1.2.Perumusan Masalah
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu adalah satu-satunya karya non-fiksi Pramoedya Ananta Toer yang dibuat semasa tahanan di Pulau Buru. Buku ini ingin
memperlihatkan adanya peristiwa sejarah kemanusiaan yang perlu untuk diingat dan dimasukan dalam bagian dari perjalanan sejarah Indonesia, yang selama ini ada kesan
untuk ditutup-tutupi dan dianggap tidak pernah ada. Buku memoar ini pun sungguh baik untuk dijadikan rujukan sejarah dalam mengungkapkan penahan tapol akibat
peristiwa berdarah tahun 1965. Penerbitan buku memoar ini tentunya juga berusaha untuk mengungkapkan tentang adanya penahanan secara tidak prosedural terhadap
hampir puluhan ribu orang Indonesia dalam periode rezim militer otoritarian Orde Baru di Indonesia.
Maka yang menjadi pertanyaan penelitian yaitu: 1.
Bagaimana bentuk pelanggaran HAM di pulau Buru berdasarkan buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu?
1.3. Pembatasan Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebatas pada analisis pelanggaran HAM di Pulau Buru berdasarkan Buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah: 1.
Untuk melihat bentuk pelanggaran HAM di pulau Buru berdasarkan buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu.
2.
Untuk menganalisis pelanggaran HAM yang terjadi di Pulau Buru.
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan agar mampu memberikan manfaat sebagai berikut: 1.
Secara teoritis, penelitian ini dapat memberikan sumbangan terhadap perkembangan dan pendalaman studi politik terutama tentang Hak Asasi
Manusia. 2.
Secara akademis, penelitian ini dapat memberikan pengetahuan tidak hanya bagi peneliti, tetapi juga bagi akademisi lainnya di berbagai tingkatan
pendidikan. 3.
Menambah pengetahuan bagi masyarakat, yang dalam hal ini lebih diprioritaskan kepada kenyataan tentang pelanggaran HAM di Indonesia.
1.6. Kerangka Teori 1.6.1 Teori Tentang Hak Asasi Manusia
Konsep hak-hak asasi manusia mempunyai pengertian dasar bahwa hak-hak yang tidak dapat dipisahkan dan dicabut adalah hak manusia karena ia seorang
manusia. Hak-hak ini adalah hak-hak moral yang berasal dari kemanusiaan setiap insan dan hak-hak itu bertujuan untuk menjamin martabat setiap manusia
16
16
Leah Levin. 1987. Hak-Hak Asasi Manusia: Tanya Jawab. Jakarta: Perc. Hastama. Hal. 3
. Manusia mempunyai derajat yang luhur sebagai manusia, manusia mempunyai budi sendiri
dan karsa yang merdeka sendiri. Semua manusia sebagai manusia memiliki martabat
dan derajat yang sama dan dengan demikian memiliki hak-hak dan kewajiban- kewajiban yang sama.
HAM melekat pada kodrat manusia sendiri, artinya hak-hak yang paling fundamental tidak lain adalah aspek-aspek dari kodrat manusia ataupun kemanusiaan
sendiri. Kemanusiaan setiap manusia bernilai sangat tinggi karena merupakan suatu ide yang luhur dari sang pencipta, yang menghendaki supaya setiap orang
berkembang dan mencapai kesempurnaannya sebagai manusia. Oleh karena itu, setiap manusia harus dapat mengembangkan diri sedemikian rupa sehingga ia dapat
terus berkembang secara leluasa. Ini adalah hak paling fundamental yang tidak boleh diganggu-gugat. Dimana ada manusia, disitu ada HAM, dan harus dihargai dan
dijunjung tinggi, tanpa kecuali
17
Sebetulnya, HAM melekat pada kodrat manusia dan dimiliki oleh setiap insan sebagai manusia, di mana pun dan kapan pun ia berada. Namun, kenyataannya belum
begitu lama bahwa sebagian umat manusia menyadari adanya HAM itu. Latar belakang historis HAM tercatat melewati banyak fase dalam waktu yang cukup lama,
dimulai dari sebuah Piagam Agung “Magna Charta” 1215 yang berisi mengenai batasan yang jelas dan tegas terhadap kekuasaan raja yang absolute dan totaliter
.
17
Gunawan Setiardja. 1993. Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Hal. 75
dibuat oleh bangsawa Inggris untuk mendapatkan kembali hak-hak mereka yang telah dicampakkan oleh kekuasaan raja John yang berkuasa saat itu
18
1. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948.
. Sampai kepada pembuatan Undang-undang Internasional HAM yang terdiri
dari:
2. Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya 19661976
3. Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik 19661976.
4. Optional Protocol dari Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik
mengenai pengaduan perorangan 19661976. 5.
Optional Protocol II dari Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang bertujuan menghapus hukuman mati 19661976
19
Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik memuat ketentuan mengenai pembatasan penggunaan kewenangan oleh negara, karenanya hak yang terhimpun di
dalamnya juga sering disebut hak-hak negatif. Artinya, hak-hak dan kebebasan yang dijamin di dalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran negara terbatasi atau terlihat
minus. Sedangkan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya justru menuntut peran maksimal negara. Negara justru melanggar hak-hak yang dijamin di dalamnya apabila
.
18
Ibid. Hal.77
19
Prof. Miriam Budiarjo. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hal. 220
negara tidak berperan secara aktif atau menunjukkan peran yang minus, karena itu Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya sering disebut sebagai hak-hak positif
20
Tanggung jawab perlindungan dan pemenuhan atas semua hak dan kebebasan yang dijanjikan di dalam kovenan ini adalah di pundak negara. Pada pasal 2 Hak Sipil
dan Politik ditegaskan negara diwajibkan untuk menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui dalam kovenan ini, yang diperuntungkan bagi semua individu yang
berada di dalam wilayah dan tunduk pada yuridikasinya. Kalau hak dan kebebasan yang terdapat di dalam Kovenan ini belum dijamin dalam yuridikasi suatu negara,
maka negara tersebut diharuskan untuk mengambil tindakan legislatif atau tindakan lainnya yang perlu guna mengefektifkan perlindungan hak-hak itu
.
21
Hak Atas Hidup , Pasal 6 Kovenan Hak Sipil dan Politik menyatakan, setiap
manusia memiliki hak atas hidup yang bersifat melekat. Hak atas hidup ini, tidak .
Tanggung jawab negara yang dalam konteks memenuhi kewajiban yang terbit dalam kovenan ini adalah bersifat mutlak dan harus dijalankan, singkatnya hak-hak
yang terdapat dalam kovenan ini bersifat justiciable. Inilah yang membedakannya dengan tanggung jawab negara dalam konteks Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya, yang tidak harus segera dijalankan pemenuhannya. Tetapi secara bertahap, dan karena itu bersifat non-justiciable.
Adapun cakupan Kovenan Hak Sipil dan Politik antara lain:
20
Ifdhal Kasim. 2001. Hak Sipil dan Politik: Esai-Esai Pilihan. Jakarta: Elsam. Hal. Xvii
21
Ibid. Hal. xiv
perlu diragukan, paling penting dari semua hak asasi manusia. Masyarakat yang beradab tidak dapat eksis tanpa ada perlindungan hukum terhadap hidup manusia.
Tidak dapat diganggu-gugatnya hak atau kesucian hidup mungkin merupakan nilai yang paling dasar dari peradaban modern. Dalam analisis yang bersifat final, jika
tidak ada hak atas hidup maka tidak akan ada pokok persoalan dalam hak asasi manusia
22
• Penyiksaan berarti suatu tindakan yang menimbulkan rasa sangat menyakitkan atau penderitaan, baik fisik maupun mental, yang dibebankan
oleh atau atas dorongan pejabat public pada seseorang dengan tujuan untuk memperoleh informasi atau pengakuan darinya atau orang ketiga, dan
menghukum atas tindakan yang telah ia lakukan atau dicurigai telah ia lakukan, atau mengintimidasi, atau orang-orang lain.
.
Hak Atas Keutuhan Jasmani
, Pasal 7 Kovenan melarang a penyiksaan; b perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau menurunkan martabat;
c percobaan medis atau ilimiah tanpa persetujuan yang bebas. Larangan penyiksaan dapat dipandang sebagai bagian integral dari hukum kebiasan internasional, bahkan
memperoleh ciri tersendiri dalam norma hukum internasional umun yamg tak dapat diubah. Definisi dari penyiksaan dalam cakupan ini adalah:
22
Ibid. Hal. 129-130
• Penyiksaan merupakan bentuk yang lebih buruk dan disengaja dari pelakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau yang merendahkan
martabat
23
Perlakuan yang merendahkan martabat telah dicermati bahwa kata “perlakuan” seharusnya tidak diterapkan dalam situasi yang merendahkan martabat,
yang disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi dan sosial secara umum. Dengan demikian “perlakuan” pasti merupakan tindakan khusus yang dilakukan secara
sengaja dengan tujuan untuk menghina korban.
Hak Atas Kebebasan dan Keamanan
, Pasal 9 Kovenan mengajukan hak atas kebebasan dan keamanan seseorang. Istilah “hak atas kebebasan”
mengimplikasikan kebabasan fisik dan meliputi kebebasan yang benar-benar konkret dan khusus dari penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang. Pasal 9
Konvenan menguraikan kebebasan ini sebagai, “tidak ada orang yang bisa dicabut kebebasannya kecuali atas dasar dan sesuai dengan prosedur yang ditegakkan oleh
hukum”. Pada umumnya ada keharusan landasan penahanan dan prosedur yang ditempuh harus “ditegakkan oleh hukum”, dengan menekankan adanya kebutuhan
untuk menyebarluaskan aturan yang melandasinya dan bertanggung jawab atas siapa yang ditangkap, mengapa, dan bagaimana.
.
Pasal 92 menyatakan, “seseorang yang ditangkap akan diberitahu pada saat pengakapan, dan akan diberitahu secara tepat tuduhan-tuduhan terhadapnya”. Hak ini
23
Ibid. Hal. 147-148
diterapkan dalam proses pidana yang sah dan merupakan hak yang dimiliki oleh mereka yang dituduh. Hak ini juga dirancang untuk menghindari terjadinya
kesewenangan-wenangan dalam proses pidana. Tujuannya adalah untuk menghindarkan orang menemukan kebebasan diri mereka dicabut tanpa mengetahui
alasannya
24
Pasal 93 menyatakan, “seseorang yang ditangkap atau ditahan karena tuduhan kriminal akan dibawa secepat mungkin ke hadapan hukum atau petugas yang
diberi kuasa oleh hukum untuk menggunakan kekuasaan pengadilan dan diberi hak untuk mengadakan pemeriksaan pengadilan dalam waktu yang layak atau untuk
dibebaskan”. Ada dua bagian dari hak ini. Pertama, kebebasan eksekutif di pemerintahan untuk bertindak dibatasi. Penahanan administratif secara temporer
dapat diizinkan tetapi yang ditahan harus dibawa secepat mungkin ke hadapan pengadilan. Kedua, sekali orang yang ditahan dituduh maka penahanannya dapat
diperpanjang atas perintah hakim meskipun ia harus dibawa ke pengadilan dalam waktu yang layak
.
25
Pasal 94 menyatakan, “seseorang yang dicabut kebebasannya melalui penangkapan atau penahanan berhak mendapatkan prosedur di depam pengadilan
agar pengadilan dapat memutuskan keabsahan penahanannya tanpa penundaan dan memerintahkan pelepasannya jika penahanan itu tidak sah”. Tujuan dari ketentuan ini
.
24
Ibid. Hal. 167
25
Ibid. Hal.168-170
adalah untuk menjamin para tahanan berhak mendapakan peninjauan kembali atas keabsahan penangkapan mereka. Dengan demikian, hak itu dibatasi oleh hal-hal di
mana keputusan untuk mencabut kebebasan seseorang dilakukan oleh badan administratif
26
Pasal 95 menyatakan, “seseorang yang menjadi korban penangkapan atau penahanan yang tidak sah berhak mendapatkan kompensasi”. Pernyataan ini
merupakan pengawasan yang sangat penting terhadap kekuasaan eksekutif secara luas untuk melindungi seseorang dalam penahanan. Jika eksekutif berbuat salah atau
menyalahgunakan kekuasaanya, maka negara harus member korban ganti rugi atas pencabutan kebebasan yang salah
.
27
Mencermati pada kovenan ini terdapat pembedaan antara kebebasan
berpendapat dan kebebasan berkespresi. Kebebasan untuk memiliki pendapat tanpa paksaan adalah sesuatu yang absolute; sementara kebebasan untuk berekspresi
.
Hak Atas Kebebasan Berpendapat
, Pasal 19 Kovenan menjelaskan setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat dengan tidak
mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan serta pendapat dengan cara apapun juga dan dengan tidak memiliki batas-batas.
Kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan tonggak dari hak asasi manusia, dan memiliki posisi penting bagi beberapa jenis hak dan kebebasan lainnya.
26
Ibid. Hal.173
27
Ibid. Hal. 174
dimungkinkan untuk tunduk pada batasan-batasan tertentu. Kebebasan bereskpresi mencakup kebebasan untuk mencari, menerima dan meneruskan informasi dan ide-
ide. Hak-hak dan kebebasan ini ada tanpa terikat batasan wilayah. Hak atas kebebasan berpendapat dan bereskpresi dapat diterapkan tidak hanya dalam satu
negara saja, tetapi berlaku secara internasioal
28
Paragraf 3 dari pasal 19 kovenan mengandung kalusal pembatasan, bahwa penerapan dalam pasal ini juga disertai tugas dan tanggung jawab khusus. Tugas dan
tanggung jawab khusus ini dapat menjadi subjek dari aturan dan batasan tertentu, tetapi aturan dan batasan ini hanya sesuai dengan yang diatur dalam undang-undang,
dan dianggap perlu .
29
Hak Atas Kebebasan dari Perbudakan dan Kerja Paksa,
Pasal 8 Kovenan menjelakan tidak ada seorang pun boleh diharuskan melakukan kerja paksa atau
wajib kerja. Namun istilah kerja paksa atau wajib kerja tidak mencakup: Segala macam pekerjaan atau pelayanan, yang biasanya ditujukan kepada seorang tahanan
sebagai akibat dari peraturan hukum pengadilan; Segala tugas kemiliteran; Segala tugas yang dituntut dalam keadaan darurat atau malapetaka yang mengancam
kehidupan masyarakat; Segala pekerjaan atau pelayanan yang merupaka bagian dari kewajiban penduduk yang lazim
.
30
.
28
Ibid. Hal. 255
29
Ibid. Hal. 259
30
Ibid. Hal. 426
1.7. Metode Penelitian