gay yang tidak bersifat keperempuan-perempuanan pada waktu kecil, dan tidak semua anak laki-laki yang keperempuan-perempuanan tumbuh menjadi gay.
3. Interaksi Kelompok Teman Sebaya
Berdasarkan catatan bahwa dorongan seksual seseorang mulai berkembang pada masa remaja, Storm 1981 berpendapat bahwa orang-orang yang tumbuh
lebih cepat mulai tertarik secara seksual sebelum mereka mengalami kontak yang signifikan dengan lawan jenis. Karena pacaran biasanya dimulai pada usia sekitar
15 tahun, anak laki-laki yang dewasa pada usia 12 tahun masih bermain dan berinteraksi secara umum dengan kelompok dari jenis kelamin yang sama,
sehingga kemungkinan perasaan erotis yang muncul berfokus pada anak laki-laki juga. Teori ini didukung oleh fakta bahwa homoseksual cenderung melaporkan
kontak seksual yang lebih cepat dibandingkan heteroseksual. Selain itu, dorongan seksual pria biasa muncul lebih cepat daripada wanita.
4. Teori Behavioris
Teori behavioral tentang homoseksual menganggap bahwa perilaku homoseksual adalah perilaku yang dipelajari, diakibatkan perilaku homoseksual
yang mendatangkan hadiah atau penguat yang menyenangkan atau pemberian hukuman atau penguat negatif terhadap perilaku heteroseksual. Sebagai contoh,
seseorang bisa saja memiliki hubungan dengan sesama jenis menyenangkan, dan berpasangan dengan lawan jenis adalah hal yang menakutkan, dalam fantasinya,
orang tersebut bisa saja berfokus pada hubungan sesama jenis, menguatkan kesenangannya dengan masturbasi. Bahkan pada masa dewasa, beberapa pria dan
wanita bergerak menuju perilaku dan hubungan sesama jenis jika mereka
Universitas Sumatera Utara
mengalami hubungan heteroseksual yang buruk dan hubungan homoseksual yang menyenangkan Masters Johnson, 1979, dalam Carroll, 2005.
5. Bahasa dalam Sub Kultur Kaum Homoseksual
Orang-orang yang memiliki latar belakang sosial budaya yang berbeda lazimnya berbicara dengan cara yang berbeda. Perbedaan ini boleh jadi
menyangkut dialek, intonasi maupun kosakata yang digunakan untuk berbicara. Bahasa adalah istitusi sosial yang dirancang, dimodifikasikan dan dikombinasi
untuk memenuhi kebutuhan kultur atau subkultur yang terus berubah. Karena bahasa dari budaya satu berbeda dari budaya lain dan sama pentingnya bahasa
dari suatu subkultur berbeda dari bahasa dari subkultur yang lain Montgomery, 1986 dalam Devito 1958; 157.
Terdapat dua pengelompokan bahasa. Yaitu bahasa verbal dan non verbal. Bahasa verbal bisa berupa penggunaan kata yang dsampaikan secara langsung.
Sedangkan bahasa non verbal itu berupa isyarat-isyarat kata yang dikeluarkan dari reaksi wajah, gerakan tubuh serta simbolsimbol yang dihasilkan dari panca indera
kita sendiri. Tidak ada struktur yang pasti, tetap, dan dapat diramalkan mengenai hubungan antara komunikasi verbal dan komunikasi non verbal. Keduanya dapat
berlangsung spontan bahkan serentak. Dalam pembahasan ini yang dimaksud subkultur adalah kelompok-
kelompok dalam sebuah kultur yang besar. Ini didasarkan atas wilayah geografis, pekerjaan, orientasi afeksi, guru, seniman, heteroseksual, homoseksual. Semuanya
dapat dipandang sebagai subkultur tergantung pada konteksnya. Karena minat yang sama merupakan subkultur munculnya kelompok-
kelompok, sub bahasa muncul. Istilah bahasa digunakan oleh kelompok
Universitas Sumatera Utara
subkultur tertentu yang didalam kulturnya lebih dominan. Ada beberapa jenis subbahasa yang banyak dikenal adalah argot, cost, jargon dan slang Sihabudin,
2011:77. Begitu juga dalam komunikasi antar budaya terdapat beberapa subkultur. Salah satunya antara lain bahasa “Argot”. Permasalahannya bahasa
yang digunakan sehari-hari oleh kaum homoseksual dalam berinteraksi sesama komunitasnya term
asuk dalam bagian bahasa “Argot”. Argot adalah kosakata khusus yang berkembang di kalangan dunia hitam.
Misalnya pencopet, pembunuh, germo dan pelacur. Sebuah subkultur yang dapat dikatakan menyimpang. Dalam bentuknya yang murni argot tidak dimengerti oleh
orang luar, tetapi karena sering diucapkan di film atau televisi, bahasa tersembunyi itu bisa dikenal. Contohnya mami germo wanita, pentongan istilah
waria untuk menyatakan alat kelamin laki-laki dan masih banyak argot lain yang berkembang di kalangan masyarakat seperti observasi penelitian Sihabudin,
2011:81. Bahasa gaul kaum homoseksual berdasarkan penelitian yang peneliti
lakukan menemukan sejumlah kata yang mereka gunakan, misalnya duta duituang, maharani mahal sapose siapa, kemandro chint kamu mau
kemana, lekong laki-laki, nekmakchintcun panggilan akrab untuk homoseksual, kelinci kecil, gedong besar, inang iya, rexona rokok, tinta
mawar tidak mau, cucox cakepkeren sekong gay,lesbong lesbi. Sebagian besar penggunaan bahasa gaul kaum homoseksual hampir sama
dengan penggunaan bahasa gaul kaum waria. Sehingga bahasa gaul yang digunakan kaum homoseksual dalam komunitasnya serta kaum waria sama -sama
memakai kosakata yang sama. Selain itu bahasa non verbal yang digunakan dalam
Universitas Sumatera Utara
menarik perhatian komunitas mereka di kota Serang lebih mengutamakan permainan mata. Walaupun di berbagai daerah memiliki tandasymbol tersendiri
bagi kaum homoseksual untuk berkenalan dengan orang lain. Namun bagi homoseksual yang ada dikota Serang lebih menekankan permainan bahasa tubuh
mereka. Homoseksualitas juga dapat didefenisikan sebagai orientasi atau pilihan
seks yang diarahkan pada orang atau ketertarikan dari jenis kelamin yang sama Oetomo, 2001:6. Dalam pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa di
Indonesia homoseksualitas dimasukan dalam kategori gangguan psikoseksual, dan disebut sebagai orientasi seksual egodistonik, yaitu “identitas jenis kelamin atau
preferensi seksual tidak diragukan, tetapi individu berharap yang lain disebabkan oleh gangguan psikologis dan perilaku serta mencari cara untuk mengubahnya”,
artinya homoseksualitas dianggap suatu kelainan hanya bila individu merasa tidak tenang dengan orientasi seksual dan bermaksud mengubahnya Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 1998:115. Teori yang digunakan dalam penelitian yaitu berhubungan dengan
Komunikasi Interaksi Simbolik yang berawal dari kedekatan rasional dan seterusnya kedekatan yang terjadi melalui proses bertahap pengungkapan diri
dengan menggunakan simbol-simbol yang telah di akui kebersamaan anata anggota komunitas dalam pengungkapan diri. Akhirnya mencapai proses tahap
dangkal sampai tahap intim. Teori interaksi simbolik menekankan pada hubungan antara symbol dan interaksi, serta inti dari pandangan pendekatan ini adalah
individu Soeprapto, 2007.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes 1993 dalam West-Turner 2008: 96, interaksi simbolik pada intinya menjelaskan tentang kerangka
referensi untuk memahami bagaimana manusia, bersama dengan orang lain, menciptakan dunia simbolik dan bagaimana cara dunia membentuk perilaku
manusia. Interaksi simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk makna yang berasal dari pikiran manusia Mind mengenai diri Self, dan hubungannya
di tengah interaksi sosial, dan tujuan bertujuan akhir untuk memediasi, serta menginterpretasi makna di tengah masyarakat Society dimana individu tersebut
menetap. Seperti yang dicatat oleh Douglas 1970 dalam Ardianto 2007: 136, Makna itu berasal dari interaksi, dan tidak ada cara lain untuk membentuk makna,
selain dengan membangun hubungan dengan individu lain melalui interaksi. Definisi singkat dari ke tiga ide dasar dari interaksi simbolik Ardianto,
Elvinaro dan Bambang Q-Anees, 2007, antara lain: 1. Pikiran Mind adalah kemampuan untuk menggunakan simbol yang
mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain.
2. Diri Self adalah kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori
interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri the-self dan dunia luarnya.
3. Masyarakat Society adalah jejaring hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat,
dan tiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih
Universitas Sumatera Utara
secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya.
Tiga tema konsep pemikiran George Herbert Mead yang mendasari interaksi simbolik antara lain:
1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia Tema pertama pada interaksi simbok berfokus pada pentingnya
membentuk makna bagi perilaku manusia, dimana dalam teori interaksi simbolik tidak bisa dilepaskan dari proses komunikasi, karena awalnya makna itu tidak ada
artinya, sampai pada akhirnya di konstruksi secara interpretif oleh individu melalui proses interaksi, untuk menciptakan makna yang dapat disepakati secara
bersama. 2. Pentingnya konsep mengenai diri
Tema kedua pada interaksi simbolik berfokus pada pentingnya ”Konsep diri” atau ”Self-Concept”. Dimana, pada tema interaksi simbolik ini menekankan
pada pengembangan konsep diri melalui individu tersebut secara aktif, didasarkan pada interaksi sosial dengan orang lainnya.
3. Hubungan antara individu dengan masyarakat. Tema terakhir pada interaksi simbolik berkaitan dengan hubungan antara
kebebasan individu dan masyarakat, dimana asumsi ini mengakui bahwa norma- norma sosial membatasi perilaku tiap individunya, tapi pada akhirnya tiap
individu-lah yang menentukan pilihan yang ada dalam social kemasyarakatannya. Penelitian ini mengacu pada teori pendukung pertukaran social social
exchange yaitu model yang digunakan untuk menganalisis hubungan antarpersonal interpersonal communication Teori Pertukaran Sosial dari
Universitas Sumatera Utara
Thibault dan Kelley ini menganggap bahwa bentuk dasar dari hubungan sosial adalah sebagai suatu transaksi dagang, dimana orang berhubungan dengan orang
lain karena mengharapkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhannya. Teori ini memandang hubungan interpersonal sebagai suatu transaksi dagang. Orang
berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. Thibaut dan Kelley, pemuka utama dari teori ini menyimpulkan
teori ini sebagai berikut: “Asumsi dasar yang mendasari seluruh analisis kami
adalah bahwa setiap individu secara sukarela memasuki dan tinggal dalam hubungan sosial hanya selama hubungan tersebut cukup memuaskan ditinjau dari
segi ganjaran dan biaya”. 2.2.3. Pendekatan Sosiologi
Pendekatan sosiologis mencoba menjelaskan bagaimana dorongan sosial menghasilkan homoseksualitas di dalam masyarakat. Konsep-konsep seperti
homoseksualitas, biseksualitas, heteroseksualitas adalah produk dari imajinasi masyarakat dan tergantung pada bagaimana kita sebagai masyarakat
mendefenisikan sesuatu hal. Dengan kata lain, kita mempelajari cara berpikir budaya kita dan mengaplikasikannya pada diri kita Carroll, 2005.
P enggunaan istilah ”homoseksual” yang mengacu pada perilaku sesama
jenis berkembang setelah Revolusi Industri yang membebaskan orang – orang
secara ekonomi sehingga memberikan kesempatan untuk memilih gaya hidup yang baru di perkotaan Adam, 1987. Oleh karena itu, pendapat bahwa apakah
seseorang ”homoseksual” atau ”heteroseksual” bukanlah fakta biologis tetapi
hanya cara berpikir yang berubah seiring dengan keadaan sosial.
Universitas Sumatera Utara
2.2.4. Pendekatan Interaksional : Biologi dan Sosiologi