BAB II DIVERSI SEBAGAI SUATU KEWAJIBAN DI DALAM PENYELESAIAN
PERKARA PIDANA ANAK
A. Konsep Diversi dan Restorative Justice Pada Sistem Pengadilan Anak
Menurut sejarah perkembangan hukum pidana kata “diversion” pertama
kali dikemukakan sebagai kosa kata pada pelaporan pelaksanaan peradilan anak yang disampaikan Presiden Komisi Pidana
President’s Crime Comission Australia di Amerika Serikat pada tahun 1960. Sebelum dikemukakannya istilah
Diversi praktek pelaksanaan yang berbentuk seperti Diversi telah ada sebelum tahun 1960 ditandai dengan berdirinya peradilan anak
children’s courts sebelum abad ke-19 yaitu Diversi dari sistem peradilan pidana formal dan formalisasi
polisi untuk melakukan peringatan police cautioning. Prakteknya telah berjalan di negara bagian Victoria Australia pada tahun 1959 diikuti dengan negara bagian
Queensland pada tahun 1963.
22
Menurut Jack E. Bynum dalam bukunya Juvenile Deliquency a Sociological Aprroach, yaitu:
Diversion ia “an attempt to divert, or channel out, youthful offenders from the juvenile justice system diversi adalah sebuah tindakan atau perlakuan untuk
mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari sistem peradilan pidana.
23
Kenneth Polk mengemukakan yang dimaksud dengan diversi, yaitu: Diversion as program and practices which are employed for young people who
have initial contact with police, but are diversted from the traditional juvenile
22
Marlina, Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, Medan, Jurnal Equality, Vol.13 No.1 Februari 2008.,hlm.96-97
23
Jack E. Bynum dalam Marlina,ibid
Universitas Sumatera Utara
justice processes before children’s court adjudication Diversi adalah suatu program dan latihan-latihan yang mana diajarkan bagi anak-anak yang
mempunyai urusan dengan polisi, sebagai pengalihan dari proses peradilan anak seperti biasanya, sebelum diajukan ke pemeriksaan pengadilan.
24
Marlina menerangkan lebih lanjut yang dimaksud dengan Diversi: Diversi adalah tindakan aparat penegak hukum untuk mengalihkan proses formal
ke informal dengan tujuan memberikan perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana dari implikasi-implikasi dan pengaruh negatif sistem peradilan pidana.
Konsep Diversi didasarkan pada kenyataan bahwa proses peradilan pidana terhadap anak pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana lebih banyak
menimbulkan bahaya daripada kebaikan. Ide dasar Diversi atau pengalihan ini juga untuk menghindari efek negatif pemeriksaan konvensional peradilan pidana
anak terhadap anak, seperti efek negatif proses peradilan itu sendiri, juga alasan dasarnya yaitu pengadilan akan memberikan stigmatisasi terhadap anak atas
tindakan yang dilakukannya seperti anak dianggap jahat, sehingga lebih baik untuk menghindarkannya ke luar sistem peradilan pidana.
25
Di Indonesia, istilah Diversi pernah dimunculkan dalam perumusan hasil Seminar Nasional Peradilan Anak yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum
Universitas Padjajaran Bandung tanggal 5 Oktober 1996. Di dalam perumusan hasil seminar tersebut tentang hal-
hal yang disepakati, antara lain ―Diversi‖, yaitu kemungkinan hakim menghentikan atau mengalihkantidak meneruskan
pemeriksaan perkara dan pemeriksaan terhadap anak selama proses pemeriksaan di muka sidang.
26
Ide Diversi sebagai bentuk pengalihan atau penyampingan penanganan kenakalan anak dari proses peradilan anak konvensional, ke arah
24
Kenneth Polk dalam Made Ayu Citra Maya Sari, Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia,Denpasar,Udayana,2012.,hlm.6
25
Marlina, Op.Cit.,hlm.97
26
Romli Atmasasmita, Peradilan Anak Di Indonesia, Bandung, Mandar Maju,2003.,hlm.201
Universitas Sumatera Utara
penanganan anak yang lebih bersifat pelayanan kemasyarakatan, dan ide Diversi dilakukan untuk menghindarkan anak pelaku dari dampak negatif praktek
penyelenggaraan peradilan anak. Pelaksanaan peradilan pidana anak diberi pedoman oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam standard Minimum Rules for
the Administration of Juvenile Justice The Beijing Rules, yang memuat prinsip- prinsip sebagai berikut:
27
1. Kebijakan sosial memajukan kesejahteraan remaja secara maksimal untuk memperkecil intervensi sistem peradilan pidana.
2. Non diskriminasi terhadap anak pelaku tindak pidana dalam proses peradilan pidana.
3. Penentuan batas usia pertanggungjawaban kriminal terhadap anak. 4. Penjatuhan pidana penjara merupakan upaya terakhir.
5. Tindakan diversi dilakukan dengan persetujuan anak atau orang
tuawali. 6. Pemenuhan hak-hak anak dalam proses peradilan pidana anak.
7. Perlindungan privasi anak pelaku tindak pidana. 8. Peraturan peradilan pidana anak tidak boleh bertentangan dengan
peraturan ini. Prinsip utama pelaksanaan konsep Diversi yaitu tindakan persuasif atau
pendekatan non penal dan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahan. Petugas melakukan upaya Diversi dengan cara
pendekatan persuasif dan menghindari penangkapan yang menggunakan tindakan kekerasan dan pemaksaan.
28
Tindakan kekerasan saat penangkapan membawa sifat keterpaksaan sebagai hasil dari penegakan hukum. Penghindaran
penangkapan dengan kekerasan dan pemaksaan menjadi tujuan dari pelaksanaan Diversi. Tujuannya menegakkan hukum tanpa melakukan tindakan kekerasan dan
menyakitkan dan memberi kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahannya tanpa melalui hukuman pidana oleh negara yang mempunyai
27
The Beijing Rules dalam Marlina, Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Medan, USU,2006.,hlm.49
28
Ibid.,hlm.153
Universitas Sumatera Utara
otoritas penuh.
29
Tujuan dari diversi lebih lanjut dikemukakan oleh Ridwan Mansyur, yaitu:
30
a. Mencapai perdamaian korban dan anak; b. Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan;
c. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan; d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.
Tujuan dari Diversi juga disebutkan dalam pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem peradilan Pidana Anak, yaitu:
31
1. Mencapai perdamaian antara korban dan Anak; 2. Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
3. Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan; 4. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
5. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.
Pelaksanaan program Diversi bagi pelaku tindak pidana dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:
32
1. Pelaksanaan kontrol secara sosial social control orientation, yaitu aparat penegak hukum menyerahkan pelaku dalam tanggung jawab
pengawasan atau pengamatan masyarakat, dengan ketaatan pada persetujuan atau peringatan yang diberikan. Pelaku menerima
tanggung jawab atas perbuatannya dan tidak diharapkan adanya kesempatan kedua kali bagi pelaku oleh masyarakat.
2. Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku social service orientation,
yaitu melaksanakan
fungsi untuk
mengawasi, mencampuri, memperbaiki dan menyediakan pelayanan pada pelaku
29
Ibid
30
http:www.mahkamahagung.go.idrbnews.asp?bid=4085, Selasa, 16-Desember-2014, jam 11.47 WIB
31
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan pidana Anak
32
Peter C. Kratcoski dalam Marlina, Op.Cit, hlm.155
Universitas Sumatera Utara
dan keluarganya. Masyarakat dapat mencampuri keluarga pelaku untuk memberikan perbaikan atau pelayanan.
3. Menuju proses restorative justice atau perundingan balanced or restorative justice orientation, yaitu melindungi masyarakat,
memberikan kesempatan pelaku bertanggung jawab langsung pada korban dan masyarakat. Pelaksanaannya semua pihak yang terkait
dipertemukan untuk bersama-sama mencapai kesepakatan tindakan pada pelaku.
Program Diversi ini lebih lanjut dapat dijelaskan dengan memberikan beberapa contoh program Diversi sebagai berikut:
33
a. Non-Intervensi. Dalam banyak kasus, non intervensi merupakan upaya terbaik. Oleh
karena itu Diversi tanpa melalui proses formal merupakan upaya yang optimal, terutama bagi tindak pidana yang tidak serius dimana
keluarga, sekolah atau lembaga pengawasan sosial informal lainnya telah beraksi atau akan bereaksi dengan cara yang layak dan
membangun. b. Peringatan Informal
Melibatkan polisi untuk mengatakan kepada si anak bahwa apa yang diperbuatnya adalah salah dan memperingatkannya untuk tidak
melakukannya lagi. Tidak ada berita acara untuk ini. c. Peringatan Formal
33
Apong Herlina, Restorative Justice, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol.3 No.III September 2004;19-28.,hlm.27-28
Universitas Sumatera Utara
Polisi harus mengantar si anak pulang dan memberinya peringatan dihadapan orang tuawalinya. Polisi dapat mencatat peringatan ini
dalam catatan Diversi yang disimpan di kantor polisi. d. Permohonan maaf
Pelaku harus meminta maaf kepada korban. Hal ini dapat dilakukan melalui banyak cara. Contohnya, si anak menulis surat permohonan
maaf atau diminta untuk datang ke korban dan meminta maaf. e. Mengganti kesalahan dengan kebenaran atau restitusi
Anak diminta mengganti kesalahannya dengan kebaikan. Contohnya apabila seorang anak menendang keranjang sampah, si anak diminta
untuk mengembalikan sampah pada tempatnya. Contoh lain, si anak diminta untuk membayar kembali kerugian yang diderita oleh korban
dengan memperhitungkan kemampuan si anak untuk membayar kembali.
f. Pelayanan masyarakat Anak dapat diminta melakukan pelayanan masyarakat atau memenuhi
tugas selama beberapa jam. Pelayanan masyarakat yang berjalan dengan baik dan dikaitkan dengan tindak pidana mempunyai fungsi
pengembangan dan pendidikan. Contohnya, seorang anak yang mengotori
tembok atau
tempat umum,
kemudian diminta
membersihkan apa yang telah diperbuatnya atau mengecet tembok kembali. Anak dapat pula diminta untuk membuat untuk membuat
poster tentang lingkungan yang bersih dan menempelkannya di tempat-tempat umum.
Universitas Sumatera Utara
g. Pelibatan dalam program keterampilan hidup Program Diversi yang lain adalah melibatkan anak pada program
keterampilan hidup yang dijalankan oleh oleh pelayanan sosial atau LSM. Program keterampilan hidup dapat dilakukan bagi anak yang
melakukan tindak pidana atau untuk seluruh anak di masyarakat secara umum.
h. Rencana individual antara Polisi, Anak, dan keluarga Hal ini melibatkan Anak, keluarga dan Polisi untuk bersama-sama
membahas hal-hal yang harus dilakukan. Mengganti kesalahan dengan kebenaran bagi Korban; mengganti kesalahan dengan kebenaran bagi
masyarakat; memperkuat hubungan keluarga dan sistem bantuan di sekeliling Anak dan keluarga; mencegah terjadinya tindak pidana lagi.
i. Rencana yang diputuskan oleh pertemuan tradisional Kasus-kasus Anak dapat juga dilimpahkan ke pertemuan masyarakat
tradisional. j. Rencana yang didasarkan pada hasil pertemuan kelompok keluarga.
Pertemuan kelompok keluarga adalah pertemuan semua pihak yang dirugikan oleh tindak pidana untuk bersama-sama memutuskan hal-hal
yang harus dilakukan untuk memperbaiki kesalahan dan mencegah terjadinya lagi.
Pelaksanaan Diversi melibatkan semua aparat penegak hukum dari lini manapun. Diversi dilaksanakan pada semua tingkat proses peradilan pidana.
Prosesnya dimulai dari permohonan suatu instansi atau lembaga pertama yang melaporkan tindak pidana atau korban sendiri yang memberikan pertimbangan
Universitas Sumatera Utara
untuk dilakukannya Diversi. Adanya perbedaan pandangan dalam setiap permasalahan yang ditangani tergantung dari sudut pandang petugas dalam
menentukan keputusan, akan tetapi inti dari konsep Diversi yaitu mengalihkan anak dari proses formal ke informal.
34
Dalam sejarahnya, restorative justice merupakan suatu reaksi terhadap praktek penyelenggaraan peradilan yang tidak memperhatikan justice kepada si
korban. Pada prakteknya, keadilan lebih ―memihak‖ kepada pelaku tindak pidana,
hal ini dapat dilihat dari hak-haknya sejak awal proses penyidikan di tingkat kepolisian hingga putusan pengadilan. Praktek tersebut dipandang sebagai suatu
yang tidak adil bagi korban tindak pidana. Meskipun pelaku tindak pidana itu dihukum seberat-beratnya, hukuman itu sama sekali tidak ada hubungannya
dengan factual empiric terhadap penderitaan bagi korban ataupun keluarganya. Penderitaan seseorang tidak serta digantikan begitu saja dengan dihukumnya
pelaku kejahatan.
35
Praktek penyelesaian perkara pidana tersebut tidak melibatkan pihak-pihak yang berkonflik, melainkan hanya antara negara dengan pelaku.
Korban dan masyarakat tidak dilibatkan dalam penyelesaian konflik, berbeda dengan restorative justice dimana korban dan masyarakat dilibatkan sebagai pihak
untuk menyelesaikan konflik.
36
Restorative Justice sendiri dimaknai berbagai macam pengertian, antara lain seperti berikut:
34
Marlina, Op.Cit.,hlm.159
35
www.pkbh.uii.ac.idnewslatestanalisis-restorative-justice--sejarah-ruang-lingkup-dan- penerapannya-oleh-dr.mudzakirsh.-mh.html, Senin, 16-Desember-2014 jam 14.03 WIB
36
Nofita Dwi Wahyuni, Penerapan Restorative Justice Dalam Putusan Pengadilan Sebagai Tujuan Pemidanaan, Jakarta, UI, 2013.,hlm.18
Universitas Sumatera Utara
a. Menurut Eva Achjani Zulfa:
―keadilan restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada
kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada
pada saat ini.‖
37
b. Menurut Marlina:
―Konsep Restorative Justice, proses penyelesaian tindakan pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa Korban dan Pelaku
tersangka bersama- sama duduk dalam satu pertemuan untuk bersama- sama berbicara.
‖
38
Konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi
pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme tata cara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan
mediasi menciptakan kesepakatan antara penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku.
39
Mekanisme peradilan konvensional mengenal adanya restitusi atau ganti rugi kepada korban, sedangkan Restorasi memiliki makna yang lebih luas.
Restorasi meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban
dan pelaku. Pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya, melalui
mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya.
40
Konsep restorative justice ini menjadi penting apabila dibandingkan
37
Eva Achjani Zulfa, keadilan Restoratif, Jakarta, UI,2009.,hlm.3
38
Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Bandung,Refika Aditama,2009.,hlm.180
39
Hukumonline.comberitabacait4e25360a422c2pendekatan-irestorative-kan justice-i- dalam-sistem-pidana-indonesia
—broleh—jecky-tengens—sh-, Kamis, 11-Desember-2014, jam 13.22 WIB
40
Ibid
Universitas Sumatera Utara
dengan sistem pemidanaan konvensional, dikarenakan adanya perbedaan yang jelas diantara keduanya. Konsep pemidanaan konvensional memberikan batasan
atau ruang yang sedikit bagi pihak Korban dan Pelaku untuk berperan aktif di dalam menyelesaikan perkara pidana mereka sendiri, sedangkan pada konsep
restorative justice sendiri, peran aktif dari pelaku dan korban menjadi dasar di dalam menyelesaikan perkara pidana itu sendiri.
Bagir Manan menguraikan tentang substansi “restorative justice” yang
berisi prinsip-prinsip, antara lain: ―membangun partisipasi bersama antara Pelaku, Korban, dan kelompok
masyarakat menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana. Menempatkan Pelaku, Korban, dan masyarakat sebagai
“stake holders” yang bekerja sama dan langsung berusaha menemukan penyelesaian yang dipandang adil bagi bagi
semua pihak win-win solutions.
41
Terhadap kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak, maka restorative justice system setidak-tidaknya bertujuan untuk memperbaikimemulihkan to restore
perbuatan kriminal yang dilakukan anak dengan tindakan yang bermanfaat bagi anak, korban dan lingkungannya yang melibatkan mereka secara langsung
reintegrasi dan rehabilitasi dalam penyelesaian masalah, dan berbeda dengan cara penanganan orang dewasa, yang kemudian akan bermuara pada tujuan dari
pidana itu sendiri yang menurut Barda Nawawi Arief tujuan pemidanaan bertitik tolak kepada ―perlindungan masyarakat‖ dan ―perlindunganpembinaan individu
pelaku tindak pidana‖.
42
41
M.Taufik Makarao dan Tim Pengkajian Hukum, Pengkajian Hukum Tentang Penerapan restorative Justice Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak-
Anak,Jakarta, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan HAM RI,2013.,hlm.viii
42
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Susan Sharpe seorang ahli berkebangsaan Canada mengusulkan ada 5 prinsip kunci dari restorative justice yaitu:
43
1. Restorative justice invites full participation and consensus restorative justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus, artinya korban
dan pelaku dilibatkan dalam perjalanan proses secara aktif, selain itu juga membuka ruang dan kesempatan bagi orang lain yang merasa
kepentingan mereka telah terganggu atau terkena imbas contoh tetangga yang secara tidak langsung merasa tidak aman atas kejahatan
tersebut. Undangan untuk ikut serta pada dasarnya tidak mengikat wajib hanya sebatas sukarela, walaupun demikian tentunya pelaku
harus diikutkan. Kalau tidak maka akan berjalanlah proses peradilan tradisional.
2. Restorative justice seeks to heat what is broken restorative justice berusaha menyembuhkan kerusakankerugian yang ada akibat
terjadinya tindakan kejahatan. sebuah pertanyaan penting tentang restorative justice adalah apakah korban butuh untuk disembuhkan,
untuk menutupi dan menguatkan kembali perasaan nyamannya? Korban harus diberikan informasi yang sejelas-jelasnya mengenai
proses yang akan dijalaninya, mereka perlu mengutarakan dan mengungkapkan perasaan yang dirasakannya kepada orang yang telah
merugikannya atau pelaku kriminal dan mereka mengungkapkan hal itu untuk menunjukkan bahwa mereka butuh perbaikan. Pelaku juga
butuh penyembuhan, mereka butuh untuk dibebaskan dari kebersalahan dan ketakutan, mereka butuh pemecahan masalah
mengenai konflik apakah yang sebenarnya dialami atau terjadi padanya yang menjadi permulaan sehingga dia terlibat atau bahkan
melakukan kejahatan, dan mereka butuh kesempatan untuk memperbaiki semuanya.
3. Restorative justice seeks full and direct accountability restorative justice memberikan pertanggungjawaban langsung dari pelaku secara
utuh. Pertanggungjawaban bukan hal yang mudah untuk dilakukan, karena pelaku harus mau menunjukkan fakta pengakuannya bahwa dia
atau mereka melanggar hukum, dia juga harus menunjukkan kepada orang-orang yang telah dirugikannya atau melihat bagaimana
perbuatannya itu merugikan orang banyak. Dia harus atau diharapkan menjelaskan perilakunya sehingga korban dan masyarakat dapat
menanggapinya. Dia juga diharapkan untuk mengambil langkah nyata untuk memperbaiki kerusakan dan kerugian tadi.
4. Restorative justice seeks to recinite what has been devided restorative justice mencarikan penyatuan kembali kepada warga masyarakat yang
telah terpisah atau terpecah belah karena tindakan kriminal. Tindakan kriminal
telah memisahkan
atau memecah
orang dengan
masyarakatnya, hal ini merupakan salah satu bahaya yang disebabkannya. Proses restorative justice berusaha menyatukan
43
Susan Sharpe dalam Marlina, Op.Cit
Universitas Sumatera Utara
kembali seseorang atau beberapa orang yang telah terpecah dengan masyarakat ataupun orang yang telah mendapatkan penyisihan atau
stigmatisasi, dengan melakukan rekonsiliasi antara korban dengan pelaku dan mengintegrasikan keduanya kembali ke dalam masyarakat.
Perspektif restorative justice
adalah julukan ―korban‖ dan ―pelaku‖ tidak melekat selamanya. Masing-masing harus punya masa depan dan
dibebaskan dari masa lalunya. Mereka tidak dideklarasikan sebagai peran utama dalam kerusakan, tetapi mereka juga disebabkan atau
akibat yang menjadi objek penderita.
5. Restorative justice seeks to strengthen the community in order to prevent further harms restorative justice memberikan ketahanan
kepada masyarakat agar dapat mencegah terjadinya tindakan kriminal berikutnya. Kejahatan memang menimbulkan kerusakan dalam
masyarakat, tetapi selain daripada itu kejahatan juga membuka tabir keadilan pada norma yang sudah ada untuk menjadi jalan awal
memulai keadilan yang sebenarnya bagi semua masyarakat. Karena pada dasarnya semua peristiwa kejahatan dapat disebabkan oleh
pengaruh keadaan di luar kehendak diri seseorang, sehingga terciptalah
―korban‖, ―pelaku‖ dan perilaku kriminal. Hal tersebut bisa juga disebabkan karena sistem yang ada dalam masyarakat yang
mendukung terjadinya kriminal seperti rasial, keadilan ekonomi, yang bahkan di luar perilaku seseorang pada dasarnya sama sekali. Oleh
sebab itu korban dan pelaku harus kembali ditempatkan untuk menjaga keutuhan masyarakat dan membuat tempat yang adil dan aman untuk
hidup.
Konsep restorative justice bisa dijadikan masukan dalam rangka memberikan perlindungan kepada anak yang berkonflik dengan hukum. Tujuan
utama dari restorative justice adalah perbaikan atau pergantian kerugian yang diderita oleh korban, pengakuan pelaku terhadap luka yang diderita oleh korban
atau masyarakat akibat tindakannya, konsiliasi dan rekonsiliasi pelaku, Korban dan masyarakat.
44
Restorative justice juga bertujuan merestorasi kesejahteraan masyarakat, memperbaiki diri dengan cara menghadapkan anak sebagai pelaku
berupa pertanggungjawaban kepada korban atas tindakannya.
45
44
Marlina dalam Reyner Timothy Danielt, Penerapan Restorative Justice Terhadap Tindak Pidana Anak Pencurian Oleh Anak DI Bawah Umur, Artikel Skripsi Lex et
Societas,Vol.IINo.6Juli2014,Manado,Universitas Sam Ratulangi,2014.,hlm.18
45
Ibid.,hlm.18
Universitas Sumatera Utara
Nasir Djamil di dalam bukunya ―Anak Bukan Untuk Di Hukum‖ juga menjelaskan tujuan dari konsep restorative justice yaitu:
46
1. Mengupayakan perdamaian antara korban dan anak; 2. Mengutamakan penyelesaian di luar proses peradilan;
3. Menjauhkan anak dari pengaruh negatif proses peradilan; 4. Menanamkan rasa tanggung jawab anak;
5. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan; 6. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi;
7. Meningkatkan keterampilan hidup anak.
B. Kewajiban Pelaksanaan Diversi