Kemudian khusus untuk para remaja putri yang bersekolah, sindrom pramenstruasi dapat mengganggu kualitas kesehatan,
konsentrasi, prestasi, dan keaktifan kegiatan belajar di sekolah. Penelitian yang dilakukan oleh Delara dkk 2012 menunjukkan bahwa
siswi dengan gangguan pramenstruasi mengalami beberapa penurunan, seperti : kondisi mental, vitalitas, peran fisik, fungsi sosial, dan
kesehatan secara keseluruhan.
F. Faktor yang berhubungan dengan Sindrom Pramenstruasi
Secara umum diketahui bahwa ada beberapa faktor yang memiliki hubungan dengan sindrom pramenstruasi, yaitu faktor hormonal, faktor
kimiawi, faktor genetik, faktor psikologi, dan faktor gaya hidup Wiknjosastro, 2006.
a. Faktor Hormonal Hormon merupakan senyawa khas yang dihasilkan oleh organ
tubuh, yang bekerja dalam memacu fungsi organ tubuh tertentu sehingga akan terlihat hasilnya Sherwood, 2011. Dalam beberapa
literatur yang ada, dikatakan bahwa faktor hormon adalah faktor yang paling utama yang dapat menyebabkan sindrom pramenstruasi, yaitu
akibat adanya ketidakseimbangan kerja dari hormon estrogen dan progesteron Dickerson dkk, 2003. Teori lain menunjukkan bahwa
ternyata, adanya kelebihan estrogen atau defisit progesteron dalam fase luteal
dari siklus
menstruasi akan
menyebabkan sindrom
pramenstruasi. Kadar hormon estrogen dalam darah yang meningkat dapat menyebabkan gejala depresi dan beberapa gangguan mental.
Kadar estrogen yang meningkat ini akan mengganggu proses kimia tubuh termasuk vitamin B6 piridoksin yang dikenal sebagai vitamin
anti depresi karena berfungsi mengontrol produksi serotonin Wiknjosastro, 2006.
b. Faktor Kimiawi Faktor kimiawi juga berhubungan dengan kejadian sindrom
pramenstruasi. Zat kimia tertentu seperti serotonin dan endorfin dapat mengalami perubahan selama siklus menstruasi Wiknjosastro, 2006.
Serotonin merupakan suatu zat kimia yang diproduksi tubuh secara alami, yang dapat berguna untuk kualitas tidur yang normal. Hal ini
dikarenakan, zat ini sangat mempengaruhi suasana hati seseorang yang berhubungan dengan gejala depresi, kecemasan, ketertarikan,
kelelahan, perubahan pola makan, kesulitan untuk tidur, agresif dan peningkatan selera Lau, 2011.
Sedangkan endorfin merupakan senyawa kimia mirip opium yang dibuat di dalam tubuh yang terlibat dalam sensasi euphoria dan
persepsi nyeri. Endorfin dibebaskan selama olahraga berkepanjangan dan mungkin menimbulkan “runner’s high” rasa nikmat. Hormon ini
dapat turun kadarnya pada fase luteal dalam siklus menstruasi, karena itu pada fase luteal ini seorang wanita merasa kurang mood dan timbul
nyeri, seperti nyeri haid atau sakit kepala Wiknjosastro, 2006.
c. Faktor Genetik Faktor genetik dapat dilihat dari riwayat keluarga, dimana
sebuah penelitian menemukan bahwa ada hubungan secara signifikan antara riwayat keluarga dengan sindrom pramenstruasi Abdillah,
2010. Disamping itu, hasil penelitian Amjad, dkk 2014 juga menemukan bahwa terdapat hubungan antara riwayat ibu dan saudara
kandung perempuan dengan kejadian sindrom pramenstruasi. Dimana seseorang yang memiliki ibu danatau saudara kandung perempuan
yang mengalami sindrom pramenstruasi lebih banyak yang menderita sindrom pramenstruasi, dibandingkan dengan seseorang yang tidak
memiliki ibu danatau saudara kandung perempuan yang mengalami sindrom pramenstruasi Amjad dkk, 2014.
d. Stres Faktor
stres akan
memperberat gangguan
sindrom pramenstruasi. Hal ini sangat mempengaruhi kejiwaan dan koping
seseorang dalam
menyelesaikan masalah.
Stres merupakan
predisposisi pada timbulnya beberapa penyakit, sehingga diperlukan kondisi fisik dan mental yang baik untuk menghadapi dan mengatasi
serangan stres tersebut. Stres mungkin memainkan peran penting dalam tingkat kehebatan gejala sindrom pramenstruasi Maulana,
2008.