sama juga dikemukakan oleh al-Shan’ani, penulis kitab Subul al-Salam yang mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan atas kebolehan perempuan
menjadi imam dengan makmum laki-laki. Secara eksplisit hadits ini memperlihatkan bahwa Ummu Waraqah menjadi imam salat bagi laki-laki
tua, laki-laki hamba sahaya, dan perempuan hamba sahaya.
19
c. Perempuan yang dianggap sebagai sumber fitnah menunjukkan adanya bias laki-laki dalam memandang perempuan. Fitnah atau gangguan itu seakan-akan
hanya muncul dari pihak perempuan terhadap laki-laki.
20
Padahal fitnah atau gangguan juga bisa muncul dari pihak laki-laki terhadap perempuan. Sebab,
ketertarikan dan ketergodaan dapat terjadi pada masing-masing pihak. Jadi, jika alasan khauf al-fitnah yang diutarakan oleh ulama tidak cukup beralasan
dengan konteks kekinian. Apalagi jika dengan mekanisme tertentu atau dalam situasi dan ruang serta waktu tertentu, pertemuankebersamaan laki-laki dan
perempuan dapat dipastikan tidak akan membawa fitnah.
21
B. Argumen Ulama Mengenai Imam Salat Perempuan
Ketika kita memperbincangkan soal kepemimpinan dalam salat maka kita menjumpai para ulama fiqih dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali
sepakat bahwa perempuan tidak dibenarkan memimpian salat kaum laki-laki. Ia hanya bisa menjadi imam bagi kaumnya sendiri. Bahkan Imam Malik bin Anas,
19
Al-Shan’ani, Subul al-Salam Beirut: Dar al-Fikr, t.th., Juz II, h. 35.
20
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, h. 47.
21
Ibid., h. 46.
pendiri mazhab Maliki, sama sekali tidak membenarkan perempuan menjadi imam salat, termasuk bagi jama’ah kaumnya sendiri, baik untuk salat fardu
wajib maupun salat sunnah.
22
Sedangkan Imam Muzani, Abu Tsaur dan al- Thabari membolehkan perempuan menjadi imam salat dengan makmum laki-
laki.
23
Para ulama yang melarang perempuan menjadi imam salat dengan makmum laki-laki berdasarkan hadits riwayat Jabir:
ﻝﺎﻗ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﱯﻨﻟﺍ ﻦﻋ ﺮﺑﺎﺟ ﻦﻋ :
ﰊﺍﺮﻋﺃ ﻻﻭ ﻼﺟﺭ ﺓﺃﺮﻣﺍ ﻦﻣﺆﺗﻻ ﺎﻨﻣﺆﻣ ﺮﺟﺎﻓ ﻦﻣﺆﻳﻻﻭ ﺍﺮﺟﺎﻬﻣ
ﻪﺟﺎﻣ ﻦﺑﺍ ﻪﺟﺮﺧﺍ
24
Artinya: Dari sahabat Jabir, dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Janganlah
sekali-kali perempuan menjadi imam salat bagi laki-laki, orang Arab Badui bagi orang-orang Muhajir mereka yang ikut hijrah bersama nabi ke
Madinah, dan orang jahat bagi orang mukmin”.
Sedangkan ulama yang membolehkan perempuan menjadi imam salat dengan makmum laki-laki berdasarkan hadits riwayat Abi Daud:
ﻝﺎﻗ ﺙﺭﺎﳊﺍ ﻦﺑ ﷲﺍ ﺪﺒﻋ ﺖﻨﺑ ﺎﻬﻨﻋ ﷲﺍ ﻲﺿﺭ ﺔﻗﺭﻭ ﻡﺃ ﻦﻋﻭ :
ﻝﻮﺳﺭ ﻥﺎﻛﻭ ﺎﻫﺮﻣﺍﻭ ﺎﳍ ﻥﺫﺆﻳ ﺎﻧﺫﺆﻣ ﺎﳍ ﻞﻌﺟﻭ ﺎﻬﺘﻴﺑ ﰲ ﺎﻫﺭﻭﺰﻳ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﷲﺍ
ﺎﻫﺭﺍﺩ ﻞﻫﺃ ﻡﺆﺗ ﻥﺃ .
ﻦﲪﺮﻟﺍ ﺪﺒﻋ ﻝﺎﻗ :
ﺍﲑﺒﻛ ﺎﺨﻴﺷ ﺎﺫﺆﻣ ﺖﻳﺃﺭ ﺎﻧﺄﻓ ﻪﺟﺮﺧﺍ
ﺩﻭﺍﺩ ﻮﺑﺍ
25
22
Abdurrahman al-Juzairi, al-Fiqhu ala al-Madzahibil al-Arba’ah, h. 409.
23
Ahmad Abd al-Rahman al-Banna, al-Fathu al-Rabbany al-Qahirah: Dar al-Syihab, t.th., Juz V, h. 234.
24
Ibnu Majah al-Qozwini, Sunan Ibnu Majah, h. 122.
25
Abu Daud al-Sijistani, Sunan Abi Daud, Juz I, h. 100.
Artinya: Dari Ummu Waroqah bintu Abdillah bin al-Harits, beliau menyatakan
bahwa Rasulullah mengunjunginya di rumah dan mengangkat untuknya seorang muazin yang berazan untuknya dan memerintahkannya untuk mengimami
keluarganya di rumah. Abdurrahman berkata: saya melihat muazinnya seorang lelaki tua”.
Wahbah al-Zuhaili, ahli fiqh kontemporer dari Syiria dalam ensiklopedi fiqhnya, al-Fiqh Islam Waadillatuhu, mengatakan bahwa perempuan hanya sah
menjadi imam salat bagi jama’ah kaum perempuan. Perempuan tidak sah menjadi imam bagi jama’ah kaum laki-laki. Ia menyebutkan alasan larangan perempuan
menjadi imam salat jama’ah laki-laki antara lain hadits Nabi SAW. dari Aisyah, Ummu Salamah dan Atha:
ﻱﻭﺭ ﺀﺎﻄﻋﻭ ﺔﻤﻠﺳ ﻡﺃﻭ ﺔﺸﺋﺎﻋ ﻦﻋ
: ﺀﺎﺴﻨﻟﺍ ﻡﺆﺗ ﺓﺃﺮﳌﺍ ﻥﺃ
Artinya: “Diriwayatkan dari Aisyah, Ummu Salamah dan Atha’: bahwa perempuan
hendaklah menjadi imam bagi kaum perempuan”. Pernyataan ini juga diperkuat oleh hadits lain yang diriwayatkan oleh al-
Daruquthni dari Ummu Waraqah:
ﻱﻭﺭﻭ ﺔﻗﺭﻭ ﻡﺃ ﻦﻋ ﲏﻄﻗﺭﺍﺪﻟﺍ
: ﻥﺫﺃ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﻪﻧﺃ
ﳍ ﺀﺎﺴﻧ ﻡﺆﺗ ﻥﺃ ﺎ
ﺎﻫﺭﺍﺩ
26
Artinya: “Al-Daruquthni meriwayatkan dari Ummu Waraqah bahwa Nabi
Muhammad SAW. menperkenankan dia menjadi imam bagi kaum perempuan penghuni rumahnya”.
Ibnu Qudamah, yang terkenal dengan sebutan syeikhnya para pengikut Hanbali, dalam Al-Mughni,
27
menjelaskan penafsirannya atas hadits Ummu
26
Wahbah Zuhailli, Al-Fiqh Al-Islam Waadillatuhu, Jilid II, h. 1194.
Waraqah tersebut. Pertama Ummu Waraqah diizinkan Nabi untuk mengimami jamaah perempuan. Hal ini, misalnya diperkuat oleh hadits riwayat
Daruquthni bahwa “Rasulullah SAW. memerintahkan Ummu Waraqah untuk menjadi imam bagi kaum perempuan penghuni rumahnya”.
28
Kedua, kalaupun di antara jamaahnya ada laki-laki, maka sesungguhnya peristiwa ini berkaitan
dengan salat sunnah karena sebagian dari fuqaha mazhab Hanbali memang membolehkan perempuan menjadi imam dalam salat tarawih. Ketiga,
apabila kasus Ummu Waraqah benar-benar berkaitan dengan salat wajib, maka ketentuan itu harus dimaknai bersifat kasuistik dan khusus untuk Ummu
Waraqah, sebab ketentuan tersebut tidak pernah disyari’atkan kepada perempuan lain. Atas dasar analisis tersebut, Ibnu Qudamah tetap berkesimpulan bahwa
perempuan tidak boleh menjadi imam bagi makmum laki-laki. Padahal Ibnu Qudamah tidak mengatakan bahwa hadits Ummu Waraqah itu dhaif.
Ibnu Qudamah hanya mengatakan bahwa hadits riwayat Abu Daud pengertiannya umum dan harus diartikan dengan riwayat Imam al-Daruquthni
yang menyatakan bahwa Nabi SAW. menyuruh Ummu Waraqah untuk mengimami salat jamaah untuk kaum perempuan penghuni rumahnya. Ini juga
berarti bahwa hadits Ummu Waraqah menurut Ibnu Qudamah adalah shahih, baik dalam riwayat Abu Daud maupun riwayat al-Daruquthni.
29
Al-Syaukani mengungkapkan hadits tentang larangan perempuan menjadi imam salat bagi jama’ah laki-laki dengan lebih lengkap sebagai berikut:
27
Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Ed. Abdullah bin Abd al-Muhsin al-Turki dan Abd al-Fattah Muhammad al-Hilwu Riyadh: Hajar, 1987, Jilid III, h. 33-34.
28
Imam al-Daraquthni, Sunan al-Daruquthni, Jilid I, h. 304.
29
Ali Mustafa Yaqub, Imam Perempuan Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006, h. 35.
ﻝﺎﻗ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﱯﻨﻟﺍ ﻦﻋ ﺮﺑﺎﺟ ﻦﻋ :
ﺗﻻ ﰊﺍﺮﻋﺃ ﻻﻭ ﻼﺟﺭ ﺓﺃﺮﻣﺍ ﻦﻣﺆ
ﻪﻔﻴﺳﻭ ﻪﻃﻮﺳ ﻑﺎﳜ ﻥﺎﻄﻠﺴﺑ ﻩﺮﻬﻘﻳ ﻥﺃ ﻻﺇ ﺎﻨﻣﺆﻣ ﺮﺟﺎﻓ ﻦﻣﺆﻳﻻﻭ ﺍﺮﺟﺎﻬﻣ ﻪﺟﺮﺧﺍ
ﻪﺟﺎﻣ ﻦﺑﺍ
30
Artinya: Dari sahabat Jabir, dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Janganlah sekali-
kali perempuan menjadi imam salat bagi laki-laki, orang Arab Badui bagi orang- orang Muhajir mereka yang ikut hijrah bersama nabi ke Madinah, dan orang
jahat bagi orang mukmin kecuali karena paksaaan dari penguasa yang ditakuti cambuknya atau pedangnya”.
Al-Syaukani kemudian mengemukakan penilaian ulama ahli hadits mengenai kwalitas hadits ini. Katanya:
ﻒﻟﺎﺗ ﻮﻫﻭ ﻰﻤﻴﻤﺘﻟﺍ ﺪﻤﳏ ﻦﺑ ﷲﺍﺪﺒﻋ ﻩﺩﺎﻨﺳﺇ ﰱ ﺮﺑﺎﺟ ﺚﻳﺪﺣ .
ﻯﺭﺎﺨﺒﻟﺍ ﻝﺎﻗ :
ﺚﻳﺪﳊﺍ ﺮﻜﻨﻣ .
ﻥﺎﺒﺣ ﻦﺑﺍ ﻝﺎﻗﻭ :
ﻻ ﳚ
ﻪﺑ ﺝﺎﺠﺘﺣﻻﺍ ﺯﻮ .
ﻊﻴﻛﻭ ﻝﺎﻗﻭ :
ﺚﻳﺪﳊﺍ ﻊﻀﻳ ﻂﻴﻠﲣﻭ ﺚﻳﺪﳊﺍ ﺔﻗﺮﺴﺑ ﻢﻬﺘﻣ ﻪﻨﻜﻟﻭ ﺔﺤﺿﺍﻮﻟﺍ ﰱ ﺐﻴﺒﺣ ﻦﺑ ﻚﻠﳌﺍ ﺪﺒﻋ ﻪﻌﺑﺎﺗ ﺪﻗﻭ
ﺪﻴﻧﺎﺳﻷﺍ ﻚﻠﳌﺍ ﺪﺒﻋ ﻥﺄﺑ ﱪﻟﺍ ﺪﺒﻋ ﻦﺑﺍ ﺡﺮﺻ ﺪﻗﻭ
ﻛﺬﳌﺍ ﺍﺬﻫ ﺩﺎﻨﺳﺇ ﺪﺴﻓﺃ ﺭﻮ
ﺚﻳﺪﳊﺍ .
31
Artinya: ”Hadits Jabir dalam rantai sanadnya ada Abdullah bin Muhammad al-
Tamimi, dia adalah rusak. Al-Bukhari berkata: munkar al-hadits. Ibn Hibban berkata: yang diriwayatkan orang itu tidak bisa dijadikan dasar hukum. Waki’
berkata: dia sering memalsukan hadits. Abdul Malik memasukkan hadits itu dalam kitab al-Wadhihah, namun dia juga dituduh mencuri hadits, mencampur
rantai sanad. Ibn Abdul Barr menegaskan bahwa Abdul Malik itu telah merusak sanad hadits di atas.
Imam al-Busyairi dalam kitab Zawaid Ibnu Majah ’Ala al-Kutub al-Khamsah menyebutkan bahwa hadits riwayat Ibnu Majah tentang larangan perempuan menjadi
30
Ibnu Majah al-Qozwini, Sunan Ibnu Majah, h. 122.
31
Al-Syaukani, Nail al-Authar, Juz III, h. 185.
imam salat bagi makmum laki-laki adalah dhaif lemah karena di dalam sanadnya terdapat dua orang perawi yang lemah periwayatannya. Dua orang itu adalah Ali bin
Zaid bin Ju’dan dan Muhammad bin Abdullah al-’Adawi.
32
Imam Nawawi dalam al- Majmu’ Syarah al-Muhazab berpendapat bahwa hadits Jabir yang diriwayatkan Ibnu
Majah dan al-Baihaqi dengan sanad yang dhaif.
33
Hadits riwayat Ibnu Majah yang menjadi dasar hukum mayoritas ulama, antara lain diriwayatkan oleh Abdullah bin Muhammad al-Adawi al-Tamimi.
Mengenai hadits ini para ulama ahli hadits melakukan penilaiannya masing-masing: 1. Al-Bukhari dan Abu Hatim al-Razi mengatakan bahwa ”Hadits Abdullah
bin Muhammad
al-Adawi munkar”.
Abu Hatim
selanjutnya menambahkan: ”Abdullah bin Muhammad al-Adawi guru yang tidak
dikenal”. 2. Ibnu Adi mengatakan: ”Hadits yang dimiliki Abdullah bin Muhammad
al-Adawi sedikit”. 3. Imam al-Daruquthni mengomentari hadits yang diriwayatkan Abdullah
bin Muhammad al-Adawi sebagai hadits yang ditinggalkan. 4. Imam Waki’ bin al-Jarrah mengatakan bahwa Abdullah bin Muhammad
al-Adawi suka membuat hadits palsu.
32
Ahmad bin Abu Bakar al-Busyairi, Zawaid Ibnu Majah ’Ala al-Kutub al-Khamsah, Ed. al- Syeikh Muhammad Mukhtar Husain Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993, h. 167.
33
Syarafuddin al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab Beirut: Dar Ihya al-Turas al- Arabiy, 2001, Juz IV, h. 107.
5. Ibnu Hibban mengatakan ”Hadits yang Abdullah bin Muhammad al- Adawi riwayatkan tidak boleh menjadi dasar hukum”.
6. Ibn Abdu al-Barr mengatakan segolongan ulama mengatakan bahwa hadits yang dikeluarkan Ibnu Majah ini adalah bikinan Abdullah bin
Muhammad al-Adawi. Menurut mereka, orang ini terkenal pendusta.
34
Kemudian, untuk hadits Abu Daud yang menjadi dasar kebolehan perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki yang merupakan pendapat Abu Tsaur, al-
Muzani dan al-Thabari, terdapat seorang perawi yang perlu dilihat kualifikasinya, yaitu al-Walid bin Abdullah bin Jumayyi’ al-Zuhri al-Maliki. Mengenai orang ini,
para ulama hadits memberikan komentarnya sebagai berikut:
35
1. Ahmad dan Abu Daud mengatakan: ”Dia tidak bermasalah”. Begitu juga yang dinyatakan oleh Abu Zur’ah.
2. Ibn Ma’in dan al-Ijli mengatakan bahwa dia terpercaya. 3. Abu Hatim mengomentari: ”Hadits yang diriwayatkannya bagus”.
4. Ibn Hibban memasukkan dia dalam kelompok orang-orang yang dapat dipercaya.
5. Ibnu Sa’ad juga mengatakan bahwa dia dapat dipercaya, dia mempunyai banyak hadits.
34
Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib India: Majlis Da’irat al-Ma’arif al- Nizhamiyah, t.th, Juz VI, h. 21.
35
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, h. 41.
6. Al-Uqaili memandang
bahwa hadits
yang diriwayatkannya
membingungkan.
Selanjutnya, terhadap perawi Abdurrahman bin al-Khalad, Ibn Hibban memasukannya ke dalam golongan orang yang dapat dipercaya.
36
Sementara Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haqq al-Azhim, penulis kitab Aun al-
Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud mengatakan bahwa Abu al-Hasan ibn al- Qaththan berpendapat bahwa hal ihwalnya tidak diketahui.
37
Dari penilaian ulama terhadap hadits riwayat Ibnu Majah dan Abu Daud, jelas terlihat bahwa hadits yang menjadi argumen pandangan minoritas
yang membolehkan perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki ternyata memiliki nilai lebih tinggi dibanding hadits yang menjadi argumen
pandangan mayoritas yang melarang perempuan menjadi imam kaum laki- laki.
Persoalan imamah perempuan dalam salat bagi makmum laki-laki dalam perspektif hadits, terdapat hadits-hadits yang bersifat umum dan
khusus. Lebih lanjut, Ali Mustafa Yaqub berpendapat bahwa jika ada ayat yang bersifat mutlak dan muqayyad terbatas, ada ayat yang pengertiannya
umum dan ada ayat yang pengetiannya khusus, maka kedua ayat tersebut harus digabung dijamak, sehingga pengertian mutlak itu dibatasi dengan
36
Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, Juz VI, h. 168
37
Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haqq al-Azhim, Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990, Jilid II, h. 212.
pengertian muqayyad. Begitu pula apabila dalam suatu masalah terdapat ayat yang pengertiannya umum dan ayat yang pengertiannya khusus, maka ayat
yang pertama digabung dengan ayat kedua, sehingga pengertian umum itu menjadi pengertian khusus.
38
Kajian ini dalam ilmu ushul fiqh dan tafsir al- Qur’an disebut takhsish.
Apabila ada riwayat hadits yang pengertiannya umum dan ada riwayat yang pengertiannya khusus, maka kedua pengertian tersebut harus
digabungkan dijamak sehingga riwayat yang berpengertian umum itu menjadi berpengertian khusus.
Hadits Ummu Waraqah tentang imamah perempuan dalam salat terdapat dua pengertian. Dalam salah satu riwayat al-Daruquthni terdapat
pengertian khusus bahwa “Rasulullah SAW. memerintahkan Ummu Waraqah untuk menjadi imam bagi kaum perempuan penghuni
rumahnya”.
39
Sementara dalam riwayat lain seperti riwayat Abi Daud pengertiannya adalah umum yakni bahwa Nabi mengizinkan Ummu
Waraqah menjadi imam salat berjamaah bagi penghuni rumahnya. Lebih lanjut Ali Mustafa Yaquf berpendapat bahwa dengan
metode jamak penggabungan riwayat, maka pengertian hadits Ummu Waraqah secara keseluruhan adalah bahwa Ummu Waraqah diizinkan
Nabi untuk mengimami salat bagi perempuan penghuni rumahnya.
40
38
Ali Mustafa Yaqub, Imam Perempuan, h. 44-45.
39
Imam al-Daruquthni, Sunan al-Daruquthni, Jilid I, h. 304.
40
Ibid., h. 46.
Pernyataan hadits Daruquthni jelas berbeda dengan hadits Abi Daud, meski keduanya sama-sama menyebutkan riwayat Ummu
Waraqah. Hadits Daruquthni menyebutkan bahwa yang menjadi makmum dari Ummu Waraqah adalah kaum perempuan penghuni
rumahnya. Sedangkan hadits riwayat Abi Daud menyebutkan bahwa yang menjadi makmum dari Ummu Waraqah adalah penghuni
rumahnya, tanpa menyebutkan laki-laki atau perempuan.
C. Analisis Metode Istinbath Hukum Ulama tentang Kepemimpinan