Hambatan dalam Penentuan Jumlah Pidana Uang Pengganti.

BAB IV HAMBATAN PENERAPAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK

PIDANA KORUPSI

A. Hambatan dalam Penentuan Jumlah Pidana Uang Pengganti.

Pidana pembayaran uang pengganti memiliki beberapa tujuan mulia. Akan tetapi kontras dengan beban mulia yang diembannya ternyata pengaturan mengenai pidana uang pengganti justru tidak jelas. Baik UU No 3 Tahun 1971 yang hanya mengatur mengenai uang pengganti dalam satu pasal yakni pasal 34 huruf c maupun Undang-undang penggantinya UU No 31 Tahun 1999 serta perubahannya UU No 20 tahun 2001 pada pasal 18. Minimnya pengaturan mengenai uang pengganti mengakibatkan munculnya berbagai masalah. Salah satunya adalah dalam menentukan berapa jumlah pidana uang pengganti yang dapat dikenakan kepada terdakwa. 127 Rumusan sederhana mengenai besarnya uang pengganti yaitu sebanyak banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari korupsi, maka dapat ditafsirkan besarnya uang pengganti dapat dihitung berdasarkan nilai harta si terdakwa yang diperoleh dari tindak pidana korupsi yang didakwakan. Maka untuk menentukan besarnya uang pengganti, pertama tama hakim harus secara cermat memilah milah bagian mana dari keseluruhan harta terdakwa yang berasal dari tindak pidana 127 Ade Paul Lukas, Efektifitas uang Pengganti dalam Tindak Pidana Korupsi Jakarta : Jurnal Dinamika Hukum, 2010, hal. 3 Universitas Sumatera Utara korupsi yang didakwakan kepadanya dan mana yang bukan. Setelah dilakukan pemilahan , hakim kemudian baru dapat melakukan perhitungan berapa besarnya uang pengganti yang akan dibebankan. 128 Prakteknya, dengan konsep ini hakim pasti akan menemui kesulitan dalam menentukan besaran uang pengganti. Pertama, hakim akan sulit memilah-milah mana aset yang berasal dari korupsi dan mana yang bukan, karena pada perkembangannya kompleksitas suatu tindak pidana korupsi semakin meningkat. Selain itu, untuk melakukan hal ini jelas butuh keahlian khsusus serta data dan informasi yang lengkap. Belum lagi kalau kita bicara soal waktu yang tentunya tidak sebentar, apalagi jika harta yang akan dihitung berada diluar negeri sehingga mmbutuhkan birokrasi diplomatik yang pasti akan rumit dan memakan waktu. Kedua, perhitugan besaran uang pengganti akan sulit dilakukan apabila aset terdakwa yang akan dinilai ternyata dikonversi dalam bentuk aset yang berdasarkan sifatnya mempunyai nilai fluktuatif, yang nilainya terus bertambah. 129 Ada dua model pembebanan yang selama ini diterapkan oleh hakim dalam memutus perkara korupsi yang berupa penyertaan. Model pertama adalah pembebanan tanggung renteng yang menentukan tiap-tiap dari mereka memiliki kewajiban untuk memenuhi hukuman tersebut. Dimana menurut konsep keperdataan, 128 Pasal 34 huruf c UU No. 31971 dan pasal 18 ayat 1 huruf b 129 Ibid hal. 20. Universitas Sumatera Utara apabila salah satu dari terdakwa telah melunasi sejumlah uang pengganti maka otomatis kewajiban terdakwa lain gugur secara otomatis. 130 Model kedua, pembebasan secara proporsional adalah pembebanan pidana uang pengganti dimana majelis hakim dalam amarnya secara definitif menentukan berapa besar beban masing-masing terdakwa. Penentuan jumlah uang pengganti tersebut didasarkan pada penafsiran hakim atas kontribusi masing-masing terdakwa dalam tindak pidana korupsi terkait. 131 Selanjutnya kelemahan lainnya adalah masalah penentuan kerugian negara. Hal yang menjadi polemik adalah mengenai kata “dapat” dalam pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagian kalangan berpendapat kata “dapat” dipandang sebagai potensi sehingga cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan, sedangkan kalangan lainya berpendapat kata “dapat” itu harus dibuktikan secara konkrit ada kerugian negara secara riil. Secara kongkrit ada beberapa prespektif hukum dalam melihat kerugian negara , yaitu: hukum administrasi negara, hukum perdata dan hukum pidana. Kerugian negara dari prespektif hukum administrasi negara ialah kekurangan uang, surat berharga dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. 132 130 Uang Pengganti : Eksekusi dan Masalah Tanggung Renteng , http:hukumonline.com detail.asp? id= 14214cl=Fokus 131 Michael Barama, Op.Cit hal. 22 132 Pasal 1 angka 22 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Pasal 15 UU No.15 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, Universitas Sumatera Utara Kerugian negara dari prespektif hukum perdata ialah berkurangnya kekayaan negara kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa uang, surat berharga atau saham, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negaraperusahaan daerah yang disebabkan oleh perbuatan yang melanggar norma. 133 Kerugian negara berdasarkan perspektif hukum pidana ialah suatu perbuatan yang menyimpang terhadap penggunaan dan pengelolaan keuangan negara sehingga dikualifikasikan sebagai perbuatan merugikan keuangan negara sebagai tindak pidana korupsi, dengan pemenuhan unsur; pertama, perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum, baik dalam pengertian formil maupun meteriil atau penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya; dan kedua, para pihak ada yang diperkaya dan diuntungkan, baik sipelaku sendiri, orang lain maupun korporasi Dalam praktek terjadi pemahaman yang tidak seragam diantara para penegak hukum criminal justice system dalam memahami kerugian negara tersebut. 134

B. Hambatan dalam Pembebanan uang Pengganti