3.1.1. Hak Atas Kebebasan dan Keamanan
Istilah “hak atas kebebasan” mengimplikasikan kebabasan fisik dan meliputi kebebasan yang benar-benar konkret dan khusus dari penangkapan dan penahanan
yang sewenang-wenang. Pasal 9 pada Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik mengatur mengenai masalah ini, dijelaskan bahwa “tidak ada orang yang bisa dicabut
kebebasannya kecuali atas dasar dan sesuai dengan prosedur yang ditegakkan oleh hukum”.
Seseorang yang akan ditangkap berhak mengetahui tuduhan-tuduhan apa yang melandasi penangkapannya, tuduhan tersebut pun yang nantinya akan menjadi
perkaranya pada saat pengadilan. Namun, berbeda kasus dengan apa yang terjadi dengan Pramoedya, dia ditangkap lalu tanpa pengadilan dibawa ke RTC Salemba,
mendekap selama dua tahun lalu diasingkan ke Pulau Buru selama belasan tahun, tanpa pernah tahu pasti apa kesalahannya.
Dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh Democracy Now Sebuah stasiun radio dari Amerika Serikat, saat itu sang penyiar bertanya pada
Pramoedya,”Kenapa Anda ditahan di Buru?” lalu Pramoedya menjawab “Sampai sekarang saya tidak tahu. Tidak pernah ada pengadilan. Tidak ada tuduhan resmi.
Tidak ada kesempatan untuk membela diri”
33
33
Dikutip dari wawancara Pramoedya Ananta Toer oleh radio Democracy Now pada tahun 1999.
. Pramoedya selalu menegaskan hal mengenai penangkapannya, saat Pramoedya sedang diwawancara oleh Prof. Dr. Fuad
Hasan dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dia ditanyai tentang Adakah justification beradanya dia di Pulau Buru, ia menjawab
34
Lalu dia melanjutkan :
“Saya merasa diperlakukan tidak menurut hukum. Belum pernah saya dijatuhi hukuman oleh sesuatu pengadilan. Saya adalah seorang
pengarang. Saya menulis dengan nama jelas. Sekiranya ada kesalahan atau kekeliruan dalam tulisan saya, setiap orang boleh dan
berhak menyalahkan, apalagi pemerintahan yang notabene mempunyai kementerian penerangan. Maka, mengapa saya disini?
Sekiranya saya bersalah, saya akan rela menerima hukuman.”
35
34
Pramoedya Ananta Toer. 2000. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Jakarta: Hasta Mitra. Hal. 25
35
Ibid. Hal. 26
“Apakah ini menguntungkan bagi Indonesia? Saya tdak berbicara mengenai kekuasaan yang sedang berlaku, saya berbicara mengenai
Indonesia. Maka bila kami bersalah, berilah kami hukuman yang setimpal. Kalau tidak bebaskan. Perlakuan terhadap kami tidak
mendidik kearah pembangunan masyarakat yang lebih baik. Apa gunanya terpelajar itu belajar tentang prinsip-prinsip kemerdekaan
kalau kebebasannya tidak terjamin? Dan bagi mereka ini penderitaannya bertambah lagi bila kehilangan kebebasannya,
setelah mengetahui banyak tentang prinsip tersebut”
Dijelaskan juga pada pasal 9 bahwa seseorang yang ditangkap akan diberitahu pada saat pengakapan, dan akan diberitahu secara tepat tuduhan-tuduhan
terhadapnya. Hak ini diterapkan dalam proses pidana yang sah dan merupakan hak yang dimiliki oleh mereka yang dituduh. Hak ini juga dirancang untuk menghindari
terjadinya kesewenangan-wenangan dalam proses pidana. Tujuannya adalah untuk menghindarkan orang menemukan kebebasan diri mereka dicabut tanpa mengetahui
alasannya.
Selanjutnya, seseorang yang ditangkap atau ditahan atas tuduhan kriminal akan dibawa secara cepat di hadapan hakim atau petugas lain yang diberi wewenang
oleh hukum untuk menggunakan kekuasaan pengadilan dan diberi hak untuk mengadakan pemeriksaan pengadilan dalam waktu yang layak atau untuk
dibebaskan. Seseorang yang dicabut kebebasannya melalui penangkapan atau penahanan berhak menggunakan prosedur pengadilan, agar pengadilan dapat
memutuskan tanpa penundaan keabsahan penahanannya dan memerintahkan kebebasannya jika penahanan itu tidak sah. Hal mengenai pengadilan ini juga
merupakan prosedur yang tidak dilakukan saat penangkapan para Tahanan Politik. Semua hal diatas dilakukan agar terciptanya proses hukum yang wajar,
namun yang menjadi masalah adalah hal-hal yang telah dijelaskan diatas tidak terjadi pada saat proses penangkapan para Tahanan Politik. Sehingga atas dasar tersebut
penangkapan mereka bersifat tidak wajar. Pramoedya seringkali mengulang tentang penangkapannya yang tidak wajar tersebut, biasanya diiringi dengan berapa tahun
sudah ia ditahan di pulau buru, seperti salah satunya yang dia utarakan
36
“Entah sudah berapa kali seorang pejabat pendatang maupun setempat menanyakan pertanyaaan seperti itu padaku. Orang
mengharapkan aku menilai keadaan tahanan dan pulau buru ini baik. Apakah baiknya keadaan seseorang yang selama 12 tahun ditahan
tanpa pernah dibuktikan kesalahannya? Pernah kujawab pada seorang pejabat muda – dia sudah memperkenalkan diri sebagai
orang muda yang ingin belajar, tidak akan menggunakan kata-kataku sebagai bahan bakar untuk menghanguskan tubuhku: Kalau keadaan
ini harus dinilai dengan baik, revolusi ’45 sungguh tidak perlu ada. .
36
Ibid. Hal. 266
Dalam penjajahan Belanda pasti lebih baik. Kemerdekaan nasional juga tidak perlu ada”
Pernyataan ini keluar setelah Pramoedya disodorkan pertanyaan “apakah keadaan disini baik?” oleh seorang pejabat. Pramoedya menyamakan antara keadaan
zaman penjajahan belanda dengan apa yang dia lalui selama di Pulau buru, saat hak- hak individu belum diakui padahal berbeda dengan zaman penjajahan saat Indonesia
belum berstatus negara yang medeka, pada saat itu Indonesia berstatus sebagai negara merdeka tapi pengakuan hak-hak atas individu masih dipertanyakan. Dia juga
pernah berkeluhkesah dengan status tahanan tidak resminya
37
37
Ibid. Hal. 65
, “Empat tahun sudah sebagian terbesar dari kami ditahan, dan bagiku
sendiri merupakan juga empat tahun ketegangan melihat dan menjalani hukuman yang tak jelas bersumber pada tindak kesalahan
apa — hukuman-hukuman yang tidak pernah melalui suatu pengadilan, di mana moral dididik untuk perasa terhadap yang salah
dan tidak salah. Barangkali kami sedang mengulangi babak Babad Tanah Jawi, barang seratus limapuluh tahun belakangan ini dan
tigaratus tahun lebih kebelakang” Dilihat dari semua yang disampaikan Pramoedya tentang penahanannya yang
tidak resmi jelas bahwa Pram sangat menyesali atas apa yang terjadi terhadap dia dan tapol lainnya, tulisannya mengenai masalah penahanannya selalu terlihat seperti
tulisan seseorang yang sedang kesal bahkan marah, bahkan Pramoedya seperti merendahkan orang-orang yang terlibat dalam prosedur penahanan tidak wajar
tersebut.
Bila diulur kebelakang, Pramoedya dan ribuan orang lainnya yang diasingkan ke Pulau Buru ditahan karena dituduh terlibat dengan Partai Komunis Indonesia dan
organisasi-organisasi yang masih berhubungan dengan PKI. Pramoedya sendiri ditangkap karena merupakan anggota dari Lentera, lembar kebudayaan Harian
Bintang Timoer yang berafiliasi secara sikap dan mata ideologi dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat LEKRA sebuah organisasi yang dibangun oleh pimpinan PKI,.
Pramoedya sendiri menceritakan bahwa sebelumnya dia tidak pernah mengetahui apa itu komunis, sampai suatu hari pada thun 1956 seorang pegawai Kedutaan Besar
Tiongkok datang ke rumahnya untuk memberikan undangan peringatan dua puluh tahun meninggalnya pujangga besar Tiongkok Lu Shun, undangan itu sendiri
disampaikan atas petunjuk Menteri PPK Prof. Dr. Prijono. Namun, saat pulang kembali ke Indonesia semua tulisan Pram yang dia buat ditolak oleh penerbit.
Diceritakannya, dengan kepergiannya ke Tiongkok dia sudah diangap sebagai Komunis, bahkan dia juga utarakan
38
38
Ibid. Hal. 215
, “Aku mulai memikirkan soal anggapan umum. Aku pelajari kembali
tulisan-tulisan yang mengenai diri dan karyaku, yang memuji, mencela, menganalisa, mengadili dan menghukum. Juga surat-surat.
Aku timbang mana yang berat; kata-kata yang tertulis atau anggapan umum yang berdasaran berita burung. Selama ini belum ada
anggapan yang ditulis dan disiarkan. Aku putuskan dalam hati, bila ada orang menuliskannya, aku akan datang padanya untuk belajar
mengetahui, apa yang menurutnya bernama komunis itu.”
Lekra sendiri walaupun dibentuk oleh pimpinan PKI, bukan merupakan organisasi dibawah naungan PKI. Lekra hanya searah pandangan dengan PKI, karena
pembentukannya murni hanya untuk seni dan sastra. Bahkan D.N. Aidit ketua PKI tidak bisa meleburkan Lekra dengan PKI, usulannya ditolak oleh Njoto yang
merupakan wakilnya di PKI dan juga pendiri Lekra. Alasannya adalah di tubuh Lekra juga bergabung seniman nonkomunis yang bukan anggota resmi partai, seperti
Pramoedya Ananta Toer dan Utuy Tatang Sontani. Menyeret Lekra menjadi organ resmi partai hanya akan menyebabkan para seniman terkenal dan berpengaruh akan
hengkang
39
Melihat dari ketidaktahuan Pram mengenai komunis ataupun bagaimana bentuk keterlibatannya di dalam organisasi yang bersifat komunis, sudah tentu
penangkapan yang dilakukan terhadapnya atas tuduhan terlibat dengan PKI merupakan hal yang salah. Lebih buruk lagi, atas tuduhan terlibat dengan PKI, semua
karya sastra Pramoedya dihancurkan karena dianggap semua tulisannya mengandung ajaran-ajaran komunis sehingga secara langsung bisa mempengaruhi pembaca yang
membaca setiap bukunya. Perpustakaan dan dokumentasi sejarah yang telah ia . Bukan hanya itu, pengaruh Lekra yang sudah mencapai tingkat
kecamatan juga banyak mempunyai anggota yang nonkomunis. Sehingga pada akhirnya tidak ada yang bisa meleburkan antara Lekra dengan PKI, kecuali
pemerintahan Orde Baru. Bahkan, Aidit tidak bisa.
39
bangun selama hampir 20 tahun dihancurkan dan dibakar, bahkan ensiklopedia nasional yang telah dia buat juga dibinasakan.
Memang pada saat itu pemerintahan Orde Baru berusaha untuk melenyapkan secara total Partai Komunis Indonesia dan apapun yang berhubungan dengan Partai
Komunis Indonesia. Masyarakat Indonesia pun dibuat untuk sangat membenci PKI dengan berbagai macam propaganda yang dilakukan saat itu. Oleh sebab itu,
penangkapan dan pembunuhan massal yang dilakukan tidak terlalu mendapatkan atensi yang besar dari masyarakat, seolah-olah yang dilakukan pemerintah memang
harus dilakukan demi kebaikan bersama, kebaikan masyarakat Indonesia. Tidak ada yang memikirkan mengenai apa yang harus dilewati oleh mereka-mereka yang
ditangkap atas tuduhan yang kabur itu. Mengenai penangkapan yang tidak prosedural ini sepertinya memang terjadi
oleh tahanan politik bukan hanya di Indonesia, juga negara-negara lain yang pernah mempunyai tahanan politik. Sehingga terlihat wajar bila tahanan politik memang
ditangkap secara semena-mena tanpa tuduhan yang jelas dan tanpa adanya hukum yang mempertanggungjawabkannya. Padahal di dalam masalah Hak Asasi Manusia
tidak ada yang bersifat wajar, semuanya harus jelas sesuai dengan aturannya, karena pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia berarti pelanggaran terhadap martabat dan
kedudukan seseorang sebagai manusia, bukan sebuah hal yang bisa dianggap wajar.
Perihal hak atas kebebasan ini, terdapat kalimat yang dibuat oleh Pamoedya di bukunya yang menunjukkan keputusasaannya, dia seperti menerima apa yang
terjadi pada hidupnya, menjadi seorang tahanan politik tanpa pernah tau kapan dia akan mendapatkan kembali kebebasannya. Dia menulis
40
40
Ibid. Hal. 154-155
. “Apakah kini yang bisa kuperbuat memasuki lima puluh tambah
satu? Sebagai individu tanpa kebebasan begini? Dan pengalaman selama sebelas tahun belakangan ini telah memberikan kepadaku
ketabahan untuk melambaikan tangan dan mengucapkan selamat jalan bagi harapan. Dan orang bilang harapan itu indah. Dan ternyata
orang bisa tidak mengalami krisis kejiwaan tanpa harapan. Boleh jadi satu kemustahilan bagi orang lain. Boleh jadi itulah justru
kehidupan pokok kayu. Kalau toh demikian aku tidak menyesal, karena juga pada sesalan telah disampaikan kata putus. Maka hari
demi hari ini hidup telah membawa tubuh pada syarat-syarat untuk tinggal survive semata. Aku menundukkan kepala, tidak mengiri
pada mereka yang telah berhasil menjelajahi antariksa, telah menyelami rahasia inti alam, telah memberikan sumbangan-
sumbangan tak terpermanai pada kemanusiaan. Aku menghormati mereka dengan setulus hatiku. Aku mengerjakan apa yang bisa aku
kerjakan, dan aku perkirakan bisa, seirama dengan lonceng tahun yang terus-menerus berdetik, dalam keterbatasan, dan dalam
perlawanan terhadap degenerasi. Februari ini lonceng pertama, tahun depan kedua, dan seterusnya. Aku tahu syarafku tidak sekuat dulu –
juga megalami degenerasi – dan gigi rusak satu demi satu. Tapi juga aku rasai, tetap aku tidak berkisar dari kehadiranku sebagai manusia
dan sebagai pengarang. Lebih dari itu: sebagai manusia dan pengarang Indonesia. Tak peduli orang suka atau tidak suka. Aku
tahu aku tetap diriku sendiri. Indeed, all is changing with the changing of the time. I’m still what I am.
”
3.1.2. Hak Atas Kebebasan Berpendapat