Tinjauan Umum Tentang Istinbath Hukum

14

BAB II TEORI ISTINBATH HUKUM DAN PRAKTEKNYA

A. Tinjauan Umum Tentang Istinbath Hukum

Istinbath, dilihat dari sudut etimologi berasal dari nabth atau nubuth dengan kata kerja nabatha, yanbuthu, yang berarti air yang mula-mula keluar dari sumur yang digali. Dari kata kerja tersebut diubah menjadi muta’adi transitif, sehingga menjadi anbatha dan istanbatha, yang berarti mengeluarkan air dari sumur. Jadi kata istinbath pada asalnya berarti usaha mengeluarkan air dari sumber tempat persembunyiannya. Selanjutnya istilah di atas dipakai sebagai istilah fiqh dan ushul fiqh, yang berarti usaha mengeluarkan hukum dari sumbernya. 1 Sedangkan secara terminologi, kata istinbath berarti mengeluarkan atau mengambil makna pengertian dari nash dengan mengerahkan segala kemampuan dan potensi yang dimiliki. 2 Menurut ilmu ushul fiqh, kata ”ijtihad” identik dengan kata ”istinbath”. Jadi, ijtihad atau istinbath ialah menggali hukum syara’ yang belum ditegaskan secara langsung oleh nash al-Qur’an dan sunnah. 3 Kemudian kegiatan istinbath hukum ini melahirkan ijtihad ulama yang merupakan kegiatan mencurahkan 1 Roibin, Sosiologi Hukum Islam: Telaah Sosio-Historis Pemikiran Imam Syafi’i Malang: UIN Malang Press, 2008, h. 87-88. 2 Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999, h. 1. 3 Tamu Jalaluddin Rahmat, ed., Ijtihad dalam Sorotan Bandung: Mizan, 1996, h. 25. segala tenaga pikiran untuk menemukan hukum agama melalui cara tertentu dari sumber-sumber hukum Islam. Dalil dalam kajian ushul fiqh secara etimologi diartikan dengan ”sesuatu yang dapat memberi petunjuk kepada apa yang dikehendaki”. 4 Sementara itu, Abdul Wahaf Khalaf menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan dalil ialah: ﺀﻲﺷ ﻱﺃ ﱃﺇ ﻯﺩﺎﳍﺍ ﺮﺷ ﻭﺃ ﲑﺧ ﻱﻮﻨﻌﻣ ﻭﺃ ﻲﺴﺣ 5 Artinya: ”Dalil ialah yang memberi petunjuk kepada sesuatu yang dirasakan atau yang dipahami baik sifatnya hal yang baik maupun yang tidak baik”. Kemudian Abdul Wahab Khalaf menyebutkan bahwa dalil secara terminologi ialah: ﻊﻄﻘﻟﺍ ﻞﻴﺒﺳ ﻰﻠﻋ ﻲﻠﻤﻋ ﻲﻋﺮﺷ ﻢﻜﺣ ﻰﻠﻋ ﻪﻴﻓ ﺢﻴﺤﺼﻟﺍ ﺮﻈﻨﻟﺎﺑ ﻝﺪﺘﺴﻳ ﺎﻣ ﻦﻈﻟﺍ ﻭﺃ 6 Artinya: ”Segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dengan menggunakan pemikiran yang benar untuk menetapkan hukum syara yang bersifat amali, baik secara qat’i maupun zhani”. Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa pada dasarnya yang disebut dengan dalil ialah sesuatu yanag dapat dijadikan alasan atau pijakan 4 Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, h. 41. 5 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh Kairo: Dar al-Hadits, t.th., h. 20 6 Ibid., h. 20. dalam usaha menemukan dan menetapkan hukum syara’ atas dasar pertimbangan yang benar dan tepat. Oleh karena itu, dalam istinbath hukum persoalan yang paling mendasar yang harus diperhatikan adalah menyangkut apa yang menjadi dalil atau pijakan yang dapat dipergunakan dalam menetapkan hukum syara’ dari sesuatu persoalan yang dihadapi. Tentu saja, penetapan hukum harus didukung oleh pertimbangan yang tepat dan cermat dengan menggunakan dalil atau pijakan yang jelas. Jika dilihat dari segi keberadaannya, maka dalil dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu: 7 1. Dalil-dalil hukum yang keberadaannya secara tekstual terdapat dalam nash. Dalil-dalil hukum yang dikategori kepada bagian ini adalah al- Qur’an dan al-Sunah. 2. Dalil-dalil hukum yang secara tekstual tidak disebutkan oleh nash al- Qur’an dan al-Sunnah. Dalil-dalil ini dirumuskan melalui ijtihad dengan menggunakan penalaran ra’yu. Ibnu Hazm dalam al-Ihkam memberikan definisi tentang istidlal yaitu: ﻪﺠﺋﺎﺘﻧﻭ ﻞﻘﻌﻟﺍ ﻖﻳﺮﻃ ﻦﻣ ﻞﻴﻟﺪﻟﺍ ﺐﻠﻃ ﻝﻻﺪﺘﺳﻹﺍ ﻪﻤﻠﻌﻳ ﱂﺎﻋ ﻦﻣ ﻭﺃ 8 Artinya: “Istidlal itu mencari dalil menegakkan dalil dari ketetapan-ketetapan akal dan natijah-natijahnya, atau dari seseorang yang mengetahuinya”. 7 Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, h. 44-45. 8 Abu Muhammad Ali ibn Hazm al-Andalusi al-Zahiri, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam Beirut: Dar al-Jil, 1987, Juz I h. 22. Contohnya, kelaziman dari tidak adanya wudhu dengan tidak sah salatnya. Apabila seseorang mengeluarkan angin dari duburnya, wudhunya gugur, maka dengan sendirinya salatnya tidak sah lagi. Lebih lanjut, Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin memberikan pengertian istidlal yaitu: ﺎﳘﲑﻏ ﻭﺍ ﻉﺎﲨﺍ ﻭﺍ ﺺﻧ ﻦﻣ ﻢﻜﺣ ﻰﻠﻋ ﻞﻴﻟﺪﻟﺍ ﺔﻣﺎﻗﺇ 9 Artinya: ”Menegakkan dalil untuk suatu hukum, baik dalil tersebut berupa nash, berupa ijma’ ataupun lainnya”. Sumber-sumber yang telah disepakati jumhur ulama ushul fiqh sebagai dasar dalam mengistinbathkan hukum meliputi al-Qur’an, al-Sunnah, al- Ijma’ dan al-Qiyas. 10 Sedangkan sumber yang tidak disepakati meliputi al- Istihsan, al-Mashlahah al-Mursalah, al-Istishab, al-Urf’, Mazhab shahabi, Sadd al-dzarai’i dan Syar’u Man Qablana Syar’un Lana. 11 Kegiatan istinbath dan ijtihad merupakan pengerahan daya nalar ulama dalam menemukan dan menetapkan hukum. Ijtihad adalah usaha besar yang memerlukan pengerahan kemampuan. Hal ini berarti usaha yang ditempuh dengan tidak sepenuh hati dan tidak bersungguh-sungguh, maka tidak dinamakan ijtihad. Cara menemukan hukum syar’i yaitu melalui istinbath yang pengertiannya memungut atau mengeluarkan sesuatu dan 9 Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih t.t., Amzah, 2005, h. 133. 10 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh, h. 23. 11 Ibid., 25. dalam kandungan lafaz. Hal ini berarti bahwa ijtihad itu adalah usaha memahami lafaz dan mengeluarkan hukum dari lafaz tersebut. 12 Jika persoalan hukum tidak terdapat dalam lafaz, maka ulama mujtahid akan menggunakan metode istinbath lain seperti ijma’, qiyas, istihsan, maslahat mursalah dan lain sebagainya dengan tetap bersandarkan kepada lafaz tersebut. Istinbath mengandung arti lebih menekankan bagaimana cara yang ditempuh ulama dalam menemukan hukum dari sumbernya. Sedangkan ijtihad merupakan kegiatan ulama dalam memahami, menemukan, dan merumuskan hukum dari sumbernya. Para mujtahid mengerahkan segenap kemampuan nalarnya untuk menemukan dan menetapkan hukum fiqh diluar apa yang dijelaskan dalam nash al-Qur’an dan hadits. Mereka merumuskan cara atau metode yang mereka gunakan dalam berijtihad. Meskipun ada beberapa metode istinbath dalam menetapkan hukum, namun tidak semua metode itu disepakati penggunaannya oleh ulama. 13 Hal ini menunjukkan bahwa cara atau metode istinbath ulama berbeda-beda dalam menetapkan hukum. Adanya perbedaan metode istinbath ulama dalam menetapkan hukum berimplikasi pada 12 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009, h. 238-239. 13 Hal ini dapat dilihat Syafi’iyyah menggunakan al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas dalam mengistinbathkan hukum. Hanafiyyah menyetujui semua dalil yang dikemukakan Syafi’iyyah dengan menambahkan istihsan. Malikiyyah menambahkan dua dalil yaitu maslahah mursalah dan sadd al- zari’ah. Hanabilah menerima dalil-dalil yang dikemukakan Syafi’iyyah dengan menambahkan saad al- zari’ah. Zahiriyah menolak qiyas, istihlah dan istihsan, tetapi mereka menggunakan apa yang disebutnya dalil sebagai metode ijtihad. Syiah Imamiyah menolak juga teori keabsahan al-hadits, ijma’ dan konsep qiyas yang dikemukakan Syafi’iyyah, tetapi mereka hanya mengakui ijma’ ulama mereka saja. munculnya perbedaan antara hasil istinbath seorang mujtahid dengan yang lainnya. Perbedaan metode tersebut ditentukan oleh jenis petunjuk dan jenis pertimbangan yang dipakai oleh masing-masing mujtahid dalam berijtihad. Para mujtahid dalam berijtihad langsung merujuk kepada dalil syara’ dan menghasilkan temuan orisinal. Karena antar para mujtahid itu dalam berijtihad menggunakan ilmu ushul dan metode yang berbeda, maka hasil yang mereka capai juga tidak selalu sama. Jalan yang ditempuh seorang mujtahid dengan menggunakan metode tertentu untuk menghasilkan suatu pendapat tentang hukum, kemudian disebut ”mazhab” dan tokoh mujtahidnya dinamai ”imam mazhab”. 14 Pendapat tentang hukum hasil temuan imam mazhab itu disampaikan kepada umat dalam bentuk ”fatwa” untuk dipelajari, diikuti dan diamalkan oleh orang-orang yang kemudian menjadi murid dan pengikutnya secara tetap. 15 Selanjutnya para murid dan pengikut imam itu menyebarluaskan mazhab imamnya. Hal ini menjadikan mazhab tersebut berkembang dan 14 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 263. 15 Ibid., h. 263. Hal ini dapat dilihat dari para murid atau pengikut imam mazhab yang menyebarkan mazhab mereka seperti Abu Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim al-Anshary yang merupakan murid Imam Hanafi. Usman ibn al-Hakam al-Juzami yang merupakan sahabat Imam Maliki. Muhammad ibn Abdullah ibn Abd al-Hakam merupakan ulama Mesir sangat berpengaruh yang menyebarkan mazhab Syafi’i di Mesir. Ibnu Qudamah sebagai salah seorang yang memperbaharui, membela, mengembangkan dan membuka mata manusia untuk memperhatikan ajaran-ajaran mazhab Hanbali, terutama dalam bidang muamalah. Ja’far Muhammad ibn Ya’kub al-Khulainiy pengarang kitab al-Kafiy yang merupakan kitab ushul fiqh mazhab Syiah Imamiyah. Abu Khalid Amr ibn Khalid al-Wasithiy mengembangkan mazhab Syiah Zaidiyah melalui kitab-kitab yang dikumpulkannya yakni kitab Majmu’ yang terdiri dari Majmu’ dalam bidang hadits dan Majmu’ dalam bidang fiqh. Ali ibn Hazmin al-Zhahiriy, dialah yang banyak menegembangkan mazhab Zahiriy. bertahan dalam kurun waktu yang lama. Bahkan perkembangannya sampai sekarang dan mewarnai umat Islam di seluruh belahan bumi. Di antara mazhab fiqh yang terkenal adalah: 1. Mazhab Hanafiyyah. Imamnya Abu Hanifah 80-150 H. 2. Mazhab Malikiyyah. Imamnya Malik ibn Anas 93-179 H. 3. Mazhab Syafi’iyyah. Imamnya Muhammad ibn Idris al-Syafi’i 150-204 H. 4. Mazhab Hanabilah. Imamnya Ahmad ibn Hanbal 164-241 H. 5. Mazhab Zhahiriyyah. Imamnya Dawud ibn Ali al-Ashfahaniy 202-270 H. 6. Mazhab Zaidiyyah. Imamnya Zaid ibn Ali Zainul Abidin 80-122 H. 7. Mazhab Ja’fariyyah. Imamnya Ja’far al-Shadiq 80-148 H.

B. Metode Pembentukan Hukum Ulama Mazhab