Hak Atas Kebebasan Dari Perbudakan dan Kerja Paksa

mereka ditahan, diasingkan dan dilanggar hak-hak asasinya sebagai manusia. Buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu yang saat penerbitannya hanya bertahan 10 hari sebelum ditarik oleh pemerintah juga tidak berisi hal-hal yang membahayakan. Pramoedya hanya menulis semua keluh kesahnya atas apa yang terjadi pada dirinya, ditahan tanpa tahu sebabnya dan tanpa tahu kebebasannya. Pada akhirnya seperti yang ditulis Pramoedya, bila semua kebebasan sudah dikekang dan dibatasi tidak ada seorangpun yang dapat melarang seseorang untuk berbicara pada dirinya sendiri. Sebuah hak yang tidak dapat dibatasi oleh siapapun.

3.1.3. Hak Atas Kebebasan Dari Perbudakan dan Kerja Paksa

Kerja paksa yang terjadi di Pulau Buru merupakan bentuk hukuman yang diterima oleh para Tahanan Politik selama menjalani masa tahanannya di Pulau Buru. Dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik menyebutkan bahwa tidak ada seorangpun boleh diharuskan melakukan kerja paksa atau wajib kerja, namun terdapat pengecualian jika kerja paksa atau wajib kerja tersebut merupakan hukuman atas suatu kejahatan dari pengadilan yang sah dan berwenang. Atas dasar ini jelas bahwa kerja paksa yang dilakukan oleh para Tahanan Politik di Pulau Buru yang merupakan bentuk hukuman yang mereka jalankan bersifat tidak sah dan melanggar hak asasi karena para Tahanan Politik di Pulau Buru tidak pernah diadili oleh pengadilan. Bentuk kerja paksa yang dilakukan oleh para Tahanan Politik berupa pembukaan jalan baru, pembukaan area untuk sawah dan ladang serta menjadi pengrajin kayu maupun besi. Kondisi alam di Pulau Buru sendiri sangat sulit untuk dijamah, dijelaskan Pramoedya bahwa tanah di Pulau Buru sangat keras dan tandus, cuacanya juga tidak mendukung untuk bercocok tanam, tidak hanya kondisi alam yang menyulitkan para Tahanan Politik, alat-alat yang disediakan petugas pun terbatas. Tidak jarang para Tahanan Politik membuka jalan ataupun lahan dilakukan hanya dengan tangan kosong tanpa alat apapun. Seperti yang dia jelaskan 51 Jalan yang dibuka tidak berjarak pendek, bisa sampai 3-4 km. Pramoedya juga menceritakan bahwa ia pernah menukar pulpen yang diterimanya untuk menulis dengan topi, karena dia tidak sanggup lagi dengan cuaca yang terlalu panas. Pekerjaan yang sangat berat yang dilakukan oleh para Tahanan Politik ini tidak dibarengi dengan porsi makan yang diberikan kepada mereka akibatya banyak . “Tapi juga pada pagi pertama itu kembali aku terkejut, kami diperintahkan membuka jalan. Tanpa alat Karena memang belum ada. Jalan yang hrus dibuka itu tinggi: alang-alang, rumput beruas yang lebih dari dua meter tinggi, rumput persegi tiga dengan sirip setajam siletsampai setinggi satu setengah meter. Semua dicabuti dengan tangan telanjang, selama hari-hari kerja. Dan tidak setiap orang punya topi. Dalam panas sengangar yang lembab di tengah- tengah padang rumput, dengan hanya pohon kusu-kusu kurus disana- sini. Rumput tak mungkin tercabut bersih, apalagi sampai ke akarnya. Yang pasti, telapak tangan an jari-jari berdarah. Enam hari pencabutan rumput dilakukan. Tangan bukan saja berdarah-darah tapi juga bengkak.” 51 Ibid. Hal. 67 Tahanan Politik yang jatuh sakit karena kelelahan. Pada awalnya jatah makan para Tahanan Politik cukup layak, namun seiring berjalannya waktu jatah makan mereka terus berkurang, Pramoedya juga menceritakan 52 Keadaan yang sangat parah tersebut pastinya membuat setiap orang harus memakai insting mereka untuk tetap bertahan hidup. Diakui oleh Pramoedya bahwa dia bahkan memakan hewan-hewan yang memang tidak lazim untuk dimakan. Dia menceritakan . “Peraturan baru datang: jatah makanan yang awalnya 600 gram beras diubah menjadi 500. Yang seratus untuk tabungan Sejak itu yang 100 bukan saja tidak kunjung muncul, tanpa sesuatu pengumuman yang 500 pun beringsut-ingsut mengempes. Tembakau hilang. Gula hilang yang agak bertahan adalah ikan asin, itupun sudah pahit seperti jamu.” 53 Ketidakjelasan dan sedikitnya setiap makanan yang dimakan memperburuk keadaan kesehatan. Sementara pekerjaan tetap harus dilaksanakan, target yang . “Aku mulai makan tikus yang terlalu banyak terdapat disini, kecil- kecil, hidup dibawah alang-alang, juga telur kadal untuk tidak punah karena turunnya gizi, kwalitas dan kwantitas makanan. Walaupun ada bantuan susu bubuk untuk seluruh unit – entah dari siapa, bantuan yang sangat berharga itu tidak boleh diharapkan akan berlangsung terus. Dan memang berhenti sampai setengah ketel yang ketiga. Maka protein hewani penghuni padang rumput harus dimanfaatkan. Ular juga bukan daging luar biasa lagi. Daging itu menjadi lebih enak bila digoreng dengan lemaknya sendiri. Orang sudah makan oret, membuang bagian atas dan tinggal badan yang berlemak, kadang mentah-mentah. Aku belum berani. Kemudian anjing mendapat giliran, entah hewan siapa. Orang tak perlu tahu.” 52 Ibid. 53 Ibid. Hal. 89 diberikan oleh petugas harus diselesaikan. Pramoedya juga menceritakan kondisi kesehatannya yang melemah akibat porsi dan jenis makanan yang tidak jelas tersebut 54 Seperti yang dijelaskan sebelumnya, setiap pekerjaan yang dikerjakan oleh para Tahanan Politik mempunyai target dan target tersebut harus dicapai. Sehingga banyak para Tahanan Politik yang jam kerjanya mencapai satu harian tanpa berhenti. . “’Kwalitas dan kwantitas makanan makin memburuk. Makin sulit untuk pemulihan. Pikiran semakin tak mampu memusat. Untuk mengingat nama salah seorang diantara anak-anakku kadang dibutuhkan waktu sampai seminggu. Sebagai seorang yang bermenu terbatas, dibutuhkan waktu untuk dapat melahap sembarang daginng. Beras diganti dengan bulgur. Dengan kegiatan menggebu-gebu membuka hama, dalam cuaca hujan tak henti-hentinya, dengan cepat pula kesehatan dan berat badan menukik. Bulgur pun semakin merosot. Bagian tubuhku yang terlemah, perut, mulai terserang. Setiap habis makan harus segera lari ke kakus. Setiap selesai jongkok dan hendak bangkit berdiri, kaki sudah tak mampu lagi mengangkat badan, tangan harus membantu menarik. Boleh jadi berat badanku telah hilang lebih dari sepuluh kilogram.” Lebih buruknya, setiap Tahanan Politik yang sakit harus menanggung sendiri biaya obat masing-masing sedangkan pemasukan para Tahanan Politik berasal dari hasil ladang, sawah maupun yang lainnya yang terkadang jumlah hasil panen dengan uang yang mereka terima berbanding jauh karena digelapkan oleh petugas. Sehingga para Tahanan Politik ini banyak yang tidak bisa menanggung biaya obatnya, tidak banyak juga yang tidak bisa bertahan dan meninggal. 54 Ibid. Hal. 85 Karena jika tidak mencapai target para Tahanan Politik harus siap menerima hukaman yang diberikan petugas. Pramoedya menuliskan 55 Pramoedya juga menceritakan mengenai kerja paksa yang di lakukan oleh Samsi, Dan Tefaat di Pulau Buru . “Suasana semakin menggelisahkan. Dalam panen yang berlebih- lebihan kami mendapat jatah 150 gram beras. Sebaliknya 84 ton beras – sejauh tercatat – dan sekitar 730 kubik kayu papan telah diperintahkannya diturunkan ke pelabuhan dengan pertanggungjawaban yang kurang jelas. Bahkan juga dedak untuk makanan ternak diturunkan berpuluh ton. Jam kerja bertambah. Kalau hanya sampai jam Sembilan malam, masih harus dianggap biasa. Seorang pernah mendapat perintah, setelah sehari bekerja, mencangkuli padang alang-alang dari jam enam sore sampai jam enam pagi dalam kegelapan malam. Tak jarang di hutan orang harus menggergaji papan dalam kegelapan malam juga. Dua buah gereja diharuskan sudah jadi dalam satu malam seperti cerita Bandung Bondowoso. Dan hadiah dari pekerjaan itu adalah pukulan.” 56 55 Ibid. Hal. 103 56 Ibid. Hal. 328 . “Pada MT Masa Tanam I1974 ia telah membikin perhitungan di atas ertas, kalau setiap orang mampu mengerjakan 0,25 ha., maka 1000 orang berarti 250 ha. Dan ia berkukuh dengan angka-angkanya di atas kertas. Dan ia begitu kejinya, tanpa perasaa malu telah memaksa para Tahanan Politik tidak mempunyai waktu istirahat sewaktu MT I1974 itu. Gelombang pertama mulai panen, gelombang kelima sedang menyebar benih, gelombang ketiga penyiangan. Pada hal penggergajian untuk memenuhi belanja dan makan Komandan Unit juga harus berlangsung. Maka hasil masa tanam ini hanya 154 ton, berarti tiap ha, menghasilan kurang dari 1 ton. Banyak tapol bergelimpangan sakit, dengan akibat berlarut sampai masa pembebasannya ke jawa yang pertama pada tahun 1977. Ada yang belum sembuh, dan ada yang keburu meninggal. Pembunuhan dengan kerja yang dilakukan Samsi, dalam skala kecil benar-benat lebih keji daripada cultuurstelstel Belanda.” Lalu Pramoedya juga menceritakan bagaimana dia disiksa oleh Komandan Tonwal saat selesai melakukan kerja paksa 57 57 Ibid. Hal. 90 . “Keadaan semakin menggelisahkan, penghinaan, pemukulan, dan pemerasan. Pencacahan tanah paculan dengan telapak kaki untuk dilumpurkan pernah mendatangkan pukulan karena dianggap main- main oleh Tonwal yang tak pernah melihat petani menggarap sawah. Waktu membersihkan huma, dan mengumpulkan cabang-cabang kayu aku terkena tempeleng karena kedapatan tidak melakukan tugas mencangkul. Setelah kerja paksa sehari itu aku diharuskan menghadap ke kantor unit III. Serma Karokaro, Komandan Tonwal menyuruh aku duduk. Di ruang sebelah duduk Letnan Eddy Tuswara. Pemeriksaan dimulai. Pada tempelengan pertama suaranya yang keras, lebih tertujukan pada Eddy Tuswara daripada kepadaku. Bapak sudah tua, sudah saya anggap orangtua sendiri. Kewajiban orang muda memperingatkan yang tua, kalau masih mau diperingatkan. Demi pancasila, dijeritkan oleh Serma Karokaro sambil mencekik. Ia meneriaki sila pertama sambil mendorong tubuhku sampai hamper terjengkang dari kursi. Bukan mulutnya lagi yang kemudian bicara tapi dua belah tinjunya. Pulang ke barak teman-teman sekelompok sudah menunggu. Mereka menunduk melihat biru-biru pada mukaku. Tak ada yang jadi bertanya.” Ibarat sebuah rantai, penderitaan yang diterima oleh Tahanan Politik seakan tidak pernah ada putusnya. Ditangkap tanpa status yang jelas, diasingkan, lalu di kerjakan secara paksa. Para petugas pun seakan-akan menjadikan para Tahanan Politik sebagai alat untuk menyenangi mereka, dipaksa bekerja tanpa upah yang jelas sedangkan hasil kerja keras mereka dinikmati oleh para petugas. Hal yang mungkin tidak terjadi pada mereka yang ditahan dan diadili, dihukum secara sah. Semua hanya demi kesenangan dan kepentingan para petugas. Pada akhirnya selama belasan tahun diasingkan di Pulau Buru, para Tahanan Politik telah mencetak sawah dan ladang lebih kurang 3.532,5881 Hektare, dan dibangun jalan—lingkungan dan arteri sepanjang 175 Km, berikut bendungan dan jaringan irigasi. Kesemuanya dikerjakan oleh modal dan tenaga tapol sendiri, tanpa ada pembiayaan dari manapun dan siapapun. Belum terhitung barak-barak, mesjid, gereja, dsb. Seakan-akan Tahanan Politik di Pulau Buru mebiayai penahanannya sendiri. Tidak ada ganti-rugi atau imbalan kepada mereka yang telah mengerjakan semua itu.

3.1.4. Hak Atas Keutuhan Jasmani