagai lembaga penyidik. Bagaimana struktur organisasi, bagaimana bekerjanya masing-masing struktur organisasi kejaksaan, tidak diatur secara detail dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI tetapi diatur dalam peraturan yang lain baik berupa Keputusan Presiden maupun peraturan internal Kejaksaan yaitu Keputusan Jaksa Agung dan Surat Edaran Jaksa Agung.28

26

Hukum acara yang berlaku di peradilan pidana Indonesia secara umum diatur dalam

27

Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana Tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu, (Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponogoro, 2006), hal. 19.

28

Yudi Kristina, Menuju Kejaksaan Progresif : Studi tentang Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta : Masyarakat Transparansi Indonesia, 2009), hal. 40.


(31)

Penegakan hukum29 adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Pengertian, proses penegakan hukum secara luas, melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Sedangkan pengertian penegakan hukum secara sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.30

29

Pengertian penegakan hukum pidana meliputi dua hal; yaitu, penegakan hukum pidana in abstracto dan penegakan hukum pidana in concreto. Penegakan hukum pidana in abstracto dikonsepsikan sebagai suatu upaya untuk menanggulangi kejahatan melalui pembentukan aturan aturan hukum pidana yang melarang suatu aktivitas tertentu. Penegakan hukum dalam konteks ini masih berupa rumusan-rumusan aturan-aturan tertentu (pasal) yang merupakan panduan bagi masyarakat untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang dilarang oleh aturan itu. Singkatnya, penegakan hukum pidana in abstracto ini masih belum ditegakkan secara langsung oleh aparat penegak hukum. Hal ini berbeda halnya dengan penegakan hukum pidana in concreto yang merupakan tindakan konkret aparat penegak hukum untuk menegakkan aturan-aturan hukum pidana yang masih abstrak tersebut. Aparat penegak hukum yang terlibat langsung dengan penegakan hukum pidana in concreto ini meliputi polisi, jaksa, hakim dan petugas pemasyarakatan.

30

Jimly Asshiddiqie, Makalah “Penegakan Hukum”, diakses melalui website pada tanggal 6 Maret Pukul 17.30 WIB.


(32)

Penegakan hukum pada dasarnya melibatkan seluruh warga negara Indonesia, dimana dalam pelaksanaannya dilakukan oleh penegak hukum. Penegakan hukum tersebut dilakukan oleh aparat yang berwenang. Aparat negara yang berwenang dalam pemeriksaan perkara pidana adalah aparat Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Polisi, Jaksa dan Hakim merupakan tiga unsur penegak hukum yang masing-masing mempunyai tugas, wewenang dan kewajiban yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Unsur aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya tersebut merupakan subsistem dari sistem peradilan pidana. Dalam rangka penegakan hukum ini, masing-masing subsistem tersebut mempunyai peranan yang berbeda-beda sesuai dengan bidangnya serta sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, akan tetapi secara bersama-sama mempunyai kesamaan dalam tujuan pokoknya yaitu menanggulangi kejahatan dan pemasyarakatan kembali para narapidana. Bekerjanya masing-masing subsistem tersebut harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang mengaturnya.31

Menurut Marwan Effendy, penegakan hukum sebagai landasan tegaknya supremasi hukum, tidak saja menghendaki komitmen ketaatan seluruh komponen bangsa terhadap hukum mewajibkan aparat penegak hukum untuk dapat menegakkannya secara konsisten dan konsekuen, tetapi menghendaki juga suatu

31

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Rajawali, 1983), hal. 5.


(33)

pengaturan hukum yang mencerminkan suatu kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan hukum merupakan cita hukum bangsa.32

Menurut Satjipto Raharjo, Secara konsepsional efektivitas penegakan hukum sekurang-kurangnya dipengaruhi oleh lima faktor utama, yaitu : 33

a. sumber daya peraturan perundang-undangan;

b. sumber daya manusia penegak hukum;

c. sumber daya fisik (sarana dan prasarana) penegakan hukum; d. sumber daya keuangan; dan

e. sumber daya pendukung lainnya berupa kesadaran hukum masyarakat dan pra kondisi yang dipersiapkan untuk mengefektifkan penegakan hukum.

Secara teoretis, terdapat tiga tujuan hukum, yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Keadilan dapat dikatakan sebagai tujuan utama yang bersifat universal.34

Keadilan adalah perekat tatanan kehidupan bermasyarakat yang beradab. Hukum diciptakan agar agar setiap individu anggota masyarakat dan penyelenggara negara melakukan sesuatu tidakan yang diperlukan untuk menjaga ikatan sosial dan mencapai tujuan kehidupan bersama atau sebaliknya agar tidak melakukan suatu tindakan yang dapat merusak tatanan keadilan. Apabila tindakan yang diperintahkan tidak dilakukan atau suatu larangan dilanggar, maka tatanan sosial akan terganggu

32

Marwan Effendy, Pemberantasan Korupsi dan Good Governance, (Jakarta: Timpani, 2010), hal. 3.

33

Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologi, (Jakarta : Sinar Baru, 1983), hlm.18.

34

Mohammad Mahfud MD, Makalah “Penegakan Hukum dan Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik”, hal. 2-3.


(34)

karena terciderainya keadilan. Upaya untuk mengembalikan tertib kehidupan bermasyarakat, keadilan harus ditegakkan. Setiap pelanggaran akan mendapatkan sanksi sesuai dengan tingkat pelanggaran itu sendiri.

Keadilan memang merupakan konsepsi yang abstrak. Namun di dalam konsep keadilan terkandung makna perlindungan hak, persamaan derajat dan kedudukan di hadapan hukum, serta asas proporsionalitas antara kepentingan individu dan kepentingan sosial. Sifat abstrak dari keadilan adalah karena keadilan tidak selalu dapat dilahirkan dari rasionalitas, tetapi juga ditentukan oleh atmosfir sosial yang dipengaruhi oleh tata nilai dan norma lain dalam masyarakat. Oleh karena itu keadilan juga memiliki sifat dinamis yang kadang-kadang tidak dapat diwadahi dalam hukum positif.

Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum dapat dikatakan sebagai bagian dari upaya mewujudkan keadilan. Bentuk nyata dari kepastian hukum adalah pelaksanaan atau penegakan hukum terhadap suatu tindakan tanpa memandang siapa yang melakukan. Dengan adanya kepastian hukum setiap orang dapat memperkirakakan apa yang akan dialami jika melakukan tindakan hukum tertentu. Kepastian diperlukan untuk mewujudkan prinsip persamaan dihadapan hukum tanpa diskriminasi.35

Penerapan keadilan dan kepastian hukum dapat saja terjadi gesekan. Kepastian hukum yang menghendaki persamaan di hadapan hukum tentu lebih cenderung menghendaki hukum yang statis. Aturan hukum harus dilaksanakan untuk

35


(35)

semua kasus yang terjadi, sedangkan keadilan36

Di sisi lain, hukum juga dapat digunakan untuk memperoleh atau mencapai manfaat tertentu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hukum menegakkan keadilan dapat digunakan sebagai instrumen yang mengarahkan perilaku warga negara dan pelaksanaan penyelenggaraan negara untuk mencapai kondisi tertentu sebagai tujuan bersama. Hukum difungsikan as a tool of social engineering.

memiliki sifat dinamis harus selalu melihat konteks peristiwa dan masyarakat di mana peristiwa itu terjadi.

37

Menurut Lawrence M. Friedman, Pemberantasan korupsi dapat berjalan, manakala terdapat 3 (tiga) unsur yang merupakan sistem hukum sudah berfungsi. Menurut konteks hukum nasional, hukum tentu harus bermanfaat bagi pencapaian tujuan nasional, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mewujudkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

36

Aristoteles membagi keadilan menjadi jenis keadilan distributif dan keadilan korektif. Yang pertama berlaku dalam hukum publik, yang kedua dalam hukum perdata dan pidana. Keadilan distributif dan korektif sama-sama rentan terhadap problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami dalam kerangkanya. Dalam wilayah keadilan distributif, hal yang penting ialah bahwa imbalan yang sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Pada yang kedua, yang menjadi persoalan ialah bahwa ketidaksetaraan yang disebabkan oleh, misalnya, pelanggaran kesepakatan, dikoreksi dan dihilangkan.

37

Bahwa hukum sebagai alat untuk mengubah secara sadar masyarakat atau hukum sebagai alat rekayasa sosial. Oleh karena itu, dalam upaya menggunakan hukum sebagai alat rekayasa sosial diupayakan pengoptimalan efektifitas hukumpun menjadi salah satu topik bahasan sosiologi hukum. Lihat juga Achmad Ali, dalam bukunya “Sosiologi Hukum: Kajian Empiris Terhadap Pengadilan”, (Jakarta :


(36)

Tiga unsur hukum tersebut adalah struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum.38

Struktur hukum yang mencakup aturan-aturan hukum, baik tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk peraturan-peraturan pengadilan. Sistem hukum terus berubah, namun bagian-bagian sistem itu berubah dalam kecepatan yang berbeda, dan setiap bagian berubah tidak secepat bagian tertentu lainnya. Ada pola jangka panjang yang berkesinambungan. Contohnya struktur kekuasaan pengadilan di Indonesia yang terdiri dari Pengadilan Tingkat I, Pengadilan Banding dan Pengadilan Tingkat Kasasi, jumlah hakim serta integrated justice system. Selain itu, juga dikenal adanya Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Pajak. Inilah struktur sistem hukum, kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan sistem.39

Substansi hukum merupakan peraturan, norma, dan tipe prilaku nyata manusia yang berada di dalam sistem tersebut. Substansi juga berarti “hasil” yang dciptakan oleh orang yang berada dalam sistem hukum itu, keputusan yang mereka keluarkan, berupa aturan baru yang mereka susun. Penekannya di sini terletak pada hukum hukum yang hidup (Living law) , bukan hanya pada aturan dalam kitab hukum (law in books).

38

Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif “Sebuah Sintesa Hukum Indonesia”, (Yogyakarta: Genta Publishing,2009), hal. 35-38.

39

Ade Maman Suherman, Pengantar perbandingan sistem hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 11-12.


(37)

Kultur hukum, yang mencakup opini-opini, kebiasaan-kebiasaan, cara berfikir dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat biasa. Budaya hukum masyarakat yang tinggi, adalah masyarakat yang tidak cenderung melanggar hukum 40

2. Landasan Konsepsional a) Penegakan Hukum.

Penegakan hukum secara umum pengertiannya adalah penerapan hukum di berbagai aspek kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara guna mewujudkan suatu ketertiban yang berorientasi kepada cita hukum dimaksud.41 Sedangkan dalam pengertian sempit, terbatas dalam proses pemeriksaan di pengadilan termasuk proses penyidikan, penuntutan hingga pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Para aparatur penegak hukum sebagai “subordinated”42

40

Arief Sidharta, Butir-Butir Pemikiran dalam Hukum, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2008), hal. 3-6.

dari undang-undang harus mampu menjabarkan dan melaksanakan undang-undang. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara

41

Marwan Effendy, Op. Cit, hal. 3.

42

Aparatur penegak hukum sebagai pelaksana undang-undang. Sedangkan tindakan aparatur penegak hukum dalam menjalankan fungsi penegakan hukum melalui proses peradilan pidana yang terdiri dari serangkaian tahapan mulai dari penyelidikan, penyidikan, penangkapan, penahanan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan, hingga pemidanaan.


(38)

berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama.43

b)Tindak Pidana.

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) tidak memberikan penjelasan secara rinci mengenai perkataan strafbaar feit tersebut. Istilah strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum pidana Indonesia dengan istilah yang berbeda-beda. Diantaranya ada yang memakai istilah delik, peristiwa pidana, perbuatan pidana, tindak pidana, pelanggaran pidana.44 perbuatan yang melawan hukum atau bertentangan dengan tata hukum dan diancam pidana apabila perbuatan yang dilarang itu dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Moeljatno, tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut.45

c) Tindak Pidana Korupsi.

Korupsi adalah Kecurangan yang terjadi karena tata kelola yang kurang baik serta penyalahgunaan wewenang/konflik kepentingan (conflict of interest), penyuapan (bribery), penerimaan yang tidak sah/illegal (illegal gratuities), dan

43

Zudan Arif Fakrulloh, Makalah “Penegakan Hukum Sebagai Peluang Menciptakan

Keadilan”, diakses melalui website

Maret Pukul 17.30 WIB.

44

C S T Kansil, Latihan Ujian Hukum Pidana untuk Perguruan Tinggi, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2007), hal. 106.

45


(39)

pemerasan secara ekonomi (economic extortion).46 Menurut ACFE, korupsi meliputi:47

1) Penyuapan (bribery), yaitu terkait dengan penawaran, pemberian, penerimaan, atau pengumpulan sesuatu yang memiliki nilai, untuk mempengaruhi keputusan bisnis.

2) Kickback, dimana vendor atau supplier melakukan pembayaran secara ilegal

kepada karyawan yang melakukan aktivitas pembelian (purchasing atau procurement) untuk mendapatkan kontrak pembelian.

3) Pengaturan tender (bid-rigging), yaitu pengaturan hasil tender secara ilegal

oleh karyawan yang terkait dengan bagian pembelian (purchasing atau procurement) untuk memenangkan vendor atau supplier tertentu.

4) Pungutan liar atau pemerasan (economic extortion), dimana pejabat yang terkait dengan bagian pelayanan publik melakukan pungutan atau pemerasan kepada masyarakat atau pejabat lainnya.

5) Gratifikasi ilegal (illegal gratification), berupa pemberian atau penerimaan sesuatu yang memiliki nilai, sebagai imbalan atas suatu keputusan bisnis.

d)Pungutan Liar.

Pungutan liar adalah pengenaan biaya di tempat yang tidak seharusnya biaya dikenakan atau dipungut.48

46

Amin Widjaja Tunggal, Pencegahan dan Pendeteksian Kecurangan dan Korupsi, (Jakarta: Harvarindo, 2010), hal. 75.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pungutan liar

47


(40)

adalah memungut atau meminta sesuatu (uang) kepada seseorang (lembaga, perusahaan) tanpa menurut peraturan yang lazim.49

e) Jembatan Timbang.

Jembatan timbang adalah seperangkat alat untuk menimbang bara (portable) yang digunakan untuk mengetahui digunakan untuk pengawasan jalan ataupun untuk mengukur besarnya muatan

(tonase)50 pad51

f) Dinas Perhubungan.

Dinas Perhubungan merupakan unsur pelaksanaan penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang perhubungan sesuai dengan rencana strategis yang ditetapkan Pemerintah. Dinas Perhubungan Kota/Kabupaten/Provinsi dipimpin oleh seorang kepala dinas yang dalam melaksanakan tugasnya berada di bawah dan bertanggungjawab kepada walikota/Bupati/Gubernur dan seterusnya melalui Sekretaris Daerah Kota/Kabupaten/Provinsi.52

48

Dinas Perhubungan mempunyai tugas melaksanakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.

12.30 WIB.

49

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hal. 908.

50

Tonase adalah kapasitas ruang muat di kapal atau truk. Tonase terbagi atas 2 yaitu tonase bersih dan tonase kotor. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Departemen Pendidikan Nasional Edisi Ketiga, 2007.

51

Lihat Keputusan Menteri No. 5 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Penimbangan Kendaraan Bermotor di Jalan.

52


(41)

G. Metode Penelitian 1. Jenis Pendekatan.

Penelitian terhadap masalah hukum yang sempurna adalah yang menggunakan pendekatan tidak saja pendekatan normatif atau pendekatan empiris tetapi pendekatan dari keduanya ialah pendekatan 'normatif-empiris'.53

Penelitian terhadap masalah yang menyangkut peraturan memang dapat digunakan pendekatan normatif, dengan melakukan penelitian kepustakaan dan dokumentasi saja tanpa turun ke lapangan, misalnya untuk membahas putusan-putusan pengadilan (jurisprudensi). Oleh karena penelitian yang baik itu dilakukan dengan pendekatan normatif-empiris, dengan mengumpulkan data, tidak saja data normatif namun data empiris sebagai pendukung.

Penelitian tidak saja berusaha mempelajari pasal-pasal, perundang-undangan, pandangan, pendapat para ahli dan menguraikannya dalam karya penelitian ilmiah, tetapi juga menggunakan bahan-bahan yang sifatnya normatif itu dalam rangka mengulas dan menganalisis data lapangan yang disajikan sebagai pembahasan.

54

Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang terdiri dari penelitian yang berupa usaha inventarisasi hukum positif, usaha penemuan asas-asas dan dasar

53

Pendekatan penelitian normatif-empiris pada prinsipnya adalah penggabungan antara pendekatan yuridis normatif dengan penambahan unsur-unsur empiris. Perbedaan yang paling prinsip terletak pada sasaran penelitian yaitu fakta empiris.

54

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Rajawali Pers, 2004), hal.29.


(42)

falsafah (dogma atau doktrin) hukum positif dan usaha penemuan hukum in concreto yang layak diterapkan untuk menyelesaikan suatu perkara hukum tertentu.55

Berdasarkan ruang lingkup dan identifikasi masalah sebagaimana diuraikan di muka, maka metode penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis dengan pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach),

56

Pendekatan undang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.

dengan titik berat kepada penelitian hukum normatif-empiris.

57

Pendekatan ini, peneliti akan berpijak pada kasus pungutan liar di jembatan timbang Sibolangit Deli Serdang Sumatera Utara. Sedangkan Pendekatan kasus (case approach) dalam penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kasus tindak pidana korupsi pungutan liar mulai dari tahap dakwaan, pemeriksaan saksi, tuntutan sampai pada putusan pengadilan dalam proses penegakan hukum tindak pidana korupsi pungutan liar. Berkaitan dengan kasus yang dihadapi telah mempunyai keputusan hukum tetap (inkracht).

2. Sumber Data Penelitian.

Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari sumber-sumber asli.

55

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 42.

56

Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2006), hal. 300.

57

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2009), hal. 93.


(43)

Sumber asli disini diartikan sebagai sumber pertama darimana data tersebut diperoleh. Data primer dalam penelitian ini diperoleh dengan metode wawancara. Metode wawancara merupakan sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara (interviewer) untuk memperoleh informasi dari terwawancara (informan). Wawancara akan dilakukan kepada pihak-pihak yang berkaitan langsung dalam mekanisme penanganan perkara kasus korupsi pungutan liar. Pihak yang berkaitan tersebut adalah Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara maupun Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan negeri Medan. Data empiris dalam penelitian ini, mengenai mekanisme penanganan perkara tindak pidana korupsi dalam Kasus No: 03/Pid.Sus-K/2011/PN. Mdn.

Bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder tersebut mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sehingga meliputi surat-surat pribadi, buku-buku harian, sampai pada dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah.58

Data-data sekunder yang menjadi sumber data dalam penelitian ini meliputi: a) Bahan hukum primer, yaitu Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang

Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Putusan Pengadilan yang berkaitan dengan kasus korupsi pungutan liar, dan lain sebagainya.

58


(44)

b) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku hukum, jurnal hukum, karya tulis hukum atau pendapat pakar hukum.

c) Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus (hukum), ensiklopedia dan internet.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik Pengumpulan Data dilakukan melalui studi kepustakaan dan wawancara. Studi kepustakaan dengan cara menginventarisasi, menelusuri, mempelajari, dan mencatat teori hukum, konsep hukum, asas hukum, norma-norma hukum yang menjadi obyek penelitian. Data penunjang dilakukan dengan metode wawancara. Wawancara dengan cara menggunakan interview guide (pedoman wawancara) untuk memperoleh data. Terhadap data lapangan (primer) dikumpulkan dengan teknik wawancara tidak terarah (non-directive interview)59 atau tidak terstruktur (free flowing interview) yaitu dengan mengadakan komunikasi langsung kepada informan dari unsur penegak hukum, dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide)

59

Cirinya yang utama adalah bahwa seluruh wawancara tidak didasarkan pada daftar pertanyaan yang telah disusun lebih dahulu. Pewawancara tidak memberikan pengarahan yang tajam, tetapi diserahkan pada yang diwawancarai untuk memberikan penjelasan menurut kemauannya sendiri, Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, , (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hlm. 59-60.

guna mencari jawaban atas pelaksanaan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi pungutan liar. Data yang diperoleh dapat


(45)

dijadikan alat analisis terhadap masalah penelitian. Para informan dalam penelitian adalah jaksa yang berkaitan langsung ataupun tidak langsung dengan kasus pungutan liar di Jembatan Timbang Sibolangit Sumatera Utara serta beberapa jaksa yang pernah memiliki pengalaman dalam penegakan hukum kasus korupsi lainnya.

4. Metode Analisis Data

Data yang sudah terkumpul kemudian diolah melalui tahap pemeriksaan (editing), penandaan (coding), penyusunan (reconstructing), secara sistematisasi berdasarkan pokok bahasan dan sub pokok bahasan yang diidentifikasi dari rumusan masalah.

Data yang diperoleh peneliti akan diolah dan dianalisis secara kualitatif yakni pemilihan teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin, dan pasal-pasal di dalam undang-undang yang relevan dengan permasalahan. Kemudian membuat sistematika dari data-data tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis pula dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya semua data diseleksi dan diolah kemudian dinyatakan secara deduktif, untuk sampai pada kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini akan dapat dijawab.60

60


(46)

BAB II

PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI PUNGUTAN LIAR DI INDONESIA

A. Sejarah Pungutan Liar di Indonesia

Tingginya tingkat ketidakpastian pelayanan sebagai akibat adanya prosedur pelayanan yang panjang dan melelahkan menjadi penyebab dari semakin banyaknya masyarakat yang menyerah ketika berhadapan dengan pelayanan publik yang korupsi. Hal ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan masyarakat cenderung semakin toleran terhadap praktik pungutan liar dalam penyelenggaraan pelayanan publik.61 Pada awalnya, tindakan kolutif dari masyarakat lebih banyak karena keterpaksaan, yaitu sebagai bentuk respons mereka terhadap kerumitan, pemaksaan dan ketidak pastian pelayanan publik. Namun, apabila pada perkembangannya masyarakat pengguna layanan justru banyak yang merasa lega ketika melakukan hal itu, atau bahkan mengharapkannya karena beranggapan hal itu dapat mempercepat urusannya, dan tidak menganggapnya sebagai praktik negatif yang merugikan berarti masyarakat kita telah ikut melembagakan praktik pungutan liar.62

Pada masa Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dikeluarkan Instruksi Presiden No. 9 tahun 1977 tentang Operasi Penertiban (1977-1981), dengan tugas membersihkan pungutan liar, penertiban uang

61

BPKP, Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Korupsi pada Pengelolaan Pelayanan Masyarakat, (Jakarta: Tim Pengkajian SPKN RI , 2002), hal. 6.

62

Berdasarkan hasil penelitian dan data Governance and Decentralization Survei pada tahun 2002 yang menunjukan sebahagian besar masyarakat pengguna pelayanan publik di Indonesia merasa senang dan lega jika mereka dimintai membayar pungutan liar pada saat mengurus pelayanan publik. Dalam Agus Dwiyanto, Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, 2003), hal. 99.


(47)

siluman, penertiban aparat pemda dan departemen. Untuk memperlancar dan mengefektifkan pelaksanaan penertiban ini ditugaskan kepada Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara, untuk mengkoordinir pelaksanaannya dan Pangkopkamtib untuk membantu Departemen/Lembaga pelaksanaanya secara operasional.63

Pemberantasan pungutan liar yang dipimpin oleh Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) yaitu Laksamana Sudomo. Jabatan Pangkopkamtib pada masa orde-baru merupakan institusi super body bidang politik, hukum dan keamanan. Militer, dan seluruh institusi penegak hukum di bawah kendali Pangkopkamtib. Pungutan liar di jembatan timbang dijadikan simbol pemberantasan pungutan liar. Karena “kebiasaan” di jembatan timbang, telah terjadi puluhan tahun. Begitu pula dengan institusi perizinan juga dituding sebagai sarang pungutan liar.64

Prioritas penindakan Operasi Tertib adalah "pungutan liar" dalam segala bentuknya. Khususnya pungutan liar yang menyangkut kepentingan masyarakat luas, seperti pungutan liar di jembatan timbang, pungutan liar oleh penegak hukum di semua instansi (hakim, jaksa, polisi), per-caloan kreta api/pesawat/kapal laut, pungutan liar pada pengurusan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dan lain sebagainya.65

63

Wijayanto,dkk, Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010). hal. 672.

64

Ibid,.

65


(48)

Berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1977 Tentang Operasi Tertib bertujuan untuk menghilangkan praktek-praktek yang dilakukan oleh oknum-oknum dalam aparatur Pemerintah yang tidak berdasarkan peraturan seperti pungutan liar dalam berbagai bentuknya dan untuk memperbaiki serta meningkatkan dayaguna dan hasil-guna aparatur Pemerintah, diperlukan adanya langkah-langkah penertiban secara menyeluruh dan terus menerus di dalam tubuh aparatur Pemerintah.

Pada awalnya Operasi Tertib dibentuk untuk pembersihan pungutan liar di jalan-jalan, penertiban uang siluman di pelabuhan, baik pungutan tidak resmi maupun resmi, tetapi tidak sah menurut hukum. Namun, pada tahun 1977 sasaran penertibannya diperluas, beralih dari jalan-jalan ke aparat departemen dan daerah. Terbentuknya Operasi Tertib adalah juga pengakuan bahwa masih banyak yang tidak tertib dalam administrasi pemerintahan sehingga menciptakan pungutan liar. Adanya Operasi Tertib di lain pihak juga menyajikan harapan kepada masyarakat yang tahu bahwa tidak bersihnya aparatur negara sudah pada titik yang menimbulkan putus asa.66

Dengan undang-undang dan lembaga-lembaga penegak hukum yang seharusnya menindak koruptor, pemerintah tetap merasa perlu mengerahkan Kopkamtib dan Laksusda (Pelaksana Khusus Kopkamtib Daerah yaitu Kodam) untuk melaksanakan "Operasi Tertib" memberantas korupsi, manipulasi dan pungutan liar. Operasi Tertib bergerak dengan jaringan Satgas Intel Kopkamtib. Di setiap provinsi

66


(49)

dan inspektorat jenderal departemen ditempatkan inspektur Operasi Tertib untuk "mendinamisir" pengawasan.67

Meskipun Operasi Tertib pada saat itu telah menyelamatkan uang negara sebesar Rp.200 milyar dan menindak 6.000 pegawai selama tahun 1977-1981, dan setiap selambatnya tiga bulan melaporkan kepada Presiden tentang penertiban di departemen dan jawatan pemerintah, Ketua BPK Umar Wirahadikusumah menyatakan bahwa "tidak ada satu pun departemen yang bersih dari korupsi". Sebulan kemudian, November 1981, Wakil Presiden Adam Malik menimpali bahwa "korupsi sudah epidemik.68

Memangkas biaya pungutan liar juga bertujuan untuk meringankan beban pengusaha, dan mengalihkan biaya tersebut untuk kepentingan buruh. Pemerintah tak perlu menempuh kebijakan populis yang seolah membela tapi sebenarnya dalam jangka panjang merugikan buruh.69

67

Ibid,.

Berhasil tidaknya Operasi Tertib ini juga tergantung dari aparatur negara. Ada kesan bahwa atasan itu cenderung melindungi bawahan. Satu dan lain hal disebabkan karena pungutan liar memang terjadi dari atas

tanggal 19 Juli 2012.

69

Citra layanan publik di Indonesia, dari dahulu hingga kini, lebih dominan sisi gelapnya ketimbang sisi terangnya, selain mekanisme birokrasi yang bertele-tele ditambah dengan petugas birokrasi yang tidak profesional. Sudah tidak asing kalau layanan publik di Indonesia dicitrakan sebagai salah satu sumber korupsi dan sangat beralasan kalau World Bank, dalam World Development Report 2004, memberikan stigma bahwa layanan publik di Indonesia sulit diakses oleh orang miskin, dan menjadi pemicu ekonomi biaya tinggi (high cost economy) yang pada akhirnya membebani kinerja ekonomi makro, alias membebani publik (masyarakat).


(50)

sampai ke bawah. Bahkan tidak mustahil merupakan jaringan kerjasama dari atas ke bawah.70

Beberapa contoh tentang bentuk penyelewengan tersebut antara lain:71

a. Pungutan atas gaji/pensiun Pegawai Negeri oleh oknum instansi yang bersangkutan;

b. Pungutan atas pengangkatan Pegawai Negeri oleh instansi yang bersangkutan; c. Pungutan atas biaya-biaya perjalanan pegawai oknum instansi yang

bersangkutan;

d. Pungutan oleh oknum-oknum instansi atas pembelian Departemen atau instansi, sehingga meningkatkan harga di luar kewajaran (dalam hal tender misalnya); e. Pungutan atas pemberian izin-izin seperti izin usaha, izin dagang, izin bangunan,

izin kerja, paspor dan sebagainya oleh oknum instansi yang bersangkutan dalam hal melakukan pelayanan kepada masyarkat dan hal-hal semacam ini terjadi di hampir setiap instansi yang mengeluarkan, perizinan-perizinan tersebut;

f. Pungutan-pungutan oleh oknum-oknum KPN atas penguangan SKO untuk belanja rutin maupun belanja pembangunan;

g. Pungutan-pungutan yang terjadi dalam pemasukan barang, khususnya di Bea & Cukai;

70

Tugas atasan memang harus melindungi bawahan. Tapi kalau bawahan sudah menyelewengkan kekuasaannya, atasan harus berani melakukan penindakan. Terpenting dalam hal ini, sebelum melakukan pembersihan atasan harus bersih terlebih dulu. Ini prinsipil. Kalau atasannya sendiri tak bersih dengan sendirinya merasa ragu-ragu melakukan pembersihan. Dengan begitu kepemimpinan jadi tidak tegas.

71

Berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1977 Tentang Operasi Tertib.


(51)

h. Pungutan-pungutan yang terjadi dalam hal penyetoran pajak, sehingga besarnya pajak yang masuk ke Negara relatif kecil dibandingkan yang masuk ke oknum petugas pajak yang bersangkutan;

i. Pungutan-pungutan resmi yang tidak didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah baik di Departemen maupun di Pemerintah Daerah; dan j. Pungutan-pungutan yang berhubungan dengan pemberian kredit oleh perbankan

yang biasanya disebut "uang hangus".

Pimpinan Instansi bersangkutan yang diawasi memberikan bantuan pada pelaksanaan pengawasan baik yang dilakukan oleh Inspektur Jenderal atau Instansi Pengawasan lainnya, seperti Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Departemen Keuangan. Pengawasan yang dilakukan oleh atasan ataupun Instansi pengawas hendaknya tidak hanya berdasarkan formalitas saja (yaitu kelengkapan laporan saja) tapi harus lebih dipentingkan adanya pengawasan materiil dengan memeriksa keadaan sesungguhnya. Apabila dalam pelaksanaan pengawasan tersebut ternyata terdapat bukti-bukti adanya pelanggaran hukum pidana, maka harus segera dilaporkan kepada alat-alat penegak hukum yang berwenang (polisi atau jaksa).72

Peningkatan pelaksanaan pengawasan dan penertiban di lingkungan Departemen/Lembaga dan di lingkungan aparatur Pemerintah Daerah telah dilaksanakan dengan dilancarkannya Operasi Tertib terhadap penyalahgunaan

72

Pengawasan merupakan bagian dari seluruh kegiatan pemerintahan, justru untuk menjamin tercapainya tujuan kebijaksanaan yang telah digariskan dan sasaran yang telah ditetapkan. Karena itu pengawasan bukan ditujukan untuk mencari-cari kesalahan atau mencari siapa yang salah. Tujuan utama pengawasan ialah untuk memahami apa yang salah, demi perbaikan di masa datang. Lihat Sujamto, Aspek-Aspek Pengawasan di Indonesia, (Jakarta: PT. Sinar Grafika, 1989), hal. 86.


(52)

jabatan, komersialisasi jabatan, korupsi, pemborosan-pemborosan, pungutan liar dan perbuatan tercela lain. Operasi Tertib dimaksudkan untuk mendinamisasikan fungsi aparatur pengawasan Pemerintah dalam peningkatan tertib organisasi, kepegawaian, keuangan dan ketatalaksanaan dalam ling-kungan Departemen/Lembaga dan Pemerintah Daerah.73

Selain Operasi Tertib yang dilaksanakan secara fungsional dan secara operasional oleh atasan langsung kepada bawahan dalam beberapa tahun berikutnya, dilaksanakan pula penertiban-penertiban yang dilakukan secara khusus, seperti Operasi Bersih dan Berwibawa (Sihwa I) dan Operasi Tunas. Pada tahun ketiga Repelita III telah dilaksanakan operasi penertiban yang diberi nama "Operasi Bersih dan Berwibawa" sebagai operasi untuk menangani adanya penyimpangan dalam pengangkatan pegawai honorer daerah dan pengangkatan lurah dan perangkat kelurahan menjadi pegawai negeri.74

Desakan publik yang kuat bagi pemerintahan baru untuk memberantas korupsi telah melahirkan Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menggantikan Undang No. 3 tahun 1971, karena Undang-Undang No. 3 tahun 1971 dipandang oleh berbagai kalangan mempunyai banyak kelemahan, sehingga banyak koruptor yang lolos dari jerat hukum.75

73

Timothy Lindsey, Corruption in Asia: Rethinking the Governance Paradigm, (Sydney: The federation press,2002), hal. 134.

74

Ibid,.

75


(53)

Pada tahun 2004, Pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, terdapat 12 (dua belas) instruksi kepada para pimpinan birokrasi. Diantaranya adalah instruksi untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada publik, baik dalam bentuk jasa ataupun perizinan melalui transparansi dan standardisasi pelayanan yang meliputi persayaratan-persyaratan, target waktu penyelesaian, dan tarif biaya yang harus dibayar oleh masyarakat untuk mendapatkan pelayanan tersebut sesuai peraturan perundang-undangan dan menghapuskan pungutan-pungutan liar.76

Dalam Instruksi Presiden tersebut, Presiden antara lain secara khusus menginstruksikan kepada Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara untuk menyiapkan rumusan kebijakan dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan publik. Presiden juga menginstruksikan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota agar meningkatkan pelayanan publik dan meniadakan pungutan liar dalam pelaksanaannya.

Inpres itu sendiri hanyalah instruksi yang bersifat umum dan bukan bersifat teknis. Oleh karena itu, Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 perlu diterjemahkan masing-masing pimpinan birokrasi dengan mengeluarkan rumusan-rumusan kebijakan-kebijakan yang bersifat teknis atau aplikatif dalam pelayanan publik, sehingga pelayanan yang diberikan aparat birokrasi sesuai dengan harapan inpres

76

Lihat juga Romli Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional, (Bandung: Mandar Maju, 2004), hal. 6.


(54)

tersebut, yakni pelayanan berkualitas dan bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).77

Sektor pelayanan publik yang dikelola pemerintah, baik departemen, lembaga pemerintah non departemen, maupun pemerintah daerah, seperti pelayanan pajak, perizinan, investasi, pembuatan KTP, SIM, STNK, IMB, transportasi, akta, sertifikat tanah, listrik, air, telepon dan sebagainya merupakan sektor yang rentan terjadinya pungutan liar, karena berkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat. 78Di sektor pelayanan publik terjadi hubungan antar domain, yakni pemerintah atau birokrasi sebagai penyelenggara pemerintahan, sektor usaha, dan masyarakat umum.79

Pada hakikatnya korupsi80 seperti tawar menawar biaya, pungutan liar, kolusi, penjualan pengaruh, nepotisme, kuitansi fiktif, manipulasi laporan keuangan, transfer komisi, mark up, pemerasan, penyuapan (sogok) yang disamarkan sebagai hibah, hadiah atau uang terimakasih dan cara-cara lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan yang kesemuanya menimbulkan ekonomi biaya tinggi (high

cost economy).81

Pada tahun 2012, Pemerintah meluncurkan Instruksi Presiden (Inpres) nomor 17 tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2012.

77

www.bappenas.go.id/get-file-server/node/6882/

78

tanggal 20 Juli 2012.

79

http%3A%2F%2Fitjen-depdagri.go.id%2Farticle-23-pelayanan-publik-good-governance-amp-aaupb-dalam diskresi.html&ei=3_YHUKvhOsXLrQeJkYnzAg&usg=AFQjCNECzFUxfeZns-hfQi3n-tDo2Dx8kw, diakses pada tanggal 19 juli 2012.

80

Soedjono Dirdjosisworo, Fungsi Perundang-undangan Pidana Dalam Penanggulangan Korupsi di Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1984), hal. 50.

81


(1)

II.Makalah, Jurnal Hukum, dan Artikel

Asshiddiqie, Jimly, Makalah Penegakan Hukum.

Effendy, Marwan, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Surabaya: Lokakarya Anti Korupsi Bagi Jurnalis, 2007.

Harian Sinar Indonesia Baru pada Hari Kamis 26 April 2012 halaman 1 lanjut halaman 15 dengan judul artikel ”Pengusulan Mata Anggaran Pempropsu Rawan Penyelewengan,” Medan, Sumatera Utara.

Koran Orbit, dalam artikel Penanganan Kasus Korupsi Abu-Abu.

Koran Kompas pada artikel Jalan Rusak Buka Peluang Pungutan Liar.

Mahfud MD, Mohammad, Makalah Penegakan Hukum dan Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik.

Makalah Komisi Pemberantasan Korupsi RI pada sosialisasi pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TPK) di instansi-instansi yang berjudul, “Penjebakan dan Tertangkap Tangan dalam Kaitan Tugas KPK: Tinjauan dari Aspek Hukum,”

III.Peraturan Perundang-undangan

H. Husni, Kitab Himpunan Perundang-undangan Negara Republik Indonesia

Jakarta: Departemen Penerangan Republik lndonesia, 1960.

Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Yogyakarta: tanpa penerbit, 1976.


(2)

Undang-Undang No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan tindakan Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang

Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang

Kejaksaan Republik Indonesia.

Undang-Undang No.49 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Keppres No. 31 Tahun 1983

Keppres No.228 Tahun 1967 tentang

tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.

Keppres 11 Tahun 2005 tentang Pembentukan

Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi.

Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


(3)

Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 9 Tahun 1977 tentang Operasi Penertiban.

Instruksi Presiden Republik Indonesia No.Tahun 2011 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.

Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 15 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan.

Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 5 Tahun 2004 Tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.

Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM-06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi.

Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM-08/1957 tentang Penilikan Harta Benda.

Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM-011/1957 tentang Penyitaan dan Perampasan Harta Benda yang Asal Mulanya Diperoleh dengan Perbuatan yang Melawan Hukum.

Peraturan Penguasa Militer No. Prt/Peperpu/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Korupsi dan Penilikan Harta Benda.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 24 tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi yang disahkan dengan Undang-Undang No. 1 tahun 1961 yang kemudian menjadi Undang-Undang No. 24 tahun 1960.


(4)

Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Keputusan Menteri No. 5 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Penimbangan Kendaraan Bermotor di Jalan.

Putusan Mahkamah Agung RI No. 1604/K/Pid/1990 tanggal 10 November 1994 dan Fatwa KMA No. KMA/102/III/2005.

Putusan Mahkamah Agung RI tertanggal 23 Januari 1956 Nomor 25 K./Kr./1955.

IV.Internet

16.50 WIB tanggal 24 April 2012.

http:depdagri.go.id%2Farticle-23-pelayanan-publik-good-governance-amp-aaupb-dalam-diskresi.html&ei=3, diakses pada tanggal 19 juli 2012.

www.kompolnas.go.id/ pada Hari Rabu 30 Mei Tahun 2012.

WIB Hari Rabu Tanggal 6 Juni 2012.


(5)

tanggal 23 April 2012.

http://www.ombudsman.go.id/index.php?option=com_content&view=article& id=83:ombudsman-dan-icw-terima-50-pengaduan-pungutan-pendaftaran-siswa-baru&catid=44:artikel&Itemid=7

Juli 2012.

2012.


(6)

tanggal 21 April 2012.

V.Wawancara

Wawancara dengan Kepala Seksi Penyidikan Bidang Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara.

Wawancara dengan Kepala Seksi Sosial dan Politik Bidang Intelijen Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara.

Wawancara dengan Jaksa FH yang bertugas di Bidang Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Medan.

Wawancara dengan Frengki Manurung yang bertugas di Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Negeri Medan.

Wawancara dengan Jaksa BS yang bertugas di Bidang Intelijen Kejaksaan Negeri Medan.

Wawancara dengan RA yang bertugas di Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Demak, Kejaksaan tinggi Jawa Tengah.