Pemeriksaan Imunohistokimia CD 10 Dibandingkan Dengan Pemeriksaan Mikroskopis Histopatologi Konvensional Dalam Menilai Jenis Kista Coklat Ovarium di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU Medan

(1)

KONVENSIONAL DALAM MENILAI JENIS KISTA COKLAT

OVARIUM DI LABORATORIUM PATOLOGI ANATOMI

FAKULTAS KEDOKTERAN USU MEDAN

T E S I S

JESSY CHRESTELLA

117041119

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012


(2)

KONVENSIONAL DALAM MENILAI JENIS KISTA COKLAT

OVARIUM DI LABORATORIUM PATOLOGI ANATOMI

FAKULTAS KEDOKTERAN USU MEDAN

T E S I S

JESSY CHRESTELLA

117041119

Diajukan untuk melengkapi persyaratan dalam mencapai keahlian dibidang Magister Kedokteran Klinik pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012


(3)

(4)

Pemeriksaan Imunohistokimia CD 10 Dibandingkan

Dengan Pemeriksaan Mikroskopis Histopatologi

Konvensional Dalam Menilai Jenis Kista Coklat

Ovarium di Laboratorium Patologi Anatomi

Fakultas Kedokteran USU Medan

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 23 Juli 2012


(5)

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, berkat kasih dan karunia-Nya penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat yang harus dilaksanakan dalam rangka memenuhi persyaratan menyelesaikan jenjang pendidikan Strata dua (S2) pada Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik di Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, namun demikian besar harapan penulis kiranya tulisan sederhana ini dapat bermanfaat dalam menambah perbendaharaan bacaan khususnya tentang :

Pemeriksaan Imunohistokimia CD 10 Dibandingkan Dengan Pemeriksaan Mikroskopis Histopatologi Konvensional Dalam Menilai

Jenis Kista Coklat Ovarium di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU Medan

Dengan selesainya laporan penelitian ini, perkenankan penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. DR. Dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, Sp.A(K) dan seluruh jajarannya yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pada Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik di Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr.

Gontar A. Siregar, SpPD(KGEH) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pada Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik di Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.


(6)

dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Pendidikan Magister Kedokteran Klinik di Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 4. Dr. H. Soekimin, Sp PA (Pembimbing I) dan Dr. H. Joko S. Lukito,

Sp.PA (Pembimbing II), yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah mengorbankan waktu untuk memberikan dorongan, bimbingan, semangat, bantuan serta saran-saran yang bermanfaat kepada Penulis, mulai dari persiapan penelitian sampai pada penyelesaian tesis ini.

5. Ketua Departemen Patologi Anatomi FK USU; Dr. T. Ibnu Alferraly, Sp.PA, dan seluruh Staf Pengajar Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara atas bantuan dan dukungannya dalam penyelesaian tesis ini.

6. Ibu Maya Fitria, SKM, M.Kes selaku pembimbing statistik yang telah dengan sabar memberikan bimbingan dalam penyusunan tesis ini. 7. Terima kasih kepada teman sejawat dan para senior, pegawai dan

analis di lingkungan Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara atas kerja sama dan saling pengertian yang diberikan sehingga penulis dapat sampai pada akhir program pendidikan ini.

8. Persembahan terima kasih yang tulus, rasa hormat dan sembah sujud kepada ayahanda dan ibunda tercinta (Bpk. Riady dan Ibu Elisabeth Tan) yang telah membesarkan, membimbing dan mendidik penulis dengan penuh kasih sayang dari masa kecil hingga kini. Dengan jasa mereka inilah Penulis dapat menjalani pendidikan Magister Kedokteran Klinik.

9. Persembahan terima kasih yang tulus, rasa hormat dan sembah sujud kepada ibunda mertua Dr. Endang Haryanti Gani, SpPar.K, yang telah banyak membantu dan memberi dorongan semangat kepada penulis,


(7)

10. Buat suamiku yang tercinta Dr. Wahyudi Gani, SpOG dan anak-anakku yang tercinta, Samuel Joe Anderson Gani, Grace Abigail Gani dan Nathan Azriel Gani, tiada kata yang terindah yang dapat saya ucapkan selain puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas kehadiran kalian berempat dalam hidup saya dan terima kasih yang sebesar-besarnya atas pengertian, kesabaran, dorongan semangat, pengorbanan dan doa yang diberikan kepada saya hingga dapat sampai pada akhir masa pendidikan ini.

Akhirnya, Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih perlu mendapat koreksi dan masukan untuk kesempurnaan. Oleh karena itu Penulis berharap adanya kritik dan saran untuk penyempurnaan tulisan ini. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juli 2012 Penulis

Jessy Chrestella


(8)

Jenis Kista Coklat Ovarium di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU Medan

Jessy Chrestella

Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan

ABSTRAK

Latar belakang : Dalam penegakan diagnosis histopatologi kista coklat atau endometriosis pada ovarium, tidak jarang ditemukan adanya diskrepansi antara klinis dengan patologi. Kista lutein berdarah yang secara klinis mirip dengan kista endometriosis juga sering disalah diagnosis sehingga penanganan kista-kista tersebut menjadi tidak optimal. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan pemeriksaan imunohistokimia CD 10 dengan histopatologi konvensional dalam membedakan kista endometriosis dengan kista lutein berdarah.

Metode : Terhadap 44 kasus sediaan kista ovarium yang telah didiagnosis awal dengan pemeriksaan histopatologi konvensional H&E, masing-masing 22 spesimen kista endometriosis dan 22 kista lutein berdarah, dilakukan pemeriksaan imunohistokimia CD 10 untuk melihat adanya ekspresi positif pada sel-sel stroma endometrium.

Hasil : Pemeriksaan imunohistokimia CD 10 dibandingkan dengan pemeriksaan histopatologi konvensional untuk menilai kista endometriosis ovarium memiliki sensitivitas sebesar 72,27% dan spesifisitas sebesar 77,27%. Secara statistik terdapat perbedaan yang bermakna antara pemeriksaan imunohistokimia CD 10 dengan histopatologi konvensional (p= 0,001).

Kesimpulan : Pemeriksaan imunohistokimia CD 10 bermanfaat dalam penegakan diagnosis kista endometriosis yang akurat dan membedakannya dengan kista lutein berdarah.

Kata kunci : kista coklat, endometrioma, endometriosis, kista lutein berdarah, ovarium, imunohistokimia, CD 10, histopatologi.


(9)

Laboratory University of North Sumatera Medan Jessy Chrestella

Department of Anatomical Pathology, Faculty of Medicine, University of North Sumatera, Medan

ABSTRACT

Background : Because endometriotic ovarian cysts and hemorrhagic corpus luteum cysts both contain blood products, they commonly have an overlapping appearance. Hence, it’s not uncommon to find discrepancies between clinical and pathological diagnosis, resulting in over or under treatment of the cysts. The purpose of this study were to investigate CD10 immunoreactivity compared to conventional routine histopathology in differentiating endometriotic cysts from hemorrhagic corpus luteum cysts.

Methods : Formalin-fixed and paraffin-embedded tissues from 44 hemorrhagic cysts of the ovary were included in this study. Among them are 22 cases of endometriotic cysts and another 22 cases of corpus luteum cysts. They were retrieved by hematoxylin-eosin examination in the initial pathologic diagnosis and were evaluated by immunohistocemistry with CD 10 antibody.

Results : CD 10 immunohistochemistry were found to have improved diagnostic sensitivity for endometriosis in the ovary by 72,27% with specificity about 77,27% if compared to conventional routine histopathology findings in assessing chocolate cysts of the ovaries. Statistically, there are significant difference between them (p value = 0,001).

Conclusions : CD10 immunostaining may play a useful role in assessing the differential diagnosis between endometriotic ovarian cysts and hemorrhagic corpus luteum cysts.

Key words : chocolate cyst, endometriosis, endometriotic cyst, corpus luteum cyst, hemorrhagic cyst, ovary, immunohistochemistry, CD 10, histopathology.


(10)

Halaman

KATA PENGANTAR………...……….………… i

ABSTRAK………...………...……… iv

DAFTAR ISI………...……… vi

DAFTAR TABEL ……….. viii

DAFTAR GAMBAR……….. viii

DAFTAR SINGKATAN………..………….. ix

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian……….... 1

1.2. Identifikasi Masalah.………. 4

1.3. Tujuan Penelitian……….. 6

1.3.1. Tujuan Umum………... 6

1.3.2. Tujuan Khusus………. 6

1.4. Hipotesis……… 7

1.5. Manfaat Penelitian……….. 7

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Endometriosis……...……….…. 9

2.1.1. Definisi………..….……… 9

2.1.2. Patogenesis……….………. 9

2.1.3. Epidemiologi……….………. 12

2.1.4. Patologi Endometriosis………..……….………. 13

2.1.5. Neoplasma Yang Berasal Dari Endometriosis…..…..…………. 16

2.1.6. Endometriosis dan Infertilitas………….………. 19

2.2. Kista Ovarium Hemoragis...……….………... 21

2.2.1. Kista korpus luteum...……….………... 22

2.3. CD 10……… 23

2.3.1. Diagnosis stroma endometrium………….……….…………... 28

2.4. Kerangka Konsepsional………... 34

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian………. 35


(11)

3.2. Rancangan Penelitian……….. 35

3.3. Kerangka Operasional……….. 36

3.4. Populasi, Sampel, dan Besar Sampel Penelitian………. 37

3.4.1. Populasi……… 37

3.4.2. Sampel………. 37

3.4.3. Besar sampel penelitian……… 37

3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi………. 39

3.5.1. Kriteria inklusi……….. 39

3.5.2. Kriteria eksklusi……… 39

3.6. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional……… 39

3.6.1. Variabel penelitian……….. 39

3.6.2. Definisi operasional variabel………. 40

3.7. Prosedur dan Teknik Penelitian……….. 41

3.7.1. Pembuatan sediaan mikroskopis………. 41

3.7.2. Prosedur kerja..………. 42

3.8. Alat dan Bahan Penelitian……… 43

3.8.1. Alat-alat penelitian……….…………. 43

3.8.2. Bahan penelitian……….……… 43

3.9. Instrumen Penelitian………..……... 44

3.10. Analisis Data………..….…... 45

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian……….. 46

4.2. Pembahasan……….. 49

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan………..……….. 52

5.2. Saran……….…….. 53

DAFTAR PUSTAKA………. 54


(12)

Halaman Tabel 3.1. Intensitas tampilan imunohistokimia CD 10 pada

kista endometriosis dan kista lutein berdarah ………..……. 45 Tabel 4.1. Distribusi umur dari seluruh sampel kista ovarium yang

digunakan dalam penelitian.………. 46 Tabel 4.2. Distribusi jenis kista berdarah ovarium berdasarkan pemeriksaan

konvensional hematoksilin-eosin dan pewarnaan imunohistokimia CD 10..………..…………. 47 Tabel 4.3. Pengukuran sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan histopatologi

konvensional kista endometriosis dan kista lutein berdarah terhadap pemeriksaan imunohistokimia CD 10 dengan uji

Chi-square………. 48

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Pewarnaan H&E dan IHK CD 10 terhadap biopsi


(13)

COX2 Cyclooxygenase 2

GnRH Gonadotropin Releasing Hormone HE Hematoksilin Eosin

IHC immunohistochemistry IHK imunohistokimia IL Interleukin

TNF Tumor Necrosis Factor USG Ultrasonography


(14)

Jenis Kista Coklat Ovarium di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU Medan

Jessy Chrestella

Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan

ABSTRAK

Latar belakang : Dalam penegakan diagnosis histopatologi kista coklat atau endometriosis pada ovarium, tidak jarang ditemukan adanya diskrepansi antara klinis dengan patologi. Kista lutein berdarah yang secara klinis mirip dengan kista endometriosis juga sering disalah diagnosis sehingga penanganan kista-kista tersebut menjadi tidak optimal. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan pemeriksaan imunohistokimia CD 10 dengan histopatologi konvensional dalam membedakan kista endometriosis dengan kista lutein berdarah.

Metode : Terhadap 44 kasus sediaan kista ovarium yang telah didiagnosis awal dengan pemeriksaan histopatologi konvensional H&E, masing-masing 22 spesimen kista endometriosis dan 22 kista lutein berdarah, dilakukan pemeriksaan imunohistokimia CD 10 untuk melihat adanya ekspresi positif pada sel-sel stroma endometrium.

Hasil : Pemeriksaan imunohistokimia CD 10 dibandingkan dengan pemeriksaan histopatologi konvensional untuk menilai kista endometriosis ovarium memiliki sensitivitas sebesar 72,27% dan spesifisitas sebesar 77,27%. Secara statistik terdapat perbedaan yang bermakna antara pemeriksaan imunohistokimia CD 10 dengan histopatologi konvensional (p= 0,001).

Kesimpulan : Pemeriksaan imunohistokimia CD 10 bermanfaat dalam penegakan diagnosis kista endometriosis yang akurat dan membedakannya dengan kista lutein berdarah.

Kata kunci : kista coklat, endometrioma, endometriosis, kista lutein berdarah, ovarium, imunohistokimia, CD 10, histopatologi.


(15)

Laboratory University of North Sumatera Medan Jessy Chrestella

Department of Anatomical Pathology, Faculty of Medicine, University of North Sumatera, Medan

ABSTRACT

Background : Because endometriotic ovarian cysts and hemorrhagic corpus luteum cysts both contain blood products, they commonly have an overlapping appearance. Hence, it’s not uncommon to find discrepancies between clinical and pathological diagnosis, resulting in over or under treatment of the cysts. The purpose of this study were to investigate CD10 immunoreactivity compared to conventional routine histopathology in differentiating endometriotic cysts from hemorrhagic corpus luteum cysts.

Methods : Formalin-fixed and paraffin-embedded tissues from 44 hemorrhagic cysts of the ovary were included in this study. Among them are 22 cases of endometriotic cysts and another 22 cases of corpus luteum cysts. They were retrieved by hematoxylin-eosin examination in the initial pathologic diagnosis and were evaluated by immunohistocemistry with CD 10 antibody.

Results : CD 10 immunohistochemistry were found to have improved diagnostic sensitivity for endometriosis in the ovary by 72,27% with specificity about 77,27% if compared to conventional routine histopathology findings in assessing chocolate cysts of the ovaries. Statistically, there are significant difference between them (p value = 0,001).

Conclusions : CD10 immunostaining may play a useful role in assessing the differential diagnosis between endometriotic ovarian cysts and hemorrhagic corpus luteum cysts.

Key words : chocolate cyst, endometriosis, endometriotic cyst, corpus luteum cyst, hemorrhagic cyst, ovary, immunohistochemistry, CD 10, histopathology.


(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Kista coklat ovarium adalah salah satu entitas atau jenis kista ovarium yang paling sering ditemukan para klinisi dalam bidang obstetri dan ginekologi. Salah satu dari kista coklat yang paling memberikan dampak klinis adalah kista endometriosis atau sering disebut endometrioma. Prevalensi endometriosis pada ovarium masih belum pasti diketahui. Namun kasus endometriosis sendiri dikatakan sering terjadi pada sekitar 5–15% wanita usia reproduktif pada populasi umum.

Data penderita endometriosis di Indonesia yang diambil dari beberapa rumah sakit pemerintah adalah sebagai berikut : di RSUD dr. Muwardi Surakarta angka kejadian endometriosis pada temuan bedah ginekologis tahun 2000 menurut Danujo berkisar antara 13,6%; di RSUD dr. Sutomo Surabaya angka kejadian endometriosis tahun 1987-1991 sebesar 23,8% dan meningkat menjadi 37,2% pada tahun 1992-1993; dan di RSUP dr. Cipto Mangunkusumo menurut Yacob (1998) angka kejadian endometriosis berkisar 69,5%.1

Endometriosis selain dapat menyebabkan nyeri pelvis kronis atau dysmenorrhea, ia sering juga menyebabkan infertilitas. Selain daripada itu, sering kasus neoplasma ganas pada ovarium maupun ekstraovarium berawal dan berkembang dari lesi endometriosis itu sendiri. 2,3


(17)

Seringkali tindakan operasi untuk penanganan kista endometriosis dianggap tidak cukup, bahkan diperlukan terapi medikamentosa yang memakan waktu cukup lama sehingga menyebabkan biaya yang dibutuhkan seringkali tidak murah. Juga adanya efek samping dari obat-obatan yang tersedia untuk terapi kista endometriosis. 3

Tampilannya yang khas secara ultrasonografi dan tampilan makroskopik saat operasi sering kali begitu khas sehingga klinisi sering menjadi sangat yakin akan diagnosis kista endometriosis ini. Padahal kista coklat ovarium dalam terminologi histopatologi bukanlah semata hanya kista endometriosis. Kita masih mengenal jenis - jenis kista coklat lainnya seperti kista lutein berdarah dan kista hemoragis lainnya. 2,3

Tampilan mikroskopik histopatologi kista coklat ini sebenarnya cukup khas untuk bisa menegakkan jenis dari kista coklat tersebut. Seperti contoh, untuk menegakkan diagnosis kista endometriosis atau endometrioma, diperlukan kriteria identifikasi kelenjar dan stroma endometrium ektopik di dalam ovarium. Namun sering sekali terjadi, dalam sebuah specimen histopatologi, gambaran kelenjar maupun stroma endometriosis tidaklah begitu spesifik. Begitu juga halnya dengan jenis kista ovarium hemoragis lainnya yang memberikan gambaran yang mirip dengan endometrioma. Pemeriksaan histopatologi rutin konvensional ini sering memberikan hasil negatif palsu atau positif palsu. Karena terapi dari kondisi di atas sangat berbeda, maka penting sekali untuk dapat mengkonfirmasi diagnosis endometriosis sehingga


(18)

diperlukan metode yang lebih baik dan objektif dalam penegakan diagnosis endometriosis.4

Beberapa tahun belakangan ini, dunia telah melihat penggunaan marker antibodi-antibodi yang sangat luas dan bervariasi dalam pemeriksaan imunologi terutama dalam patologi ginekologi. Kebanyakan penggunaannya berhubungan dengan diagnosis kasus-kasus neoplasma ginekologi dan tidak jarang untuk menilai prognosis dan nilai prediktif.5

Perkembangan imunohistokimia membuka celah ketajaman diagnostik baru untuk kasus-kasus endometriosis, dimana menurut beberapa penelitian, sel-sel stroma endometrium akan menampilkan ekspresi positif terhadap CD 10.

Chu dan Arber (2000) dalam penelitian mereka menyebutkan bahwa CD10 tertampil positif kuat pada 100% kasus sarkoma stroma endometrium, dan 89% dari 46 kasus karsinoma sel renal.6

Dengan pewarnaan imunohistokimia CD 10, sel-sel endometrium akan memberikan respon positif untuk pewarnaan ini. Kista endometriosis haruslah terwarnai positif karena secara per definisi harus mengandung sel-sel stroma endometrium, sedangkan kista-kista coklat lainnya tentunya harus memberikan pewarnaan imunohistokimia yang negatif. Untuk itulah penulis tertarik untuk apakah penilaian mikroskopik konvensional terhadap kista coklat dapat sebanding dengan pengujian imunohistokimia CD 10.


(19)

Bila ternyata pembacaan mikroskopik dapat menunjukkan sensitifitas yang cukup baik, maka pewarnaan imunohistokimia tidak diperlukan untuk menegakkan jenis kista coklat. Namun bila ternyata pembacaan mikroskopik konvensional terpaut jauh sensitifitasnya dengan pemeriksaan imunohistokimia, maka seyogyanya setiap pemeriksaan preparat kista coklat harus diteruskan dengan pemeriksaan imunohistokimia CD 10 sehingga penegakan diagnosis histopatologi dapat benar benar mendukung kerja para klinisi dan memberikan pelayanan pasien yang terbaik pada akhirnya.

Peneliti juga berkeinginan untuk mengevaluasi hasil pemeriksaan histopatologi konvensional terhadap kista endometriosis dan kista lutein berdarah dengan membandingkannya terhadap hasil pemeriksaan ekspresi CD 10 secara imunohistokimia pada berbagai spektrum kista coklat ovarium. Diharapkan dengan adanya penelitian ini, diagnosis kista berdarah pada ovarium akan menjadi lebih akurat, jelas dan memberi dampak pada usaha kuratif dan tata laksana lanjutan bagi penderita endometriosis.

1.2. Identifikasi Masalah

Banyak kasus endometriosis menyebabkan masalah infertilitas pada wanita usia reproduktif umumnya dan nyeri pelvis kronis khususnya. Bahkan menurut beberapa penelitian, lesi endometriosis juga dikatakan sering berkembang menjadi kasus neoplasma ganas pada ovarium


(20)

maupun ekstraovarium. Hal ini mengakibatkan penyakit endometriosis khususnya pada ovarium membutuhkan diagnosis yang akurat.

Pada laboratorium kami, sering dijumpai diskrepansi antara diagnosis histopatologi kista berdarah dengan diagnosis klinis. Klinisi sering sekali merasa cukup yakin akan temuan mereka terhadap kista endometriosis dengan bantuan USG dan juga pada saat durante operasi. Padahal selain kista endometriosis, kista berdarah ovarium lainnya seperti kista lutein berdarah sering memberikan gambaran perdarahan yang cukup masif dan mengaburkan diagnosis.

Untuk menegakkan diagnosis kista endometriosis, diperlukan kriteria identifikasi kelenjar dan stroma endometrium ektopik pada ovarium. Namun terkadang, kelenjar-kelenjar endometrium tidak begitu jelas terlihat pada sediaan histopatologi, dan stroma endometrium kadang tampak seperti stroma ovarium normal. Ditambah lagi massa perdarahan yang disertai makrofag hemosiderin-laden dapat dijumpai pada kedua jenis kista ini, menyebabkan diagnosis kista endometriosis bisa positif palsu atau negatif palsu.

Hal ini berefek pada pengobatan kista endometriosis dimana tata laksana yang diberikan terhadapnya sangat kompleks karena seringkali tindakan operasi saja dianggap tidak cukup. Endometriosis bahkan perlu diterapi medikamentosa dalam waktu cukup lama sehingga menyebabkan biaya yang dibutuhkan seringkali tidak murah. Sedangkan kista lutein berdarah, setelah dilakukan pengangkatan kista, tidak perlu


(21)

lagi diberikan pengobatan lanjutan. Karena terapi dari kondisi diatas berbeda, untuk itulah dalam penegakan diagnosis histopatologi kista berdarah ovarium, diperlukan diagnosis yang akurat.

Maka dengan itu, penting sekali untuk bisa mengkonfirmasi diagnosis endometriosis yang ditegakkan dengan pemeriksaan sampel biopsi yang diwarnai dengan HE. Metode yang paling objektif adalah dengan menandai atau memberi marker terhadap stroma endometrium yang telah terbukti menurut literatur dapat memberikan ekspresi positif terhadap antibodi CD 10. Sedangkan kista berdarah yang tidak mengandung stroma endometrium (seperti kista lutein berdarah) tidak akan memberikan ekspresi terhadap CD 10.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui peranan imunohistokimia CD 10 dalam menentukan jenis kista endometriosis ovarium atau kista berdarah lainnya.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Melihat gambaran karakteristik penderita lesi kista berdarah ovarium khususnya kista endometriosis ovarium dan kista lutein berdarah.

2. Mengevaluasi kembali diagnosis kista endometriosis dan kista lutein berdarah menurut pemeriksaan histopatologi konvensional.


(22)

3. Melihat perbandingan antara positivitas imunoekspresi CD 10 dengan diagnosis kista endometriosis berdasarkan histopatologi Hematoksilin Eosin konvensional.

1.4. Hipotesis

Hipotesis kami adalah bahwa pemeriksaan imunohistokimia CD10 dapat meningkatkan sensitivitas dari penegakan diagnosis endometriosis secara histopatologi dengan pewarnaan Hematoksilin-Eosin dengan mempertajam identifikasi sel stroma endometrium ektopik. Untuk menguji kemungkinan ini, maka kami membandingkan efikasi diagnostik dengan perwarnaan HE dengan atau tanpa bantuan pewarnaan imunohistokimia CD10 pada sampel biopsi surgikal kasus endometriosis.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sarana indikator untuk mendiagnosis secara akurat lesi-lesi kista endometriosis ovarium dan menurunkan angka misdiagnosis/overdiagnosis kista ovarium berdarah lainnya.

2. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan pemahaman ahli Patologi Anatomi akan peran imunohistokimia secara umum dan imunohistokimia CD 10 secara khusus dalam mengevaluasi dan membantu penegakan diagnostik kista coklat endometriosis dapat menjadi lebih baik.


(23)

3. Pemahaman akan peranan antibodi CD 10 dalam menegakkan diagnosis kista coklat endometriosis diharapkan akan memberikan sumbangsih dalam usaha penanganan lanjut terhadap endometriosis dan pencegahan kista endometriosis berkembang menjadi lesi neoplasma traktus genitalia wanita lainnya.


(24)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Endometriosis 2.1.1. Definisi

Endometriosis, yang pertama kali dilaporkan oleh Sampson tahun 1921, adalah kondisi dimana endometrium atau jaringan menyerupai endometrium tumbuh di area di luar endometrium. Penyakit ini sering dijumpai di area pelvis namun dapat muncul pada area selain uterus atau ovarium. Keadaan ini disebut endometriosis ektopik.7,8

2.1.2. Patogenesis

Hingga kini, patogenesis endometriosis masih belum jelas. Diperkirakan endometriosis ovarium muncul akibat proses invaginasi dan metaplasia coelomic dari pelapis epitel ovarium atau dapat terjadi akibat implantasi langsung jaringan endometrium ke dalam kista folikel atau kista luteum. Mekanisme lain yang diperkirakan menjadi penyebab endometriosis peritoneum dan endometriosis pada ovarium adalah perubahan mekanisme apoptosis sehingga terbentuklah implantasi endometrium.8

Terdapat empat teori yang berusaha untuk menjelaskan terjadinya lesi endometriosis.9.10

1. Teori regurgitasi dimana diperkirakan aliran darah menstruasi mengalir ke arah berlawanan yaitu mengarah ke tuba falopi


(25)

sehingga menghasilkan tumpahan dan implantasi sel endometrium yang masih hidup ke dalam rongga abdomen atau pelvis. Namun demikian, teori ini tidak bisa menjelaskan endometriosis yang tumbuh di dalam kelenjar limfe, otot skeletal atau paru-paru.9

2. Teori metaplasia dimana terjadi proses diferensiasi epitel coelomic (mesothel pada pelvis atau abdomen) dimana pembentukan duktus mullerian dan endometrium bermula pada saat perkembangan embrio. Teori ini juga tidak bisa menjelaskan terjadinya proses endometriosis di organ seperti paru-paru dan kelenjar limfe.9,10

3. Teori diseminasi vaskular atau limfatik yang dianggap bisa menjelaskan implantasi ekstrapelvis atau implantasi intra nodal.9

4. Teori metastasis dimana jaringan endometrium mengadakan implantasi di cavum peritoneal akibat menstruasi retrograde ataupun pada mukosa serviks oleh karena prosedur bedah. Dalam hal ini, penyebaran endometriosis ke tempat-tempat yang jauh

adalah melalui ‘metastasis’ hematogen dan limfogen. Istilah

metastasis disini hanya menunjukkan adanya jaringan endometrium yang menyebar ke tempat lain, namun tidak menunjukkan mekanisme yang sama dengan metastasis keganasan.10

Dari kesemua teori di atas, teori yang paling diterima dan menjadi jawaban bagi banyak kasus endometriosis adalah teori metastasis.


(26)

Namun teori ini juga mempunyai kelemahan dimana ia tak dapat menjelaskan mengenai endometriosis pada wanita amenorrhea seperti oleh karena gonadal dysgenesis dan sebagainya.10

Sebagai tambahan, rendahnya insidensi endometriosis dibandingkan dengan tingginya kejadian menstruasi retrograde pada wanita (76% hingga 90%) memunculkan dugaan adanya faktor individual yang spesifik yang mendorong wanita tertentu lebih rentan menderita endometriosis.10

Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah faktor genetik, hormonal, dan faktor imunitas. Analisis molekuler yang menyangkut profil ekspresi genetik mulai menunjukkan patogenesis endometriosis. Beberapa abnormalitas spesifik yang dapat membedakan endometrium normal dengan jaringan endometriosis dapat diterangkan sebagai berikut di bawah ini : 10

 Terdapat aktivasi kaskade proses inflamasi pada endometriosis yang dikarakteristik oleh tingginya kadar prostaglandin E2, IL-1β, TNF dan IL6. Peran utama prostaglandin dalam endometriosis juga didukung oleh efek penggunaan obat inhibitor COX2 dalam penganganan nyeri pelvis yang merupakan gejala klinis utama dari endometriosis. 10

 Produksi estrogen oleh sel stroma endometriosis secara bermakna meningkat, hal ini disebabkan oleh peningkatan proses enzimatik aromatase steroidogenik. Enzim ini tidak dijumpai pada stroma


(27)

endometrium normal. Estrogen sendiri meningkatkan ketahanan hidup dan persistensi dari jaringan endometrium. Oleh karena itu penggunaan inhibitor aromatase dapat mengguntungkan dalam terapi endometriosis. 10

 Hubungan antara aktivasi inflamasi dan produksi estrogen juga didukung oleh kemampuan prostaglandin E2 untuk merangsang sintesis lokal estrogen pada jaringan endometriosis.10

 Jaringan endometriosis juga ternyata resisten terhadap efek anti estrogen yang didapat dari progesterone, sehingga diperkirakan resistensi hormone progesteron juga berperan dalam patogenesis endometriosis.10

2.1.3. Epidemiologi

Endometriosis dapat terjadi pada sekitar 5–15% wanita usia reproduktif pada populasi umum, dan pada 40% wanita yang mencari pengobatan infertilitas.8,11 Lebih sering terjadi pada wanita usia 25-35 tahun, jarang

pada wanita premenars dan postmenopause. Prevalensi endometriosis secara umum juga terlihat lebih rendah pada wanita dengan ras hitam dan Asia dibandingkan dengan Kaukasia. 12

Prevalensi kejadian endometriosis berdasarkan visualisasi organ pelvis dapat diestimasi sebagai berikut :12

 1% dari wanita yang menjalani bedah mayor dengan semua indikasi ginekologis.


(28)

 12 sampai 32% dari wanita usia reproduktif yang dilakukan laparoskopi diagnostik terhadap keluhan nyeri pelvis.

 9 sampai 50% wanita women yang dilakukan laparoskopi karena infertilitas.

 50% dari remaja perempuan yang dilakukan laparoskopi evaluasi terhadap nyeri pelvis kronis atau dysmenorrhea.

Pengaruh status sosioekonomi, ras dan umur pada angka prevalensi endometriosis juga sangat kontroversial. Penundaan kehamilan dikatakan meningkatkan risiko endometriosis, sehingga kejadian endometriosis dikatakan lebih sering pada wanita dengan kelas ekonomi tinggi dimana wanita tersebut lebih sering menunda kehamilan. Namun hal ini mungkin juga diakibatkan oleh karena wanita tersebut mempunyai kans lebih tinggi untuk mendapat pelayanan medis.12

Angka prevalensi kejadian kista endometriosis pada ovarium belum diketahui secara pasti. Menurut Masson, endometriosis kulit merupakan dengan total hanya 1,1% dari keseluruhan kasus endometriosis. Namun menurut Scott dan TeLinde, persentasenya mencapai 2,6%.7,13

2.1.4. Patologi Endometriosis

Dinding dari rongga kelenjar terdiri dari lapisan epitel kolumnar tinggi dan dapat juga terdiri dari lebih satu lapisan. Bukti adanya perdarahan dapat diamati di luar rongga kelenjar. Bentuk spindle atau sel stellate


(29)

dapat diamati pada area interstitial yang edematous di sekitar rongga kelenjar. Sel atipik tidak tampak pada pemeriksaan sel-sel ini. 7,14

Endometrioma adalah massa soliter, non neoplastik, berbatas tegas yang mengandung jaringan endometrium dan juga seringkali darah. Endometrioma secara klinis bisa dikenali dengan perabaan pada palpasi bila massa berukuran besar atau hanya muncul sebagai nyeri pelvis kronik dan nyeri abdomen. Kebanyakan kasus terjadi di dalam pelvis, namun pada endometrioma atipikal, endometrioma dapat ditemukan pada usus, thorax, dan dinding abdomen. Banyak dari pasien ini sebelumnya menjalani operasi ginekologi atau seksio sesar dan histerektomi. Endometrioma dinding abdomen banyak dijumpai pada pasien dengan riwayat operasi ginekologi. 13,15

Penemuan khas dari kasus endometriosis adalah dijumpainya implan endometriosis, endometrioma dan perlengketan atau adhesi. Implan yang terbentuk dapat sangat kecil sampai dengan beberapa sentimeter, dapat merupakan lesi implan superfisial ataupun tertanam cukup dalam. Penampakan warna dari implantasi endometriosis ini bisa berubah selama siklus menstruasi, dapat membesar dan mengalami kongesti dan mengalami perdarahan seiring dengan perdarahan siklus menstruasi. Implan endometriosis lebih mudah diamati saat fase sekresi siklus menstruasi. Saat ini lesi endometriosis akan mengeluarkan respons inflamasi dengan pembentukan area perdarahan, proses fibrotik dan pembentukan perlengketan.16


(30)

Kista endometriosis (endometrioma) biasanya terjadi di dalam ovarium sebagai akibat dari perdarahan intra ovarium berulang. Lebih dari 90% endometrioma adalah pseudokista yang terbentuk akibat invaginasi korteks ovarium, yang kemudian tertutup oleh pembentukan jaringan adhesi. Endometrioma dapat sepenuhnya menggantikan jaringan ovarium normal. Dinding kista umumnya tebal dan fibrotik dan biasanya memiliki perlekatan fibrotik dan adanya area dengan perubahan warna. Di dalam kista umumnya terdapat cairan kental, berwarna gelap, berisi produk darah yang sudah berdegenerasi dimana penampilan ini menyebabkan kista endometriosis atau endometrioma ini sering disebut kista coklat. Kebanyakan endometrioma terjadi pada ovarium kiri.16

Endometrioma bilateral terjadi dalam 50 % kasus dan bisa ditemukan cukup besar walau jarang melebihi diameter 15 cm. Lokasi lain dari endometriosis selain ovarium adalah ligament uterus (ligamentum latum posterior, ligament sacro uterine), cavum Douglas, peritoneum rongga pelvis, tuba falopi, daerah rektosigmoid dan kandung kemih.16

Lesi yang besar dan lesi dengan dinding noduler harus diperiksa untuk menyingkirkan keganasan. Endometriosis biasanya akan mengalami regresi alami setelah menopause.16

Diagnosis standar untuk endometriosis adalah dengan menggunakan modalitas laparoskopi, karena hanya dengan menggunakan laparoskopi, maka kesempatan untuk bisa mengidentifikasi lesi kecil


(31)

dan lesi pada peritoneal dapat dilakukan. Namun demikian, karena laparoskopi adalah tindakan diagnostik invasif, maka sebaiknya laparoskopi hanya dipakai bila teknik imaging seperti ultrasound masih belum mendapatkan kepastian diagnostik.16

Massa adneksa seperti kista ovarium berdarah, kista teratoma matur, korpus luteum berdarah, tumor ovarium jinak dan radang panggul serta mioma bertangkai dapat menyerupai gambaran endometrioma. 16

2.1.7. Neoplasma yang berasal dari endometriosis

Angka kejadian kanker yang berasal dari endometriosis pelvis tidak diketahui secara akurat karena frekuensi endometriosis di dalam populasi umum juga tidak jelas. Lebih jauh lagi, beberapa kanker yang terjadi pada jaringan endometriosis tumbuh sedemikian besar dan menyamarkan endometriosis yang merupakan sumber dari tumor itu sendiri.17

Dalam penelitiannya, Stern dkk (2001) menemukan 10% dari kasus endometriosis pelvis berkaitan dengan kanker rongga pelvis yang memiliki gambaran histopatologi yang sejalan dengan dugaan asal tumor yang berasal dari endometriosis. Dalam beberapa kasus, tumor yang berasal dari endometriosis didahului oleh riwayat terapi sulih hormon dengan estrogen tanpa preparat progesteron dalam waktu lama.17


(32)

Dibandingkan dengan tumor sejenis yang tidak berkaitan dengan endometriosis, maka karsinoma yang berkaitan dengan endometriosis umumnya terjadi pada grup usia muda, dengan stadium rendah dan mempunyai angka harapan hidup yang lebih baik.17

Menurut Heaps (1990), transformasi malignan dari endometriosis merupakan suatu fenomena. Ia melaporkan 10 kasus baru pada saat itu dan total jumlah kasus yang dilaporkan pada literatur dunia berjumlah 205. Okugawa et al (2002) melaporkan adanya 9 kasus baru yang ditemukan pada Medline sejak tahun 1990. Suatu studi oleh Brinton et al. (1997) di Swedia yang dilakukan terhadap 20,686 wanita antara periode tahun 1969-1993, menyatakan bahwa risiko terjadinya keganasan meningkat pada wanita dengan endometriosis kronis (Relative Risk 4.2).18

Beberapa penelitian juga pernah mencatat, sekitar 20-30% kanker epitel permukaan ovarium ternyata berhubungan dengan endometriosis ovarium. Kaitan ini khususnya kuat untuk jenis karsinoma clear cell dan karsinoma endometrioid; dimana 40-70% dari jenis clear sel dan 30-40% dari jenis karsinoma endometrioid berkaitan dengan endometriosis dalam penelitian tersebut.17,18

Del Carmen Mercila et al. (2003) dalam jurnal yang telah dipublikasikan, menemukan jenis histopatologi keganasan yang paling sering ditemukan berasal dari endometriosis ovarium adalah adenokarsinoma endometrioid (69%) dan karsinoma clear cell (13%).


(33)

Dalam penelitian ini juga ditemukan sebanyak 61% endometriosis ovarium dalam kasus kanker tersebut merupakan endometriosis fokal atipik yang secara bersamaan ada atau bergabung dengan karsinoma.

17,18

Lokasi ekstra ovarium tersering dari tumor terkait endometriosis adalah septum rektovaginal, dengan lokasi yang lebih jarang seperti vagina, colon dan rectum, kandung kemih dan lokasi lain di dalam rongga pelvic atau abdomen. Sebanyak 90% karsinoma yang berasal dari endometriosis ekstra ovarium adalah karsinoma endometrioid. Heaps (1990) juga menyatakan bahwa lesi endometriosis ekstraovarium yang berlanjut menjadi tumor endometrioid adalah sebanyak 66% dan menjadi sarcoma sebanyak 25%.17,18

Beberapa penelitian menemukan variasi tumor yang berasal dari endometriosis kolon dapat menyerupai adenokarsinoma kolon primer, suatu misdiagnosis yang dapat mengakibatkan kesalahan dalam staging dan pemberian terapi. Beberapa fitur yang mendukung karsinoma endometrioid dalam kasus ini adalah adanya endometriosis, penampakan makroskopis yang atipikal dari adenokarsinoma colon termasuk tidak ditemukannya keterlibatan mukosa, grade nukleus yang rendah, metaplasia skuamosa dan tidak adanya proses nekrotik kotor dan fenotipe CK7+/CK20/CDX2. 17


(34)

2.1.7. Endometriosis dan infertilitas

Endometriosis sering dikaitkan dengan infertilitas pada wanita. Hal ini terutama sangat nyata bila endometriosis menyebabkan proses adhesi atau perlengketan tuba fallopi dan atau adhesi ovarium . Sedangkan endometriosis derajat ringan tidak memiliki hubungan yang jelas dengan kejadian infertilitas. Oleh karena itu terapi endometriosis ringan untuk kasus infertilitas sering menjadi dilema. Dalam beberapa penelitian di Kanada, angka harapan kehamilan untuk endometriosis ringan dalam 5 tahunan mencapai 90%. Pada grup yang mendapatkan terapi, angka kehamilan mencapai 48% sedangkan bila tidak diterapi 35%.19

Endometriosis sedang dan berat dengan atau tanpa adhesi harus ditangani dengan pembedahan, terutama untuk endometrioma >2cm atau adanya perlengketan hebat. Fungsi pembedahan adalah untuk mengembalikan posisi anatomis yang baik. Kehamilan umumnya paling sering terjadi dalam 2 tahun paska pembedahan. Untuk penanganan nyeri menstruasi karena endometriosis dapat dilakukan presakral neurectomy dan pemberian terapi medikamentosa paska operasi. Pembedahan radikal seperti histerektomi dan ooforektomi juga dapat dilakukan untuk pasien yang tidak menginginkan keturunan lagi.19

Angka kekambuhan endometriosis dalam 5 tahun paska pembedahan mencapai 20%; pada pasien dengan konservasi ovarium terdapat 6 kali pengingkatan resiko kekambuhan dibandingkan dengan pasien yang dilakukan ooforektomi.19


(35)

Terapi medikamentosa diberikan untuk penanganan nyeri menstruasi (dismenorea), nyeri saat berhubungan badan (dispareunia) dan nyeri rongga pelvis. Terapi medikamentosa tidak berguna dalam penanganan infertilitas.19

Beberapa opsi pemilihan medikamentosa untuk kasus endometriosis adalah sebagai berikut :19

1. Pil KB yang diberikan continue. Bertujuan untuk menekan laju endometriosis dengan proses desidualisasi sel dan inaktifasi kelenjar endometriosis. Angka kehamilan setelah terapi ini dihentikan bisa mencapai 40-50%. Pemberian pil KB hanya merupakan terapi supresif namun tidak kuratif.

2. Danazol

Danazol merupakan derivat isozazole dari etinil testosterone. Terapi dengan danazol menciptakan lingkungan tinggi androgen – rendah estrogen yang akan mencetuskan keadaan amenorea. Oleh karena itu 80% pasien pengguna danazol dapat mengalami efek samping berupa pengecilan ukuran payudara, bertambahnya jerawat, hirsustisme, perubahan suara, vaginitis atrofik dan hot flushes. Danazol diberikan dengan dosis 2x 400 mg atau 4 x 200 mg . Bila diberikan dengan dosis lebih rendah, efektifitas terapi ini tidak tercapai. Angka kekambuhan setelah 1 tahun pemakaian danazol mencapai 30%.


(36)

3. Progestin

Progestin dapat diberikan dalam bentuk oral atau intramuskuler medroxyprogesterone acetat. Dosis oral adalah 30 mg per hari. Progestin bekerja dengan menekan sekresi LH hingga tercapai keadaan hipoestrogen. Terapi ini cukup efektif untuk menekan nyeri tapi tidak berguna dalam penanganan infertilitas. Efek samping pemberian progestin mencakup kehilangan masa tulang, kenaikan berat badan, retensi cairan, perdarahan bercak dan depresi.

4. GnRH agonist mempunyai efektifitas yang sebanding dengan danazol atau progestin. Pemberian GnRH agonist merupakan terapi supresif tapi tidak kuratif, dan tidak bermanfaat untuk perbaikan fertilitas. GnRH diberikan dalam bentuk suntikan sebulan sekali untuk durasi 6 bulan.19

2.2. Kista ovarium hemorhagis

Kista ini adalah akibat dari perdarahan yang terjadi didalam kista fungsional dan biasanya sejalan dengan timbulnya nyeri pelvik akut. Kebanyakan akan membaik dengan sendirinya dalam 2 sampai 8 minggu. Di Amerika, lesi ini tampak pada pemeriksaan ultrasound sebagai lesi dengan echogenik rendah, dan sering mempunyai gambaran serabut halus, fibrin-fibrin avaskular yang sering menyerupai gambaran jala nelayan. Kebanyakan kista ovarium berdarah ini adalah


(37)

lesi benigna dan dapat membaik dengan sendirinya pada follow up jangka pendek. Terkadang sulit untuk membedakan kista hemorhagis dengan endometrioma, Namun kista hemorhagis ini biasanya soliter sedangkan endometrioma biasanya dijumpai multipel.20

Gejala klinik klasik dari suatu perdarahan kista ovarium adalah timbulnya nyeri pelvik akut atau nyeri perut bawah yang sedemikian rupa sehingga dapat membangunkan wanita dari tidurnya.16

Salah satu dari jenis kista berdarah ovarium adalah kista korpus luteum.

2.2.1. Kista korpus luteum

Kista korpus luteum adalah struktur ovarium yang normal terbentuk setelah ovulasi dan berasal dari folikel dominan. Dinding folikel mengalami vaskularisasi dan menebal, yang dikenal dengan proses luteinisasi dan berkaitan dengan sekresi estrogen dan progesterone pada paruh kedua siklus menstruasi. Walaupun kista corpus luteum tidak patologis, namun dapat menyebabkan nyeri periovulatoar yang terkadang membutuhkan pemeriksaan radiologis. Sonografi merupakan modalitas utama untuk mengevaluasi kelainan ginekologis ini.21

Tampilan karakteristik kista korpus luteum adalah penebalan mural dan krenulasi yang sejalan dengan perubahan histopatologi saat ovulasi. Secara makroskopik, kista ini membentuk konvulasi, dengan pinggiran


(38)

kuning yang secara mikroskopis terdiri dari invaginasi sel theca lutein yang berasal dari stroma ovarium yang berubah menjadi sel lutein granulosa dari dinding folikel de graff. Sel lutein menghasilkan progesterone dalam jumlah banyak dan proses luteinisasi dinding kista ini diikuti dengan proses neovaskularisasi dalam 2-4 hari masa ovulasi.

21,22

Kista corpus luteum dapat dijumpai pada awal kehamilan namun biasanya akan menghilang pada trimester kedua kehamilan. Biasanya berdinding tipis dan unilocular dengan diameter antara 3 sampai 11 cm. Perdarahan dari ruptur kista corpus luteum dapat mengakibatkan keadaan akut abdomen dalam kehamilan.16,23

Kista theca lutein biasanya berkaitan dengan peningkatan kadar AhCG (A human chorionic gonadotropin). Peningkatan kadar hormon ini biasanya diakibatkan oleh penyakit trophoblast dalam kehamilan, termasuk di dalamnya mola hidatidosa atau choriocarcinoma. Penyebab lain adalah kehamilan kembar, diabetes, atau stimulasi farmakologis terhadap ovarium. Kista theca lutein adalah salah satu dari kista ovarium fungsional , juga merupakan kista fisiologis yang dapat mencapai ukuran cukup besar, antara 6-12 cm hingga 20 cm. Kista ini biasanya berdinding tipis tanpa komponen noduler atau bagian padat di dalamnya. Oleh karena besarnya diameter kista ini, kista ini dapat pecah atau mengalami torsi ovarium. 20,23


(39)

Adalah penting untuk mempertimbangkan adanya kista theca lutein dalam keadaan pembesaran ovarium bilateral pada wanita premenopause untuk menghindari pembedahan yang tidak perlu. Neoplasma ovarium yang sesungguhnya biasanya unilateral dengan adanya penebalan septa dan pertumbuhan papiler di dalam kista. 20,22

Tingginya kadar gonadotropin atau androgen dapat menyebabkan sekresi cairan oleh struktur epitel halus di dalam dinding ovary yang membentuk kumpulan cairan sehingga menjadi kista.24

Hal ini tidaklah jarang dan dapat terjadi terutama di tahun tahun awal setelah menopause. Prevalensi dari kista unilokuler pada wanita pasca menopause berkisar antara 2,5% sampai 18 %, tergantung pada populasi dan kriteria yang digunakan (misal diameter <5 atau <10cm).22,24

Kista fungsional dan kista fisiologis seperti kista korpus luteum dan kista folikel biasa terjadi sebagai bagian dari proses ovulasi. Kista-kista tersebut berasal dari folikel Graaf yang tidak ruptur, atau folikel yang ruptur namun segera menjadi tertutup kembali. Kista folikel dan kista lutein juga bisa ditemukan multipel dan berada dekat pada lapisan serosa ovarium. 9,24

Kista folikel biasanya berukuran kecil antara 1-1,5 cm, namun bisa menjadi cukup besar namun tidak melebihi 10 cm. Kista ini biasanya asimptomatik, walaupun pasien dengan kista fungsional yang besar dapat mengalami nyeri yang diakibatkan distensi kapsul kista. Kista


(40)

folikel mempunyai ciri permukaan licin, berdinding tipis dan unilokuler serta berisi cairan serous jernih, sedangkan kista korpus luteum dilapisi oleh sel-sel terluteinisasi yang apabila terjadi penimbunan cairan dalam kista, tekanan intrakistik dapat menyebabkan sel-sel pelapis mengalami atrofi. Kadang-kadang apabila kista ini ruptur, akan terjadi perdarahan intraperitoneal dan gejala akut abdomen. 9,22,24

Karena terapi dari kondisi diatas berbeda, maka sangatlah penting untuk bisa mengkonfirmasi diagnosis endometriosis yang ditegakkan dengan pemeriksaan sampel biopsi yang diwarnai dengan HE. Namun demikian pemeriksaan histologi ini dapat memberikan hasil negatif palsu, sehingga diperlukan metode yang lebih baik dalam penegakan diagnosis endometriosis.4

Oleh karena itu kami mempunyai hipotesis bahwa imunohistokimia CD10 dapat meningkatkan sensitivitas dari penegakan diagnosis endometriosis secara histopatologi dengan pewarnaan HE dengan mempertajam identifikasi sel stroma ektopik. Untuk menguji kemungkinan ini, maka kami membandingkan efikasi diagnostik dengan perwarnaan HE dengan bantuan pewarnaan imunohistokimia CD10 pada sampel biopsi eksisi kasus endometriosis.4

2.3. CD 10

Beberapa tahun belakangan ini, dunia telah melihat penggunaan marker antibodi-antibodi yang sangat luas dan bervariasi dalam pemeriksaan


(41)

imunologi terutama dalam patologi ginekologi. Kebanyakan penggunaannya berhubungan dengan diagnosis kasus-kasus neoplasma ginekologi dan tidak jarang untuk menilai prognosis dan nilai prediktif.5

Dalam tahun-tahun mendatang, diagnosis molekuler akan lebih lanjut lagi berperan penting dalam kesehatan publik secara global. Berbagai pemeriksaan molekuler genetik akan memfasilitasi dalam banyak hal seperti deteksi dan menentukan karakterisasi penyakit, dan bukan hanya itu, bahkan dapat menjadi monitor terhadap respon pengobatan dan identifikasi patogenesis serta suseptibilitas penyakit.25

Banyak antibodi immunologis yang pada awalnya diperkirakan spesifik untuk satu jenis tumor tertentu, di kemudian hari akhirnya terbukti memiliki reaktivitas yang lebih luas terhadap beberapa kondisi atau jenis tumor yang lebih beragam.5

Sebagai contoh, CD 10 pada awalnya dikenal sebagai CALLA (Common Acute Lymphoblastic Leukemia Antigen), yang disebut juga endopeptidase netral yang ditampilkan oleh sel-sel precursor limfoid dan sel limfoid B yang berasal dari sentra germinal.18 Antigen ini berukuran

90-110 kDa, dependen terhadap zincum permukaan metalloproteinase, yang mengontrol pertumbuhan dan differensiasi sel normal. CD 10 dikenal juga sebagai antigen leukemia limfoblastik akut, endopeptidase netral, neprilysin, dan enkephalinase.26,27

Dalam perannya sebagai peptidase permukaan sel, CD10 membantu mengatur aktifitas biologis substrat peptid dengan mengurangi


(42)

konsentrasi local yang tersedia untuk berikatan dengan reseptor dan transduksi signal. CD10 telah diidentifikasi dalam banyak jenis sel (seperti pusat germinal limfoid, tubulus renalis, glomerulli, kanalikuli parenkim hati, sinsitiotrofoblas, fibroblast dan mioepitel payudara) dan tumor (karsinoma sel renal, adenocarcinoma prostat, sarcoma stroma endometrium, rabdomiosarkoma dan neoplasma urothelial).5,27,28,29

Neves dkk dan juga Keller dkk (2011) menemukan ekspresi positif CD 10 pada myoepitel payudara sehingga CD10 dapat digunakan untuk membedakan epitel basal dari epitel luminal jaringan payudara. 28,30

Pada jaringan tumor, aktifitas peptidase CD 10 telah menunjukkan pengaturan akumulasi peptid selama proses proliferasi sel dan terlibat pula dalam pertumbuhan seperti yang tampak pada kanker prostat, pankreas ataupun kanker paru. Walaupun CD 10 tidak bisa digunakan sendirian, CD 10 tetap merupakan alat yang sangat berguna baik dalam penegakan diagnosis ataupun penentuan prognosis, tidak hanya terbatas pada tumor hemopoetik, tapi juga beberapa tumor lainnya.30

Metalloendopeptidase CD10 pada permukaan sel ditemukan atau terekspresikan pada jaringan mioepitel payudara, sel tubulus renalis normal, sel glomerulus, karsinoma ginjal, karsinoma hepatosellular, epitel kelenjar prostat , alveoli paru, sel limfoid, asal mesenkim tumor kulit, tumor mesonefrik dan leukemia limfoblastik akut dan limfoma . sebagai tambahannya, pada beberapa penelitian kecil CD10 juga ditemukan pada


(43)

stroma normal endometrium dan endometrium ektopik, serta neoplasma stroma endometrium dan adenomyosis.4

2.3.1. Diagnosis stroma endometrium

CD 10 belakangan ini sering digunakan sebagai marker imunohistokimia bagi tumor stroma endometrium. Tumor stroma endometrial yang bermetastase ke ovarium dan sarcoma stroma endometrioid primer dapat menunjukkan gambaran histology yang berdekatan dengan tumor stroma murni atau pun tumor stroma sex cord (SCST). Pada genital wanita, Imai dkk pertama kali mendeskripsikan ekspresi positif CD10 pada sel stroma endometrium pada kasus endometriosis dan adenomyosis, juga pada sel desidua, dan hal ini telah dikonfirmasi oleh peneliti lainnya.26,27

Oliva E (2007) meneliti untuk memastikan peranan dan kegunaan dari ekspresi CD10 dalam pembedaan kasus tumor stromal murni dan SCST ovarium.7,26,27

McCluggage (2009) dalam penelitiannya terhadap tumor stroma endometrium menyatakan bahwa kadang-kadang gambaran morfologi tumor tersebut sangat mirip dengan otot polos uterus dan juga sebagian tumor sex cord- stroma. Ia menemukan bahwa CD 10 tertampil dengan persentase yang tinggi pada tumor stroma endometrium, sedangkan pada leiomyosarcoma hanya 6 persen.5,29


(44)

Berkenaan dengan kegunaannya sebagai modalitas diagnostik, Neves dan Soares (2010) juga merekomendasikan agar CD10 dipakai dalam panel pewarnaan imunohistokimia sehingga untuk sarcoma stroma endometrium dan karsinoma sel renal.28

Kriteria diagnosis HE memerlukan identifikasi dari kelenjar endometrium dan stroma. Pewarnaan positif CD10 berarti dijumpainya stroma endometrium dan dianggap konsisten dengan diagnosis endometriosis.4

Ketika IHC CD10 dinyatakan positif, seorang patologis dapat memeriksa ulang slide HE yang bersangkutan, sehingga berkesempatan untuk merevisi diagnosis yang tadinya hanya didasarkan pada morfologi kelenjar dan stroma endometrium.4

Penelitian terkini mendeteksi sejumlah kecil negatif palsu pada pemeriksaan endometriosis berbasis HE. Penambahan IHC CD10 meningkatkan deteksi histologi dari 35% menjadi 45%, sehingga menghasilkan diagnosis baru endometriosis pada 3 dari 12 wanita yang tadinya dinyatakan negatif berdasar pewarnaan HE.4,30

Penelitian Potlog-Nahari (2004) menunjukkan bawa penggunakan CD10 secara bersamaan degan HE meningkatkan sensitivitas diagnostik endometriosis dibandingkan dengan pewarnaan HE saja. Karena IHC CD10 dapat mengkonfirmasi semua diagnosis positif endometriosis yang telah ditetapkan dengan pewarnaan HE, mereka


(45)

merekomendasikan penggunaan IHC CD10 digunakan hanya pada kasus-kasus negatif HE pada semua spesimen pada seorang wanita, sehingga dapat menekan biaya. Pewarnaaan CD 10 juga dapat memperbaiki akurasi diagnostik untuk kasus endometriosis ringan, yang juga sangat penting dalam menentukan terapi paling tepat.4,30

Gambar 2.1. (A) Pewarnaan H&E biopsi cul-de-sac dengan sangkaan endometriosis. (B) Imunohistokimia CD10 mengkonfirmasi diagnosis endometriosis, terlihat positif pada sel-sel stroma endometrium bukan pada kelenjar (diambil dari kepustakaan no.4).

Dalam penelitian lain dimana dicurigai adanya endometriosis namun stroma tidak jelas dijumpai, 17 dari 20 biopsi dinyatakan diagnosis endometriosis setelah pewarnaan CD10. Secara kontras dari 70 lesi negatif yang dievaluasi dengan menggunakan imunohistokimia CD10, hanya 15% yang memang mempunyai endometriosis. Bila disimpulkan, maka penelitian ini menunjukkan bawa terdapat variabilitas di antara ahli patologi dalam mendiagnosa endometriosis dari pewarnaan HE


(46)

dan pewarnaan CD 10 terbukti sangat berguna dalam kasus-kasus yang meragukan secara morfologi histologi.4,30

Wanita yang salah didiagnosis menderita endometriosis dapat mendapat terapi yang tidak semestinya diterima, yang tentunya mempunyai resiko dan efek samping pula. Demikian pula dengan wanita yang tidak terdiagnosa dengan benar, justru akan luput dari terapi yang semestinya diberikan. Oleh karena itu diperlukan standar baku dalam penegakan endometriosis. Diagnosis klinis saat pembedahan mempunyai tingkat positif palsu dan negatif palsu, dimana kasus yang ringan, kasus atipik atau lesi endometriosis dalam dapat terlewatkan. 4,30

Secara kontras, pemeriksaan histologi kasus dengan sangkaan endometriosis memiliki tingkat positif palsu yang sangat rendah namun dapat secara tidak sengaja menganggap seorang wanita bebas dari penyakit ini. Walter dkk gagal mengkonfirmasi secara histologi diagnosis pembedahan endometriosis minimal pada 32 % dari 37 wanita. Hal ini dapat merupakan diagnosis pembedahan yang positif palsu atau hanya merepresentasikan kegagalan deteksi histologi. 4,30

Beberapa patologis dapat mendiagnosa specimen yang diduga endometriosis dengan hanya bertumpu pada ditemukannya makrofag laden hemosiderin, kelenjar endometrium atau stroma endometrium, sedangkan yang lain memerlukan ditemukannya baik kelenjar dan


(47)

stroma endometrium secara bersamaan untuk menegakkan diagnosa. Oleh karena itu, diagnosis endometriosis juga memiliki problem lainnya yaitu sangat rendahnya reprodusibilitas interobserver terutama bila patologis tidak menggunakan kriteria diagnostik yang sama. 4,30

Penelitian ini menunjukkan bawah penggunaan imunohistokimia CD10 bersamaan dengan pewarnaan HE dapat meningkatkan deteksi histologi endometriosis. Beberapa penelitain mengindikasikan bawa CD10 merupakan marker sensitive untuk stroma endometrium ektopik dan neoplasma stroma endometrium. Dalam penelitian terhadap 25 biopsi, 22 kasus dinyatakan positif endometriosis dengan menggunakan HE dan 22 positif CD10. Hanya satu dari tiga kasus negatif HE ternyata positif imunohistokimia CD10 nya. 4,30

Dalam seri penelitian dari rumah sakit terkenal seperti Mayo Clinic, NIH, Bethesda, Maryland dan Chicago, ditemukan lebih sepertiga biopsi endometriosis yang diambil saat pembedahan menunjukkan hasil negatif dengan pewarnaan HE dengan tingkat negativitas yang lebih tinggi untuk penyakit endometriosis derajat ringan; 60% pada derajat I ( minimal ), 30% pada derajat II dan III (endometriosis ringan- moderat) dan 0% pada derajat IV (endometriosis berat). 31,32

Groisman dan Meir dalam empat penelitian retrospektif mempelajari 20 kasus endometriosis yang secara histologi dianggap ekuifokal,


(48)

menemukan bahwa 85% positif dengan pewarnaan IHC CD10, yang langsung mengkonfirmasi diagnosis endometriosis. Potlog –Nahari dkk (2004) menggunakan imunohistokimia CD10 pada 31 wanita dengan nyeri pelvis kronik, dan berhasil melipatduakan ketajaman diagnostik endometriosis derajat I. 31,32


(49)

2.4. Kerangka Konsepsional

Kista coklat ovarium

Immunohistokimia CD 10 Kista

endometriosis Kista lutein berdarah

 Pelapis epitel kelenjar (+)  Stroma

endometrium (+)

 Stroma ovarium menyerupai endometrium

CD 10 (+)

 Massa perdarahan (+)  Hemosiderin laden

makrofage (+)  Pelapis epitel (-)

 Stroma endometrium (-)

CD 10 (-)

Kista endometriosis

Kista lutein berdarah


(50)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.1.1. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Sentra Diagnostik Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU Medan.

3.1.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan mulai dari Januari 2012 sampai Juli 2012 yang meliputi studi kepustakaan, pengumpulan data, pengumpulan sampel, pengolahan data penelitian serta penulisan tesis.

3.2. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan specimen jaringan kista ovarium yang telah didiagnosis sebelumnya menggunakan mikroskop cahaya dengan pewarnaan rutin H&E (Hematoksilin dan Eosin), berupa kista endometriosis dan kista berdarah lainnya terutama kista lutein berdarah. Jaringan-jaringan tersebut kemudian dievaluasi secara imunohistokimia untuk melihat tampilan/ekspresi CD10. Rancangan penelitian ini akan menggunakan metode observasional dengan pendekatan cross

sectional. Dalam penelitian ini, tidak diberikan perlakuan terhadap

variabel, namun hanya dilihat hasil pulasan imunohistokimia CD 10. Pengukuran variabelnya hanya dilakukan satu kali dan pada satu saat.


(51)

3.3. Kerangka Operasional

Kriteria eksklusi

Kista endometriosis

Kista lutein berdarah Blok paraffin kista

coklat ovarium

Immunohistokimia CD 10

Pemeriksaan histopatologi konvensional H&E

CD 10 (+) CD 10 (-)

Kista endometriosis

Kista lutein berdarah


(52)

3.4. Populasi, Sampel dan Besar Sampel Penelitian 3.4.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah sediaan blok parafin yang berasal dari jaringan kista ovarium yang didiagnosa sebagai kista lutein berdarah dan kista endometriosis pada Sentra diagnostik Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU dan Laboratorium swasta di Medan.

3.4.2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah sediaan blok parafin dari jaringan kista ovarium berupa endometriosis dan kista lutein berdarah yang sesuai dengan kriteria inklusi dan sesuai besar sampel penelitian.

3.4.3. Besar Sampel Penelitian

Perkiraan besarnya sampel penelitian berdasarkan perhitungan dengan menggunakan rumus uji hipotesis terhadap 2 proporsi :

Keterangan :

n = besar sampel  n1 = n2

Zα = nilai baku normal dari tabel Z yang besarnya tergantung pada nilai α yang ditentukan (untuk α = 0,05  Zα = 1,96)

(Zα√2PQ + Zβ√P1Q1+P2Q2 )2


(53)

Zβ = nilai baku normal dari tabel Z yang besarnya tergantung pada nilai β yang ditentukan (untuk β = 0,10  Zβ = 1,282)

P1 = proporsi penderita kista endometriosis = 0,695

 menurut salah satu studi, angka kejadian endometriosis di RSCM = 69,5% (kepustakaan no.1)

Q1 = 1- P1 = 1 – 0,695 = 0,305

P2 = proporsi penderita kista lutein berdarah yang diharapkan

dalam penelitian ini = 0,495 Q2 = 1- P2 = 1 - 0,495 = 0,505

P = ½ (P1+P2) = ½ (0,695 + 0,495) = 0,545

Q = 1- P = 1 – 0,545 = 0,455

Hasil perhitungan :

n = [ (1,96√2(0,545)(0,455) + 1,282√(0,695)(0,305)+(0,495)(0,505) ]2 (0,50)2

= (0,9714 + 0,8589)2 (0,30)2

= 37,22 ≈ 38

Jadi dibutuhkan sampel minimal untuk masing-masing kelompok pemeriksaan histopatologi dan pemeriksaan imunohistokimia CD 10 kista ovarium masing-masing adalah 38.

Dalam penelitian ini, setengah jumlah sampel minimal diambil dari kelompok kista endometriosis dan setengah lagi dari kelompok kista lutein berdarah.


(54)

Kemudian untuk kelompok ke-2 yaitu untuk pemeriksaan IHK CD 10, sampel minimal juga 38 kasus.

3.5. Kriteria Inklusi dan Kriteria Eksklusi 3.5.1. Kriteria Inklusi

Yang termasuk kriteria inklusi adalah sediaan blok parafin jaringan kista lutein berdarah dan kista endometriosis dan slide pulasan Hematoksilin-Eosin nya.

3.5.2. Kriteria Eksklusi

 Sediaan blok parafin jaringan kista jenis lain seperti kista adenoma, kista ganas, kista folikel, kista sex cord, kista germ cell, kista metastase.

 Sediaan blok parafin yang rusak dan tidak dapat diproses lebih lanjut dengan pulasan imunohistokimia CD 10.

3.6. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 3.6.1. Variabel Penelitian

Variabel yang menjadi perhatian di dalam penelitian ini adalah :  Variabel bebas berupa tampilan immunohistokimia CD 10,

dan

 Variabel terikat berupa lesi kista endometriosis dan kista lutein berdarah.


(55)

3.6.2. Definisi Operasional

 Kista endometriosis adalah kista ovarium yang mengandung sel-sel endometrium ektopik baik epitel kelenjar maupun sel-sel stromanya.

 Kista lutein berdarah adalah kista ovarium yang mengandung banyak massa perdarahan yang mirip dengan kista endometriosis.  Pemeriksaan histopatologi konvensional adalah pemeriksaan

jaringan menggunakan mikroskop cahaya terhadap specimen yang telah melalui prosesing sampai diwarnai dengan hematoksilin-eosin.

 CD 10 adalah antibodi yang mampu mewarnai sel-sel stroma endometrium menjadi coklat.

 Hasil pulasan immunohistokimia CD 10 adalah tampilan pulasan warna coklat pada sitoplasma sel stroma yang dinyatakan dengan :

 Negatif, bila tidak berhasil menampilkan warna coklat, dimana pada saat proses yang sama kontrol (+) menampilkan warna coklat dengan pewarnaan kromogen DAB.

 Positif, bila terlihat tampilan pulasan warna coklat pada sitoplasma sel stroma dengan menggunakan mikroskop cahaya pembesaran 100X dan 400x pada seluruh lapangan pandang dan pada saat yang sama kontrol (+) juga menampilkan warna yang sama.


(56)

3.7. Prosedur dan Teknik Penelitian

3.7.1. Pembuatan sediaan mikroskopis

Sediaan mikroskopis dibuat dengan cara sebagai berikut :

1. Blok parafin yang telah dikumpulkan, disimpan dalam freezer sampai cukup dingin, selanjutnya dipotong tipis dengan menggunakan mikrotom dengan tebal 4 µm. Setiap blok parafin, dipotong ulang 1 kali untuk pulasan imunohistokimia CD 10. 2. Sampel blok parafin yang sudah dipotong tipis (4 µm)

ditempelkan pada kaca objek.

Pada pulasan imunohistokimia CD 10 digunakan kaca objek yang telah di-coating dengan poly-L-lysine atau Silanized slide agar jaringan dapat menempel pada kaca objek selama proses pulasan imunohistokimia.

Cara menempelkan potongan tipis pada kaca objek silanized adalah menggunakan ujung pisau atau pinset yang runcing. Potongan tipis dipisahkan dan diratakan dengan memasukkannya ke dalam air hangat. Setelah mengembang, pindahkan ke atas kaca objek. Selanjutnya, kaca objek diletakkan di atas alat pemanas (hot plate). Setelah parafin melunak, kaca objek dikeringkan dan potongan jaringan siap untuk dipulas.


(57)

3.7.2. Prosedur kerja

 Deparafinisasi dengan xylol I, II (masing-masing 5 menit).

 Rehidrasi (Alkohol absolute, Alk 96%, Alk 80%, Alk 70%) masing-masing 5 menit.

 Cuci dengan air mengalir.

 Masukkan slide ke dalam PT Link Dako Epitope Retrieval : set up Preheat 65°C, Running time 98°C selama 15 menit.

 Pap Pen. Segera masukkan dalam Tris Buffered Saline (TBS) pH 7,4.

 Cuci dalam Tris Buffered Saline (TBS) pH 7,4  Blocking dengan Normal horse Serum (NHS) 3 %.  Cuci dalam Tris Buffered Saline (TBS) pH 7,4.

 Inkubasi dengan Antibodi Primer sesuai kasus yaitu CD 10 Ready to Use.

 Cuci dalam Tris Buffered Saline (TBS) pH 7,4 /Tween 20  Dako Real Envision Rabbit/Mouse.

 Cuci dalam Tris Buffered Saline (TBS) pH 7,4 /Tween 20.

 DAB+Substrat Chromogen solution dengan pengenceran 20 µL DAB : 1000 µL substrat.

 Cuci dengan air mengalir.

 Counterstain dengan Hematoxylin.  Cuci dengan air mengalir.

 Lithium carbonat (5% dlm aqua) 3 celup.  Cuci dengan air mengalir.


(58)

 Dehidrasi (Alk 80%, Alk 96%, Alk Abs).  Clearing (Xylol 1, Xylol 2, Xylol 3).  Mounting dengan entellan + cover glass.

3.8. Alat dan Bahan Penelitian 3.8.1. Alat-Alat Penelitian

Alat-alat yang diperlukan untuk penelitian ini adalah : mikrotom, waterbath, hot plate, freezer, inkubator, staining jar, rak kaca objek, kaca objek, rak inkubasi, pensil Diamond, pipet mikro, timbangan bahan kimia, kertas saring, pengukur waktu, gelas Erlenmeyer, gelas beker, tabung sentrifuge, Dako PT Link (Heat mediated

Antigen Retrieval Method), thermolyte stirrer, kaca penutup, entelan

dan mikroskop cahaya.

3.8.2. Bahan Penelitian

 Blok parafin yang telah didiagnosis dengan pulasan Hematoksilin Eosin sebagai kista endometriosis ovarium dan kista lutein berdarah.

 Antibodi primer yang digunakan adalah Rabbit Polyclonal Hu- antibody CD 10 Ready to Use.

 Pulasan imunohistokimia menggunakan metode The EnVision+ Dual Link System kit yang terdiri dari :


(59)

 1 botol Dual endogenous enzyme block (15 ml)

 1 botol Labelled polymer-HRP (15 ml)

 1 botol DAB+ Substrat Buffer (18 ml)

 1 botol DAB+ Chromogen (1 ml)  Larutan TBS

 Larutan Tris EDTA  Xylol, Alkohol  Lithium carbonat  Hematoksilin

 Mounting media : entellan

3.9. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan adalah hasil pulasan imunohistokimia CD 10 terhadap sampel sediaan jaringan kista ovarium. Untuk penilaian terhadap pulasan imunohistokimia CD 10 adalah sebagai berikut :

 Kontrol positif : jaringan limfe nodi.

 Kontrol negatif : kista ovarium dengan antibodi primer yang digantikan dengan serum normal.

 Positif : warna coklat yang tertampil pada sitoplasma sel-sel stroma pada kista.


(60)

Tabel 3.1. Intensitas tampilan imunohistokimia CD 10 pada kista endometriosis dan kista lutein berdarah.

INTENSITAS IHK CD 10

Kista endometriosis

Kista lutein

berdarah JUMLAH NEGATIF

POSITIF JUMLAH

Keterangan : Intensitas tampilan CD 10 : Negatif : tidak tertampil

Positif : tertampil warna coklat pada sel stroma.

3.10. Analisa Data

 Untuk melihat gambaran karakteristik kista coklat ovarium berupa kista endometriosis dan kista lutein berdarah, disajikan dalam bentuk tabulasi dan dideskripsikan.

 Untuk menganalisa perbedaan hasil pulasan hematoksilin-eosin konvensional terhadap tampilan imunohistokimia CD 10 menggunakan uji Chi-square.


(61)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil penelitian

Pemeriksaan imunohistokimia CD 10 dilakukan terhadap 44 sediaan blok paraffin jaringan histopatologi kista ovarium yang sebelumnya didiagnosa dengan pulasan Hematoksilin & Eosin sebagai kista endometriosis dan kista lutein berdarah. Berdasarkan umur, distribusi sampel yang dimasukkan dalam penelitian ini tertampil pada tabel 4.1.

Tabel 4.1. Distribusi umur dari seluruh sampel kista ovarium yang digunakan dalam penelitian.

Umur n %

<20 tahun 2 4,5

20-35 tahun 30 68,2

>35 tahun 12 27,3

Total 44 100,0

Mean = 32,50 SD = 7,407 Minimum = 18 Maksimum = 49

Dari data distribusi yang digambarkan pada tabel 4.1., umur penderita kista ovarium berupa endometriosis dan kista lutein berdarah yang paling banyak adalah kelompok usia reproduktif yaitu umur 20-35 tahun, dengan jumlah sampel sebanyak 30 kasus (68,2%). Dan sampel yang minimal adalah yang termasuk pada kelompok umur kurang dari 20 tahun, berjumlah 2 orang (4,5%).


(62)

Usia rata-rata penderita kista endometriosis ovarium dan kista lutein berdarah yang ikut dalam penelitian ini adalah 32,5 tahun, dengan usia yang paling muda adalah 28 dan yang paling tua adalah 49 tahun.

Perincian distribusi jenis kista ovarium yang didiagnosis dari pemeriksaan konvensional Hematoksilin Eosin dan dari pewarnaan imunohistokimia CD 10 terhadap 44 sampel tersebut adalah sebagai berikut :

Tabel 4.2. Distribusi jenis kista berdarah ovarium berdasarkan pemeriksaan konvensional hematoksilin-eosin dan pewarnaan imunohistokimia CD 10.

Karakteristik Parameter n %

Histopatologi Kista endometriosis 22 50,0 Kista lutein berdarah 22 50,0

Jumlah 44 100,0

Imunoekspresi CD 10 Positif 21 47,7

Negatif 23 52,3

Jumlah 44 100,0

Sediaan histopatologi konvensional yang diikutkan dalam penelitian ini ada dua kelompok yaitu kista endometriosis dan kista lutein berdarah masing-masing sebanyak 22 kasus (50%). Dari penelitian ini, pewarnaan imunohistokimia CD 10 hanya ditemukan pada 21 kasus (47,7%), dan selebihnya 23 kasus (52,3%) negatif.

Dengan pewarnaan imunohistokimia CD 10, ekspresi positivitas pada jaringan menunjukkan adanya sel stroma endometrium pada kista tersebut, sehingga hal ini bermakna kista tersebut adalah kista endometriosis. Begitu juga sebaliknya, hasil yang negatif akan menandakan bahwa kista tersebut


(63)

bukanlah suatu kista endometriosis, melainkan jenis kista berdarah lainnya, yang mana dalam penelitian ini merupakan kista lutein berdarah.

Sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan histopatologi konvensional kista endometriosis dan kista lutein berdarah terhadap pemeriksaan imunohistokimia CD 10 dengan uji Chi-square ditunjukkan pada tabel 4.3.

Tabel 4.3. Pengukuran sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan histopatologi konvensional kista endometriosis dan kista lutein berdarah terhadap pemeriksaan imunohistokimia CD 10 dengan uji Chi-square.

Pewarnaan

Histopatologi konvensional

Total

p-value Kista

Endometriosis

Kista Lutein Berdarah

n % n % n %

IHK CD 10

Kista

Endometriosis (Positif)

16 36,4% 5 11,4% 21 47,7 0,001 Kista Lutein

Berdarah (Negatif)

6 13,6% 17 38,6% 23 52,3 Total 22 50,0% 22 50,0% 44 100,0

Hasil tabel 4.3. ini menunjukkan p-value = 0,001 (p<0,05), maka H0 ditolak

artinya ada beda hasil pemeriksaan histopatologi konvensional dengan pemeriksaan imunohistokimia CD 10 dalam mengidentifikasi kista endometriosis ovarium dan kista lutein berdarah.

Dari 22 kasus kista endometriosis yang ditemukan dari pemeriksaan histopatologi, sebanyak 16 orang (36,4%) juga dinyatakan sebagai kista


(64)

endometriosis dari hasil pemeriksaan imunohistokimia CD 10 (true positive) dengan sensitivitas sebesar 72,27%.

Dari 22 kasus kista lutein berdarah yang ditemukan dari pemeriksaan histopatologi, sebanyak 17 orang (38,6%) juga dinyatakan sebagai kista lutein berdarah dari hasil pemeriksaan imunohistokimia CD 10 (true negative) dengan spesifisitas sebesar 77,27%.

4.2. Pembahasan

Imunoekspresi CD 10 pada beberapa penelitian di dunia telah dibuktikan sangat berguna dalam mendemonstrasikan adanya stroma endometrium pada lokasi-lokasi ektopik dan sudah sering dipakai untuk mengkonfirmasi suatu diagnosis endometriosis. Hal ini dibuktikan dari penelitian Sumathi, McCluggage serta Onda, Simhizu, dkk dalam 2 penelitian di sentra yang berbeda. Mereka mengumpulkan kasus-kasus ‘suggestive of endometriosis’ pada ovarium yang diagnosisnya belum dapat ditegakkan secara pasti. Menurut kepustakaan, tidak jarang perdarahan yang berulang pada endometriosis menyebabkan jaringan endometrium hilang secara total sehingga kista hanya dilapisi oleh beberapa lapisan makrofage hemosiderin-laden. Pada situasi tersebut, kebanyakan patolog hanya dapat menegakkan kasus sebagai kista hemoragis/berdarah yang konsisten dengan endometriosis. Pada penelitian mereka, pemakaian imunostaining CD 10 sangat bermanfaat karena penegakan diagnosis terhadap kista endometrium


(65)

dapat dilakukan secara definit walaupun tidak tampak komponen epithel endometrium yang jelas.33

Pada penelitian kami, secara deskriptif dan statistik terdapat perbedaan antara pemeriksaan histopatologi konvensional dengan pemeriksaan imunohistokimia CD 10. Hal ini ditunjukkan hasil penelitian bahwa dari 22 kista endometriosis, secara imunohistokimia CD 10 terbukti 6 kasus negatif sehingga terjadi overdiagnosis (positif palsu).

Pada kelompok kista lutein berdarah yang secara histopatologi konvensional ditegakkan, ternyata 5 kasus positif terdapat sel-sel stroma endometrium sehingga hal ini berarti terjadi underdiagnosis (negatif palsu). Namun setelah dilakukan review, ternyata 2 kasus di antaranya adalah kasus kista lutein berdarah yang disertai kehamilan ektopik pada tuba fallopi. Kemungkinan positivitas CD 10 pada 2 di antara 5 kasus kista lutein berdarah yang negatif palsu, adalah tidak spesifik untuk kista endometriosis karena CD 10 pasti akan mewarnai sel-sel desidua pada kehamilan ektopik tersebut.

Beberapa bias yang mungkin terjadi pada penelitian ini juga terlihat pada tampilan CD 10 yang terekspresi positif pada sel-sel radang limfosit. Pada beberapa kasus, ditemukan gambaran kista ovarium terutama kista lutein yang terpelintir pada pemeriksaan histopatologi konvensional. Hal ini menyebabkan massa kista mengalami nekrosis dan menarik sel-sel radang untuk datang menginfiltrasi jaringan kista. Sel-sel radang inilah yang mengakibatkan CD 10 tertampil pada jaringan kista lutein.


(1)

duplex duplex 30. JH/12.031 Rose 35 thn Kehamilan ektopik

+ kista

Kista lutein berdarah + 31. JH/11.1052 Mariyah 34 thn Kista ovarium Kista lutein berdarah + 32. JH/11.900 Mardiana 33 thn Kista ovarium

kanan + kehamilan ektopik salfing kiri

Kista lutein berdarah

--

33. JH/11.777 Lina 30 thn Kista ovarium kiri Kista lutein +

34. OB/26/12 Pipin 18 thn Kista ovarium

duplex

Kista lutein berdarah

-- 35. OB/09/12 Maisarah 49 thn Kista ovarium Kista lutein

berdarah

-- 36. OK/85/12 Maholina Situmeang 32 thn Kista ovarium

duplex

Kista lutein berdarah

-- 37. OK/136/12 Maya Wardani 31 thn Kista ovarium Kista lutein

berdarah

-- 38. OK/119/12 Purnama Dewi 41 thn Kista coklat Kista lutein

berdarah

+ 39. H/11.189 Nurdewi 32 thn Kista ovarium Kista lutein berdarah -- 40. JH/11.423 Lina 31 thn Kista ovarium +

kehamilan ektopik

Kista lutein berdarah -- 41. JH/12.506 Ayu Lisda 23 thn Kista ovarium Kista lutein berdarah -- 42. JH/12.914 Yusniar 24 thn Kista ovarium

yang torsi dan ruptur

Kista lutein berdarah --

43. JH/12.314 Siti Hadijah 44 thn Kista ovarium Kista lutein berdarah -- 44. JH/12.142 Anna 39 thn Kista ovarium Kista lutein berdarah --

Keterangan tabel :

1. No. Slide : nomor pengenal kasus di lab PA USU.

2. Keterangan klinis : keterangan diagnosis dari dokter pengirim yaitu dokter ahli kandungan yang melakukan operasi terhadap kista ovarium.

Semua pasien adalah wanita, dan semua kasus yang diambil adalah kista ovarium. 3. Histopatologi (H&E) : hasil pemeriksaan histopatologi jaringan di Lab PA dengan

menggunakan pewarnaan konvensional rutin yaitu Hematoksilin dan Eosin.

4. Imunohistokimia CD 10 : Hasil penelitian dengan pewarnaan imunohistokimia menggunakan antibodi CD 10, sel stroma endometrium akan terwarnai secara positif sehingga artinya apabila CD 10 positif  kistanya adalah jenis endometriosis.


(2)

LAMPIRAN 2

FOTO-FOTO MIKROSKOPIS IMUNOHISTOKIMIA CD 10 KISTA ENDOMETRIOSIS OVARIUM DAN KISTA LUTEIN BERDARAH

Gambar 2. Sel-sel stroma endometrium terlihat positif dengan CD 10 dengan intensitas kuat dan difus. Sebaliknya pelapis epitel kelenjar endometrium Gambar 1. Sediaan kista endometriosis secara konkordan terwarnai


(3)

Gambar 8 . Ekspresi positif kuat dan diffuse pada jaringan hepar sebagai kontrol positif IHK (x200).

Gambar 3. Jaringan kista lutein berdarah dengan tampilan IHK CD 10 positif karena pada pasien tersebut, ia juga mengalami kehamilan ektopik, sehingga ditemukan jaringan stroma endometrium pada tuba fallopi dan dekat kista ovarium. Di samping itu, sebukan sel radang yang cukup masif juga membuat CD 10 tertampil positif. (x100).

Gambar 4. Sediaan kista lutein dengan ekspresi negatif pada sel stroma ovarium yang mirip dengan stroma endometrium ektopik(x100).


(4)

Gambar 5. Jaringan kista coklat ovarium (klinis) tanpa pelapis epitel, tanpa sel-sel stroma endometrium maupun sel makrofage hemosiderin laden, tidak terwarnai coklat dengan CD 10 sehingga ekspresinya dinyatakan negative (x100).


(5)

Nama : dr. Jessy Chrestella Tempat/ Tgl Lahir : Medan, 13 Januari 1982

Pekerjaan : Staf Pengajar Dept. Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU

Status : Menikah

Agama : Kristen

Alamat : JL. Dr. Mansur No. 77

Medan – 20131, Indonesia

Telepon : 061- 8211272 / HP. 08126023988

Email : jes_ch@msn.com

RIWAYAT PENDIDIKAN :

1. SD St. Yoseph II Medan – tahun 1987 - 1993 2. SMP St. Thomas 1 Medan – tahun 1993 - 1996 3. SMA St. Thomas 1 Medan – tahun 1996 - 1999

4. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara – tahun 1999 - 2004.

5. Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Anatomi, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara – Januari 2006 – November 2009.

RIWAYAT PEKERJAAN :

2005 – 2006 : Dokter umum di Lab. Prodia Cab. Jl. S.Parman, Medan. 2005 – sekarang : Praktek dokter umum.

2008 – sekarang : Staf Pengajar Dept. Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan.

KARYA ILMIAH :

1. Gambaran Imunoekspresi Matrix Metalloproteinase 9 (MMP-9) Pada Lesi-Lesi Prakanker dan Karsinoma Serviks Invasif. Penulis utama, dalam : Majalah Patologi Indonesia Vol. 19 No. 2 tahun 2010.

2. Sarcomatoid Renal Cell Carcinoma : a case report. Penulis utama, dalam : Majalah Kedokteran Nusantara USU. The Journal of Medical School. Volume Januari 2009. 3. Gambaran Plasenta Penderita Systemic Lupus Erythematosus : Laporan 2 Kasus,

dipresentasikan pada Pertemuan Ilmiah Konferensi Kerja Ke-11 (KONKER) dan Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) 15 – 18 Juli 2008 di Manado.


(6)

PARTISIPASI DALAM KEGIATAN ILMIAH :

1. Peserta pelatihan Basic Life Support Education Program, Medan, 10-11 November 2001.

2. Panitia 2nd Asean Conference on Medical Sciences, Medan, 18-20 Agustus 2002. 3. Peserta Simposium Early Detection of Ovarian Cancer, Medan, 4-5 Oktober 2003. 4. Peserta Pelatihan Advanced Cardiac Life support (ACLS), USU, MEDAN, 27-29 MEI

2005.

5. Peserta Kursus Neuropatologi, Medan, 18 Maret 2006.

6. Peserta Pertemuan Ilmiah IDI Cabang Medan, Medan, 13 Januari 2007.

7. Peserta Seminar Waspada Kanker pada Anak - IDAI dan USU, Medan, 24-25 Maret 2006.

8. Peserta Kursus Patologi Limforetikuler dan Sumsum Tulang, Jakarta, 24-25 Maret 2007.

9. Peserta 24th World Congress of Pathology and Laboratory Medicine, Kuala Lumpur, 20-24 Agustus 2007.

10.Peserta Simposium Upaya Deteksi Dini Karsinoma Nasofaring di Sumatera Utara, Medan, 29 April 2008.

11.Peserta Kursus Patologi Ginekologi, Jakarta, 3-4 Mei 2008.

12.Panitia Seminar awam Deteksi Dini dan Pencegahan Kanker pada Wanita, Medan, 14 Juni 2008.

13.Peserta Konferensi Kerja ke-11 dan Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Anatomi (IAPI), Manado, 15-18 Juli 2008.

14.Peserta Kursus Patologi Tiroid dan Payudara, Jakarta, 13-14 Desember 2008. 15.Peserta Seminar dan Workshop Dermatopatologi, Medan, 25-26 Januari 2009. 16.Peserta Seminar Advances in Breast Cancer, Medan, 21 Februari 2009.

17.Peserta Kursus Patologi Gastrointestinal, Jakarta, 25-26 April 2009.

18.Panitia Kongres Nasional Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Anatomi (IAPI) ke-16, Medan, 4-7 November 2009.

19.Peserta Kursus Patologi Paru dan Sistem Urogenital USU, Medan, 27-28 Februari 2010.

20.Peserta Kursus Patologi Nasofaring dan Limforetikuler USU, Medan 26-27 Juni 2010.

21.Peserta Diagnostic Cytopathology Workshop National University Hospital, Singapore, 4-6 Juni 2010.

22.Panitia 19th Annual Meeting Indonesian Society of Surgical Oncology in conjunction with World Federation of Surgical Oncology Society (WFSOS), Medan, 25-26 November 2010.