preventif merupakan tindak lanjut dari upaya pre-emtif yang masih dalam tataran pencegahan sebelum terjadinya kejahatan.
103
1. Kebijakan Penal Penal Policy
Upaya penanggulangan Kejahatan dengan menggunakan sanksi hukum pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri.
104
Istilah “kebijakan” berasal dari bahasa Inggris “ policy” atau bahasa belanda “politick” . berbicara mengenai politik hukum pidana, maka tidak terlepas
dari pembicaraan mengenai politik hukum secara keseluruhan karena hukum pidana adalah salah satu bagian dari ilmu hukum. Menurut Soedarto, politik
hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan baik dengan situasi dan kondisi tertentu. Selain itu, politik hukum merupakan kebijakan negara
melalui alat-alat perlengkapannya yang berwenang untuk menetapkan peraturan- peraturan yang dikehendaki dan diperkirakan dapat digunakan untuk
mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dalam rangka mencapai cita-cita yang diinginkan.
105
Soedarto lebih lanjut mengungkapkan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan dalam rangka mencapai hasil perundang-
undangan pidana yang paling baik dengan memenuhi syarat keadilan dan dayaguna
106
103
A.S.Alam,dan Amir,liyas.op.cit.halaman79
104
Muladi dan BardaNawawi Arief.op.cit.halaman.149
105
Mahmud, Mulyadi,Criminal Policy Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Medan ; Bangsa Press,2008,halaman.66
106
Soedarto,HukumPidana danPerkembangan Masyarakat, Bandung; Sinar Baru,1983,halaman.20
.
Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan atau penanggulangan suatu tindak pidana termasuk ke dalam bidang kebijakan kriminal criminal
policy. Kebijakan kriminal inipunj tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas , yaitu kebijakan sosial social policy yang terdiri dari kebijakan atau upaya-upaya
untuk kesejahteraan sosial social welfare policy dan kebijakan atau upaya- upaya untuk perlindungan masyarakat social defence policy.
107
Dengan demikian, Penal policy atau kebijakan hukum pidana pada intinya , bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan
pedoman kepada pembuat undang-undang kebijakan legislatif, kebijakan aplikasi kebijakan yudikatif dan pelaksana hukum pidana kebijakan
eksekutif.kebijakan legislatif merupakan tahap yang sangat menentukan bagi tahap-tahap berikutnya, karena etika peraturan perundang-undangan pidana dibuat
maka sudah ditentukan arah yang hendak dituju atau dengan kata lain, perbuatan perbuatan apa yang dipandang perlu untuk dijadikan sebagai suatu perbuatan yang
dilarang oleh hukum pidana . Ini berarti , menyangkut proses kriminalisasi. Kriminalisasi, menurut Sudarto merupakan proses penetapan suatu perbuatan
seseorang sebagai perbuatan yang dapat dipidana .Tindakan itu diancam dengan terbentuknya undang-undang dengan suatu sanksi berupa pidana. Dalam kaitan ini
, Barda Nawawi Arief menyatakan kebijakan untuk membuat peraturan perundang-undangan yang baik dapat dipisahkan dari tujuan penanggulangan
107
Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan.Bandung: citraAditya Bakti.2001,halaman.32
kejahatan
108
a. Penggunaan hukum pidana harus memerhatikan tujuan pembangunan
nasional , yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil spiritual berdasarkan pancasila ; sehubungan dengan ini maka
penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakkan penanggulangan itu
sendiri , demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat. . Sudarto berpendapat bahwa dalam menghadapi masalah sentral yaitu
kriminalisasi , harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut :
b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan
hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki , yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian kmateriil dan atau spriritualis
atas warga masyarakat. c.
Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil coast and benefit principle,
d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau
kemampuan daya kerja dari bahan-bahan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas overbelasting
109
Segi lain yang dikemukakan dari pendekatan kebijakan ialah yang berkaitan dengan nilai-nilai yang ingin dicapai atau dilindungi oleh hukum pidana
.menurut Basiouni, tujuan –tujuan yang ingin dicapai oleh pidana pada umumnya
108
Barda Nawawi Arief,1996,op.cit.,halaman.2
109
Barda Nawawi Arief.Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana.semarang:Kencana PrenadaMedia Group,2008.halaman. 31
terwujud dalam kepentingan-kepentingan sosial yang mengandung nilai-nilai tertentu yang perlu dilindungi.
Kepentingan-kepentingan sosial tersebut menurut Bassiouni adalah : 1.
Pemeliharaan tertib masyarakat; 2.
Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan , kerugian atau bahaya- bahaya yang tidak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain;dan
3. Memasyarakatkan kembali resosialisasi para pelanggar hukum;
4. Memelihara atau mempertahankan integritas pandangan-pandangan dasar
tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan, dan keadilan individu.
Ditegaskan selanjutnya bahwa sanksi pidana harus disepadankan dengan kebutuhan untuk melindungi dan mempertahankan kepentingan-kepentingan ini
.pidana hanya dibenarkan apabila ada kebutuhan yang berguna bagi masyarakat; pidana tidak diperlukan untuk yang tidak bermanfaat atau membahayakan
masyarakat.selain itu batas-batas sanksi pidana ditetapkan pula berdasarkan kepentingan-kepentingan ini dan berdasarkan nilai-nilai yang mewujudkannya.
110
Kebijakan untuk menggunakan sarana-sarana penal di dalam menanggulangi tindak pidana pencurian, dalam menggunakan sarana penal yang
pada dasarnya lebih menitik beratkan pada tindakan represif. Tindakan terhadap seseorang yang melakukan tindakan pidana pencurian yaitu berupa hukuman,
maka hal ini juga merupakan penanggulangan bagi orang lain yang mungkin
110
Ibid.halaman.36
akanmelakukan pencurian tidak melakukannya lagi karena akibatnya akan dihukum. Namun dalam upaya represif ini perlu diperhatikan dengan baik
sebelum memberikan hukuman. Upaya pencegahan ini berarti bahwa hukum pidana juga harus menjadi
salah satu sistem instumen pencegah kemungkinan terjadinya kejahatan.Ini juga berarti bahwa penerapan hukum pidana harus mempunyai pengaruh yang efektif
untuk mencegah sebelum suatu kejahatan terjadi. Berkaitan dengan masalah pemidanaan dapat dilakukan sebagai instrumen
pencegahan timbul beberapa anggapan bahwa pemidanaan bukan mengurangi terjadinya kejahatan, tetapi justru menambah dan membuat kejahatan menjadi
semakin marak terjadi.Protes ini juga ditujukan kepada gagalnya lembaga pemasyarakatan menjadi sekolah tempat belajar bagaimana meningkatkan kualitas
suatu kejahatan. Dengan kata lain lembaga pemasyarakatan telah menjadi sekolah kejahatan school crime.
Upaya mencari jawaban atas persoalan diatas, maka pembahasan harus diarahkan untuk mengungankapkan secara philosopis apa tujuan sesungguhnya
pemidanaan .alas philosopis pemidanaan sangat penting untuk mencari arah kemana nantinya kebijakan hukum pidana diarahkan. Tanpa itu semua, maka
substansi hukum pidana dan penerapannya akan tercabut dari akar nilai-nilai philosofis dan akan menjadi hukum pidana yang kering serta tidak menyentuh
nilai rasa kemanusiaan yang hidup di dalam masyarakat. Usaha menemukan alas philosopis tujuan hukum pidana ini, maka akan membawa kita pada
pengembaraan secara imaginer dalam alur sejarah pidana dan pemidanaan dari sejak zaman pidana klasik sampai pada perkembangan hukum pidana saat ini.
Pembabakan tentang tujuan pemidanaan ini dapat diuraikan berdasarkan tujuan retributif, deterrence, treatment, dan social defence.
a. Teori Retributif.
Teori Retributif dalam tujuan pemidanaan disandarkan pada alasan bahwa pemidanaan merupakan “ morally justifed” pembenaran secara moral karena
pelaku kejahatan dapat dikatakan layakuntuk menerimanya atas kejahatannya. Teori retributif melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas
kejahatan yang telah dilakukan seseorang .kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan asusila di dalam masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan
harus d ibalas dengan menjatuhkan pidana. Tujuan pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun,sehingga pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan , yaitu
pembalasan.
111
Penjatuhan pidana kepada pelaku kejahatan dalam teori retributif ini , menurut Romli Atmasasmita mempunyai sandaran pembenaran sebagai berikut
:
112
1. Dijatuhkannya pidana akan memuaskan perasaan balas dendam si korban,
baik perasaan adil bagi dirinya , temannya, maupun keluarganya. Perasaan
111
Mahmud Mulyadi.op.cit.halaman. 68
112
Ibid.,halaman.71
ini tidak dapat dihindari dan tidak dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidak menghargai hukum. Tipe aliran retributif ini disebut vindicative;
2. Penjatuhan pidana dimaksudkan sebagai peringatan kepada pelaku
kejahatan dan anggota masyarakat yang lainnya bahwa setiap perbuatan yang merugikan orang lain atau memperoleh keuntungan dari orang lain
secara tidak wajar, maka akan menerima ganjarannya, tipe aliran retributif ini disebut fairness;
3. Pidana dimaksudkan untuk menunjukan adanya kesebandingan antara
beratnya suatu pelanggaran dengan pidana yang dijatuhkan. Tipe aliran ini disebut proportionality.
b. Teori Deterrence
Tujuan yang kedua dari pemidanaan adalah “deterrence” .Terminologi “deterrence” menurut Zimring dan Hawking digunakan lebih terbatas pada
penerapan hukuman pada suatu kasus, dimana ancaman pemidanaan tersebut membuat seseorang merasa takut dan menahan diri untuk melakukan kejahatan .
Tujuan pemidanaan sebagai deterrence effecct sebenarnya telah menjadi sarana yang cukup lama dalam kebijakan penanggulangan kejahatan karena tujuan
deterrence ini berakar dari aliran klasik tentang pemidanaan. Tujuan pemidanaan sebagai deterrence effect ini, dapat dibagi menjadi
pencegahan umum general deterrence dan pencegahan khusus individual or special deterrence.Tujuan pemidanaan untuk prevensi umum diharapkan
memberikan peringatan kepada masyarakat supaya tidak melakukan kejahatan .
prevensi umum ini menurut van Veen mempunyai tiga fungsi , yaitu menegakkan wibawa pemerintah, menegakkan norma dan membentuk norma. prevensi khusus
dimasukkan bahwa dengan pidana yang dijatuhkan , memberikan deterrence effect kepada si pelaku sehingga tidak mengulangi perbuatan kembali. Sedangkan
fungsinya perlindungan kepada masyarakat memungkinkan bahwa dengan pidana pencabutan kebebasan selama beberapa waktu, maka masyarakat akan terhindar
dari kejahatan yang mungkin dilakukan oleh pelaku.
113
c. Teori Treatment.
Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku
kejahatan, bukan pada perbuatannya .namun pemidanaan yang dimaksud oleh aliran ini adalah untuk memberi tindakan perawatan treatment dan perbaikan
rehabilitation kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Argumen aliran ini dilandaskan pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang
yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan treatment dan perbaikan rehabilitation.
Paham rehabilitasi sebagai tujuan pemidanaan dalam perjalanan tidak semulus yang diperkirakan karena paham ini juga banyak menuai kritikan .
kritikan pertamaditujukan pada kenyataannya bahwa hanya sedikit negara yang mempunyai fasilitas untuk menerapkan program rehabilitasi pada tingkat dan
kebijakan yang menekannkan tentang penggunaan tindakan untuk memperbaiki
113
Ibid.,halaman. 74
treatment atas nama penahanan.kritikan kedua , adanya tuduhan yang serius bahwa pendekatan yang digunakan olehpaham rehabilitasi adalah pendekatan
yang mengundang tirani individu dan penolakan hak asasi manusia. Misalnya dalam hal proses rehabilitasi ini tidak seorangpunyang dapat memprediksi berapa
lama pengobatan akan berlangsung ketika seorang tahanan segera diserahkan kepada dokter untuk disembuhkan atau diobati sebelum tahanan itu
dibebaskan.
114
d. Teori Social Deference
dan pada kenyataannya juga tidak dapat direhabilitasi seseorang yang mempunyai sikap anti sosial . Beberapa tujuan dari pemidanaan seperti yang
telah diuraikan di atas telah menjadi suatu dilema dalam hal pemidanaan. Tujuan pidana Retributi dianggap terlalu kejam dan bertentangan dengan nilai-nilai
kemanusiaan .sedangkan tujuan pemidanaan sebagai deterrence dianggap telah gagal dengan fakta semakin meningkatnya jumlah pelaku yang menjadi residivis.
Sementara tujuan pemidanaan rehabilitasi telah kehilangan arahnya .
Sosial Defence adalah aliran pemidanaan yang berkembang setelah PD II dengan tokoh terkenalnya adalah Fillipo Gramatica, yang pada tahun 1945
mendirikan Pusat Studi Perlindungan Masyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya, pandangan social deffence ini terpecah menjadi dua aliran, yaitu
aliranyang radikalekstrim dan aliran yang moderatreformis. Pandangan yang radikal dipelopori dan dipertahankan oleh F.Gramatica,
yang salahsatu tulisannya berjudul “ The fight against punishment” La lotta
114
Ibid., halaman.84
Contra La Pena. Gramatika berpendapat bahwa : “ Hukum perlindungan sosial adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan
terhadap perbuatannya. Menurut Marc Ancel , tiap masyarakat mensyaratkan adanya tertib sosial , yaitu seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya
sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama , tetapi sesuai dengan aspirasi warga masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, peranan yang besar dari
hukum pidana merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielakkan bagi suatu sistem hukum. Beberapa konsep pandangan moderat :
1. Pandangan moderat bertujuan mengintegrasikan ide-ide atau konsepsi-
konsepsi perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi baru hukum pidana. 2.
Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat mengenai hukum pidana, dan ini tidak kurang pentingnya dari
kehidupan masyarakat itu sendiri. 3.
Dalam menggunakan sistem hukum pidana, aliran ini menolak penggunaan fiksi-fiksi dan teknis-teknis yuridis yang terlepas dari
kenyataan sosial .ini merupakan reaksi terhadap legisme dari aliran klasik. Aliran moderat ini juga lahir sebagai jawaban terhadap kegagalan aliran
positif dengan paham rehabilisionisnya.
115
2. Kebijakan Non-penal non-penal policy