Hak Atas Keutuhan Jasmani

Pada akhirnya selama belasan tahun diasingkan di Pulau Buru, para Tahanan Politik telah mencetak sawah dan ladang lebih kurang 3.532,5881 Hektare, dan dibangun jalan—lingkungan dan arteri sepanjang 175 Km, berikut bendungan dan jaringan irigasi. Kesemuanya dikerjakan oleh modal dan tenaga tapol sendiri, tanpa ada pembiayaan dari manapun dan siapapun. Belum terhitung barak-barak, mesjid, gereja, dsb. Seakan-akan Tahanan Politik di Pulau Buru mebiayai penahanannya sendiri. Tidak ada ganti-rugi atau imbalan kepada mereka yang telah mengerjakan semua itu.

3.1.4. Hak Atas Keutuhan Jasmani

Dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, hak atas keutuhan jasmani menjelaskan bahwa tidak ada seorang pun yang boleh dikenakan siksaan atau perlakuan atas hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau penghinaan. Serta, tidak seorang pun boleh digunakan untuk percobaan pengobatan atau ilmiah tanpa persetujuan yang diberikan secara bebas. Dari apa yang termasuk dalam hak atas keutuhan jasmani, percobaan medis tidak dilakukan pada para Tahanan Politik di Pulau Buru. Namun berbeda dengan percobaan medis, penyiksaan merupakan hal yang lumrah terjadi pada mereka. Terdapat perbedaan antara penyiksaan dan hukuman yang tidak manusiawi serta menurunkan martabat. Perbedaan ini terutama berasal dari intensitas penderitaan yang dibebankan, tingkatan penderitaan yang membenarkan istilah “tidak manusiawi” lebih tinggi daripada kata “merendahkan martabat”. Karena itu tampak ada skala perbuatan yang menyakitkan hati, yang dimulai dari menurunkan martabat, meningkat menjadi tidak manusiawi, dan akhirnya mencapai tingkat penyiksaan. Para Tahanan Politik di Pulau Buru merasakan semua tingkatan ini, dimulai dari penahanan yang tidak prosedural yang merendahkan martabat, berlanjut kerja paksa yang merupakan hukuman yang tidak manusiawi dan terakhir penyiksaan yang diterima oleh hampir semua Tahanan Politik di Pulau Buru. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya penyiksaan dilakukan sebagai hukuman yang diterima karena tidak mematuhi peraturan yang berlaku di kamp Pulau Buru. Namun, penyiksaan bukan hanya terjadi karena tidak menaati peraturan penyiksaan bahkan terjadi karena hal sederhana ataupun terjadi karena petugas menghendakinya. Penyiksaan yang diberikan bersifat penyiksaan fisik yang berakibat cacat bahkan kematian. Pada buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Pramoedya banyak menyajikan bentuk-bentuk penyiksaan yang dilakukan para petugas terhadap para Tahanan Politik di Pulau Buru, Pramoedya menyajikannya secara mentah seolah ingin memperlihatkan betapa kejamnya kehidupan mereka disana. Yang paling mengerikan adalah kasus yang terjadi di Unit II Wanareja, penyiksaan yang terjadi karena adanya kesalahpahaman, dia tuliskan 58 58 Ibid. Hal. 302 . “Orang tidak tahu persis jam berapa ketika semua tapol dibangunkan oleh piket dan diperintahkan appel luar biasa di lapangan. Badan masih ogah-ogahan bangun, mata masih berat, suatu pertanda belum lagi lama tidurnya. Tapi jelas sudah lewat tengah malam, suara serangga dan katak kecil sudah terdengar. Tak ada keterangan sepatah katapun terdengar kecuali perintah bangun dan appel luar biasa dari kepala barak. Jantung berdebaran keras karena ketidaksiapan dan dibangunkan mendadak tidak pada waktunya. Jalan di depan barak menuju ke tanah lapang sudah padat dengan para tapol. Disana, di depan gereja katholik dekat tanah lapang, kelihatan terang lampu pertomax. Dan makin mendekati lapangan degup jantung makin keras juga. Maka makini mendekati gereja langkah tapol semakin cepat, malah ada yang setengah lari, bahkan lari. Akhirnya yang dibelakang pun ikut mempercepat langkah, dan makin jelas teriakan petugas memerintahkan mempercepat langkah, dan setiap kali terdengar suara benda keras mendarat pada daging tapol, disusul dengan suara aduh dan erang kesakitan yang memilukan. Di depan gereja itu semua tapol yang datang dari jurusan barat harus penuh kewaspadaan untuk dapat menyelamatkan diri dari pukulan. Sekitar satu regu tentara menghadang di sini. Begitu seorang tapol jatuh oleh pukulan mereka langsung menyusulkan pukulan-pukulan berikutnya sampai ia tak dapat bergerak lagi, menggelosor di tanah. Para serdadumenggunakan karabijn dan pangkal bamboo sebesar lengan untuk menghadang bondongan tapol dari jurusan barat itu sambil berteriak-teriak memerintahkan mempercepat jalan. Dan tapol tidak bisa melalui tempat lain atau menangkis pukulan, sebab menangkis berarti melawan dan peluru yang akan bicara.” Kemudian dilanjutkannya 59 “Setelah diperkirakan seluruh tapol Unit II Wanareja sudah berkumpul, mulailah penghukuman beruntun. Anggota Satgaswal 9 Hasanuddin yang ada di Unit II berkeliling di sekitar tempat appel sambil membagikan pukulan an cacian. Diantara cacian itu adalah: anjing saja tahu siapa yang meberi makan, masakan manusia tidak?. Selanjutnya: Pada malam ini kau akan disate disini. Berbareng dengan itu tentu saja pukulan. Dan masih banyak cacian kotor yang tidak patut di dengar oleh kuping peradaban. Ternyata laras senapan . 59 Ibid. Hal. 305 bisa jadi alat pemukul yang effisien, di samping batang bamboo dan kaso kayu meranti. Tak ada sasaran khusus, pukulan diayunkan sekenanya. Pada jam 01.00 para tapol diperintahkan berdiri pada satu kaki dua tangan di kuduk. Dalam pada itu pukulan terus-menerus menggebu, seperti sedang memukuli sekelompok tikus di lubang galian. Diantara tapol yang menduduki pinggiran barisan dalam appel itu sudah mulai berjatuhan karena tak tahan pukulan lagi. Kemudian karena sudah terlalu lelah atau jemu, batang bamboo dan kaso itu dilemparkan ke barisan tapol bagaika tombak pada barisan tapol. Kalau tapol terkena lemparan bambu tersebut, pasti tubuhnya akan tertembusi. Yang dapat didengar adalah raungan kesakitan dan terjerembabnya tubuh ke tanah. Pada jam 02.00 semua tapol harus buka baju, tinggal bercelana dalam bahkan telanjang bulat. Tak ada orang yang mampu tertawa lagi, maut akan lebih dahulu merenggut nyawanya sebelum bibirnya berhenti tertawa. Dimana-mana ampas tapol bersemburan. Pada jam 03.00 dimulai perintah tidur dengan wajah menghadap ke langit. Sekarang muncul 4 pucuk bren menganga dengan laras tertuju pada tapol. Kalau keempat-empatnya menyalak, mungkin para tapol yang appel akan habis dalam waktu tak lebih dari beberapa menit.” Penyiksaan ini berakhir ketika Kolonel Samsi, Dan Tefaat Pulau Buru saat itu datang dan memerintahkan semua petugas untuk menghentikan semua aktifitas dan keluar dari lapangan. Sementara, para Tahanan Politik yang terluka disuruh menggotong temannya yang tidak bisa berdiri lagi—pingsan atau mati—untuk masuk ke gedung kesenian. Keberingasan petugas terhadap Tahanan Politik yang terjadi di Unit II Wanareja terjadi karena kesalahpahaman antara terbunuhnya seorang petugas dengan melarikandirinya 48 orang tahanan di Unit II Wanareja. Malam itu memang terjadi insiden melarikandirinya 48 orang Tahanan Politik dan bersamaan dengan itu dua orang petugas melaporkan bahwa temannya mati di serang oleh Tahanan Politik, inilah yang menyebabkan terjadinya appel luar biasa yang tragis tersebut. Namun, setelah diselidiki tidak ada hubungan antara Tahanan Politik yang melarikan diri dengan terbunuhnya petugas. Petugas yang mati tersebut dibunuh oleh dua temannya yang melapor dan menuduh bahwa semua ini dilakukan oleh Tahanan Politik. Kejadian yang terjadi di Unit II ini merupakan kejadian paling berdarah yang terjadi di Pulau Buru. Sementara, 48 orang yang melarikan diri tersebut berakhir tidak kalah tragis, 21 orang tertangkap dan menyerah sementara 27 orang lainnya tewas, baik mati kelaparan maupun mati disiksa oleh petugas yang tidak sengaja bertemu mereka. Perselisihan antara Tahanan Politik dan petugas juga pernah terjadi di Unit Jiku Kecil, namun tidak sebesar dengan apa yang terjadi di Unit II Wanareja. 5 orang tewas dalam kejadian di Unit Jiku Kecil. Unit Jiku Kecil sendiri merupakan unit khusus tempat para Tahanan Politik diperlakukan secara sadis sampai pada pembunuhan oleh para petugas tanpa pernah mengakibatkan tuntutan hukum. Pramoedya menulis pernah dia dibawa ke Unit ini. Pramoedya sendiri tidak ikut menjadi korban dalam kejadian di Unit II Wanareja ini, karena selama menjadi Tahanan Politik dia ditempoatkan di Unit III Wanayasa. Mengenai kejadian tersebut dia mengetahuinya dari seseorang bernama Kadis, mantan wartawan Ekonomi Nasional. Pramoedya menyuruh Kadis yang merupakan penjaga dapur barak di Unit II untuk mencatat secara lengkap apa yang terjadi di Unit II. Pramoedya merupakan salah satu Tahanan Politik yang jarang dihadapi dengan penyiksaan karena dirinya yang merupakan salah seorang pengarang nasional sering diawasi oleh pers dalam maupun luar negri. Jarang bukan berarti tidak pernah, pada bahasan sebelumnya Pramoedya pernah dibuat babak belur setelah selesai bertani. Pramoedya juga menulis bahwa dia pernah dihadapkan oleh penyiksaan 60 Semua kejadian di atas membuktikan betapa mudahnya para Tahanan Politik di Pulau Buru dihadapkan terhadap penyiksaan. Tidak peduli maupun sedang sehat ataupun sakit. Seolah diperlakukan tanpa harga diri, jika petugas ingin memberi hukuman maka disiksalah mereka, tanpa perlawanan. Sebab, jika melawan artinya memberontak sehingga jika melawan penyiksaan yang datang akan semakin berat. Tidak ada yang bisa dilakukan para Tahanan Politik ini kecuali bertahan, bahkan ada . “Bersama dengan pelukis Soerosonaku pergi ke Wai Babi untuk melihat hutan. Aku perlukan ini untuk membuat sebuah adegan. Belum lagi berhasil yang dimaksud kamu telah disusul karena dipanggil oleh Dan Tefaat. Berdua kami ditempelengi dan aku sendiri mendapat semburan ludah. Dan waktu tinjunya tiba-tiba mengenai uluhatiku aku meliuk nyaris roboh. Setelah itu kami berdua diperintahkan pergi. Aku pergi membawa kata-katanya yang masih juga terniang dikuping: Kepala besar ya sduah diajak ngomong sana jendral? Di Unit III jagoan ya? Tak ada yang berani? Mestinya bangga saya ajak bicara. Ngomongnya sok Sudah tua. Betapa rendah harga manusia Indonesia yang kebetulan ini adalah diriku. Perlakuan yang tidak pernah dilakukan oleh seorang perempuan yang pernah melahirkanku. Juga tak akan pernah kulakukan pada anak-anakku sendiri, apalagi terhadap orang lain.” 60 Ibid. Hal. 115 yang memutuskan untuk bunuh diri karena tidak tahan dengan penyiksaan yang datang kepadanya. Pramoedya menceritakan 61 Apa yang terjadi pada para Tahanan Politik, mulai dari penangkapan terhadap mereka yang tidak jelas prosedurnya, diasingkan tanpa tahu kapan akan kembali, melakukan kerja paksa sampai mendapatkan penyiksaan pastinya akan meninggalkan bekas pada masing-masing diri mereka. Hidup selama belasan tahun dengan tekanan yang begitu besarnya akan menimbulkan bekas baik dari segi fisik maupun mental. Bahkan hingga bebas pun, bekas-bekas yang timbul selama menjadi Tahanan Politik . “Kapten Sudjoso Hadisiswoyo, Komandan Unit III, sekali waktu masuk ke rumahsakit. Semua yang tergeletak parah di perintahkannya bangun dan lari mengitari lapangan appel. Kayun ia dapati sedang berjemur, dan langsung ia hajar dengan pentungan. Samtiar pun kena hajar dan meninggal esok harinya. Ya, mereka yang sakit tak mampu member sang komandan uang untuk berjudi di Namlea. Samtiar mati. Juga Kayun. Kelompok tua dari lima puluh orang minus beberapa pemuda hanya bisa termenung hampa; ia ditemukan di gubug panggung lading. Seorang diri. Kaku. Mulutnya terbuka dan mengeluarkan busa. Badannya biru-biru, ia memilih untuk menegak endrin. Setiap tapol boleh dikata pernah melihat ayam sehabis menelan umpan terkena endrin. Binatang celaka itu berteriak dan bertebrangan untuk kemudian jatuh mengejang mendapatkan kematiannya. Kayun takkan berbeda dari binatang – binantag celaka itu. Pemuda yang belum lagi 25 tahun itu , belum lagi tamat sekolah pendidikan guru Malang, malu karena dihidupi orang tua-tua, malu dihinakan seorang kapten, telah memilih mati, tepat pada waktu di dunia bebas orang memperingati Super Semar : 11 Maret 1971. Barangkali ia belum sempat memberikan kata-kata manis pada ibunya sendiri.” 61 Ibid. Hal. 175 tetap akan lekat pada diri mereka. Pramoedya menceritakan tentang seorang tahanan yang saat dibebaskan telah mengalami gangguan jiwa, seperti yang ia tuliskan 62 Pramoedya juga tidak luput dari beban tersebut, bukan beban kebatinan tetapi fisik. Pramoedya harus kehilangan kemampuan mendengarnya selama mejadi Tahanan Politik di Pulau Buru. Sebenarnya gangguan pada telinga Pramoedya sudah dia rasakan pada awal tahun 1960, namun saat ditangkap di rumahnya pelipis kiri Pramoedya dihantam dengan besi dan sejak saat itu keadaan telinga Pramoedya menjadi lebih parah. Ditambah lagi dengan kesehatan Pramoedya selama menjadi . “Seorang jangkung, kurus, bongkok, dengan ransel karung pada punggungnya, berjalan lambat, menghentikan jalanku. Aku kenal namanya. Dua tiga kali kami pernah bicara di alam bebas dulu. Ia memeluk, mencium, berbisis: Selamat tinggal, Bung. Selamat tinggal. Ia tak juga lepaskan pelukannya. Selamat jalan Selamat Besok atau lusa kita akan berjumpa lagi di kapal, kataku, untuk melepaskan pelukannya. Orang yang 12 tahun lalu begitu galak, gagaj dan seakan merajai dunia itu, kini telah bongkok, menderita cacat mental, mental-disorder, PA—psycho acute, pikiran aneh, kata orang di selingkunganku. Aku mendadak teringat pada John Steinbeck: tak ada guna menulis tentang orang gila, masih hidup pun dia sudah beruntung. Pada waktu itu juga aku berontak pasa Steinbeck: Jarak antara waras dan sinting, bukankah itu satu jengkal jahiliyah pad jaman cerah? Yang sejengkal itu berarti 12 tahun. Yang 12 tahun berarti terapan, upaman, yang membikin jiwanya tak sempat menggeliat, lapuk dan retak?” Beban kebatinan juga dirasakan pada adik Pramoedya, Walujadi Toer. Dia yang juga menjadi Tahanan Politik Pulau Buru bersamaan dengan ketiga saudaranya harus menderita depresi setelah bebas keluar dari Kamp Tahanan Pulau Buru. 62 Ibid. Hal. 228 Tahanan Politik Pulau Buru serta kurangnya perlengkapan medis yang membuat keadaan telinganya semakin memburuk. Besar atau kecil penyiksaan yang dilakukan terhadap seseorang tetap saja dianggap sebagai hal yang melanggar hak asasi seseorang sebagai manusia. Semua harus dilandasi dengan hukum yang jelas, bahkan sejatinya tidak ada hukum yang menghalakan penyiksaan terhadap seorang manusia.

3.1.5. Hak Atas Hidup