3.1.2. Hak Atas Kebebasan Berpendapat
Kebebasan berpendapat disini maksudnya adalah kebebasan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan keterangan serta pendapat apapun dengan tidak
memiliki batas-batas, setiap orang berhak untuk kebebasan untuk mempunyai dan mengeluarkan pendapat tanpa adanya gangguan. Pelanggaran kebebasan berpendapat
berarti mengekang seseorang untuk mempunyai gagasan akan sesuatu, berarti juga mengekang seseorang untuk menuangkan setiap pemikirannya, yang pada akhirnya
membatasi orang-orang untuk berbicara sesuai apa yang dia ingin utarakan. Membatasi setiap pendapat juga mempengaruhi informasi yang akan diterima oleh
seseorang, berakibat miskinnya seseorang untuk mempunyai informasi-informasi yang bisa menyebabkan timbulnya pemikiran-pemikiran yang liar karena kurangnya
informasi yang memadai, lanjutnya akan terjadi salah kaprah atau salah penangkapan akan sesuatu hal.
Pada masa Orde Baru, pembatasan kebebasan berpendapat merupakan hal yang lumrah dilakukan, media cetak dan elektronik dikuasai pemerintah, sehingga
media di Indonesia sering diisi oleh propaganda-propaganda. Begitupun kebebasan pers yang tidak diakui yang berakibat sedikitnya informasi yang bisa digali. Setiap
orang diawasi pendapatnya, jika dirasa membahayakan akan diberikan sanksi dari penjara sampai dihilangkan, sehingga tidak ada yang berani melawan dan tetap patuh
kepada batasan-batasan dalam mengutarakan pendapatnya.
Keadaan tersebut juga tidak berbeda jauh dengan apa yang terjadi di kamp tahanan di Pulau Buru, kebebasan berpendapat merupakan salah satu hal yang tidak
dirasakan oelh para tahanan. Tahanan politik pulau buru tetap bisa menerima surat yang dikirim oleh keluarganya, namun sebelum masuk surat tersebut harus dibaca
dahulu oleh petugas, sedangkan setiap surat balasan tidak pernah sampai kepada penerima. Pramoedya melampirkan surat yang dikirim oleh Astuti Ananta Toer, putri
keempatnya, disana anaknya bertanya kenapa surat-surat nya tidak pernah dibalas, dan Pramoedya menuliskan
41
Kemudian dia juga menuliskan .
“Menjawabnya. Bagaimana menjawabnya? Bagaimana? Paling- paling mendoakan sehat dan selamat, terkabul segala apa yang jadi
cita-citanya. Dan dengan diam-diam kutulis jawaban, yang tak bakal bisa dikirim.”
42
Dari dua jawaban diatas membuktikan bahwa Pramoedya dan para tahanan lainnya tidak mempunyai hak untuk mengirimkan surat kepada keluarga mereka,
hanya menjawabnya saja namun tidak pernah terkirim. Kunjungan keluarga .
“Aku sangat menyesal kau tak pernah mendapat balaan untuk surat- surat yang kau kirimkan kepadaku. Tentunya kau mengerti bahwa
aku selalu membalas suratmu, sekiranya aku menerimanya. Bahkan bila tidak kau surati pun aku akan tetap mencoba menyurati.
Memang ada waktu-waktu tertentu seorang manusia tidak menjadi majikan atas dirinya sendiri.”
41
Ibid. Hal. 190
42
Ibid. Hal. 193
diperbolehkan di Pulau Buru, bahkan disediakan barak bagi tahanan yang keluarganya ingin datang menjenguk.
Pramoedya sendiri tidak pernah dijenguk oleh keluarganya, bukan karena tidak bisa tetapi memang karena Pramoedya tidak mengizinkan keluarganya datang.
Alasannya, terlalu jauh, dia tidak bisa membiarkan istrinya menaiki kapal selama berhari-hari hanya untuk melihat dia dengan segala penderitaannya. Pernah seorang
wartawan bertanya apa yang dia lakukan bila rindu kepada keluarganya, Pramoedya menjawab cukup saya doakan agar mereka sehat selalu dan sejahtera hidupnya.
Masalah wawancara dengan wartawan baik luar maupun dalam negri, para tahanan politik hanya boleh diwawancara dengan didampingi oleh petugas agar
semua jawaban dan pertanyaan bisa diketahui oleh petugas. Bahkan pernah salah seorang anggota Palang Merah Internasional yang datang menemui Pramoedya
merasa risih dengan banyaknya petugas yang mengawasi, dia mengutarakan
43
43
Ibid. Hal. 130
. “Kira-kira pada bulan Oktober 1974 datang seorang asing diantarkan
oleh beberapa orang warga Unit 1. Ia memperkenalkan diri sebagai anggota Palang Merah Internasional yang dikirimkan ke Indonesia,
warga negara Swiss, bernama Dr. Reynard. Menghadapi orang ini aku jadi gugup karena bicaranya tidak terlalu keras, sehingga dalam
keadaan tersiksa aku harus mengerahkan pendengaranku yang sudah tidak sempurna. Selanjutnya ia berkata telah mendapat ijin untuk
bertemu denganu dan mnegajak aku menemaninya untuk melihat- lihat Unit 1. Kurang lebih sepuluh orang mengikuti di belakang kami
dan nampaknya ia merasa rii diikuti oleh orang sebanyak itu. Ia meminta padaku agar tidak membubarkan diri dan tinggal beberapa
orang bersama kami”
Di saat tertentu para tahanan juga diharuskan untuk menulis pertanyaan serta jawaban yang ia berikan. Pramodeya menjelasakna setelah ia dan beberapa tahanan
terpilih berdialog dengan Jendral Sumitro seorang petinggi TNI yang datang membawa beberapa wartawan terkenal Indonesia, ia dipanggil untuk menjawab
enam pertanyaan secara tertulis, yang isinya
44
1. Sebutkan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Pangkopkamtib
kepada saudara-saudara? :
2. Sebutkan jawaban saudara atas pertanyaan-pertanyaan tersebut?
3. Bagaimana tanggapan saudara mengenai persoalan tersebut?
4. Kesan-kesan apa yang saudara peroleh?
5. Bagaimana dan apa kesimpulan yang saudara dapatkan?
6. Apakah saran dan anjuran saudara bagi teman-teman sudara di
Tefaat Buru ini? Pramoedya merupakan salah seorang tahanan yang sering dilibatkan dalam
wawancara dengan petinggi TNI, Jaksa Agung, serta wartawan dalam maupun luar negri. Ini dikarenakan Pramoedya mempunyai nama besar sebagai pengarang
Indonesia, sehingga para wartawan memang banyak yang mengenal Pramoedya. Bukan hanya dipilih untuk melakukan wawancara, Pramoedya juga dipilih oleh
Presiden Soeharto untuk mendapatkan suratnya serta menjawab suratnya, satu- satunya surat balasan yang ditulis oleh Pramoedya yang bisa dikirimkan. Pramoedya
menuliskan isi dari surat tersebut
45
“Saya telah menerima laporan dari PANGKOPKAMTIB Jendral TNI Soemitro tentang keadaan saudara-saudara. Kekhilafan bagi
seorang manusia adalah wajar, namun kewajaran itu harus pula ada .
44
Ibid. Hal. 39
45
Ibid. Hal. 42
kelanjutanya yang wajar. Yakni: kejujuran, keberanian dan kemampuan untuk menemukan kembali jalan yang benar dan
dibenarkan. Semoga Tuhan Yang Maha Besar dan Maha Kasih lxxviiember perlindungan dan bimbingan di dalam saudara
menemukan kembali jalan tersebut. Amin.”
Surat tersebut berhak dibalas, namun isi surat tersebut harus di baca oleh petugas agar tidak ada surat yang “sakit”. Pramoedya mengungkapkan isi dari surat
balasannya
46
Surat merupakan hak milik pribadi, bisa dibalas atau tidak, yang dituliskan dalam balasannya pun adalah hak masing-masing orang. Namun, yang terjadi pada
tahanan di Pulau Buru berbeda setiap surat yang datang merupakan hak milik semua .
“Terkejut dan terharulah saya menerima surat dari Bapak Presiden, karena tak pernah terkirakan-kirakan seorang tahanan politik akan
mendapatkan kehormatan yang sedemikian besarnya. Beribu terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya atas waktu yang
sangat berharga dan perhatian Bapak Presiden yang telah dilimpahkan kepada saya. Adalah benar sekali tulisan Bapak
Presiden dalam surat tertanggal 10 November 1973 itu bahwa kekhilafan bagi manusia adalah wajar dan harus pula ada
kelanjutannya yang wajar. Bapak Presiden yang terhormat, orang tua saya, dan barangkali orang tua umumnya, mendidik saya untuk
selalu mencintai kebenaran, keadilan dan keindahan, ilmu pengetahuan nusa dan bangsa. Dengan pesangon ini saya memasuki
dunia dan meninggalkan tapak-tapak kaki bekas perjalanan, yang dapat dinilai oleh siapapun. Maka karenanya surat Bapak Presiden
yang berseru tentang kejujuran, keberanian dan kemampuan untuk menemukan jalan kembali jalan yang benar dan dibenarkan adalah
seakan-akan seruan dari orang tua sendiri yang mencerlangkan nilai- nilai pesangin tersebut. Jiwa besar memaafkan kekhilafan dan tangan
kuat dilurukan pada yang lemah. Beribu terimakasih atas doa Bapak Presiden R.I yang dipajatkan kepada T.Y.M.E, karena tak adalah
perlindungan dan bimbingan yang bnar diluarNya.”
46
Ibid. Hal. 43
orang, ia bisa dibaca oleh siapapun dipindahtangankan ke siapapun. Dengan alasan mengawasi, semua surat wajib disaring, bila tidak mengenankan surat tersebut tidak
sampai ke tangan penerima, bila balasannya tidak mengenankan surat tidak akan dikirim. Bila isi dari surat yang dikirim tidak berkenan dan harus diganti, sama saja
isi surat tersebut hanya sesuai dengan standar yang ada bukan sesuai dengan apa yang ingin ditulis, artinya isi surat tersebut bukan benar-benar berasal dari yang
menulis. Hak kebebasan berpendapat yang menjamin setip orang untuk mencari,
menerima, dan mempertahankan informasi tidak dijamin disini. Para Tahanan Politik tidak berhak mendapatkan informasi yang memadai, tidak ada akses terhadap koran,
majalah, ataupun media lainnya. Infromasi mengenai keadaan nasional hanya didapat oleh petugas yang memberitahu – tidak rutin hanya sesekali – itupun belum jelas
keabsahannya. Perantara lain berasal dari wartawan yang datang ataupun surat yang datang, namun akses ini juga dibatasi dan diawasi. Para Tahanan Politik hanya
terkekang tanpa apapun untuk diketahui. Setiap wawancara juga diawasi, setiap jawaban yang diberikan berasal dari keadaan dibawah tekanan, bila tidak sesuai
dengan apa yang menjadi prosedur akan di jatuhi sanksi. Pramoedya sendiri mendapatkan sanksi tersebut, ia yang memang sering diberikan kesempatan untuk
melakukan wawancara dengan wartawan dalam negri ataupun luar negri, harus ditunda kebebasannya pada pembebasan pertama pada tahun 1977, pada awalnya
namanya masuk kedalam daftar orang-orang yang bebas pada tahun itu tetapi niat tersebut urung dilakukan karena jawaban-jawaban Pramoedya dalam setiap
wawancaranya tidak berkenan di telinga para pejabat militer. Tetapi Pramoedya sebagai seorang pengarang masih diberikan kesempatan
untuk menulis, ia memang sering diberikan alat-alat untuk menulis oleh pertugas maupun wartawan yang datang, dijelaskannya
47
Izin menulis ini pertama kali didapatkan oleh Pramoedya pada tahun keempatnya di Pulau Buru, tetapi izin menulis ini tidak bisa terlalu dia nikmati.
Diakuinya bahwa empat tahun masa penahanan membuat dirinya tidak sangup untuk menulis, itu telah menimbulkan kerusakan mental pada dirinya. Namun, hal ini tidak
berangsur lama, Pramoedya akhirnya menulis novel mengenai kebangkitan nasional. ,
“Mendekati tutup tahun Dan Tefaat, Mayor Kusno, datang ke Wanayasa mengumpulkan kami untuk membuat dialog sehubungan
dengan kedatangan Jaksa Agung. Pada penutup pertemuan ia hadiahkan padaku sebuah vulpen mas pilot, sebotol tinta dan sebuah
buku tulis folio tebal, dengan harapan agar aku menggunakannya untuk menulis. Tertulis pada halaman pertama: untuk kebebasan
pribadi ataupun untuk kebesaran Indonesia. Dari hadiah yang diserahkan di depan orang banyak itu sekaligus aku dapat mengerti,
bahwa ijin menulis menjadi kenyataan. Sedang surat Mayor Kusno dibubuhi juga dengan tandatangan, jabatan, pangkat dan nomor
induk. Ini adalah pemberian ijin secara resmi di tingkat pembuangan.”
47
Ibid. Hal. 84
Izin menulis yang diterima Pramoedya untuk pertama kalinya ini tidak bengasur lama, naskah yang telah ditulisnya disita, seperti yang ia utarakan
48
Dijelaskan diatas bahwa naskah yang dia buat masih berupa konsep pertama, ini juga akibat dari terbatasnya informasi yang bisa di dapatkan oleh para tahanan.
Karena terbatasnya referensi, Pramoedya sedikit kesulitan untuk menulis apalagi saat itu tulisannya mengenai periode Kebangkitan Nasional, mengenai sejarah sehingga
dia membutuhkan referensi yang cukup untuk medukung tulisannya. Di ceritaknnya juga pernah suatu hari dia diajak oleh Kapten Sudjoso, komandan unitnya untuk
melakukan wawancara dengan wartawan dari Jakarta, Australia, Hongkong dan belanda. Pada akhir wawancara tersebut dia diberikan buku tulis dan ballpoint
, “Impian lama untuk membuat roman tentang periode Kebangkitan
Nasional mulai aku wujudkan. Dengan sangat cepat tulisan itu berjalan seperti meluncur. Aku tahu, tulisan itu hanya mencapai nilai
konsep pertama. Sembilan buku tulis telah berisi. Dan pada suatu pagi disita oleh Tonwal, diserahkan pada Dan unti Kusnadi. Naskah
diteruskan pada Wadan Tefaat Letkol Soetarto. Aku sendiri diproses verbal oleh Jaksa Unit dan dipersalahkan. Aku tunjukkan surat dari
bekas Dan Tefaat Kusno, tapi tanpa arti malah disalahkan karena tidak melaporkan pada Dan Unit baru. Dalam proses verbal yang
harus aku tulis sendiri sebagaimana aku nyatakan naskah itu kubuat pada waktu senggang kerja, aku memohon – memohon – agar diberi
kesempatan diluar jam kerja untuk sekali lagi memberikan sesuatu kepada Indonesia. Naskah itu tidak pernah kembalilagi ke tanganku,
seakan hak-cipta, bukan hak milik lagi di Indonesia ini.”
48
Ibid. Hal. 107
sebagai kenang-kenangan. Sama seperti di atas nasib dari tulisannya tidak jauh berbeda, dijelaskannya
49
Izin menulis lalu benar-benar muncul pada tahun 1973, sejak saat itu Pramoedya memang diberikan haknya kembali untuk menulis bahkan beberapa
tahanan politik datang kepadanya untuk sekedar dibuatkan cerita mengenai mereka. Para petugas juga datang ke Pramoedya untuk meminta kepadanya dibuatkan komik,
salah satu hal yang tidak disukai Pramoedya sebenarnya. Sementara penulisan buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu dimulai Pramodya pada tahun 1976, dia jelaskannya
, “Kembali ke Unit III, di depan appel, komandan kami menanyakan:
sudah ditulisi apa saja buku itu? Habis untuk merokok jawabku. Juga ballpoint
? Juga ballpoint. Sehabis appel semua tulisanku kubakar. Dan aku tidak menyesal. Ini bukan yang pertama kali naskahku
binasa.”
Tidak dijelaskan darinya kenapa tulisan itu dia bakar sendiri, mungkin karena kejadian yang terjadi pada naskah pertamanya dia tidak lagi berharap atas semua
tulisannya. Karena yang kehilangan kebebasan adalah kehilangan mahkota hidup sebagai manusia. Tidak perlu dan tak boleh berharap. Harapan hanya milik manusia
bebas.
50
“Pada awal April 1976 Letda Hanafi menyampikan padaku, Dan Inherab, Kolonel Sutikno, mengehandaki agar aku menulis
pegalamanku selama di Mako. Pada mulanya aku ragu karena pengalaman ini lebih banyak bertitik-berat pada kepengarangan yang
terlalu sedikit diketahui umum, sedang kepengaranagn itu sendiri mempunyai persangkutan yang integral dengan pemikiran dan kreasi
,
49
Ibid. Hal. 105
50
Ibid. Hal. 109
bebas tidak semua orang suka melihat kenyataan ini. Walau demikian dalam hidupku sendiri tak kurang kujumpai orang yang
tidak suka bila ada orang yang punya opini dan pendapatnya sendiri. Lantas bagaimana, sedang pengalaman kepengarangan adalah juga
pengalaman pikiran, perasaan dan badannya sendiri? Beberapa hari kemudian setelah memikirkannya aku dapat mengatasi keraguanku,
dan menyatakan kesediaanku pada Letda Hanafi. Bagaimanapun pada suatu kali aku toh harus menyusun memoarku sebagai manusia
dan pegarang Indonesia.”
Walaupun Pramoedya memang mendapatkan haknya untuk menulis lagi, dia tidak mempunyai haknya untuk mempublikasikan tulisan-tulisannya. Menulis
memang bentuk dari kebebasan berpendapat, tetapi jika pendapat tersebut hanya untuk pribadi, kebebasan berpendapat tidak sepenuhnya terjamin karena kebebasan
berpendapat menjelaskan setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari,
menerima dan menyampaikan keterangan serta pendapatnya. Dalam hal kebebasan berpendapat, Kovenan Internasional Hak Sipil dan
Politik memang memperbolehkan batasan-batasan dalam kebebasan berpendapat. Dijelaskan bahwa selama tidak melanggar nama baik orang lain dan keamanan
nasional, kebebasan berpendapat tidak boleh dibatasi. Jika atas alasan ini para Tahanan Politik dibatasi kebebasan berpendapatnya, setiap informasi yang keluar
oleh para Tahanan Politik tidak ada yang mengancam nama baik orang lain maupun keamanan nasional. Setiap pendapat yang mereka salurkan tidak lain merupakan
pembelaan atas dirinya sendiri, pembelaan yang juga mempertanyakan alasan
mereka ditahan, diasingkan dan dilanggar hak-hak asasinya sebagai manusia. Buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu yang saat penerbitannya hanya bertahan 10 hari sebelum
ditarik oleh pemerintah juga tidak berisi hal-hal yang membahayakan. Pramoedya hanya menulis semua keluh kesahnya atas apa yang terjadi pada dirinya, ditahan
tanpa tahu sebabnya dan tanpa tahu kebebasannya. Pada akhirnya seperti yang ditulis Pramoedya, bila semua kebebasan sudah dikekang dan dibatasi tidak ada seorangpun
yang dapat melarang seseorang untuk berbicara pada dirinya sendiri. Sebuah hak yang tidak dapat dibatasi oleh siapapun.
3.1.3. Hak Atas Kebebasan Dari Perbudakan dan Kerja Paksa