Religiusitas pada Gay (Studi Fenomenologis pada Gay yang Beragama Islam)

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan

Ujian Sarjana Psikologi

Oleh :

ARIANSYAH

111301063

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul “Religiusitas pada Gay (Studi Fenomenologis

pada Gay yang Beragama Islam)” adalah hasil karya sendiri dan belum pernah

diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun. Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, 25 Mei 2015

Ariansyah NIM. 111301063


(4)

iii

ABSTRAK

Gay masih menjadi hal kontroversial dan dipandang negatif di dalam masyarakat Indonesia. Sebagian besar menganggap bahwa tidak mungkin seorang gay memiliki religiusitas. Namun kenyataannya kaum gay juga memiliki religiusitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana religiusitas yang dimiliki oleh seorang gay. Selain untuk mengetahui religiusitas, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui faktor yang menyebabkan partisipan menjadi gay. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif fenomenologis. Partisipan di dalam penelitian ini berjumlah 3 orang. Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara. Analisis data dilakukan dengan reduksi data, penyajian data, dan menarik kesimpulan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor yang menyebabkan para partisipan menjadi gay adalah pengalaman gay di masa lalu (Partisipan pertama dan kedua) dan herediter (Partisipan ketiga). Dalam hal religiusitas, ketiganya memiliki perbedaan dalam hal keyakinan, peribadatan, pengamalan, pengalaman, dan pengetahuan. Secara umum, keadaan mereka sebagai seorang gay tidak mempengaruhi keimanan dan menganggap bahwa dengan mendekatkan diri kepada Allah maka bisa menghindarkan mereka dari perbuatan negatif. Dan semua partisipan tidak memiliki keinginan untuk menjauh dari agama meskipun tahu bahwa gay menjadi hal yang dipermasalahkan dalam agama Islam.


(5)

ABSTRACT

Gay still be controversial and viewed negatively in Indonesian society. Most assume that it is impossible for gay to have religiosity. But in the reality, gays also have religiosity. This study aims to determine how the religiosity that is owned by a gay. In addition to knowing religiosity, this study also aims to determine the factors that led to participants being gay. This study used a qualitative phenomenological method. Participants in this study consists of 3 people. Methods of data collection is done with interviews. Data analysis was performed with data reduction, data presentation, and draw conclusions. These results indicate that the factors that caused the participants being gay is gay experience in the past (the first and second participant) and hereditary (third participant). In terms of religiosity, all of them have a different, includes belief, worship, practice, experience, and knowledge. In general , their situation as a gay does not affect the faith and assume that if they get closer to God then it could avoid them from the negative actions. And all of the participants did not have the desire to move away from religion despite knowing that gay becomes an issue in Islam


(6)

v

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Alah SWT, Tuhan Yang maha Esa, karena berkat rahmat-Nya peneliti dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Religiusitas pada Gay (Studi Fenomenologis pada Gay yang Beragama Islam)” yang merupakan salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan

ujian sarjana Psikologi di Fakultas Psikologis Universitas Sumatera Utara Medan. Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada Orang tua tercinta Ayahanda Syahputra Syah dan Ibunda Nurmasiah yang telah memberikan dorongan semangat sehingga peneliti bisa tetap bersemangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

Peneliti juga menyampaikann terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini, yaitu :

1. Prof. Dr. Irmawati, psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Josetta Maria R. Tuapattinaja, M.Si, psikolog selaku dosen pembimbing yang telah sabar dalam membimbing peneliti dan atas waktu yang telah diluangkan untuk memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan skripsi ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan kasih sayang dan nikmat-Nya kepada Ibu, Amin.

3. Ibu Indri Kemala Nasution, M.Psi, psikolog sebagai dosen pembimbing akademik. Terimakasih atas nasehat dan bimbingan yang Ibu berikan selam peneliti berkuliah di Fakultas Psikologi USU.


(7)

4. Terimakasih kepada Bapak Ari Widiyanta, M.Si, psikolog dan Kak Juliana Irmayanti Saragih, M.Psi selaku dosen penguji. Terima kasih karena telah bersedia meluangkan waktunya untuk menguji dan memberikan saran yang sangat berarti demi penyempurnanna skripsi ini. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan kasih sayang dan nikmat-Nya yang tidak terhingga.

5. Bapak dan Ibu dosen staf pengajar di Fakultas Psikologi USU yang telah memberikan ilmunya. Semoga ilmu tersebut menjadi amalan yang pahalanya tidak terputus, amin. Dan semoga peneliti bisa memanfaatkan ilmu tersebut dengan sebaik-baiknya untuk kebaikan, amin.

6. Seluruh staf pegawai Fakultas Psikologi USU yang telah memberikan banyak bantuan kepada peneliti khususnya dalam hal administrasi.

7. Para partisipan yang terlibat di dalam penelitian ini, yaitu Rudi, Hadi,dan Willy. Terima kasih telah berpartisipasi, dan atas waktu yang telah diluangkan selama ini. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan nikmat dan rahmat-Nya yang tidak terhingga.

8. Para alumni yang sudah memberikan ilmunya sehingga mempermudah pengerjaan skripsi ini, yaitu Bang Reza dan Kak Mila.

9. Adik-adik tersayang Indah dan Rizki yang telah memberikan dorongan semangat sehingga peneliti bisa tetap bersemangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

10.Kepada para sahabat yang selalu setia selama ini Habibie, Roni, dan Kikin. Terima kasih atas kasih sayang yang kita bagi bersama selama ini. Dan


(8)

vii

atas bantuan-bantuan yang telah kalian berikan selama berkuliah. Terima kasih telah memberikan warna dalam kehidupan perkuliahan peneliti. Semoga persahabatan kita akan terus berlanjut, amin.

11.Kepada adik-adik angkatan yaitu Ari, Fahmi, Faruq, Arif, dan Fauzi yang juga telah banyak memberikan bantuan kepada peneliti selama ini.

12.Kepada teman-teman angkatan 2011, khususnya Yanade, Okta, Dinda, Defi, Firman, Bagus dkk. Terima kasih atas kenangan yang tidak akan terlupakan ini.

Akhir kata dengan segala kerendahan hati peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. oleh karena itu kritik dan saran yang membangun menjadi hal yang peneliti harapkan. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi peneliti khususnya dan umumnya bagi pembaca serta peneliti selanjutnya.

Medan, 27 Juli 2015 Peneliti,

Ariansyah 111301063


(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Pertanyaan Penelitian ... 12

1.3. Tujuan Penelitian ... 12

1.4. Manfaat Penelitian ... 12

1.4.1.Manfaat Teoritis ... 12

1.4.2. Manfaat Praktis ... 13

1.5. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 15

2.1. Religiusitas ... 15

2.1.1. Pengertian Religiusitas ... 15

2.1.2. Dimensi Religiusitas ... 15

2.1.3. Religiusitas dalam Islam ... 17

2.2. Gay ... 19

2.2.1. Pengertian Gay ... 19

2.2.2. Faktor yang dapat menyebabkan individu menjadi gay ... 20


(10)

ix

2.3. Paradigma Teoritis ... 25

2.4. Kerangka Teoritis ... 26

BAB III METODE PENELITIAN ... 27

3.1. Jenis Penelitian ... 27

3.2. Subjek Penelitian ... 28

3.2.1. Karakteristik Subjek ... 28

3.2.2. Jumlah subjek peneltian ... 28

3.3. Teknik Pengambilan Subjek ... 30

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 31

3.5. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 31

3.6. Prosedur Penelitian ... 32

3.6.1. Tahap Persiapan Penelitian ... 32

3.6.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 33

3.6.3. Tahap Setelah Penelitian ... 33

3.7. Metode Analisa Data ... 34

BAB IV DESKRIPSI DATA DAN PEMBAHASAN ... 36

A. Deskripsi Data ... 36

1. Partisipan I ... 36

1.1.Deskripsi Data Partisipan I ... 36

1.1.1. Sekilas Kehidupan Rudi ... 36

1.1.2. Sekilas Gambaran Kehidupan Rudi Sebagai Gay ... 38


(11)

1.1.4. Religiusitas Rudi di Awal Menyadari Sebagai Gay ... 50

1.1.5. Religiusitas Rudi Saat ini Sebagai Gay ... 54

1.1.6. Rangkuman Religiusitas Rudi ... 67

2. Partisipan II ... 76

2.1.Deskripsi Data Partisipan II ... 76

2.1.1. Sekilas Kehidupan Hadi ... 76

2.1.2. Gambaran Kehidupan Hadi Sebagai Gay ... 79

2.1.3. Religiusitas Hadi Sebelum Menyadari Sebagai Gay ... 84

2.1.4. Religiusitas Hadi di Awal Menyadari Sebagai Gay ... 91

2.1.5. Religiusitas Hadi Saat ini Sebagai Gay ... 99

2.1.6. Rangkuman Religiusitas Hadi ... 108

3. Partisipan III ... 122

3.1.Deskripsi Data Partisipan III ... 122

3.1.1. Sekilas Kehidupan Willy ... 122

3.1.2. Gambaran Kehidupan Willy Sebagai Gay ... 125

3.1.3. Religiusitas Willy Sebelum Menyadari Sebagai Gay ... 128

3.1.4. Religiusitas Willy di Awal Menyadari Sebagai Gay ... 134

3.1.5. Religiusitas Willy Saat ini Sebagai Gay ... 139

3.1.6. Rangkuman Religiusitas Willy ... 148

B. Pembahasan ... 161

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 174

A. Kesimpulan... 174


(12)

xi

1. Saran Praktis ... 181

2. Saran Penelitian Selanjutnya ... 173

DAFTAR PUSTAKA ... 183


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

A. Pedoman Wawancara ... 186 B. Informed Consent ... 189


(14)

iii

ABSTRAK

Gay masih menjadi hal kontroversial dan dipandang negatif di dalam masyarakat Indonesia. Sebagian besar menganggap bahwa tidak mungkin seorang gay memiliki religiusitas. Namun kenyataannya kaum gay juga memiliki religiusitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana religiusitas yang dimiliki oleh seorang gay. Selain untuk mengetahui religiusitas, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui faktor yang menyebabkan partisipan menjadi gay. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif fenomenologis. Partisipan di dalam penelitian ini berjumlah 3 orang. Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara. Analisis data dilakukan dengan reduksi data, penyajian data, dan menarik kesimpulan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor yang menyebabkan para partisipan menjadi gay adalah pengalaman gay di masa lalu (Partisipan pertama dan kedua) dan herediter (Partisipan ketiga). Dalam hal religiusitas, ketiganya memiliki perbedaan dalam hal keyakinan, peribadatan, pengamalan, pengalaman, dan pengetahuan. Secara umum, keadaan mereka sebagai seorang gay tidak mempengaruhi keimanan dan menganggap bahwa dengan mendekatkan diri kepada Allah maka bisa menghindarkan mereka dari perbuatan negatif. Dan semua partisipan tidak memiliki keinginan untuk menjauh dari agama meskipun tahu bahwa gay menjadi hal yang dipermasalahkan dalam agama Islam.


(15)

ABSTRACT

Gay still be controversial and viewed negatively in Indonesian society. Most assume that it is impossible for gay to have religiosity. But in the reality, gays also have religiosity. This study aims to determine how the religiosity that is owned by a gay. In addition to knowing religiosity, this study also aims to determine the factors that led to participants being gay. This study used a qualitative phenomenological method. Participants in this study consists of 3 people. Methods of data collection is done with interviews. Data analysis was performed with data reduction, data presentation, and draw conclusions. These results indicate that the factors that caused the participants being gay is gay experience in the past (the first and second participant) and hereditary (third participant). In terms of religiosity, all of them have a different, includes belief, worship, practice, experience, and knowledge. In general , their situation as a gay does not affect the faith and assume that if they get closer to God then it could avoid them from the negative actions. And all of the participants did not have the desire to move away from religion despite knowing that gay becomes an issue in Islam


(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Fase usia dewasa awal merupakan fase yang menugaskan seorang individu untuk memilih seorang pasangan yang nantinya akan dibawa ke jenjang hubungan yang lebih intim yaitu pernikahan Havighurst ( dalam Hurlock, 2004). Seorang pria umumnya akan mencari pasangan yang berjenis kelamin berbeda dengan dirinya, yaitu wanita. Namun, kenyataannya ada pria yang mencari pasangan yang berjenis kelamin sama dengan dirinya, inilah yang disebut dengan gay. Hal ini sejalan dengan definisi homoseksual menurut Dede Oetomo (2001), yaitu orang-orang yang orientasi atau pilihan seksnya diwujudkan ataupun tidak, diarahkan pada sesama jenis kelaminnya. Awalnya gay dianggap sebagai sebuah gangguan mental , seperti yang tercantum pada buku acuan DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder) edisi pertama yang diterbitkan pada tahun 1952 menggolongkan gay ke dalam gangguan kepribadian sosiopathik, yaitu kepribadian yang menyimpang dari norma-norma sosial dan perlu diperbaiki. Edisi DSM-II, diterbitkan tahun 1968, menghapus gay dari golongan gangguan sosiopathik, dan sebagai gantinya, dipindahkan ke dalam golongan

Sexual Deviation, yaitu dianggap sebagai sebuah penyimpangan seks. Selanjutnya

pada DSM-III yang diterbitkan tahun 1973, terjadi perubahan pandangan terhadap homoseksual, yaitu gay dianggap sebagai gangguan hanya jika orang tersebut merasa terganggu dengan orientasinya. Fenomena gay pada akhirnya benar-benar


(17)

dihapuskan dari daftar gangguan mental, yaitu sejak revisi DSM III diterbitkan, setelah para komite DSM meninjau ulang dan mendapatkan kesimpulan bahwa perasaan terganggu yang muncul pada diri seorang gay ketika ia pertama kali menyadari bahwa ia adalah seorang gay merupakan hal yang wajar atau normal. Dengan kata lain perasaan terganggu pada diri gay itu merupakan hal yang wajar dan bukan gangguan. Oleh karena itulah sejak diterbitkannya edisi ini, dalam dunia psikologi, gay tidak lagi dianggap sebagai sebuah gangguan mental.

Keadaan diri sebagai seorang gay pada fase dewasa awal ini, tentunya sudah melewati sebuah proses pengambilan keputusan. Proses pengambilan keputusan menjadi seorang gay yang terjadi pada seorang individu dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu internal dan juga eksternal. Penelitian yang dilakukan oleh Sigit Cahyo Nugroho, Dra. Siswati, M.Si, dan Dra. Hastaning Sakti, M.Kes yang berjudul Pengambilan Keputusan Menjadi Homoseksual pada Laki-Laki Usia Dewasa Awal mendapatkan hasil bahwa pada awalnya, seorang individu gay itu belum memiliki pengetahuan yang benar tentang orientasi seksualnya. Ia hanya mengikuti perasaannya dan juga menikmati sensasi ketertarikan yang timbul pada dirinya terhadap sesama jenis, namun ia belum memikiran konsekuensi lanjutan dari hal tersebut. Perasaan berupa ketertarikan yang awalnya hanya dipendam akan diwujudkan dalam bentuk komitmen menjalin hubungan. Ketertarikan secara fisik maupun seksual, akan berlanjut menjadi keinginan untuk menjalin hubungan secara intim. Hubungan ini yang kemudian akan menentukan seorang individu akan meneruskan orientasi seksualnya sebagai gay atau mengubah orientasi seksualnya menjadi heteroseksual. Individu yang merasakan adanya kepuasan dan


(18)

3

terpenuhinya kebutuhan seksual maupun kebutuhan emosional dalam hubungan sejenis cenderung akan semakin memantapkan identitas seksualnya sebagai seorang gay. di samping itu, dari segi eksternal, dukungan dari lingkungan juga bisa memberikan penguatan bagi seorang gay. Adanya imbalan positif dari lingkungan berupa adanya dukungan dari pasangan, komunitas sesama gay, dan material yang didapat dari pasangan, serta dukungan informasi dari peer membuat seorang gay itu menjadi merasa semakin menikmatiorientasi seksualnya.

Seorang gay yang beragama pada dasarnya juga memiliki religiusitas. Mangunwijaya (1986) mendeskripsikan religiusitas sebagai sebuah penghayatan aspek di dalam hati, getaran hati nurani pribadi, dan sikap personal yang terjadi pada diri individu. Sedangkan menurut Glock & Stark (dalam Dister, 1988) religiusitas merupakan terjadinya internalisasi agama ke dalam diri seseorang sebagai wujud dari sikap keberagamaan. Dari kedua definisi tersebut dapat dikatakan bahwa religiusitas merupakan sebuah penghayatan dan internalisasi agama ke dalam hati nurani dan sikap personal. Dan berdasarkan definisi tersebut, dapat dikatakan pula bahwa religiusitas memang dimiliki oleh setiap orang yang memiliki agama, termasuklah seorang gay.

Kutipan wawancara berikut ini menunjukkan bahwa seorang gay juga memiliki religiusitas :

“ Aku sholat loh, puasa juga, pokoknya aku masih takut sama Allah”

(Komunikasi personal, 10 Januari 2014)

“... dan yang paling terakhir tapi paling penting. Agama. Ini yang bikin

aku super galau. “


(19)

Pernyataan-pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pada diri seorang gay tersebut terkandung dimensi-dimensi religiusitas, yaitu dimensi keyakinan (ideologis), dimensi praktek agama (ritualistik), dimensi pengalaman (eksperiensial), dimensi pengamalan (konsekuensial), dan dimensi pengetahuan agama (intelektual). Ia yakin akan adanya Tuhan, menjalankan ibadah, memiliki perasaan dekat kepada Tuhan, memahami konsekuensi jika tidak menaati perintah Tuhan, dan ia juga memiliki pengetahuan agama, yaitu tentang adanya larangan terhadap perilaku hubungan seksual sesama jenis. Dimensi-dimensi ini kemudian saling berhubungan untuk membangun suatu konsep religiusitas pada diri seorang gay.

Sebuah thread yang ada di forum gay gayindonesia.net juga menunjukkan bahwa seorang gay juga memiliki religiusitas. Thread yang dikirim oleh akun bernama doel tersebut berjudul Berbagi dan Berbuka Puasa Bersama di Panti Asuhan. Thread tersebut berisikan pengumuman yang berupa undangan untuk menghadiri acara buka puasa bersama sekaligus memberikan santunan kepada anak yatim yang ada di sebuah panti asuhan. Di dalam thread itu juga terdapat nomor rekening yang bisa digunakan bagi para gay yang ingin memberikan infaq untuk kemudian disalurkan kepada panti asuhan yang dituju. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun mereka gay, namun mereka juga mengamalkan nilai-nilai kebaikan yang diperintahkan oleh Tuhan.

Penelitian yang dilakukan oleh Dzulkarnain (2011) juga mendukung pernyataan bahwa seorang gay memiliki religiusitas. Penelitian yang ia lakukan


(20)

5

berjudul Perilaku Homoseksual di Pondok Pesantren, dan hasilnya menunjukkan bahwa di dunia pesantren juga ditemukan fenomena gay, namun hal tersebut tentu tidak bisa digeneralisasikan pada semua pesantren. Peneliti menemukan bahwa diantara para santri ada yang merupakan seorang gay dan jumlahnya juga tidak sedikit. Di satu sisi, para santri yang gay menjalankan kegiatan pesantren yang sangat bernuansa agama, namun di sisi lain para santri yang gay tersebut juga melakukan hubungan seksual sesama jenis. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Trubus Raharjo dengan judul Dorongan Seksual dan Kecenderungan Perilaku Homoseksual pada Santri Remaja di Pesantren juga menunjukkan bukti bahwa fenomena gay juga terjadi di dunia pesantren. Hasil dari penelitian tersebut mengatakan bahwa ada hubungan antara dorongan seksual dengan kecenderungan perilaku homoseksual pada santri remaja di pesantren. Kutipan wawancara dan penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada diri seorang gay yang beragama terdapat religiusitas.

Membahas religiusitas artinya juga membahas tentang agama. Karena sesuai dengan definisi religiusitas, yaitu internalisasi agama ke dalam diri seseorang (Glock & Stark, dalam Dister 1988). Salah satu agama yang melarang praktek perilaku seksual kaum gay adalah agama Islam. Agama Islam merupakan agama yang memberikan detil larangan dan bentuk hukuman terhadap perilaku seksual kaum gay, yaitu melalui ayat Al-Qur’an dan hadist Nabi Muhammad SAW. Larangan yang terdapat dalam Al-Qur’an, yaitu :


(21)

“ Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika dia Berkata kepada kaumnya:

“Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu sedang kamu

memperlihatkan(nya), Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk

(memenuhi) nafsu (mu), bukan (mendatangi) wanita? Sebenarnya kamu

adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu). Maka tidak

lain jawaban kaumnya melainkan mengatakan: “Usirlah Luth beserta

keluarganya dari negerimu; Karena Sesungguhnya mereka itu

orang-orang yang (menda’wakan dirinya) bersih”. Maka kami selamatkan dia

beserta keluarganya, kecuali isterinya. Kami telah mentakdirkan dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan kami turunkan hujan atas mereka (hujan batu), Maka amat buruklah hujan yang ditimpakanatas orang-orang yang diberi peringatan itu”

(Q.S Naml: 54-58)

“ Mengapa kamu mengerjakan perbuatan keji (homoseks) itu, yang belum

pernah dikerjakan oleh seorang pun sebelum kamu “

(Q.S Al-A’raf : 8)

“Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu

yang di atas ke bawah (dibalikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tidak jauh dari orang-orang zalim”

(Q.S Hud : 82-83) Hukuman terhadap perbuatan seksual kaum gay juga sudah ditetapkan dalam agama Islam meskipun masih ada perbedaan pendapat tentang bentuk hukumannya. Sabiq (1981) menjelaskan bahwa para ulama fiqh berbeda pendapat tentang hukuman bagi pelaku hubungan seksual sesama jenis. Ada tiga pendapat, yaitu dibunuh secara mutlak, dihad sebagaimana had zina. Bila pelakunya belum menikah, ia harus didera, bila pelakunya muhsan ia harus dihukum rajam, dan yang terakhir dikenakan hukuman ta’zir. Pendapat pertama dikemukakan oleh sahabat Rasul, Nashir, Qasim bin Ibrahim, dan Imam Syafi‟i (dalam suatu pendapat) mereka menyatakan bahwa para pelaku hubungan seksual sesama jenis


(22)

7

dikenakan hukum bunuh, baik ia seorang bikr (perjaka) atau muhsan (sudah menikah). Yang menjadi dasar hukumnya adalah hadis Rasulullah:

“ Dari Ikrimah, bahwa Ibn Abbas berkata, “Rasulullah saw. bersabda,

„Barangsiapa orang yang berbuat sebagaimana perbuatan kaum Nabi

Luth (homoseks), maka bunuhlah pelakunya dan yang diperlakukan”

Hadis ini dimuat pula dalam kitab al-Nail yang dikeluarkan oleh Hakim dan Baihaqi. Al-Hafizh mengatakan bahwa para rawi hadis ini dapat dipercaya, akan tetapi hadisnya masih diperselisihkan kebenarannya. Malikiyah, Hanabilah dan Syafi‟iyah, berpendapat bahwa had bagi pelaku hubungan seksual sesama jenis adalah rajam dengan batu sampai mati, baik pelakunya seorang bikr (jejaka) maupun muhsan (orang yang telah menikah). Yang menjadi dasar pendapatnya adalah sabda Rasulullah SAW :

“Bunuhlah pelakunya dan pasangannya”.

Hadis ini juga dikeluarkan oleh Baihaqi dari Sa‟id Ibn Jabir, dan Mujahid dari Ibn Abbasr.a. bahwa ia ditanya tentang bikr yang melakukan hubungan seksual sesama jenis, maka ia menjawab bahwa hukumannya adalah rajam, berdasarkan hadis Rasulullah :

“ Bahwa had homoseks adalah rajam, baik pelakunya jejaka maupun orang yang telah menikah”.

Berdasarkan keterangan di atas, had yang dikenakan kepada pelaku hubungan seksual sesama jenis adalah hukum bunuh. Akan tetapi para sahabat Rasul berbeda pendapat dalam menetapkan cara membunuhnya.

Namun di sisi lain, sebenarnya ada beberapa pendapat tentang bagaimana Islam memandang kaum gay. Pandangan pertama adalah yang secara mutlak


(23)

mengatakan bahwa dengan menjadi gay saja itu artinya sudah merupakan perbuatan dosa. Pandangan yang kedua adalah yang menyatakan bahwa seorang gay belum tentu berdosa. Jika ia mampu menahan diri untuk tidak melanjutkan orientasinya ke dalam bentuk hubungan yang lebih jauh dengan sesama jenisnya dan jika ia mau dibimbing untuk tetap berada di jalan yang lurus, maka dia belum tentu berdosa bahkan hal tersebut bisa menjadi bentuk jihadnya di dunia ini, sehingga bisa saja di akhirat kelak kadar keimanannya menjadi lebih tinggi di sisi Allah SWT dibandingkan dengan pria heteroseksual namun jauh dari ketaatan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tom Boellstorff (2010), yaitu seorang professor di bidang Antropologi di Universitas Stanford dan Universitas California yang berjudul Antara Agama dan Hasrat : Muslim yang Gay di Indonesia. Penelitiannya dilakukan di beberapa kota di Indonesia, salah satunya untuk mengetahui bagaimana pemahaman masyarakat tentang bagaimana Islam dalam memandang gay. Dan hasilnya ada yang mengatakan bahwa gay sudah pasti berdosa. Namun ada pula seorang guru agama di sebuah pesantren yang mengisyaratkan bahwa seorang gay belum tentu berdosa selama ia tidak melakukan hubungan seksual sesama jenis.

Pandangan yang mengatakan bahwa seorang gay belum tentu berdosa selama ia mampu menahan dirinya untuk tidak melakukan perilaku seksual dengan sesama jenis juga diungkapkan oleh seorang ustad, beliau mengatakan seperti berikut ini :


(24)

9

“Jadi intinya, selama dia sanggup menahan dirinya untuk tidak

melakukan perilaku seksual dengan sesama laki-laki , maka dia tidak

berdosa, bahkan itu bisa jadi jihad dia di dunia ini “

(Komunikasi personal, 18 Mei 2015) Agama Islam juga merupakan agama sampai saat ini tidak mengizinkan adanya pernikahan sesama jenis di rumah ibadahnya. Selain itu, di dalam agama Islam juga terdapat perintah untuk memasuki agama secara menyeluruh, seperti yang terdapat dalam Al-Qur’an melalui ayat berikut ini :

“ Hai orang-orang yang beriman masuklah kamu ke dalam islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan.

Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”

(Q.S Al-Baqarah : 208) Maksud dari perintah tersebut adalah bahwa seseorang yang beragama Islam harus menjalankan setiap perintah dan menjauhkan diri dari larangan yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Jangan sampai memilih untuk hanya patuh pada beberapa perintah lantas melupakan perintah yang lainnya.

Keberadaan ayat yang melarang perilaku seksual sesama jenis, perintah untuk memasuki agama secara penuh, dan larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan tercela, serta adanya dorongan-dorongan untuk menyukai sesama jenis, menjadi dasar timbulnya masalah pada diri seorang gay yang beragama Islam berkaitan dengan religiusitas yang mereka miliki. Masalah yang muncul pada diri seorang gay yang beragama Islam berkaitan dengan religiusitas adalah adanya konflik antara nilai-nilai keagamaan yang sudah terinternalisasi dengan dorongan seksualnya yang mengarah kepada sesama jenis (Okdinata, 2009). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa perkembangan seksual mereka yang mengarah dan


(25)

cenderung menyukai sesama jenis membuat diri mereka mengalami konflik dengan nilai-nilai keagamaan yang sudah menjadi hati nurani dalam diri mereka.

Dilema memang merupakan suatu keadaan yang dialami oleh seorang gay yang beragama Islam. Disatu sisi, ia ingin tetap patuh kepada nilai-nilai dan peraturan-peraturan agama yang sudah ia hayati dan internalisasikan ke dalam hatinya, namun di sisi lain ia juga tidak bisa menghindar dari dorongan-dorongan dan hasrat kepada sesama jenisnya. Kutipan wawancara berikut ini menunjukkan kenyataan tersebut :

“ Agama. Ini yang bikin aku super galau. Setiap kali nyari di internet, selalu ada kata bunuh bunuh bunuh bunuh dalam islam. Hukumannya kelak juga serem. Banget. Kalo ini jelas masalah iman aku yang goyah, ga kuat,dan masih egois n diisi kebahagiaan duniawi doang. Soalnya aku belum bisa bener2 pergi dari sini.. Walaupun aku udah tau apa

konsekuensinya nanti... Itu aja sih paling masalah yang utama.”

(Komunikasi personal, 9 April 2014) Konflik atau pertentangan dan dilema antara hal yang baik dan buruk yang terjadi di dalam individu dapat disebut juga dengan konflik moral (Syaiful Hamali, 2013). Pada diri seorang gay, yang dimaksud dengan hal yang baik adalah keinginan untuk patuh terhadap nilai-nilai dan aturan agama, sedangkan yang dimaksud dengan hal buruk adalah dorongan atau hasrat yang ditujukan kepada sesama jenis.

Konflik moral yang terjadi pada diri seseorang dapat dianggap sebagai salah satu faktor yang menentukan sikap keagamaan (Syaiful Hamali, 2013). Berdasarkan pernyataan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa konflik internal atau moral yang dialami oleh seorang gay yaitu antara nilai-nilai dan peraturan


(26)

11

agama yang telah terinternalisasi dengan dorongan hasrat kepada sesama jenis dapat menentukan sikap keagamaan pada diri gay tersebut. Dengan kata lain, konflik internal atau moral ini pada akhirnya dapat berpengaruh terhadap religiusitas yang dimiliki oleh seorang gay.

Masalah lain yang menimbulkan ketertarikan adalah berkaitan dengan religiusitas yang dimiliki oleh kaum gay adalah adanya kontra terhadap keberadaan religiusitas pada diri gay itu sendiri, baik yang berasal dari diri si gay maupun yang berasal dari masyarakat. Yang berasal dari diri seorang gay adalah adanya keresahan apakah ibdahnya diterima tau tidak, seperti yang terlihat dari kutipan wawancara berikut ini :

“Sering kurang kushu karena berpikir „apa ibadah saya masih diterima’. Dan setelah sadar, saya berdoa lebih lama “

(Komunikasi personal, 10 januari 2014) Bentuk kontra yang berasal dari masyarakat adalah bahwa seorang gay mustahil memiliki religiusitas, seperti yang telihat dalam wawancara sebagai berikut :

“ Ha ? emang mereka punya religiusitas ? kan mereka gay , kayak mana pulak bisa punya religiusitas ?”

(Komunikasi personal, 9 maret 2015) “Kayaknya gak mungkinlah mereka punya religiusitas, kalo mereka punya religiusitas, gak mungkin mereka jadi gay”

(Komunikasi personal, 9 maret 2015) Pembicaraan singkat dengan beberapa orang tersebut menunjukkan bahwa kebanyakan masyarakat memiliki anggapan bahwa tidak mungkin seorang gay


(27)

memiliki religiusitas, karena jika mereka memiliki religiusitas tidak mungkin mereka menjadi gay. Padahal, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa religiusitas itu sebenarnya dimiliki oleh setiap orang yang beragama, termasuklah gay yang beragama Islam.

Keberadaan konflik internal atau moral yang pada akhirnya berpengaruh terhadap religiusitas yang dimiliki oleh seorang gay, dan adanya anggapan masyarakat bahwa tidak mungkin seorang gay memiliki religiusitas membuat peneliti tertarik untuk melihat bagaimanakah sebenarnya religiusitas yang dimiliki oleh kaum gay.

1.2Pertanyaan Penelitian

1.2.1 Bagaimana latar belakang pemilihan orientasi seksual seorang gay ? 1.2.2 Bagaimanakah religiusitas gay yang beragama Islam sebelum menyadari

sebagai gay, awal menyadari dirinya sebagai gay, dan saat ini menjalankan hidupnya sebagai gay ?

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah memperoleh pemahaman mengenai religiusitas pada masing-masing gay yang beragama Islam.

1.4. Manfaat Penelitian


(28)

13

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah menambah wacana berkaitan dengan gay dan religiusitasnya sehingga mendapatkan pemahaman yang komprehensif dan juga sebagai bahan referensi bagi para peneliti selanjutnya. 1.4.2. Manfaat Praktis

Bagi partisipan agar memahami bahwa religiusitas dapat mengendalikan diri dari perilaku seksual yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Bagi masyarakat, membuka mata masyarakat bahwa kaum gay itu ada dan juga merupakan bagian dari masyarakat dan bahwa tidak semua gay itu berkonotasi negatif sebab mereka pada dasarnya juga memiliki religiusitas.

1.5. Sistematika Penulisan

Penelitian ini akan dibagi dalam beberapa bab, dengan sistematika pembagian sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan

Bab ini berisi uraian tentang latar belakang masalah mengenai religiusitas yang dimiliki oleh seorang gay, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : Tinjauan Pustaka

Bab ini berisi uraian tentang teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori tentang gay, dan religiusitas.


(29)

BAB III : Metode Penelitian

Bab ini berisi penjelasan tentang alasan mengapa dipergunakannya pendekatan kualitatif, karakteristik responden penelitian, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas penelitian dan prosedur penelitian serta metode analisis data.

BAB IV : Deskripsi Data dan Pembahasan

Bab ini berisi deksripsi data dari hasil analisa data yang telah dilakukan dan berisi pembahasan terhadap data-data tersebut.

BAB V : Kesimpulan dan Saran


(30)

15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Religiusitas

2.1.1 Pengertian Religiusitas

Pengertian atau definisi dari setiap variabel penelitian tentunya akan berkembang dari tahun ke tahun, demikian pula dengan pengertian atau definisi dari religiusitas. Religiusitas menurut Mangunwijaya (1986) merupakan aspek yang telah dihayati oleh individu di dalam hati, getaran hati nurani pribadi dan sikap personal. Sedangkan menurut Glock & Stark (dalam Dister, 1988) religiusitas yaitu sikap keberagamaan yang berarti adanya unsur internalisasi agama ke dalam diri seseorang. Menurut Majid (1997) religiusitas adalah tingkah laku manusia yang sepenuhnya dibentuk oleh kepercayaan kepada kegaiban atau alam gaib, yaitu kenyataan-kenyataan supra-empiris.

Jadi, dalam penelitian ini, pengertian yang dipakai untuk memaknai religiusitas adalah sebagai suatu penghayatan dan internalisasi ajaran-ajaran agama ke dalam hati dan sikap personal.

2.1.2 Dimensi Religiusitas

Menurut Glock & Stark (dalam Ancok & Suroso, 1994), religiusitas memiliki lima dimensi, yaitu :

1. Dimensi keyakinan (ideologis), dimensi ini berkaitan dengan pengharapan-pengharapan, yaitu seseorang yang religius akan berpegang teguh kepada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran


(31)

doktrin-doktrin tersebut. Setiap agama memiliki seperangkat kepercayaan yang diharapkan ditaati oleh para penganutnya.

2. Dimensi praktek agama (ritualistik), dimensi ini berkaitan dengan perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan oleh seseorang untuk menunjukkan komitmennya terhadap agama yang ia anut.

3. Dimensi pengalaman (eksperiensial), dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengharapan tertentu, meski tidak tepat jika dikatakan bahwa seseorang yang beragama dengan baik pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan subjektif dan langsung mengenai kenyataan terakhir (kenyataan terakhir bahwa ia akan mencapai suatu kontak dengan kekuatan supranatural). Seperti yang telah dikatakan, dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi, dan sensasi-sensasi yang dialami seseorang atau didefinisikan oleh suatu kelompok keagamaan (atau suatu masyarakat) yang melihat komunikasi, walaupun kecil, dalam suatu esensi ketuhanan, yaitu dengan Tuhan, kenyataan terakhir, dengan otoritas transendental.

4. Dimensi pengetahuan agama (intelektual), dimensi ini berkaitan dengan harapan bahwa orang-orang yang beragama setidaknya memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi. Dimensi pengetahuan dan keyakinan jelas berkaitan satu sama lain, karena pengetahuan mengenai suatu keyakinan adalah syarat bagi penerimaannya. Walaupun demikian, keyakinan bisa


(32)

17

saja tidak diikuti oleh pengetahuan . Oleh karena itu, seseorang bisa saja memiliki keyakinan yang sangat kuat terhadap agamanya meski memiliki pengetahuan yang minim tentang agamanya tersebut.

5. Dimensi pengamalan (konsekuensial), konsekuensi komitmen beragama berbeda dari keempat dimensi lainnya. Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan , praktek, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari. Istilah ‘kerja’ dalam pengertian teologis digunakan di sini. Walaupun agama banyak menggariskan bagaimana pemeluknya seharusnya berpikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari, tidak sepenuhnya jelas sebatas mana konsekuensi-konsekuensi agama merupakan bagian dari komitmen keagamaan atau semata-mata berasal dari agama.

2.1.3 Religiusitas dalam Islam

Menurut Ancok & Suroso (1994), lima dimensi keberagamaan yang diungkapkan oleh Glock & Stark, jika diterjemahkan ke dalam sudut pandang Islam, maka hasilnya adalah sebagai berikut :

a. Dimensi keyakinan, bisa disebut juga akidah Islam menunjukkan bagaimana tingkat keyakinan seorang muslim terhadap kebenaran ajaran-ajaran agama Islam, terutama terhadap ajaran-ajaran-ajaran-ajaran yang bersifat fundamental dan dogmatik. Di dalam agama Islam, dimensi ini berkaitan dengan keimanan, yaitu menyangkut keyakinan tentang Allah Swt, para


(33)

malaikat, Nabi/Rasul, kitab-kitab Allah, surga dan neraka, serta qadha dan qadar.

b. Dimensi peribadatan (atau praktek agama) atau syariah menunjuk pada bagaimana tingkat kepatuhan seorang muslim dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual sebagaimana yang diperintahkan oleh agama. Dalam agama Islam, yang termasuk ke dalam dimensi ini adalah melaksanakan shalat, puasa, zakat, haji, membaca Al-Quran, berzikir, dll. c. Dimensi pengamalan atau akhlak, menunjukkan bagaimana tingkatan

seorang muslim dalam berperilaku dimotivasi oleh ajaran-ajaran agama Islam, yaitu bagaimana individu berelasi dengan dunianya terutama dengan manusia lain. Dalam kagama Islam, dimensi ini meliputi perilaku suka menolong, berkerjasama, berderma, menyejahterakan orang lain, menegakkan keadilan dan kebenaran, berlaku jujur, memaafkan, menjaga lingkungan hidup, menjaga amanat, tidak menipu, tidak mencuri, mematuhi norma-norma Islam dalam perilaku seksual, berjuang untuk hidup sukses menurut ukuran Islam, dan sebagainya.

d. Dimensi pengalaman / penghayatan, menunjuk pada bagimana tingkat seorang muslim dalam merasakan dan mengalami perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman religius. Dalam agama Islam, dimensi ini terwujud dalam perasaan dekat/akrab dengan Allah Swt, perasaan doa-doanya sering terkabul, perasaan tenteram bahagia karena menuhankan Allah Swt, perasaan bertawakkal (pasrah diri kepada Allah Swt), perasaan khusyuk ketika melaksanakan shalat atau berdoa, perasaan tergetar ketika


(34)

19

mendengar azan atau ayat-ayat Al-Qur’an, prasaan bersyukur kepada Allah Swt, perasaan mendapat peringatan dan pertolongan dari Allah Swt. e. Dimensi pengetahuan atau ilmu menunjuk pada bagaimana tingkat

pengetahuan dan pemahaman seorang muslim terhadap ajaran-ajaran agamanya, terutama mengenai ajaran-ajaran pokok dari agamanya. Dalam keberislaman, ini meliputi pengetahuan tentang isi Al-Quran, pokok-pokok ajaran yang harus diimani dan dilaksanakan (rukun Islam dan rukun Iman), hukum-hukum Islam, dan sebagainya.

2.2 Gay

2.2.1 Pengertian Gay

Gay adalah ketertarikan seksual yang dimiliki oleh pria terhadap jenis kelamin yang sama (Feldmen,1990). Selain itu, menurut Kendall dan Hammer (1998), gay bukanlah hanya kontak seksual antara seseorang pria dengan pria, tetapi juga menyangkut pria yang memiliki kecenderungan psikologis, emosional, dan sosial terhadap sesama pria.

Gay menurut Dede Oetomo (2001) merupakan orang-orang yang orientasi atau pilihan seks pokok atau dasarnya, entah diwujudkan ataupun tidak, diarahkan pada sesama jenis kelaminnya. Berdasarkan pengertian tersebut berarti ketertarikan yang muncul bisa secara emosional dan seksual.

Berdasarkan beberapa pengertian yang disebutkan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa gay adalah bentuk ketertarikan yang dimiliki oleh seorang


(35)

kepada pria, dan ketertarikan yang muncul tersebut semata-mata bukan hanya dalam hal perilaku seksual saja, melainkan juga yang masih berwujud emosional / belum dilanjutkan ke dalam bentuk perilaku.

2.2.2 Faktor yang Dapat Menyebabkan Individu Menjadi Gay

Menurut Kartono (1989) ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan individu menjadi seorang gay, yaitu :

a. Faktor herediter.

Akibat adanya ketidakseimbangan hormon-hormon seks selama masa kehamilan Ibu.

b. Lingkungan.

Ada pengaruh yang buruk dari lingkungan yang membahayakan kematangan seksual yang normal.

c. Pengalaman gay di masa lalu.

Seseorang bisa saja mencari kepuasan melalui hubungan gay karena ia telah pernah menghayati pengalaman gay yang menggairahkan di masa lalu.

d. Pengalaman traumatis.

Seorang anak laki-laki yang mempunyai pengalaman traumatis dengan ibunya bisa membuat timbulnya rasa kebencian atau antipati terhadap ibunya dan akhirnya digeneralisasikan kepada seluruh wanita sehingga muncul dorongan menjadi gay yang menetap.


(36)

21

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Iskandar Dzulkarnain (2011) , salah satu penyebab seseorang menjadi gay adalah karena situasi tempat tinggal yang mengharuskan mereka hidup terpisah dari pergaulan dengan wanita selama bertahun-tahun.

2.3 Pandangan Islam terhadap Gay Ditinjau dari Perilakunya

Berdasarkan observasi, pada kenyataannya, ternyata ada beberapa kondisi gay ditinjau dari bagaimana mereka menjalani kehidupan sebagai gay. Salah satunya adalah kondisi gay yang aktif dalam menjalankan kehidupannya sebagai gay, yaitu dengan menjalin hubungan dengan sesama jenis, mengajak dan memperbolehkan melakukan hubungan seksual sesama jenis. Di sisi lain, ternyata ada gay dengan kondisi yang berbeda, yaitu gay yang menganggap bahwa keadaannya sebagai gay merupakan cobaan yang harus dijalani, sehingga dalam kehidupannya ia tidak mau menjalin hubungan sesama jenis dan juga tidak mau melakukan hubungan seksual sesama jenis, serta berusaha agar tidak ada yang mengetahui orientasinya sebagai gay.

Kondisi yang pertama, yaitu gay yang mau menjalin hubungan dengan sesama jenis, dan melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis. Pandangan Islam terhadap kondisi ini adalah yang secara mutlak menganggap gay seperti itu berdosa. Hal tersebut berdasarkan ayat-ayat Al-Qu’ran sebagai berikut :


(37)

“ Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika dia Berkata kepada kaumnya:

“Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu sedang kamu

memperlihatkan(nya), Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk

(memenuhi) nafsu (mu), bukan (mendatangi) wanita? Sebenarnya kamu

adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu). Maka tidak

lain jawaban kaumnya melainkan mengatakan: “Usirlah Luth beserta

keluarganya dari negerimu; Karena Sesungguhnya mereka itu

orang-orang yang (menda’wakan dirinya) bersih”. Maka kami selamatkan dia

beserta keluarganya, kecuali isterinya. Kami telah mentakdirkan dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan kami turunkan hujan atas mereka (hujan batu), Maka amat buruklah hujan yang ditimpakanatas orang-orang yang diberi peringatan itu”

(Q.S Naml: 54-58)

“ Mengapa kamu mengerjakan perbuatan keji (homoseks) itu, yang belum

pernah dikerjakan oleh seorang pun sebelum kamu “

(Q.S Al-A’raf : 8)

“Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu

yang di atas ke bawah (dibalikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tidak jauh dari orang-orang zalim”

(Q.S Hud : 82-83)

Berdasarkan pandangan dari ayat Al-Qur’an tersebut,maka ditetapkanlah hukuman bagi para pelaku perilaku seksual gay, yaitu Sabiq (1981) menjelaskan bahwa para para ulama fiqh berbeda pendapat tentang hukuman bagi pelaku hubungan seksual sesama jenis. Ada tiga pendapat, yaitu dibunuh secara mutlak, dihad sebagaimana had zina. Bila pelakunya belum menikah, ia harus didera, bila pelakunya muhsan ia harus dihukum rajam, dan yang terakhir dikenakan hukuman

ta’zir. Pendapat pertama dikemukakan oleh sahabat Rasul, Nashir, Qasim bin Ibrahim, dan Imam Syafi‟i (dalam suatu pendapat) mereka menyatakan bahwa


(38)

23

para pelaku hubungan seksual sesama jenis dikenakan hukum bunuh, baik ia seorang bikr (perjaka) atau muhsan (sudah menikah). Yang menjadi dasar hukumnya adalah hadis Rasulullah:

“ Dari Ikrimah, bahwa Ibn Abbas berkata, “Rasulullah saw. bersabda,

„Barangsiapa orang yang berbuat sebagaimana perbuatan kaum Nabi

Luth (homoseks), maka bunuhlah pelakunya dan yang diperlakukan”

Hadis ini dimuat pula dalam kitab al-Nail yang dikeluarkan oleh Hakim dan Baihaqi. Al-Hafizh mengatakan bahwa para rawi hadis ini dapat dipercaya, akan tetapi hadisnya masih diperselisihkan kebenarannya. Malikiyah, Hanabilah dan Syafi‟iyah, berpendapat bahwa had bagi pelaku hubungan seksual sesama jenis adalah rajam dengan batu sampai mati, baik pelakunya seorang bikr (jejaka) maupun muhsan (orang yang telah menikah). Yang menjadi dasar pendapatnya adalah sabda Rasulullah SAW :

“Bunuhlah pelakunya dan pasangannya”.

Hadis ini juga dikeluarkan oleh Baihaqi dari Sa‟id Ibn Jabir, dan Mujahid dari Ibnu Abbasr.a. bahwa ia ditanya tentang bikr yang melakukan hubungan seksual sesama jenis, maka ia menjawab bahwa hukumannya adalah rajam, berdasarkan hadis Rasulullah :

“ Bahwa had homoseks adalah rajam, baik pelakunya jejaka maupun orang yang telah menikah”.

Berdasarkan keterangan di atas, had yang dikenakan kepada pelaku hubungan seksual sesama jenis adalah hukum bunuh. Akan tetapi para sahabat Rasul berbeda pendapat dalam menetapkan cara membunuhnya.


(39)

Pandangan Islam terhadap kondisi yang kedua, yaitu gay yang bersabar dengan orientasinya, tidak mau menjalin hubungan dengan sesama jenis, apalagi melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis, adalah gay tersebut belum tentu berdosa. Menurut seorang ustad yang diwawancarai oleh peneliti, Jika seorang gay mampu menahan diri untuk tidak melanjutkan orientasinya ke dalam bentuk hubungan yang lebih jauh dengan sesama jenisnya dan jika ia mau dibimbing untuk tetap berada di jalan yang lurus, maka dia belum tentu berdosa bahkan hal tersebut bisa menjadi bentuk jihadnya di dunia ini, sehingga bisa saja di akhirat kelak kadar keimanannya menjadi lebih tinggi di sisi Allah SWT dibandingkan dengan pria heteroseksual namun jauh dari ketaatan.

“Jadi intinya, selama dia sanggup menahan dirinya untuk tidak

melakukan perilaku seksual dengan sesama laki-laki , maka dia tidak

berdosa, bahkan itu bisa jadi jihad dia di dunia ini “


(40)

25

2.3. Paradigma Teoritis

Kurang dalam hal menjalankan perintah

agama, dan mau melakukan hal-hal yang dilarang oleh

agama Menjalankan erintah

agama dengan baik dan menjauhkan diri dari larangan Tuhan

Memiliki religiusitas yang kurang baik Memiliki religiusitas

yang baik Religiusitas

Peribadatan Pengamalan Pengalaman Pengetahuan Keyakinan Pengabulan doa, perasaan kedekatan dengan Allah, dll Keyakinan kepada Allah ,

Al-Qur’an, Malaikat, rasul, hari kiamat, takdir Pokok-pokok ajaran agama Menolong orang lain, jujur, memegang amanah, dll Shalat, puasa, membaca Al-Qur’an, dll Kurang memiliki pengetahuan agama Kurang merasakan kedekatan dengan Allah Kurang mengamalkan ajaran agama Ibadahnya masih kurang Merasa kurang yakin Gay


(41)

2.4. Kerangka Teoritis

Religiusitas Remaja Awal

Memilih pasangan untuk dibawa ke jenjang hubungan yang lebih intim Dimiliki oleh

orang yang beragama

Kenyataannya ada yang dengan sesama jenis Seharusnya dengan

lawan jenis

Terjadi konflik antara keinginan untuk patuh terhadap nilai-nilai dan aturan agama dengan dorongan atau hasrat yang ditujukan kepada

sesama jenis Masyarakat

menganggap gay tidak memiliki

religiusitas

Mempengaruhi religiusitas

Jadi bagaimanakah sebenarnya religiusitas

yang dimiliki oleh seorang gay ?


(42)

27

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran secara mendalam mengenai religiusitas pada gay yang beragama Islam. Untuk mendapatkan hasil dari penelitian ini, diperlukan adanya prosedur yang relevan dengan permasalahan yang akan diteliti. Berdasarkan tujuan dari penelitian tersebut maka metodologi penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut:

3.1 Jenis Penelitian

Peneliti bermaksud ingin mengetahui gambaran yang mendalam tentang religiusitas pada gay. Oleh karena itu, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Alasan penggunaan metode kualitatif adalah karena metode penelitian kualitatif itu merupakan metode penelitian yang membuat peneliti dapat memperoleh pemahaman utuh dan terintegrasi mengenai interrelasi berbagai fakta dan dimensi dari kasus khusus tersebut. (Poerwandari, 2007). Jenis penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah fenomenologis. Penelitian fenomenologis adalah penelitian yang menekankan pada pengalaman manusia dan bagaimana pengalaman tersebut diinterpretasi olehnya (Moleong, 2007).


(43)

3.2 Subjek Penelitian

3.2.1 Karakteristik Subjek

Pemilihan subjek untuk penelitian ini didasarkan pada karekteristik tertentu, yaiu :

1. Seorang pria yang telah mengidentifikasi bahwa dirinya seorang gay. 2. Menganut agama Islam.

3.2.2 Jumlah Subjek Penelitian

Penelitian ini melibatkan 3 (tiga) partisipan yang telah sesuai dengan karakteristik yang telah ditentukan sebelumnya. Jumlah subjek yang sedikit ini sesuai dengan ciri penelitian kualitatif yang tidak menekankan kuantitas, melainkan pada kualitas. Selain itu juga karena fenomena yang diangkat juga cukup spesifik. Hal tersebut sama seperti yang ciri penelitian kualitatif yang diungkapkan oleh Saratakos dalam (Poerwandari, 2007), yaitu (a) tidak diarahkan sampel yang berjumlah besar, melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai yang sesuai dengan kekhususan masalah penelitian, (b) penentuannya tidak secara kaku sejak awal, namun dapat berubah baik dalam hal jumlah maupun karakteristik sampelnya, sesuai dengan pemahaman konseptual yang didapat/berkembang selama penelitian, (c) tidak diarahkan pada keterwakilan dalam arti jumlah atau peristiwa acak, melainkan pada kecocokan konteks.

Partisipan pertama dalam penelitian ini memiliki nama samaran Rudi, dalam hal menjalankan kehidupan gaynya, Rudi masih mau menjalin hubungan


(44)

29

dengan sesama jenisnya dan melakukan kontak fisik dengan sesama jenisnya meskipun belum mengarah ke hubungan intim. Berikut ini adalah beberapa data tentang Rudi :

Perihal Data Partisipan

Nama Samaran Rudi

Usia 22 Tahun

Anak ke 1 dari 3 Bersaudara

Jenis kelamin saudara kandung Anak kedua = Laki- Laki Anak Ketiga = Perempuan Kedekatan dengan Orang Tua Ibu

Pekerjaan Orang tua Ayah = Dokter Gigi Ibu = Dokter Gigi

Pendidikan Terakhir S1

Pekerjaan Mahasiswa

Menyadari Sebagai Gay pada saat 15 Tahun

Pemicu Pernah memiliki teman laki-laki yang sangat perhatian dengannya

Partisipan kedua dalam penelitian ini memiliki nama samaran Hadi. Dalam menjalankan kehidupan gaynya, Hadi mau menjalin hubungan dengan sesama jenis, dan melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis. Berikut ini adalah beberapa data tentang Hadi :

Perihal Data Partisipan

Nama Samaran Hadi

Usia 20 Tahun

Anak ke 9 dari 9 Bersaudara

Jenis Kelain Saudara Kandung Anak Pertama = Perempuan Anak Kedua = Laki-Laki Anak Ketiga = Perempuan Anak Keempat = Perempuan Anak Kelima = Laki-Laki Anak Keenam = Perempuan Anak Ketujuh = Laki- Laki Anak Kedelapan = Laki-Laki Kedekatan dengan Orang Tua Ibu


(45)

Ibu = Petani

Pendidikan Terakhir SMA

Pekerjaan Mahasiswa dan Penari Tradisional Menyadari Sebagai Gay pada saat 13 Tahun

Pemicu Pernah mengalami pelecehan seksual

ketika kecil

Partisipan ketiga dalam penelitian ini memiliki nama samaran Willy. Dalam menjalankan kehidupan gaynya, Willy tidak mau menjalin hubungan dengan sesama jenis, apalagi melakukan hubungan seksual dengan sesama jenisnya. Berikut ini adalah beberapa data tentang Willy :

Perihal Data Partisipan

Nama Samaran Willy

Usia 23 Tahun

Anak ke 1 dari 3 Bersaudara

Jenis Kelamin Saudara Kandung Anak Kedua = Perempuan Anak Ketiga = Laki-Laki Kedekatan dengan Orang Tua Ibu

Pekerjaan Orang Tua Wiraswasta (Ayah), Ibu Rumah Tangga (Ibu)

Pendidikan Terakhir S1

Pekerjaan -

Menyadari Sebagai Gay pada saat 16 Tahun

Pemicu Genetik

3.3 Teknik Pengambilan Subjek

Pengambilan subjek dalam penelitian ini menggunakan cara purposive sampling dan snowball sampling. Teknik purposive sampling maksudnya adalah subjek yang dicari adalah yang sesuai dengan karakteristik yang sudah disebutkan sebelumnya. Sedangkan teknik snow ball sampling menurut Patton dalam


(46)

31

(Poerwandari, 2007) adalah teknik pengambilan subjek dengan cara meminta informasi dari subjek sebelumnya untuk mendapatkan subjek selanjutnya.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data di dalam penelitian ini adalah wawancara. Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan gabungan antara wawancara informal dan wawancara pedoman umum. Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2007) wawancara informal dapat dipahami sebagai wawancara yang pertanyaan-pertannyaannya berkembang secara spontan dalam situasi alamiah. Sedangkan wawancara dengan pedoman umum adalah wawancara yang dilengkapi dengan pedoman yang umum, dan mencantumkan isu-isu yang ingin dibahas tanpa sesuai dengan kerangka teori yang digunakan. Selain wawancara, penelitian ini juga melakukan observasi untuk mendapatkan data tambahan.

3.5 Alat Bantu Pengumpulan Data

Alat bantu yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara digunakan sebagai pengingat agar peneliti tidak lupa atau melewatkan masalah-masalah yang ingin dibahas. Selain itu agar wawancara berjalan sesuai dengan urutan yang telah direncanakan.

2. Alat Perekam

Penggunaan alat perekam ini akan sangat memudahkan peneliti dalam mengingat kembali pembicaraan yang telah dilakukan. Hal ini bisa mengurangi kemungkinan hilangnya data, dan meminimalisir


(47)

kesalahpahaman peneliti karena jika ada keraguan peneliti bisa memutar ulang pembicaraan. Namun penggunaan alat perekam ini tentunya harus sudah mendapat izin dari subjek.

3.6 Prosedur Penelitian

3.6.1 Tahap Persiapan Penelitian

Hal-hal yang dilakukan dalam tahap persiapan adalah :

1. Memahami fenomena yang diteliti melalui teori-teori yang telah didapat. 2. Mengumpulkan teori-teori yang berkaitan dengan fenomena yang diteliti. 3. Membuat pedoman wawancara yang disesuaikan dengan teori yang telah

digunakan. Tujuannya adalah agar wawancara yang akan dilakukan tidak melebar ke arah yang tidak berkaitan dengan fenomena tersebut.

4. Melakukan persiapan pengumpulan data, yaitu mencari subjek yang sesuai dengan kriteria.

5. Membangun rapport dengan calon subjek, tujuannya agar tercipta trust

pada diri subjek kepada peneliti.

6. Jika calon subjek telah bersedia menjadi subjek, maka selanjutnya adalah menyusun jadwal pertemuan untuk melakukan wawancara.


(48)

33

3.6.2 Tahap Pelaksanaan Penelitian

Hal-hal yang dilakukan pada tahap pelaksanaan penelitian adalah sebagai berikut :

1. Mengonfirmasi ulang jadwal wawacara.

Hal ini berkaitan dengan waktu dan temapt wawancara. Konfirmasi ulang ini dilakukan pada dua hari sebelum tanggal yang ditetapkan. Tujuan dari konfirmasi ulang ini adalah untuk memastikan bahwa baik subjek maupun peneliti dapat hadir.

2. Melakukan wawancara.

Sebelum melakukan wawancara, peneliti akan meminta subjek untuk menandatangani “Lembar Informed Consent”. Lembar tersebut tujuannya untuk memastikan subjek mengerti tujuan wawancara, bersedia menjawab pertanyaan yang diajukan, mengerti akan haknya untuk mengundurkan diri dari penelitian, serta memahami bahwa hasil penelitian ini adalah rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian. Setelah itu peneliti akan bertanya kepada subjek apakah wawancara ini boleh direkam atau tidak, jika boleh maka akan direkam, dan jika tidak maka peneliti tidak akan merekam.

3.6.3 Tahap Setelah Penelitian

Hal-hal yang dilakukan setelah penelitian berlangsung adalah : 1. Membuat verbatim wawancara.


(49)

Verbatim ini dibuat dengan cara memutar kembali wawancara yang telah dilakukan.

2. Melakukan analisa data.

Proses yang ada dalam tahap ini adalah pengkodingan, merekonstruksi data, dan merumuskannya ke dalam Bab IV.

3. Menarik kesimpulan.

Pada tahap ini peneliti akan membuat kesimpulan yang didapat dari penelitian ini.

4. Membuat diskusi dan saran.

Setelah membuat kesimpulan, peneliti kemudian akan membuat diskusi berdasarkan kesimpulan tersebut. kemudian membuat saran-saran yang sesuai dengan kesimpulan yang didapat serta saran untuk peneliti selanjutnya.

3.7 Metode Analisa Data

Analisa data menurut Patton dalam (Moleong, 2000) merupakan proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya dalam suatu pola, kategorisasi, dann satuan uraian dasar. Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sesuai dengan konsep Miles dann Huberman (1992), yaitu model

interactive model yang mengelompokkan analisa data ke dalam tiga langkah sebagai berikut :


(50)

35

a. Reduksi data (data reduction) , dalam tahap ini, peneliti menulis ulang hasil wawancara dengan melakuakan penyederhanaan data berdasarkan pada data yang dibutuhkan oleh peneliti.

b. Penyajian data (display data), di tahap ini peneliti menyajikan data yang sudah disederhanakan dalam benuk paparan deskriptif agar lebih mudah dipahami.

c. Penarikan kesimpulan atau verifikasi, pada tahap ini peneliti menarik kesimpulan berdasarkan keunikan subjek dan hasil penelitian.


(51)

BAB IV

DESKRIPSI DATA DAN PEMBAHASAN

Bab ini memaparkan deskripsi data yang merupakan hasil dari analisa data wawancara yang telah dilakukan selama pengambilan data penelitian. Hasil yang didapat dari penelitian ini dianalisa per-partisipan agar dapat memperjelas gambaran religiusitas pada gay yang beragama Islam.

A. Deskripsi Data

1. Partisipan I

1.1. Deskripsi Data Partisipan I

1.1.1. Sekilas Kehidupan Rudi

Rudi adalah sulung dari tiga bersaudara. Ia berasal dari keluarga yang lumayan mapan dalam hal keuangan. Ayah dan ibunya berprofesi sebagai dokter gigi. Di masa kecil, Rudi dan orangtuanya tinggal di salah satu kota di Propinsi Kepualauan Riau.

Rudi kecil merupakan anak yang sangat tertutup kepada orang lain yang belum ia kenal. Ia hanya mau berbicara kepada orang tuanya, adiknya, dan teman-teman dekatnya, bahkan kepada saudaranya yang lain saja ia cuek. Jadi bagi orang asing atau yang belum ia kenal, jangan berharap mendapatkan keramahan dari dirinya.

Orang tua Rudi ketika ia masih di usia TK dan SD bisa dikatakan termasuk orang tua yang mengekang. Rudi tidak diperbolehkan bermain ke rumah


(52)

37

teman-temannya. Sepulang sekolah ia langsung dijemput untuk pulang ke rumah. Jika tetap ingin bermain, sebagai gantinya, teman-temannyalah yang disuruh datang ke rumahnya.

Keadaan tersebut dianggap sebagai keadaan yang tidak menyenangkan bagi dirinya. Dan selayaknya anak kecil lainnya dalam keadaan itu, Rudi pernah sesekali mencoba keluar rumah secara diam-diam agar dapat bermain bersama teman-temannya. Namun keberaniannya tersebut sering berujung pada terjadinya pelampiasan amarah dari sang ayah. Dalam melampiaskan amarah, ayah Rudi sering memukul. Hal inilah yang membuat Rudi semakin kurang nyaman dengan ayahnya. Ayah Rudi memang sangat mengekang padahal Ibunya sebenarnya masih mau memberikan kelonggaran. Alasan orang tua Rudi mengekang adalah agar Rudi tidak ikut-ikutan menjadi anak yang nakal.

Hubungan Rudi memang lebih dekat ke sang Ibu, ia lebih suka mencurahkan isi hatinya kepada sang Ibu. Ia suka mencurahkan isi hati, bercerita banyak hal, dna bertukar pikiran kepada Ibunya. Sebaliknya, Ia tidak suka melakukan hal-hal tersebut dengan sang ayah. Alasannya karena sang ayah nantinya bukan menenangkan namun justru marah-marah.

Kehidupan sekolah Rudi terasa diwarnai oleh dua hal yang sangat kontras, yaitu kebahagiaan dan kegembiraan. Rudi merupakan murid yang tidak pernah melawan guru, dan sering diuji-puji oleh guru. Hal ini tentunya merupakan hal yang menyenangkan. Namun di sisi lain, kebahagiaan yang ia alami itu justru mengundang rasa iri pada teman-temannya di sekolah, terutama teman


(53)

laki-lakinya. Akhirnya Rudi menjadi sering dibully oleh teman laki-lakinya di sekolah. Bentuk bully yang ia alami beragam, mulai dari sebatas ejekan, hingga kontak fisik berupa semacam senggolan.

Respon Rudi tiap kali mendapatkan perlakuan tidak menyenagkan itu adalah hanya diam, namun lama-kelamaan jika sudah tak tahan, barulah Rudi berkelahi dengan temannya tersebut. Bahkan ia tidak segan berkelahi hingga berdarah.

Seiring berjalannya waktu, orang tua Rudi mulai memberikan kelonggaran kepada Rudi. Rudi sudah mulai boleh bermain keluar rumah pada saat SMP. Alasannya karena ternyata ketakutan-ketakutan orang tuanya selama ini tidak terbukti, dan juga karena semakin banyaknya aktivitas ekstrakurikuler yang diikuti Rudi yang mengharuskan Rudi untuk keluar rumah.

1.1.2. Gambaran Kehidupan Rudi Sebagai Gay

Sekolah Menengah Atas merupakan masa awal mula perasaan suka pada sesama jenis muncul dalam diri Rudi. Pada saat itu mulai terjadi gejolak pada diri Rudi. Yang menjadi pemicu munculnya perasaan suka dan cinta kepada sesama jenis itu adalah ketika tinggal di asrama ia bertemu dengan seorang laki-laki yang sangat perhatian kepadanya yaitu Feri (nama samaran).

Feri yang mengajarkan Rudi untuk bisa terbuka dengan orang lain. Feri telah berhasil mengubah pola pikir Rudi dalam waktu 6 bulan. Feri sering memaksa Rudi untuk pergi ke keramaian, contohnya mengajaknya makan


(54)

39

bersama dengan teman asrama yang lain, ke mesjid dan menyuruhnya menjadi imam. Hal-hal seperti itulah yang mengikis kesukaan Rudi pada kesendirian. Dan menurut Rudi , saat ini ia justru sangat tidak nyaman jika sendirian dan memilih untuk pergi ke rumah temannya. Intnya berkat Feri, kini Rudi mulai bisa terbuka pada orang lain.

Feri memang telah membawa perubahan pada diri Rudi, namun meskipun begitu ternyata dalam kehidupan sehari-hari di masa SMA itu, Rudi sering cuek, dingin, dan menjaga image kepada Feri. Namun semua itu hanya pura-pura ia lakukan karena terkadang ia sendiri merasa risih dengan perilaku Feri yang terlalu bergembira jika sedang bersamanya. Feri sering terlalu berlebihan kepada Rudi. Ia tidak segan-segan menunjukkan antusiasme dirinya pada Rudi dihadapan banyak orang, misalnya selalu mengikutnya ke kantin, meminta dibelikan ini dan itu, dan lain-lain. Hal inilah yang membuat Rudi merasa risih dan tidak nyaman sehingga ia berusaha untuk bersikap cuek agar perlakuan Feri berkurang.

Rudi, meskipun ia dingin kepada Feri, namun di saat sedang tidak bersama dengan Feri, Rudi justru merasakan suatu perasaan yang aneh, yaitu perasaan kehilangan. Ia merasa kangen dan merindukan hal-hal aneh yang dilakukan oleh Feri. Perasaan ini muncul misalnya jika ketika pulang sekolah ia tidak melihat Feri, dan ketika Feri sedang mudik ke rumah keluarganya.

Rudi akhirnya menyadari bahwa ia telah jatuh hati kepada Feri. Namun, ia hanya memendam perasaannya. Di saat itulah ia mulai menyadari bahwa dirinya seorang gay. Perasaan Rudi ketika itu sangat tidak menentu. Di satu sisi ia


(55)

menyadari bahwa ia sudah jatuh cinta kepada Feri, namun di sisi lain ia berpikir bahwa hal itu sangat kacau. Dan akhirnya perasaan denial lah yang muncul. Ia berusaha mengingkari identitasnya tersebut. Jadi, intinya, Rudi saat itu masih berada di fase denial karena ia masih menyangkal orientasinya. Oleh karena itu, maka ia memutuskan untuk pindah sekolah. Alasannya agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, yaitu ia takut perasaannya kepada Feri semakin besar dan mempengaruhi aktivitas sekolahnya.

Rudi akhirnya pindah sekolah ketika akan memasuki semester 2 untuk menghindari Feri sebagai wujud perasaan denialnya. Namun meskipun berusaha untuk mengelak, ternyata ia tetap tidak bisa membohongi orientasinya. Di kelas 1 SMA, Rudi pun akhirnya berpacaran dengan seorang anak SMP yang usianya terpaut 2 tahun lebih muda dari dirinya. Anak itulah yang menembak terlebih dulu. Hubungan long distance ini hanya berjalan selama 1 bulan setelah sebelumnya melalui proses putus nyambung. Alasan hubungan itu berakhir adalah karena diantara keduanya masih ada perasaan denial.

Hubungan percintaan Rudi memulai kisah yang baru lagi ketika Rudi kelas 3 SMA, kali ini ia berpacaran dengan adik kelasnya yang kelas 1. Namun hubungan inipun kembali berakhir setelah berjalan selama 3 bulan, alasannya karena pacarnya yang kedua ini sering bertengkar dengan Feri. Ya, Rudi dan Feri akhirnya memang bertemu kembali.

Takdir ternyata mempertemukan mereka kembali. Memasuki kelas 2 SMA, Rudi dipaksa pindah sekolah oleh orang tuanya ke sekolah yang sama


(56)

41

dengan adiknya karena pada saat itu sang adik juga ikut bersekolah ke kota dimana Rudi berada. Rudi mendaftar di sekolah adiknya itu, dan ketika sedang mendaftar, ia bertemu lagi dengan Feri yang ternyata juga sedang mendaftar di sekolah itu. Dan akhirnya merekapun kembali bersekolah di sekolah yang sama. Dan kedekatan mereka akhirnya berlanjut.

Perasaan Rudi ternyata tidak bertepuk sebelah tangan, karena ternyata Feri juga menyimpan perasaan yang sama dengannya, dan mungkin itulah alasan mengapa Feri sangat perhatian kepada Rudi. Dan, sama dengan Rudi, Feri pun hanya memendam perasaannya. Rasa itu ia pendam sampai akhirnya tibalah momen kelulusan SMA. Pada saat itu, Feri memutuskan untuk mengutarakan perasaan yang selama ini ia pendam kepada Rudi. Dan kemudian, Rudi juga ikut menyatakan perasaannya.

Respon Rudi adalah menolak cinta Feri. Alasannya karena ia sudah menganggap temannya itu sebagai sahabat dan takut akan merusak pertemanan dan karena masih sering denial. Pada saat itu Rudi merasa takut Feri marah, namun respon Feri adalah tetap ceria dan seolah tidak terjadi apa-apa.

Rudi dan Feri sejak moment pengakuan itu tidak pernah bertemu lagi , bahkan untuk menghindari Feri , Rudi sengaja tidak menghadiri acara perayaan kelulusan. Banyak hal yang telah diajarkan oleh Feri,dan karena pengaruh dari Ferilah akhirnya kini Rudi mulai bisa terbuka kepada orang lain.

Adik dan orang tua Rudi memergoki orientasi Rudi lewat handphone dan laptop ketika kelas 3 SMA. Namun, Rudi berhasil berbohong dan akhirnya


(57)

percaya bahwa Rudi bukanlah seorang gay. Di kelas 3 SMA pula, Rudi berpacaran untuk yang ketiga kalinya. Kali ini ia kembali menjalin hubungan jarak jauh. Awalnya pacar ketiganya ini adalah tempat Rudi sering mencurahkan isi hatinya tentang seseorang, yang tidak lain adalah Feri. Awalnya Rudi tidak tahu kalau pacar ketiganya ini juga seorang gay. Pada suatau saat , Rudi memberanikan diri untuk mengaku bahwa ia adalah seorang gay. Pacar ketiganya inipun awalnya merespon dengan cara menghilang tanpa kabar. Ternyata alasannya adalah ia sedang mempersiapkan mentalnya untuk juga mengaku bahwa ia adalah juga seorang gay.

Mengetahui bahwa ternyata teman curhatnya itu juga gay, dan karena merasa sudah nyaman, akhirnya Rudi memberanikan diri untuk menyatakan cinta kepada temannya itu, kita sebut saja ia Rangga. Rudi sangat suka kepada Rangga karena ia merasa bahwa Rangga sangat berbeda dengan gay-gay lain yang sering haus akan seks. Meskipun gay dan berpacaran, Rudi sangat menghindari terjadinya hubungan seksual. Oleh karena itulah Rudi merasa bahwa Rangga adalah orang yang tepat. Dan Rangga pun menerima cinta Rudi. Pacaran yang ketiga kali ini awalnya berjalan secara jarak jauh. Rangga di Medan, sementara Rudi ada di kota lain. Akhirnya demi untuk bisa dekat dengan pujaan hatinya, Rudi memutuskan untuk berkuliah di kota Medan. hal itupun jadi kenyataan. Hingga akhirnya hubungan itu saat ini sudah berjalan selama lima tahun. Dan menurut Rudi, hubungan ini adalah yang paling menyenangkan.

Rudi saat ini masih menjalin hubungan dengan pacarnya yang ketiga, yaitu Rangga. Namun mereka sudah merencanakan suatu hal, yaitu Rudi dan Rangga


(58)

43

sudah berencana untuk mengubah status mereka kelak, yaitu bukan lagi berpacaran, melainkan hanya sebagai dua orang sama-sama tahu bahwa mereka saling menyukai, dan tidak ingin mencari yang lain. Rangga menerima keputusan ini dan menganggap hal itu adalah yang terbaik. Dan sembari menunggu waktu itu tiba, mereka akan tetap bersama dan menjalani hubungan dengan baik.

1.1.3. Religiusitas Rudi Sebelum Menyadari Sebagai Gay

1.1.3.1Dimensi Keyakinan

Fase sebelum menyadari sabagai gay pada diri Rudi dimulai dari ia masih anak-anak sampai sebelum semester 2 pada kelas 1 SMA. Rudi memiliki keyakinan yang sangat tinggi akan keberadaan Allah SWT. Ia mengatakan bahwa ia sangat yakin bahwa Allah SWT itu ada. Ia tidak meragukan, oleh karena itu ia mau menjalankan perintah Allah SWT.

“Yakin.. 100 % yakinlah .. 100.000 % yakin.. yakin ada”

(W1S1/R.Seb/1(+)/b.227-229) Selain itu, Rudi juga meyakini bahwa agama Islam adalah agama yang paling benar. Ia mengatakan bahwa aturan-aturan yang ada di dalam agama Islam adalah yang paling benar. Sebelumnya, Rudi memang telah sering membaca artikel-artikel yang ada di internet berkaitan dengan pengetahuan – pengetahuan tentang agama lain. Salah satu hal yang ia cari tahu penjelasannya di berbagai agama adalah mengenai hal homoseksual ini. Setelah membaca berbagai referensi yang ada di internet, ia mengambil kesimpulan bahwa agama Islam adalah agama yang memberikan pandangan paling logis di antara yang lainnya.


(59)

“Benar, gak , gak ada masalah ke.. ke agama Islamnya sih, kayaknya aturan-aturan yang udah ada dari situ ya udah... dibandingin sama agama lain juga.. aku temuin yang paling bener ya itu .. karna aku juga sering baca sih .. beberapa artikel – artikel di internet, tentang agama- agama lain kan .. ya terutama kan tentang kasus ini.. kan aku juga pengen tau juga kadang-kadang di agama lain itu kayak gimana pandangannya, ya .... Islam is .. is still the best sih .. masih, masih , masih Islam yang ngasih

pandangan yang logis juga, dan yang paling benar aku rasa sih”

(W1S1/R.Seb/1(+)/b.238-259) Rudi tidak mengalami sebuah pertentangan dengan agama Islam itu sendiri maupun kepada Allah SWT di masa sebelum ia menyadari bahwa ia gay.

1.1.3.2 Dimensi Peribadatan

Rudi di masa kecil termasuk seorang anak yang rajin menjalankan ibadah. Dalam hal shalat wajib, di waktu dulu Rudi sudah menjalankannya secera penuh , yaitu 5 waktu. Bahkan ia melakukannya di mesjid. Jika sedang tidak sekolah, ia akan ke mesjid di dekat rumahnya, dan jika sedang di sekolah ia shalat di mesjid yang ada di sekolahnya.

“Tapi kalo shalat wajib emang gak pernah tinggal, kalo dulu”

(W1S1/R.Seb/2(+)/b.347-349) Rudi hanya melaksanakan shalat-shalat yang wajib saja, ia jarang melaksanakan shalat sunah seperti Dhuha karena jarang diniatkan. Ia jarang meniatkannya karena ketika dulu, ia memang hanya menjalankan perintah-perintah wajib saja, hal ini terkait karena usianya yang masih kecil.

Puasa Ramadhan juga merupakan bentuk ibadah yang rutin dilakukan Rudi, hampir setiap Ramadhan, ia puasa penuh selama satu bulan. Beberapa kali Ramadhan ia tidak berpuasa secara penuh satu bulan karena ada satu atau dua hari


(60)

45

puasanya batal. Puasanya batal karena beberapa halangan seperti sakit demam dan kadang memang sengaja tidak membatalkan puasa karena malas. Sama seperti shalat sunah , puasa sunah juga jarang dilakukan oleh Rudi. Alasannya sama dengan yang sebelumnya, yaitu jarang diniatkan karena memang hanya menjalankan perintah-perintah yang wajib saja terkait usianya yang masih kecil.

“Eee, sering full, Cuma ada beberapa tahunlah, beberapa kali puasa Ramadhan yang ee tinggal-tinggal paling ya gak banyak, paling sehari dua hari itu, itupun kena marah orang tua sih , biasanya karna sakit kan , demam atau apa gitu, emang dasar memang dasar males puasanya kadang dibatalin juga gitu “

(W3S1/R.Seb/2(-)/b.2967-2979)

Rudi juga mengaji madrasah setiap hari , ia mengaji setiap hari sepulang dari sekolah, mulai dari 1 jam setelah pulang sekolah sampai pukul 15.00 WIB. Pengajian juga sering diikuti oleh Rudi setiap akhir minggu. Ia mengikuti pengajian itu bersama dengan ayahnya. Ibadah berupa zikir merupakan hal yang jarang dilakukan oleh Rudi di waktu dahulu karena belum terpikir untuk itu terkait usianya yang masih kecil. Sedekah juga jarang dilakukan olehnya , ia hanya melakukannya pada hari Jum’at yaitu ketika shalat Jum’at. Alasannya karena memang dahulu ia belum menghasilkan uang sendiri dan masih meminta dari orang tua.

1.1.3.3Dimensi Pengamalan

Bentuk pengamalan ajaran-ajaran agama yang dilakukan oleh Rudi di masa-masa sebelum ia menyadari bahwa dirinya seorang gay adalah ia sering berbuat baik kepada temannya. Ia dan teman-temannya yang lain sering


(61)

membantu seorang teman yang sedang membutuhkan bantuan. Contohnya adalah ketika ada seorang teman yang tidak bisa ikut bermain karena sedang membantu orang tuanya, maka ia dan teman-temannya akan ikut membantu temannya tersebut agar mereka kemudian bisa bermain bersama kembali.

Ajaran agama yang terkadang dilanggar Rudi adalah ajaran untuk mematuhi perintah orang tua. Dahulu, tepatnya ketika masih di masa-masa TK dan SD, Rudi sering diam-diam pergi keluar rumah untuk pergi bermain bersama temannya karena orang tuanya terlalu mengekang dan tidak memperbolehkan ia keluar rumah. Orang tuanya melakukan hal tersebut untuk melindungi Rudi dari pergaulan yang tidak baik.

Rudi juga pernah bertengkar dengan temannya di sekolah, biasanya hal tersebut terjadi karena ia sudah tidak tahan dibully oleh temannya di sekolah. Ia

dibully karena sering dipuji oleh guru berkaitan dengan kecerdasannya. Hal tersebut membuat beberapa temannya iri sehingga membullynya. Rudi juga merasa bahwa dahulu ia termasuk orang yang sulit untuk memaafkan. Salah satunya adalah dalam hal memaafkan temannya yang sering membullynya karena masih merasa dendam.

1.1.3.4Dimensi Pengalaman

Pengalaman-pengalaman yang di alami oleh Rudi di masa kecil salah satunya adalah ia pernah selamat dan sembuh dari kecelakaan yang ia alami di saat sedang bermain bersama dengan teman-temannya. Saat itu ia sedang bermain-main di sebuah poligigi , tiba-tiba ia tertimpa besi yang mengakibatkan


(62)

47

kepalanya bocor. Rudi bahkan sempat melihat sosok kakeknya yang sudah meninggal. Awalnya ia mengira bahwa ia akan meinggal, namun kenyataannya ia masih hidup, ia pun menganggap bahwa Tuhan masih menginginkannya hidup.

“Ohh, pernah.. pernah.. pernah .. pernah , engga, engga sakit parah. Waktu itu hmm lagi main , masih di umur berapa ya .. TK, TK sih kalo gak salah , masih inget jelas tapi . waktu itu lagi main, hmm trus ketimpa ini, ketimpa besi gitu, besi-besi gitu. Yaudah ampe kepala itu bocor banget, berdarah-darah sampe, ya.. pokoknya udah mau.. udah kayak mau mati aja disitu .. malah aku disitu sih , masih inget banget sempet ngeliat kayak bayangan kakek aku yang udah gak ada itu di tepi tempat tidur waktu mau dijahit , tapi masih idup, alhamdulillah .. padahal disitu udah .. “ ah mati deh ini “ .. ternyata masih hidup “

(W1S1/R.Seb/4(+)/b.415-436) Dahulu, dalam hal perasaan tergetar, Rudi dapat merasakannya ketika ia mendengar lantunan ayat suci Al-Qur’an yang dilantunkan dengan indah. Perasaan ketenangan ataupun perasaan spesial setiap selesai melakukan ibadah seperti shalat, puasa, mengaji, sedekah, dan zikir, belum dirasakan oleh Rudi ketika kecil. Hal tersebut mungkin disebabkan karena dalam menjalankan ibadah, Rudi hanya sekedar melaksanakan kewajiban tanpa menjiwainya karena terkait usianya yang masih kecil.

“Yaudah ding, gua udah shalat gini.. kayak yang hanya sekedar

memenuhi kewajiban aja sih dulu, kalo masih usia-usia kemaren itu, yang penting kan dulu, perintahnya diperintahin orang tua “shalat ya, jangan gini-gini..” iya .. tapi abis shalat gak pernah ada spesial feeling apa-apa ..”

(W1S1/R.Seb/4(-)/b.381-392)

Dahulu, jika doanya terkabul, Rudi tidak pernah berpikir bahwa itu adalah pertolongan dari Allah SWT, ia menganggap hal itu adalah usaha yang telah ia


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Ancok, D., & Suroso, F.N. (1994). Psikologi Islami. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Boellstorff, Tom. (2010) . Antara agama dan hasrat : muslim yang gay di Indonesia. Jurnal Gandrung, Vol. 1 : 91.

D’Augelli, A. R. (1994). “Identity Development and Sexual Orientation: Toward a Model of Lesbian, Gay, and Bisexual Development.” In E. J. Trickett, R. J. Watts, and D. Birman(eds.), Human Diversity: Perspectives on People in Context. San Francisco: Jossey-Bass.

De Grave, Eduard. (2010). Praktek Homoseksual di Pondok Pesantren. Diakses pada 23 Juni 2014, di http://annunaki.me

Dister, N.S. (1988). Psikologi Agama. Yogyakarta : Kanisius.

Doel. (2014). Berbagi dan Berbuka Puasa Bersama di Panti Asuhan. Diakses pada 3 Juni 2015, di http://gayindonesia.net

Dzulkarnain, Iskandar. (2011). Perilaku Homoseksual di Pondok Pesantren. Thesis Mahasiswa Fakultas Sosiologi Universitas Gadjah Mada.

Feldmen, R.S. (1990). Understanding Psychology, Second Edition. New York : McGraw- Hill Publishing Company.

Hamali, Syaiful. (2013). Konflik dan keraguan individu dalam perspektif psikologi agama. Jurnal Al-Adyan, Vol. 8 : 27.


(2)

Kartono, K. (1989). Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual. Bandung : Mandar Maju.

Kendall, P.C. (1998). Abnormal Psychology Human Problems Understanding Second Edition. Boston : Houghton Mifflin Company.

Madjid, R. (1997). Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan. Bandung : Mizan Pustaka.

Mangunwijaya, Y. B. (1986). Menumbuhkan Sikap Religiusitas Anak. Jakarta : Gramedia.

Moleong, Lexy.J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya Offset.

Nugroho, S. C.,Siswati, Dra. Msi, & Sakti, Dra. H. M.Kes. Pengambilan Keputusan Menjadi Homoseksual pada Laki-Laki Usia Dewasa Awal, 11.

Oetomo, D. (2001). Memberi Suara Pada Yang Bisu. Yogyakarta : Galang Press.

Okdinata. (2009). Religiusitas Kaum Homoseks (Studi Kasus Tentang Dinamika Psikologis Keberagamaan Gay Muslim Di Yogyakarta. Skripsi Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Poerwandari, E.K. (2007). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Depok : Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi.


(3)

Rangkuti, R.S. (2012). Homoseksual dalam Perspektif Hukum Islam. Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, Vol. 46 : 11-12.

Sabiq, Sayyid. (1981) . Fiqh al-Sunnah. Libanon : Dar Al-Fikr.

Syam, Ramadon. (2009). Homoseksual di Mata Psikologi. Diakses pada 5 Juni 2014, di http://ruangpsikologi.com


(4)

LAMPIRAN

Pedoman Wawancara I. Identitas

- Nama : - Usia : - Anak ke : - Pendidikan :

II. Keadaan sebelum menyadari diri sebagai gay a. Kehidupan sehari-hari :

Jelaskan kehidupan Anda sebelum menyadari orientasi seksual sebagai Gay, yang berkaitan dengan :

Kehidupan bersama keluarga.

Kehidupan dengan teman-teman di sekolah dan di luar sekolah. b. Religiusitas

- Dimensi keyakinan :

Bagaimanakah pandangan Anda tentang keberadaan Allah SWT dan kebenaran agama Islam?

Apakah Anda yakin dengan iman/agama yang dianut ? Jelaskan. - Dimensi Ritual :

Jelaskan kebiasaan Anda dalam menjalankan ibadah-ibadah yang ditetapkan di agama Islam.

- Dimensi Pengalaman / Penilaian :

Jelaskan pengalaman Anda saat dan setelah menjalankan ibadah-ibadah yang di maksud.

Apakah Anda pernah melihat atau mengalami suatu bukti kekuasaan Allah SWT ? Jelaskan.


(5)

Bagaimanakah Anda biasanya mengamalkan ketentuan atau perintah yang ditetapkan oleh Allah SWT ? Jelaskan.

- Dimensi Pengetahuan

Jelaskan yang Anda ketahui tentang Islam dan ajaran atau ketentuan-ketentuannya.

III. Kehidupan sebagai gay

Jelaskan awal mula Anda mengetahui orietasi seksualnya adalah gay. Bagaimana pendapat Anda dalam menjalankan keseharian sebagai gay.

IV. Religiusitas Saat ini sebagai Gay - Dimensi keyakinan :

Bagaimanakah pandangan Anda tentang keberadaan Allah SWT dan kebenaran agama Islam?

Apakah Anda yakin dengan iman/agama yang dianut ? Jelaskan. - Dimensi Ritual :

Jelaskan kebiasaan Anda dalam menjalankan ibadah-ibadah yang ditetapkan di agama Islam.

- Dimensi Pengalaman / Penilaian :

Jelaskan pengalaman Anda saat dan setelah menjalankan ibadah-ibadah yang di maksud.

Apakah Anda pernah melihat atau mengalami suatu bukti kekuasaan Allah SWT ? Jelaskan.

- Dimensi Pengamalan :

Bagaimanakah Anda biasanya mengamalkan ketentuan atau perintah yang ditetapkan oleh Allah SWT ? Jelaskan.


(6)

Jelaskan yang Anda ketahui tentang Islam dan ajaran atau ketentuan-ketentuannya.