penahanan tidak dapat dilakukan. Sehingga hambatan yang dapat dilihat adalah, kurangnya pengetahuan dari pihak Korban terhadap peraturan Diversi dan sistem
peradilan pidana anak. Hambatan pelaksanaan Diversi lainnya, diungkapkan oleh Iswahyu
Widodo, Hakim Anak di Pengadilan Makassar yang menyatakan kendala untuk mendamaikan pihak korban dan pihak pelaku adalah Korban sudah mengalami
kejadian seperti itu berkali-kali walaupun yang melakukan kejahatan itu bukan Anak dan bukan orang yang sama. Pada kasus perkelahian, orangtua Korban
bersikeras tidak menerima anaknya menjadi korban penganiayaan.
102
B. Hambatan Yang Berasal Dari Penegak Hukum
Penanganan terhadap perkara anak yang berkonflik dengan hukum di Indonesia tidak terlepas dari peranan penegak hukum yang menegakkan hukum
serta peran serta masyarakat itu sendiri sehingga hasil yang dicapai dapat mengedepankan kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Penegakan hukum dalam
konteks hukum pidana dilaksanakan melalui sistem peradilan pidana SPP yang pelaksanaannya terdiri dari setidaknya 4 empat komponen, yakni Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan, dan Pemasyarakatan. Suatu lembaga pelaksana peradilan pidana pada prinsipnya berpengaruh pada fungsi lembaga lain, sehingga tercipta
sebuah Sistem Peradilan Pidana Terpadu integrated criminal justice system.
103
102
Imran Adiguna, Aswanto, wiwie Heryani, Penerapan Diversi terhadap Anak yang Berhadapan Dengan Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana,Makassar,Universitas Hasanuddin,
hlm.13
103
Abdi Reza Fachlewi Junus, Peran Jaksa Dalam Menerapkan Konsep Diversi Terhadap Anak Yang berkoflik Dengan Hukum,Jakarta,UI,2012.,hlm.136
Universitas Sumatera Utara
Untuk melaksanakan Diversi aparat harus tahu mengenai apa pengertian dan tujuan dari Diversi itu. Kesepahaman tentang Diversi ini lah yang menjadi
hambatan pelaksanaan Diversi yang pertama. Apabila aparat yang melakukan tugas diversi menganggap sebagai suatu keleluasaan baginya dalam menentukan
kebijakan tentunya akan membuat apriori dari masyarakat baik korban maupun masyarakat. Sehingga masyarakat akan menghindari proses Diversi yang
mempunyai ketimpangan dalam pelaksanaannya dan menganggap Diversi sebagai kesewenang-wenangan aparat dalam menterjemahkan kekuasaannya.
104
Hambatan kedua yaitu diversi masih belum dikenal luas oleh masyarakat sehingga akan menimbulkan resistensi dari masyarakat itu sendiri.
105
Apabila kita lihat Pasal 8 dan Pasal 9 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak,
menguraikan: Pasal 8:
1 Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orangtuawalinya, korban danatau orangtuawalinya,
Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif.
2 Dalam hal diperlukan, musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial, danatau
masyarakat. 3 Proses Diversi wajib memperhatikan:
a. kepentingan korban; b. kesejahteraan dan tanggung jawab Anak;
c. penghindaran stigma negatif; d. penghindaran balasan;
e. keharmonisan masyarakat; dan f. kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum
104
Marlina, Pengembangan Konsep Diversiā¦, Op.Cit, hlm.400
105
Abdi Reza Fachlewi Junus, Op.Cit, hlm.137-138
Universitas Sumatera Utara
Pasal 9: 1 Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan Diversi harus
mempertimbangkan: a. kategori tindak pidana;
b. umur Anak; c. hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas;dan
d. dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.
2 Kesepakatan Diversi harus mendapatkan persetujuan korban danatau keluarga Anak Korban serta kesediaan Anak dan keluarganya, kecuali
untuk: a. tindak pidana yang berupa pelanggaran;
b. tindak pidana ringan; c. tindak pidana tanpa korban; atau
d. nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi
setempat. Apabila melihat Pasal 8 dan 9 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana
Anak diatas, maka jelas bahwa proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan
melibatkan Anak
dan orangtuaWalinya,
Korban danatau
orangtuaWalinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional dan atau masyarakat berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif, dan
kesepakatan Diversi harus mendapatkan persetujuan dari Korban dankeluarga Korban, sehingga disini masyarakat wajib untuk tahu dan mengerti mengenai
Diversi dan merupakan tanggung jawab dari pemerintah dan penegak hukum untuk memberikan penyuluhan atau penerangan hukum kepada masyarakat
mengenai defenisi dan pengertian dari Diversi tersebut.
106
Selain pemahaman mengenai Diversi dan Anak yang Berhadapan dengan Hukum perlu diketahui dan dipahami oleh masyarakat yang paling utama ialah
pemahaman oleh para penegak hukum mengenai Diversi itu sendiri sehingga penegak hukum dalam mengaplikasikan Diversi dapat secara maksimal selaku
mediator yang memberikan pemahaman kepada kepada korban, keluarga dan
106
Ibid, Hlm.139-140
Universitas Sumatera Utara
masyarakat.
107
Masyarakat kita cenderung masih memandang pemidanaan adalah akibat nyatamutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada pelaku
tindak pidana.
108
Hambatan ketiga yaitu kesiapan dari pihak yang turut di dalam pelaksanaan Diversi itu sendiri. Pasal 1 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana
anak menguraikan para pihak yang terkait dengan Anak yang Berkonflik dengan Hukum, Anak Korban, Anak Saksi, Penyidik Anak, Penuntut Umum Anak,
Hakim Anak, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional, Tenaga Kesejahteraan Sosial, keluarga, wali, pendamping Advokat, Lembaga Pembinaan
Khusus Anak LPKA, Lembaga Penempatan Anak Sementara LPAS, Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial LPKS, Klien Anak, dan Balai
Pemasyarakatan Bapas. Pihak-pihak inilah yang padanya nanti harus bekerja sama satu sama lain untuk mensukseskan upaya Diversi tersebut.
Salah satu pihak yang memiliki peranan penting di dalam mensukseskan upaya Diversi adalah Bapas. Hasil dari Litmas dan Bapas akan menjadi
pertimbangan oleh Penyidik, Jaksa, Hakim dan petugas terkait lainnya mengenai tindakan yang akan diambil terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum.
109
Persoalan yang terjadi adalah dimana masih nampak keminiman dari jumlah Bapas yang ada di Indonesia, yang pada akhirnya akan berimbas pada
pelaksanaan Diversi itu sendiri. Abdi Reza Fachlewi Junus menguraikan masalah tersebut dari hasil wawancara yang dilakukan pada tahun 2012 dengan Bapas
Kotamadya Metro Lampung, dimana Kantor Bapas Kota Metro Lampung dengan
107
Ibid
108
Eva Achzani Zulfa, Indriyanto Seno Adjie dalam Abdi Reza Fachlewi Junus, Ibid
109
Ibid, hlm.141
Universitas Sumatera Utara
Jumlah Petugas Bimbingan Klien Anak sebanyak 3 tiga orang termasuk Kasubsinya harus melayani 1 satu Kotamadya dan 6 enam Kabupaten
ditambah 2 dua kabupaten pemekaran baru yaitu Kotamadya Metro, Kabupaten Lampung timur, Kabupaten Lampung Tengah, Kabupaten Lampung Utara,
kabupaten Lampung Selatan, Kabupaten Waykanan, Kabupaten Tulang Bawang, dan pemekarannya Kabupaten Tulang Bawang Barat dan Kabupaten Mesuji.
Rata-rata penanganan perkara Anak sebanyak 30-50 kasus perbulan. Keadaan ini menjadi hambatan bagi petugas Bapas yang sejumlah 3 tiga orang yang harus
melayani wilayah yang sangat luas dimana hal tersebut tidak ideal dalam penyusunan Litmas.
110
Pengaruh jumlah dari Bapas perkabupaten dengan kesuksesan upaya Diversi juga disebutkan di dalam Surat Edaran Direktur Bimbingan
Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak Nomor: PAS6.PK.01.05-135 Tahun 2014 tentang Prosedur dan Mekanisme Kerja POS Bapas, bahwa berdasarkan hasil
pemetaan yang dilakukan oleh Jenderal Pemasyarakatan, salah satu faktor yang menghambat pelaksanaan pelayanan dan pembinaan pemasyarakatan disebabkan
wilayah kerja Balai Pemasyarakatan Bapas terlampau luas. Sementara, jumlah SDM Pembimbing Kemasyarakatan PK, sarana dan prasarana serta daya dukung
operasional lainnya sangat minim jika dibandingkan dengan jumlah warga binaan pemasyarakatan WBP yang harus dilayani. Kondisi tersebut pada gilirannya
mengganggu optimalisasi pelayanan dan pembinaan menjadi tidak optimal. Permasalahan mengenai kesiapan ini lebih lanjut diuraikan sebagai berikut:
111
110
Ibid, hlm.142
111
Dedek Pratama Prasetia Putra, Op.Cit, hlm.6-7
Universitas Sumatera Utara
1. Terbatasnya fasilitas sebagai alat untuk pelaksanaan restorative justice seperti, ruang mediasi untuk musyawarah, ruang khusus Anak, dan
Lembaga Penempatan Anak Sementara. 2. Kurangnya peraturan sebagai dasar pelaksanaan restorative justice
seperti belum adanya Peraturan Pemerintah sebagai pelaksana beberapa aturan dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak serta belum adanya peraturan dan perjanjian kerjasama tertulis antara polisi dan lembaga terkait seperti
Pekerja Sosial professional, Lembaga Swadaya Masyarakat dan organisasi kemasyarakatan.
Berdasarkan pengamatan Insitute for Criminal Justice Reform ICJR, pemerintah memiliki kewajiban dalam mengeluarkan setidaknya 6 enam materi Peraturan
Pemerintah PP dan 2 dua materi Perpres, kewajiban tersebut telah diamanatkan dalam berbagai pasal di Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Meskipun terdapat ketentuan dalam Pasal 107 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menyebutkan bahwa peraturan pelaksanaan Undang-Undang
Sistem Peradilan Pidana Anak harus ditetapkan paling lama 1 satu tahun sejak Undang-Undang Sistem peradilan Pidana Anak diberlakukan, namun kehadiran
peraturan pelaksana dari Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak sangat mutlak diperlukan bersamaan dengan diberlakukannya Undang-Undang Sistem
Peradilan Pidana Anak atau setidaknya secepatnya dikeluarkan.
112
Mekanisme Diversi dalam undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak untuk mendapatkan
keadilan restoratif itu terancam gagal. Pasalnya, mekanisme Diversi baru dapat
112
CJR: RPP UU SPPA Belum terbit, Pemerintah Lambat, http:icjr.or.idicjr-rpp-uu- sppa-belum-terbit-pemerintah-lambat, Selasa, 24-Februari-2015, jam 12.48 WIB
Universitas Sumatera Utara
berjalan secara optimal apabila pemerintah telah mengeluarkan peraturan pelaksana berupa Peraturan Pemerintah PP mengenai Pedoman Pelaksanaan
Proses Diversi, Tata Cara, dan Koordinasi Pelaksanaan Diversi.
113
Kesiapan dari seluruh pihak yang terlibat dalam pelaksanaan Diversi, baik dari Sumber Daya Manusia, sarana prasarana kesehatan, konseling, pendidikan dan
pelatihan, keterampilan juga kesiapan dan tanggung jawab orangtua anak pelaku tindak pidana, merupakan hal yang harus dipenuhi di dalam pelaksanaan Diversi.
Hambatan lainnya yaitu kurangnya koordinasi antar subsistem dalam peradilan pidana anak, dimana masing-masing subsistem berpandangan untuk
menjatuhkan pidana terhadap anak. Sehingga tidak ada usaha untuk mencari alternatif penyelesaian terbaik untuk anak pelaku tindak pidana dalam usaha
memberikan perlindungan terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum. Pada Penanganan Anak yang Bekonflik dengan hukum, aparat penegak hukum
berkewajiban mengambil kebijakan yang memberikan perlindungan terhadap Anak berdasarkan prinsip the best interest of the child.
114
C. Hambatan Yang berasal Dari Masyarakat