Keaslian Penulisan Tinjauan Kepustakaan

2 Memberikan kontribusi kepada aparat penegak hukum agar dapat melaksanakan Diversi dengan sebaiknya dan sepatutnya, sehingga tercipta suatu hukum yang baik, terutama pada anak.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi yang berjudul Penerapan Diversi di Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Anak ini, adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri, yang mana sumbernya diperoleh dari peraturan perundang-undangan, buku-buku hukum, literatur-literatur hukum, dan media elektronik yang berhubungan dengan skripsi ini. Berdasarkan data kepustakaan Departemen Hukum Pidana,Fakultas Hukum,Universitas Sumatera Utara, bahwa skripsi dengan judul Pelaksanaan Diversi Di Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Anak, belum pernah ada yang yang menulis sebelumnya. Kesamaan atau kemiripan dengan karya ilmiah lain, merupakaan ketidaksengajaan dan tentunya memiliki objek kajian serta pembahasan yang berbeda dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Tindak Pidana Pembentuk undang- undang kita telah menggunakan perkataan ―strafbaar feit ‖ untuk menyebutkan apa yang kita kenal dengan sebagai ―tindak pidana‖ di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan Universitas Sumatera Utara ―straafbaar feit‖ tersebut. Feit di dalam bahasa Belanda berarti ―sebagian dari suatu kenyataan‖ dan strafbaar berarti ―dapat dihukum‖. Secara harfiah dapat diartikan sebagai sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum. Penerjemahan ini belum tepat, karna diketahui bahwa yang dapat dihukum itu adalah manusianya, bukan suatu keadaan, perbuatan, ataupun hal lain. Beberapa ahli hukum memberikan pendapatnya tentang pengertian dari straafbar feit atau tindak pidana: 9 A. Hazewinkel-Suringa, membuat suatu rumusan yang bersifat umum dari ―strafbaar feit‖ sebagai suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak di dalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya. B. Van hamel telah merumuskan “strafbaar feit” itu sebagai ―suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak- hak orang lain‖ C. Pompe merumuskan perkataan “straafbar feit” itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai ―suatu pelanggaran norma gangguan terhadap tertib hukum yang dengan sengaja atau tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum‖ 9 P.A.F lamintang, Dasar-Dasar Hukum pidana Indonesia,Bandung,PT Citra Aditya Bakti,2011.,hlm.181 Universitas Sumatera Utara D. Simons telah merumuskan “strafbaar feit” itu sebagai suatu ―tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat di hukum.‖ E. Moeljatno berpendapat bahwa pengertian perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu, barang siapa melanggar larangan tersebut. F. Bambang Poernomo menyatakan pengertian dari perbuatan pidana, yaitu suatu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Berdasarkan pendapat tersebut, dapat diketahui bahwa pengertian tindak pidana adalah perbuatan pidana atau tindak pidana senantiasa merupakan suatu perbuatan yang tidak sesuai atau melanggar suatu aturan hukum atau perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang disertai dengan sanksi pidana yang mana aturan tersebut ditujukan kepada perbuatan sedangkan ancamannya atau sanksi pidananya ditujukan kepada orang yang melakukan atau orang yang menimbulkan kejadian tersebut. 2. Pengertian Anak dan Kenakalan Anak Universitas Sumatera Utara Setiap negara memiliki defenisi yang tidak sama tentang anak. Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Convention on the Right of the Child CRC atau KHA menetapkan defenisi anak: ―Anak berarti setiap manusia di bawah umur 18 tahun, kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebi h awal.‖ Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak: ―Anak adalah seorang yang belum berusia 18 delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.‖ 10 Pengertian mengenai anak dapat ditemui pada beberapa undang- undang seperti: 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, misalnya, mensyaratkan usia perkawinan 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. 2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak mendefenisikan anak berusia 21 tahun dan belum pernah kawin. 3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak mendefenisikan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah berusia delapan tahun, tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah kawin. 4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan belum pernah kawin. 5. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan membolehkan usia bekerja 15 tahun. 10 Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2010.,hlm.40 Universitas Sumatera Utara 6. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberlakukan Wajib Belajar 9 Tahun, yang dikonotasikan menjadi anak berusia 7 sampai 15 tahun. 11 Pengertian mengenai anak lebih lanjut diatur di dalam peraturan lainnya yaitu: a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 330 ayat 1 memuat batas antara belum dewasa minderjarigheid dengan telah dewasa meerderjarigheid yaitu 21 tahun, kecuali anak tersebut telah kawin sebelum berumur 21 tahun dan Pendewasaan venia aetetis, Pasal 419 KUHPer b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP KUHP tidak merumuskan secara eksplisit tentang pengertian anak, tetapi dapat dijumpai antara lain pada pasal 45 yang memakai batasan usia 16 tahun, yaitu: Pasal 45 berbunyi: 12 Seseorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang dikerjakannya ketika umurnya belum enam belas tahun, hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, walinya, atau pemeliharanya, dengan tidak dikenankan sesuatu hukuman; yakni jika perbuatan itu masuk bagian kejahatan atau salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam pasal 489,490,492,497,503- 505,514,517-519,526,536, dan 540 dan perbuatan itu dilakukan sebelum lalu dua tahun sesudah keputusan terdahulu yang menyalahkan dia melakukan salah satu pelanggaran itu atau suatu kejahatan, atau menghukum anak yang bersalah itu. c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP 11 Ibid, hlm.41 12 Berlakunya UU No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Pengadilan Pidana Anak, pasal 45,46, dan 47 KUHP sudah tidak berlaku. Universitas Sumatera Utara Undang-Undang ini tidak secara eksplisit mengatur tentang batas usia pengertian anak, namun dalam pasal 153 ayat 5 memberi wewenang kepada hakim untuk melarang anak yang belum mencapai usia 17 tahun untuk menghadiri sidang. d. Peraturan Pemerintah No.2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak Bagi Anak yang Mempunyai Masalah Menurut ketentuan ini, anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin. 13 Kenakalan anak berasal dari suatu istilah asing, yaitu Juvenile Delinquency. Juvenile artinya young, anak-anak anak muda, ciri karakteristik pada masa muda sifat-sifat khas pada periode remaja, sedangkan Deliquency artinya doing wrong, terabaikanmengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, a-sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat rebut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi durjana, dursila dan lain-lain. 14 Macam defenisi yang dikemukakan oleh para ilmuwan tentang juvenile delinquency ini yaitu sebagai berikut: 15 Paul Moedikno memberikan perumusan, mengenai pengertian juvenile delinquency, yaitu sebagai berikut: a. Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu kejahatan, bagi anak-anak merupakan delinquency. Jadi semua tindakan yang dilarang oleh hukum pidana, seperti mencuri, menganiaya, membunuh, dan sebagainya. b. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang menimbulkan keonaran dalam masyarakat, misalnya memakai celana jangki tidak sopan, mode you can see dan sebagainya. c. Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial, termasuk gelandangan, pengemis dan lain-lain 13 Nashriana, op.cit, hlm.3 14 Wagiati Soetodjo, op.cit. Hlm.8 15 Ibid. Hlm.9 Universitas Sumatera Utara Menurut Kartini Kartono, yang dikatakan Juvenile Deliquency adalah Perilaku jahatdursila, atau kejahatankenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit patologi secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang. Menurut Fuad Hassan yang dikatakan Juvenile Deliquency adalah perbuatan anti sosial yang dilakukan oleh remaja, yang apabila dilakukan oleh orang dewasa maka dikualifikasikan sebagai kejahatan. R. Kusumanto Setyonegoro dalam hal ini mengemukakan pendapatnya tentang pengertian Juvenile Deliquency yaitu tingkah laku individu yang bertentangan dengan syarat-syarat dan pendapat umum yang dianggap sebagai akseptabel dan baik, oleh suatu lingkungan masyarakat atau hukum yang berlaku di suatu masyarakat yang berkebudayaan tertentu. Individu itu masih anak-anak, maka sering tingkah laku serupa itu disebut dengan istilah tingkah laku yang sukar atau nakal. Jika ia berusaha adolescent atau preadolescent, maka tingkah laku itu sering disebut delikuen; dan jika ia dewasa maka tingkah laku ia sering disebut psikopatik dan jika terang-terangan melawan hukum disebut kriminal. Menurut pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak bahwa yang dimaksud dengan Anak Nakal adalah: a. Anak yang melakukan tindak pidana, atau b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Pada Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan pidana Anak yaitu pada pasal 1 ayat 2 dijelaskan mengenai pengertian Anak Universitas Sumatera Utara yang Berhadapan dengan Hukum, yaitu anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Tim proyek Juvenile delinquency Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Desember 1967, memberikan perumusan mengenai Juvenile Delinquency sebagai suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak yang dianggap bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dan yang oleh masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan yang tercela. 3. Pengertian Sistem Pemidanaan Sistem pemidanaan the sentencing system merupakan aturan perundang- undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan. Sistem pemidanaan dimaksud dapat dilihat dari sudut fungsional dan dari sudut norma substansial. Sudut fungsional diartikan sebagai keseluruhan sistem yang mengatur bagaimana hukum pidana ditegakkan secara konkrit sehingga seseorang dijatuhi sanksi pidana. Sistem pemidanaan demikian identik dengan sistem penegakan hukum pidana yang terdiri dari substansi hukum pidana materiil, substansi hukum pidana formal, dan substansi hukum pelaksanaan pidana. Sistem pemidanaan fungsional diartikan pula sebagai sistem pemidanaan dalam arti luas. 16 Dilihat dari sudut norma substantif, sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai keseluruhan sistem norma hukum pidana materiil untuk penjatuhan dan pelaksanaan pidana. Sistem pemidanan dalam arti substantif diartikan pula 16 Nandang Sambas, Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak Di Indonesia, Bandung,Graha Ilmu,2010.,hlm.10 Universitas Sumatera Utara sebagai sistem pemidanaan dalam arti sempit, yaitu menyangkut masalah aturanketentuan tentang penjatuhan pidana. Andi Hamzah memberikan arti sistem pidana dan pemidanaan sebagai susunan pidana dan cara pemidanaan. M.Sholehuddin menyatakan, bahwa masalah sanksi merupakan hal yang sentral dalam hukum pidana, karena seringkali menggambarkan nilai-nilai sosial dan budaya suatu bangsa. Pidana mengandung tata nilai value dalam suatu masyarakat mengenai apa yang baik dan yang tidak baik, apa yang bermoral dan apa yang amoral serta apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang. 17 Sistem merupakan jalinan dari beberapa unsur yang menjadi satu fungsi. Sistem pemidanaan memegang posisi strategis di dalam upaya menanggulangi tindak pidana yang terjadi. Pengertian sistem pemidanaan apabila diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkrit sehingga seseorang dijatuhi sanksi hukum pidana. Semua aturan perundang-undangan mengenai hukum substantif, hukum pidana formal, dan hukum pelaksanaan pidana, dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan. 17 Eka Putra, Mohammad dan Abul Khair, Sistem Pidana Di Dalam KUHP dan Pengaturannya Menurut Konsep KUHP Baru, Medan, USU Press.,2010.,Hlm.13 Universitas Sumatera Utara

F. Metode Penelitian

Dokumen yang terkait

SKRIPSI PENERAPAN DIVERSI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA PELANGGARAN LALU LINTAS YANG DILAKUKAN OLEH ANAK.

0 2 12

PENDAHULUAN PENERAPAN DIVERSI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA PELANGGARAN LALU LINTAS YANG DILAKUKAN OLEH ANAK.

0 4 16

PENUTUP PENERAPAN DIVERSI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA PELANGGARAN LALU LINTAS YANG DILAKUKAN OLEH ANAK.

0 2 5

PENERAPAN DIVERSI DALAM PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA LALU LINTAS YANG DILAKUKAN OLEH ANAK Penerapan Diversi Dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Lalu Lintas Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Kasus Pengadilan Negeri Boyolali).

0 3 16

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA TERHADAP ANAK MELALUI DIVERSI Penyelesaian Perkara Pidana Terhadap Anak Melalui Diversi(Studi Kasus Wilayah Hukum Sukoharjo).

0 2 19

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA TERHADAP ANAK MELALUI DIVERSI Penyelesaian Perkara Pidana Terhadap Anak Melalui Diversi(Studi Kasus Wilayah Hukum Sukoharjo).

0 2 15

PENERAPAN DIVERSI DALAM TINDAK PIDANA PENCABULAN DENGAN PELAKU ANAK Penerapan Diversi Dalam Tindak Pidana Pencabulan Dengan Pelaku Anak (Dalam Perkara Nomor: 02/Pen.Pid.Diversi/2014/PN.Skt).

0 6 17

BAB II DIVERSI SEBAGAI SUATU KEWAJIBAN DI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA ANAK A. Konsep Diversi dan Restorative Justice Pada Sistem Pengadilan Anak - Penerapan Diversi Di Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Anak

0 0 33

BAB I PENDAHULUAN - Penerapan Diversi Di Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Anak

0 0 20

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA ANAK MELALUI DIVERSI (KAJIAN TERHADAP PRAKTIK DIVERSI DI PENGADILAN NEGERI BANJARNEGARA)

0 0 13