penting pada dorongan seksual, dan menemukan bahwa daerah-daerah tertentu pada hipotalamus pria homoseksual berbeda lebih besar maupun lebih kecil
dengan pria heteroseksual. Gallo 2000 juga menemukan perbedaan struktural pada hipotalamus dalam hubungannya dengan orientasi seksual. Melalui studi
tentang panjang jari, Brown 2002 dan Williams 2000 menemukan bahwa lesbian memiliki panjang jari yang lebih mirip jari pria secara umum
– jari telunjuk lebih pendek daripada jari manis
– mendukung ide bahwa lesbian mungkin memiliki tingkat testoteron yang lebih tinggi daripada wanita
heteroseksual pada awal kehidupannya.
2.2.2 Pendekatan Sosiologis
Pendekatan Sosiologis yang menggambarkan terjadinya homoseksual berfokus pada pelatihan dan sejarah seseorang dalam menemukan asal
homoseksual. Pendekatan
Sosiologis melihat
perkembangan perilaku
homoseksual lebih sebagai produk dari dorongan sosial daripada bawaan lahir pada orang tertentu Carroll, 2005.
1. Freud dan Psikoanalitis
Freud 1951, dalam Carroll, 2005 berpendapat bahwa bayi melihat segala sesuatu sebagai potensi seksual, dan karena pria dan wanita berpotensi tertarik
pada bayi, kita semua pada dasarnya biseksual. Freud tidak melihat homoseksual sebagai suatu penyakit dan menuliskan
bahwa homoseksual ”bukanlah hal yang memalukan, bukan degradasi, dan tidak
dapat diklasifikasikan sebagai sebuah penyakit.” Dia bahkan menemukan
homoseksual ”dibedakan oleh perkembangan intelektual yang tinggi dan budaya
etis.”
Universitas Sumatera Utara
Freud memandang heteroseksualitas pria sebagai hasil pendewasaan yang normal dan homoseksualitas pria sebagai akibat oedipus complex yang tidak
terselesaikan. Kelekatan pada ibu yang intens ditambah dengan ayah yang jauh dapat membawa anak laki-laki pada ketakutan akan balas dendam ayah melalui
kastrasi. Setelah masa pubertas, anak berpindah dari ketertarikan pada ibu menjadi identifikasi ibu, dan mulai mencari objek cinta yang akan dicari oleh ibunya
– pria. Fiksasi pada penis dapat mengurangi ketakutan kastrasi pada pria, dan
dengan menolak wanita, pria dapat menghindari perseteruan dengan ayahnya. Freud juga melihat homoseksual sebagai autoerotis pemunculan perasaan
seksual tanpa adanya stimulus eksternal dan narcisistik; dengan mencintai tubuh yang dimilikinya, seseorang seperti bercinta pada bayangan dirinya. Namun,
pandangan ini ditolak oleh psikoanalis lainnya yang muncul kemudian, terutama Sandor Rado 1949, dalam Caroll, 2005 yang mengatakan bahwa manusia tidak
biseksual secara lahiriah dan homoseksualitas adalah keadaan psikopatologis –
penyakit mental. Pandangan inilah bukan pandangan Freud yang kemudian menjadi standar bagi profesi psikiater hingga tahun 1970-an.
Beiber dkk 1962, dalam Carroll, 2005 mengemukakan bahwa semua anak laki-laki memiliki ketertarikan erotik yang normal terhadap wanita. Akan tetapi,
beberapa anak laki-laki memiliki ibu posesif yang terlalu dekat dan juga terlalu intim serta menggoda secara seksual. Sebaliknya, ayah mereka tidak bersahabat
atau absen, dan triangulasi ini mendorong anak untuk berada di pihak ibu, yang menghambat perkembangan maskulin normalnya. Oleh karena itu, Beiber
mengatakan bahwa ibu yang menggoda menimbulkan ketakutan akan heteroseksualitas pada diri anak.
Universitas Sumatera Utara
Wolff 1971, dalam Carroll, 2005 meneliti keluarga dari lebih dari 100 lesbian dan melaporkan bahwa sebagian besar memiliki ibu yang menolak atau
dingin secara emosional dan ayah yang berjarak. Untuk lesbian, para teoritikus percaya bahwa kurangnya kasih sayang dari ibu menyebabkan anak perempuan
mencari kasih sayang dari wanita lainnya Carroll, 2005.
2. Ketidaknyamanan Peran Gender