BAB IV HAMBATAN DI DALAM PELAKSANAAN DIVERSI
A. Hambatan Yang Berasal Dari Korban
Menurut Muladi, korban adalah orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional,
ekonomi atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing
negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan. Menurut Arif Gosita, korban adalah ― mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang
lain yang yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita.‖
94
Perkembangan di dalam ilmu viktimologi juga telah membedakan apa yang disebut dengan korban, dengan membedakan korban dalam beberapa jenis,
yaitu sebagai berikut:
95
a. Nonparticipating victims yaitu mereka yang tidak peduli terhadap upaya penanggulangan kejahatan.
b. Latent victims yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu sehingga cenderung menjadi korban.
c. Procative victims yaitu mereka yang menimbulkan terjadinya kejahatan
d. Participating victims yaitu mereka yang dengan perilakunya memudahkan dirinya menjadi korban.
e. False victims yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan yang dibuatnya sendiri.
94
Peran korban Dalam SPP, m.kompasiana.compostread3827712peran-korban- dalam-spp.html, Senin,02-Maret-2015, jam 23.38 WIB
95
Dikdik M.Arief Mansur dan Eliatris Gultom dalam Juni S Simanjuntak, Tinjauan Yuridis Perbandingan Perlindungan Hukum Terhadap Korban dan pelaku Kejahatan Didasarkan
Atas Asas Equality Before The Law, Medan,USU,2012.,hlm.29
Universitas Sumatera Utara
Dilihat dari peranan korban dalam terjadinya tindak pidana, Stephen Schafer mengatakan pada prinsipnya terdapat empat tipe korban, yaitu sebagai
berikut:
96
a. Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa, tetapi tetap menjadi korban.
Untuk tipe ini, kesalahan ada pada Pelaku. b. Korban secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu yang
merangsang orang lain untuk melakukan kejahatan. Untuk tipe ini, korban dinyatakan turut mempunyai andil dalam
terjadinya kejahatan sehingga kesalahan terletak pada pelaku dan korban.
c. Mereka yang secara biologis dan sosial potensial menjadi korban. Anak-anak, orangtua, orang yang cacat fisik atau mental, orang
miskin, golongan minoritas dan sebagainya merupakan orang-orang yang mudah menjadi korban. Korban dalam hal ini tidak dapat
disalahkan, tetapi masyarakatlah yang harus bertanggung jawab.
d. Korban karena ia sendiri merupakan pelaku. Inilah yang dikatakan sebagai kejahatan tanpa korban. Pelacuran,
perjudian, zina, merupakan beberapa kejahatan yang tergolong kejahatan tanpa korban. Pihak yang bersalah adalah korban karena ia
juga sebagai pelaku.
Tidak dapat dipungkiri selama ini dalam menganalisa maupun dalam menangani suatu peristiwa kejahatan perhatian tercurah pada pelaku kejahatan
saja. Sedikit sekali perhatian diberikan pada korban kejahatan yang sebenarnya merupakan elemen partisipan dalam peristiwa pidana. Si korban tidaklah hanya
merupakan sebab dan dasar proses terjadinya kriminalitas tetapi memainkan peranan penting dalam usaha mencari kebenaran materiil yang dikehendaki
hukum pidana materil. Korban dapat mempunyai peranan yang fungsional dalam terjadinya suatu tindak pidana baik dalam keadaan sadar ataupun tidak sadar,
secara langsung ataupun tidak langsung.
97
Menurut Arif Gosita, salah satu latar belakang pemikiran viktimologis ini adalah ―pengamatan meluas terpadu‖. Segala
96
Ibid, hlm.30-31
97
Syafruddin, Peranan Korban Kejahatan Victim Dalam Terjadinya Suatu Tindak Pidana kejahatan Ditinjau Dari Segi Victimologi, Medan,USU, 2002.,hlm.2
Universitas Sumatera Utara
sesuatu harus diamati secara meluas terpadu makro-integral di samping secara mikro-klinis, apabila kita ingin mendapatkan gambaran kenyataan menurut
proporsi yang sebenarnya secara dimensional mengenai sesuatu, terutama mengenai relevansi sesuatu.
98
Setidak-tidaknya dapat ditegaskan bahwa apabila kita hendak mengamati masalah kejahatan menurut proporsi yang sebenarnya dari berbagai dimensi
secara dimensional maka mau tidak mau kita harus memperhitungkan peranan korban victim dalam timbulnya suatu kejahatan. Selanjutnya pemahaman
tentang korban kejahatan ini baik sebagai penderita sekaligus sebagai faktorelemen dalam suatu peristiwa pidana akan sangat bermanfaat dalam upaya-
upaya pencegahan terjadinya tindak pidana itu sendiri preventif. Oleh karena itu seorang korban dapat dilihat dari dimensi korban kejahatan ansich ataupun
sebagai salah satu faktor kriminogen. Selain itu korban juga dapat dilihat sebagai komponen penegakan hukum dengan fungsinya sebagai saksi korban atau
pelapor.
99
Masalah yang terjadi adalah bahwa korban ataupun keluarga korban yang menjadi penghambat di dalam penegakan hukum tersebut. Kesuksesan upaya
Diversi sangat ditentukan oleh keaktifan korban di dalamnya. Apabila pihak korban tidak menyetujui upaya Diversi, maka pennyelesaian perkara pidana Anak
akan diselesaikan dengan upaya penal. Ada beberapa hambatan yang berasal dari korban ataupun keluarga korban
yang mengakibatkan upaya Diversi menjadi terhambat atau tidak dapat dilakukan.
98
Gosita Arief dalam Syafruddin, Ibid
99
Ibid, hlm.3
Universitas Sumatera Utara
Hambatan dalam penerapan Diversi di polrestabes Surabaya menurut Kanit PPA Satreskrim Polrestabes Surabaya,Suratmi, adalah sikap keluarga korban yang
kurang menerima pelaksanaan Diversi dan menganggap Diversi belum mewakili pertanggungjawaban bagi anak yang melakukan tindak pidana dan kerugian yang
kurang sepadan dengan keadaan yang ditimbulkan. Pernyataan yang sama dinyatakan oleh Aiptu Wiyono, Penyidik unit PPA Polrestabes Surabaya yang
menyatakan salah satu hambatan pelaksanaan Diversi adalah sikap keluarga korban yang beranggapan adanya restorative justice hanya akan membebaskan
Anak dari tanggung jawab atas perbuatannya.
100
Salah satu kasus yang terjadi yaitu di kota Balik Papan. Ahmad Fauzy 30 Tahun warga Balik Papan Kota dan keluarganya merasa dirugikan karena adanya
upaya Diversi. Keponakan Ahmad Fauzi yang berumur 14 tahun diperkosa oleh remaja berinisial ATN yang berumur 17 tahun yang sama-sama tinggal di Kota
Balik Papan. Kasus tersebut diselesaikan melalui upaya Diversi yaitu dengan melakukan musyawarah antara pihak yang melibatkan Anak dan orangtuawali,
Korban dan atau orang tuawalinya, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional, Perwakilan dan pihak-pihak yang terlibat lainnya untuk mencapai
kesepakatan Diversi. Pada awalnya aparat kepolisian sebenarnya sudah mengambil tindakan, yaitu ATN ditangkap, ditahan, dan di proses hukum.
Namun, karena usia pelaku dibawah 18 tahun dan masih masuk dalam kategori anak sesuai dengan yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, maka polisi memberlakukan Diversi.
100
Dedek Pratama Prasetia Putra, Implementasi Restorative Justice Terhadap Anak Yang berkonflik Dengan hukum Di Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya, Jurnal, Surabaya,Universitas
Negeri Surabaya, hlm.6-7
Universitas Sumatera Utara
Upaya Diversi ini menurut keluarga korban tidak adil yaitu merasa bahwa si pelaku tidak mempertanggung jawabkan perbuatannya. Ketidakadilan tersebut
menurut keluarga korban salah satunya dari sikap kepolisian yang memulangkan pelaku kerumahnya, sebagai tahanan luar.
101
Dari kasus di atas, terlihat bahwa adanya hambatan pelaksanaan upaya Diversi yang berasal dari korban atau keluarga korban, dimana menganggap
upaya Diversi membebaskan Anak sebagai Pelaku dari tanggung jawabnya. Hambatan yang kedua, yaitu kesalahpahaman atas sikap dari kepolisian yang
memulangkan Anak sebagai pelaku kerumahnya dan tidak menahannya. Pada kenyataannya sikap kepolisan di Kota Balik Papan tersebut didasarkan pada
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tepatnya pada pasal 32, yang berbunyi:
1 Penahanan terhadap Anak tidak boleh dilakukan dalam hal Anak memperoleh jaminan dari orangtuaWali danatau lembaga bahwa
Anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, danatau tidak akan mengulangi tindak pidana.
2 Penahanan terhadap Anak hanya dapat dilakukan dengan syarat sebagai berikut:
a. Anak telah berumur 14 empat belas tahun atau lebih; dan b. Diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7
tujuh tahun atau lebih. 3 Syarat penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 harus
dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan. 4 Selama Anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial Anak
harus tetap dipenuhi. 5 Untuk melindungi keamanan Anak, dapat dilakukan penempatan Anak
diLPKS. Dalam kasus ATN tersebut, dapat diketahui bahwa ancaman hukuman
terhadap tindak pidana yang dilakukannya dibawah 7 tujuh tahun, sehingga
101
http:kotabalikpapan.net20141209diversi-sangat-merugikan-pihak-korban, Selasa, 03-Maret-2015 Jam 03.22 WIB
Universitas Sumatera Utara
penahanan tidak dapat dilakukan. Sehingga hambatan yang dapat dilihat adalah, kurangnya pengetahuan dari pihak Korban terhadap peraturan Diversi dan sistem
peradilan pidana anak. Hambatan pelaksanaan Diversi lainnya, diungkapkan oleh Iswahyu
Widodo, Hakim Anak di Pengadilan Makassar yang menyatakan kendala untuk mendamaikan pihak korban dan pihak pelaku adalah Korban sudah mengalami
kejadian seperti itu berkali-kali walaupun yang melakukan kejahatan itu bukan Anak dan bukan orang yang sama. Pada kasus perkelahian, orangtua Korban
bersikeras tidak menerima anaknya menjadi korban penganiayaan.
102
B. Hambatan Yang Berasal Dari Penegak Hukum