Tahanan Politik Pulau Buru serta kurangnya perlengkapan medis yang membuat keadaan telinganya semakin memburuk. Besar atau kecil penyiksaan yang dilakukan
terhadap seseorang tetap saja dianggap sebagai hal yang melanggar hak asasi seseorang sebagai manusia. Semua harus dilandasi dengan hukum yang jelas, bahkan
sejatinya tidak ada hukum yang menghalakan penyiksaan terhadap seorang manusia.
3.1.5. Hak Atas Hidup
Hak asasi manusia dimaksudkan untuk memajukan dan melindungi martabat dan keutuhan manusia secara individual. Jika ada hak yang bersifat lebih
fundamental dari hak lain untuk mencapai maksud tersebut, tentu saja hak itu alah satunya adalah hak atas hidup. Pada hak atas hidup inilah semua hak lain bergantung,
tanpa hak atas hidup, hak-hak lain sedikit atau sama sekali tidak bermakna. Hak atas hidup bersifat melekat dan paling penting dari semua hak asasi manusia. Tidak dapat
diganggu-gugatnya hak atau kesucian hidup mungkin merupakan nilai yang paling dasar dari peradaban modern.
Hak atas hidup bukanlah kebebasan untuk hidup sebagaimana diinginkan seseorang. Ini bukanlah hak untuk menetapkan standar penghidupan yang pantas.
Tentu saja kebutuhan manusia tertentu — khususnya makanan, pakaian, perumahan, dan perawatan kesehatan – esensial agar manusia dapat tetap hidup. Bagaimanapun,
hak atas hidup pada hakikatnya adakah hak sipil, dan hak itu “menjamin seseorang tidak menghadapi kematian akibat kelaparan atau kedinginan atau tiadanya perhatian
medis”. Intinya, hak atas hidup adalah hak untuk terlindungi dari pembunuhan yang bersifat kesewenang-wenangan.
Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik mengharuskan hak atas hidup dilindungi oleh hukum. Keharusan ini berarti setiap negara peserta wajib memiliki
hukum yang melindungi hak atas hidup dalam sistem hukum dalam negrinya. Kewajiban internasional mengharuskan hak atas hidup dilindungi oleh lembaga yang
lebih tinggi dalam hirarkri legislatif, undang-undang, atau ketentuan konstitusional. Pelanggaran Hak asasi manusia di Pulau Buru terakhir yang menjadi sorotan
tidak lain menganai hak atas hidup ini. Penangkapan para Tahanan Politik yang sewenang-wenang berakibat tidak adanya hukum yang jelas yang melindungi mereka
selama menjadi Tahanan Politik, ini berujung terjadinya perilaku yang sewenang- wenang yang diterima oleh mereka. Kematian pun luput terjadi, setidaknya sebanyak
310 Tahanan Politik tewas selama di Pulau Buru. Jumlah tersebut merupakan perhitungan Pramoedya sampai ahun 1978.
Kematian mereka diakibatkan oleh berbagai hal, namun yang mendominasi adalah tewas karena sakit, pengobatan serta peralatan kesehatan yang tidak memadai
menjadi alasan terkuat kenapa sakit menjadi penyebab kematian terbanyak di Pulau Buru. Kematian akibat sakit bukan berarti tidak merupakan perilaku kesewenang-
wenangan karena penyebab sakitnya para Tahanan Politik di Pulau Buru didominasi oleh kurangnya gizi yang mereka dapatkan akibat buruknya kuantitas maupun
kualitas makanan yang mereka terima. Selain itu, buruknya gizi yang mereka dapatkan berbanding terbalik dengan besarnay pekerjaan yang harus mereka
kerjakan. Ini yang menyebabkan para Tahanan Politik kelelahan dan jatuh sakit. Ditambah kelengkapan medis yang tidak memadai makin memperburuk keadaan
para Tahanan Politik. Tak khayal sakit merupakan penyebab terbesar tewasnya Para Tahanan Politik.
Penyebab kematian terbesar kedua di Pulau Buru adalah dibunuh oleh petugas, penyebab yang paling mudah untuk dikategorikan kesewenang-wenangan.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, para Tahanan Politik dapat dengan mudahnya dibunuh oleh petugas, dengan alasan maupun tanpa alasan sama sekali.
Jika dianggap salah walaupun kesalahan kecil Tahanan Politik tidak luput dari pembunuhan. Tidak ada kesempatan untuk membela diri sama sekali, Tahanan
Politik hanya bisa menunggu mungkin karena setiap saat tanpa mengenal waktu petugas bisa saja membunuhnya.
Selain dibunuh di tempat oleh petugas, terdapat juga sebuah unit yang memang diperuntungkan bagi petugas untuk menyiksa Tahanan Politik, unit Jiku
kecil. Pembahasan sebelumnya telah menjelaskan apa yang dimaksud dengan unit Jiku kecil. Di buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Pramoedya bahkan membuat
pembahasan sendiri mengenani unit Jiku kecil ini, pada bab 12 Pramoedya membahas secara terbuka hal-hal yang terjadi di Unit itu, dari kesalahpahaman yang
berujung pembunuhan sampai penyiksaan yang berujung juga pada kematian. Setiap korban penyiksaan di Unit Jiku Kecil, oleh Pramoedya disebutkannya nama, serta
umur dan asal kota. Prmaoedya juga menjelaskan penyebab kematian setiap dari mereka.
Penyebab ketiga adalah kecelakaan, hanya penyebab kematian ini yang tidak merupakan sebuah kesewenang-wenangan. Kecelakaan yang terjadi pada Tanahan
Politik di Pulau Buru berupa kejatuhan pohon kayu, diseruduk sapi, tersambar petir, diserang babi hutan serta sampan yang dinaiki Tahanan Politik tenggelam. Hanya
tiga hal ini kecelakaan yang disebutkan Pramoedya di bukunya. Selanjutnya penyebab tewasnya para Tahanan Politik adalah bunuh diri.
Setidaknya, pada catatan Pramoedya 15 orang tewas karena bunuh diri. Kebanyakan dari Tahanan Politik bunuh diri dengan cara menggantung, sementara lainnya
meminum obat. Bunuh diri merupakan keputusan pribadi setiap individu, tetapi ada beberapa hal yang menyebabkan seseorang mengambil keputusan untuk bunuh diri.
Jika dilihat dari apa yang terjadi pada para Tahanan Politik di Pulau Buru, tekanan akibat penyiksaan maupun kerja paksa yang dilakukan oleh petugas boleh jadi
merupakan alasan terkuat kenapa para Tahanan Politik memilih untuk bunuh diri. Tidak adanya jaminan kebebasan juga bisa menjadi alasan para Tahanan Politik
untuk bunuh diri, mereka memilih mati dari pada terus hidup dibawah tekanan yang tak berujung.
Terakhir penyebab kematian para Tahanan Politik adalah “lain-lain”. Dikategorikan lain-lain karena terdapat penyebab-penyebab kematian yang tidak
menibulkan banyak korban. Penyebab-penyebab tersebut antara lain; hilang, dibunuh oleh Tahanan Politik lain; dan dibunuh penduduk setempat. Tahanan politik yang
hilang merupakan Tahanan Politik yang kabur lalu tidak pernah ditemukan lagi. Kemungkinan terbesar adalah tewas, karena kondisi alam di Pulau Buru yang
memang tidak bersahabat. Mengenai dibunuh oleh sesama Tahanan Politik, Pramoedya menceritakan di
bukunya tentang terbunuhnya Drs. Mulyoso oleh Bahsan. Selanjutnya dia ceritakan
63
63
Ibid. Hal. 171
. “Drs. Mulyoso, lulusan STO Sekolah Tinggi Olahraga
Banyuwangi, antara jam 9 dan 10 pagi telah dibunuh oleh seorang pemuda, 27 tahun. Mulyoso – 43 tahun – dibunuh waktu sedang
sarapan pagi. Dari belakang. Dengan tangkai cangkul kayu laban, masih dan belum selesai dihaluskan. Kabar burung tambahan: gara-
gara sang pelaku – Bs – tidak disertakan dalam perlombaan pingpong. Permintaannya menjadi poros kesebelasan unitnya juga
tidak dilayani. Bs sendiri tak pernah kukenal. Boleh jadi pernah bicara dengannya. Ia memasuki tahanan waktu berumur 15, dan
menjadi dewasa selama 12 tahun dalam tahanan. Sebelumya Bs pernah mencoba menikamnya dengan belati, pernah juga
merunduknya waktu malam, dan ia hanya mendapatkan kelambu kosong. Patut menjadi perhatian, Bs seorang kanak-kanak yang jadi
dewasa dalam tahanan selama 12 tahun Mampu membunuh dengan darah dingin. Dengan berencana Waktu dipertemukan dengan
mayat kurbannya ternyata tak nampak ia menyesali perbuatannya.”
Dua hal yang menjadi perhatian disini; Pertama, seorang Tahanan Politik membunuh sesame teman senasibnya, padahal di satu sisi mereka sama-sama
berjuang. Tekanan yang besar yang dirasakan oleh Tahanan Politik membuat sebagian besar dari mereka terguncang mentalnya dan kehilangan akal sehatnya,
tidak ada belas kasihan yang muncul dalam diri mereka. Kedua, seorang 15 tahun yang harus merasakan getirnya ketidakadilan, seorang pemuda yang terdidik oleh
ketidak-menentuan hukum berubah menjadi seorang pembunuh berdarah dingin. Ini membuktikan betapa beringasnya kehidupan Tahanan Politik di Pulau Buru,
kehidupan yang membuat seorang anak kecil dengan segala masa depannya menjadi pembunuh.
Selanjutnya adalah pembunuhan yang dilakukan penduduk lokal. Pembunuhan terhadap para Tahanan Politik yang dilakukan oleh penduduk lokal
terjadi karena penduduk lokal merasa datangnya para Tahanan Politik di pulau mereka dapat membahayakan kelangsungan hidup mereka, apalagi para Tahanan
Politik yang sering membabat hutan untuk pembukaan lahan dianggap mereka mengancam sumber daya alam di Pulau Buru.
Atas dasar itu, sering para Tahanan Politik yang pergi ke hutan ataupun memancing disungai dibunuh oleh penduduk lokal—ditombak maupun dipenggal
kepalanya. Para Tahanan Politik tidak bisa melawan, penduduk lokal bersenjata tajam sedangkan para Tahanan Politik hanya mempunyai tangan kosong. Setelah
terjadi pembunuhan barulah petugas mencari dan menangkap penduduk lokal untuk dibawa ke Namlea, namun setelah itu terjadi lagi pembunuhan oleh penduduk lokal.
Penyebab lainnya adalah perempuan-perempuan penduduk lokal yang banyak jatuh hati kepada para Tahanan Politik, ini juga yang membuat penduduk lokal
geram.Petugas yang mengawasi para Tahanan Politik tidak boleh lepas tangan terhadap keamanan mereka, sebab jika tidak nyawa mereka yang menjadi ancaman.
Setidaknya atas kasus pembunuhan oleh penduduk lokal, petugas seperti tidak acuh atas keselamatan Tahanan Politik. Pramoedya menuliskan
64
Catatan kematian ini dihimpun Pramoedya hanya sampai tahun 1978 saja, minus satu tahun. Sebabnya, petugas berhasil melacak dan mengancam untuk
memberi hukuman atas orang-orang yang menghimpun data tersebut. Sebelum angkatan terakhir meninggalkan Pulau Buru untuk menuju Jawa para Tahanan
. “Ya, tanpa hak sipil begini setiap detik maut berdansa-dansa di
depan mata. Hanya diam-diam orang menanggapi. Sang maut, sang kelam tanpa bentuk tanpa ujud, hanya setumpuk matarantai lepas,
matarantai tandatanya.”
Setiap kematian yang terjadi di Pulau Buru tidak ada yang luput dalam pandangan Pramoedya, dia selalu setidaknya berusaha untuk mencari informasi
tentang kematian tersebut dan mencatatnya. Atas dasar senasib dan sepengalaman menjadi salah satu alasannya, alasan lain adalah untuk keluarga korban yang
meninggal, yang tidak pernah tahu sebab akibat meninggalnya.
64
Ibid. Hal. 173
Politik telah berusaha agar makam mereka tidak lenyap akibat waktu atau tangan jahat, dipahatkan nama dan alamat mereka pada lempengan-lempengan beton dan
menanamnya dalam kuburan masing-masing. Pekerjaan ini juga tidak dapat diselesaikan dengan tuntas. Petugas mengancam akan menindak perbuatan
“mempahlawankan” para almarhum. Pada akhirnya yang mati pun masih sulit mendapatkan harga dirinya,
eksistensinya sebagai manusia. Namun, yang mati tetap akan mati, tetapi yang mati tidak harus bisu. Dan buku ini menjadi bukti atas suara-suara mereka yang
sebelumnya dipendam, walaupun sebagian dari mereka telah mati tetapi kisah mereka tidak akan pernah mati. Sebab yang mati itu tetap bicara, dengan cara dan
jalannya sendiri. Ditangkap secara semena-mena, bekerja di alam yang tidak bersahabat,
disiksa tanpa alasan yang jelas, tidak ada jaminan kebebasan dan diperparah dengan keselamatan nyawa. Tahanan Politik di Pulau Buru seakan dibiarkan tersiksa atas apa
yang mereka tidak ketahui penyebabnya. Semua hanya diam dan menanti kebebasan dan keadilan yang tak kunjung tiba. Setidaknya walaupun mereka memang bersalah,
orang yang salah tetap berhak mendapatkan keadilan.
3.2. Keadaan Hak Asasi Manusia Tahanan Politik Setelah Bebas