Dalam kitab Fiqh Sunnah, karangan Syeikh Sayyid Sabiq terdapat bab kebolehan perempuan menjadi imam bagi perempuan. Dalam bab ini
dijelaskan bahwa Aisyah dan Ummu Salamah pernah mengimami jamaah perempuan, dan Ummu Waraqah pernah diperintah oleh Nabi untuk menjadi
imam bagi keluarganya dalam salat fardhu, sedang di antara mereka ada seorang laki-laki.
15
B. Imam Salat dalam Perspektif Tafsir Al-Qur’an
Al-Qur’an menginformasikan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk beribadah kepada Allah dalam seluruh aspek
kehidupannya. Al-Qur’an menyebutkan asas egalitarianisme Islam. Kelebihan manusia atas manusia yang lain hanya berlaku pada soal kwalitas ibadahnya
kepada Allah taqwa. Hal ini dijelaskan di dalam QS. al-Hujurat 49: 13
تاﺮﺠﺤﻟا 49
: 13
Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal”. QS. al-Hujurat 49: 13
15
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah Bairut: Dar al-Kutub al-Arabi, 1973 Cet. II Jilid. I h. 237
Lihat pula firman Allah yang menyatakan imbalan yang sama diberikan Allah kepada hamba-Nya yang melakukan amalan shaleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam surat al-Nahl 16: 97
ﻞﺤﻨﻟا 16
: 97
Artinya: ”Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri
Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. QS. al-Nahl 16: 97
Begitu pula kesamaan laki-laki dengan perempuan dalam memperoleh
hak dan bagian dari hasil usahanya, sebagaimana terdapat dalam QS. al-Nisa 4: 32
ءﺎﺴﻨﻟا 4
: 32
Artinya: ”Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah
kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. karena bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan,
dan bagi Para wanita pun ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. QS. al-Nisa 4: 32
Persoalan perizinan atau pelarangan imamah perempuan dalam salat dengan makmum laki-laki tampaknya tidak ada ayat yang secara tegas menyebut
demikian. Imam al-Syafi’i w. 204 H dalam al-Umm membuat satu bahasan dengan topik
لﺎﺟﺮﻠﻟ ةأﺮﻤﻟا ﺔﻣﺎﻣإ keimaman perempuan untuk laki-laki. Kemudian beliau mengatakan:
ﺓﻼﺻﻭ ﺔﺋﺰﳎ ﺀﺎﺴﻨﻟﺍ ﺓﻼﺼﻓ ﺭﻮﻛﺫ ﻥﺎﻴﺒﺻﻭ ﺀﺎﺴﻧﻭ ﻝﺎﺟﺮﺑ ﺓﺃﺮﳌﺍ ﺖﻠﺻ ﺍﺫﺇﻭ ﲔﻣﺍﻮﻗ ﻝﺎﺟﺮﻟﺍ ﻞﻌﺟ ﻞﺟﻭﺰﻋ ﷲﺍ ﻥﻷ ﺔﺋﺰﳎ ﲑﻏ ﺭﻮﻛﺬﻟﺍ ﻥﺎﻴﺒﺼﻟﺍﻭ ﻝﺎﺟﺮﻟﺍ
ﲑﻏﻭ ﺀﺎﻴﻟﻭﺃ ﻦﻜﻳ ﻥﺃ ﻦﻋ ﻦﻫﺮﺼﻗﻭ ﺀﺎﺴﻨﻟﺍ ﻰﻠﻋ ﺓﺃﺮﻣﺍ ﻥﻮﻜﺗ ﻥﺃ ﺯﻮﳚ ﻻﻭ ﻚﻟﺫ
ﺍﺪﺑﺃ ﻝﺎﲝ ﺓﻼﺻ ﰲ ﻞﺟﺭ ﻡﺎﻣﺇ
16
Artinya: Apabila wanita salat menjadi imam untuk kaum laki-laki, perempuan,
dan anak laki-laki, maka salat para makmum yang wanita sah. Sedangkan salat para makmum laki-laki dan anak laki-laki tidak sah. Hal itu karena
Allah menjadikan laki-laki sebagai pemimpin perempuan, Allah juga tidak menjadikan perempuan sebagai wali dan lain-lain. Perempuan dalam
keadaan bagaimana pun tidak boleh menjadi imam salat bagi makmum laki- laki.
Mayoritas ulama salaf dan khalaf telah sepakat akan ketidakbolehan perempuan memegang tampuk pimpinan terlebih lagi kepemimpinan negara
Islam.
17
Begitu juga kepemimpinan perempuan dalam salat Alasan yang sering digunakan antara lain adalah firman Allah SWT QS. al-Nisa 4: 34
16
Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Umm Beirut: Dar al-Wafa, 2005, Juz II Cet. III h. 320.
17
Endis Firdaus, Imam Perempuan: Dekonstruksi Berpesrpektif Gender Menuju Kontekstualisasi Politis Ajaran Islam di Indonesia Jakarta: Pustaka Ceria, 2008 h. 114.
ءﺎﺴﻨﻟا 4
: 34
Artinya: ”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka laki-laki atas sebahagian yang lain wanita, dan karena mereka laki-laki telah menafkahkan sebagian
dari harta mereka”. QS. al-Nisa 4: 34
Dari ayat 34 Surat Al-Nisa ini, secara khusus yang dibahas di sini adalah qawwamun. Kata ini seperti tersebut di atas merupakan potongan kalimat
dari ayat al-rijal qawwamun ala al-nisa kaum lelaki adalah qawwamun bagi perempuan. Kata qawwamun adalah bentuk jamak plural dari al-qawwamu
yang berarti menjamin, mampu berdiri, dan raja.
18
Menurut al-Mu’jam al- Wasith, kata al-qawwamu berarti bagus pendirian, dan mempunyai ide yang
bagus dalam setiap pekerjaan.
19
Namun menurut al-Munawwir, kata al- Qawwamu berarti yang menanggung, bertanggung jawab, amir, kepala,
pemimpin.
20
Tafsir besar klasik populer menjelaskan hal ini secara etimologi kebahasaan dimulai oleh Al-Thabari. Ia mengartikan kata itu dengan arti Ahl al-
Qiyam penegak. Ini berarti bahwa laki-laki sebagai penegak derajat kaum perempuan bertanggung jawab mendidik dan membimbing istri agar
menunaikan kewajibannya kepada Allah maupun suami dalam keluarganya. Al- Tabari memaparkan:
18
Abdul Lois Ma’luf, Al-Munjid Beirut: Dar al-Masyrik, 2002, h. 664
19
Anis Ibrahim, Al-Mu’jam al-Wasith Qahirah: Dar al-Qalam, t.th., h. 786
20
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Surabaya: Pustaka Progressif, 1997, h. 1174
ﻰﻠﻋ ﻡﺎﻴﻗ ﻞﻫﺃ ﻝﺎﺟﺮﻟﺍ ﺀﺎﺴﻨﻟﺍ ﻰﻠﻋ ﻥﻮﻣﺍﻮﻗ ﻝﺎﺟﺮﻟﺍ ﻩﺅﺎﻨﺛ ﻞﺟ ﻪﻟﻮﻘﺑ ﲏﻌﻳ ﻢﻬﺴﻔﻧﻷﻭ ﷲﺍ ﻦﻬﻴﻠﻋ ﺐﳚ ﺎﻤﻴﻓ ﻦﻬﻳﺪﻳﺃ ﻰﻠﻋ ﺬﺧﻷﺍﻭ ﻦﻬﺒﻳﺩﺄﺗ ﰲ ﻢﻬﺋﺎﺴﻧ
ﲏﻌﻳ ﺾﻌﺑ ﻰﻠﻋ ﻢﻬﻀﻌﺑ ﷲﺍ ﻞﻀﻓﺎﲟ ﻝﺎﺟﺮﻟﺍ ﻪﺑ ﷲﺍ ﻞﻀﻓﺎﲟ
ﻦﻣ ﻢﻬﺟﺍﻭﺯﺃ ﻰﻠﻋ ﻦﺆﻣ ﻦﻫﺎﻳﺇ ﻢﻬﺘﻳﺎﻔﻛﻭ ﻢﳍﺍﻮﻣﺃ ﻦﻬﻴﻠﻋ ﻢﻬﻗﺎﻔﻧﺇﻭ ﻦﻫﺭﻮﻬﻣ ﻦﻬﻴﻟﺇ ﻢﻬﻗﻮﺳ
21
Artinya: ”Yang dimaksud dengan para lelaki qawwamun atas perempuan, lelaki
itu Ahl al-Qiyam penegak untuk kaum perempuannya dalam tugas mendidik dan mengambil tindakan yang seharusnya dilakukan kaum
perempuan terhadap Allah serta hak diri kaum laki-laki sendiri, disebabkan keunggulan yang diberikan Allah di atas yang lainnya. Maksudnya karena
Allah mengunggulkan kaum laki-laki di atas para isterinya berupa pemberian maharnya kepada para isteri, kewajiban memberi nafkah harta
bendanya kepada isteri, dan jaminan para suami terhadap perbekalan hidup para isteri”.
Al-Bagawi menafsirkan
qawwamun dengan
pelindung kaum
perempuan, penguasa dan pengatur pendidikan para perempuan.
22
Al- Zamakhsyari menekankan arti kata itu pada kaum lelaki untuk menegakkan amr
bi al-ma’ruf wa al-nahy ’an al-munkar kepada istrinya. Seperti apa yang dilakukan pemimpin kepada rakyatnya.
23
Demikian juga pendapat Abdullah Yusuf Ali menerjemahkan dengan arti pelindung.
24
Serasi dengan pendapat
21
Muhammad bin Jarir al-Tabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay’ al-Qur’an Beirut: Dar al- Kutub al-Ilmiyyah, 2005, Vol. IV, h. 59.
22
Abu Muhammad al-Hasan al-Farra al-Bagawi, Tafsir al-Bagawi Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1993, vol. 1 h. 335
23
Endis Firdaus, Imam Perempuan: Dekonstruksi Berpesrpektif Gender Menuju Kontekstualisasi Politis Ajaran Islam di Indonesia, h. 116
24
Abdullah Yusuf Ali, Quran. Penerjemah Ali Audah Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993, h. 190
Rasyid Rida, kata itu berarti pemimpin tetapi menempuh jalan bimbingan dan penjagaan bukan melalui pemaksaan.
25
Sementara al-Zamaksyari
menegaskan bahwa
ayat tersebut
menunjukkan keunggulan laki-laki adalah alami, bukan karena hasil paksaan. Kemudian pemikir Mu’tazilah ini mengemukakan bahwa kelebihan laki-laki itu
karena umumnya memiliki kelebihan penalaran, tekad yang kuat, keteguhan, kekuatan, kemampuan tulisan, dan keberanian. Karena itu dari kaum laki-laki ini
lahir para nabi, ulama, dan pemimpin. Mereka juga berperan dalam jihad, azan, khutbah, i’tiqaf, takbir, persaksian, dalam hudud dan qisas. Juga mereka
menerima bagian lebih dalam waris dan lain-lain. Selain itu laki-laki juga dapat menjadi wali nikah, menentukan talaq dan ruju’.
26
Ibnu Katsir secara panjang lebar membahas ayat ini.
27
Menurut beliau ayat al-rijal qawwamun ala al-nisa berarti bahwa laki-laki lebih dibanding
wanita dalam empat hal, yaitu: memimpin, besarkuat, hakim dan mengajar akhlaknya jika akhlaknya tidak baik. Karena laki-laki lebih baik daripada
perempuan, itulah sebabnya para Nabi hanya dari jenis laki-laki. Begitu pula pengendalian kekuasaan yang lebih besar, dengan mengutip sabda Rasulullah
SAW bahwa ”tidak akan beruntung bagi suatu kaumgolongan yang menyerahkan urusannya kepada wanita”.
25
Rasyid Rida, Tafsir al-Manar Beirut: Dar al-Fikr, 1973, vol. 5 h. 68
26
Endis Firdaus, Imam Perempuan: Dekonstruksi Berpesrpektif Gender Menuju Kontekstualisasi Politis Ajaran Islam di Indonesia, h. 118
27
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azim Riyadh: Dar Thayibah, 2007, Juz I h. 292.
Namun menurut Ibnu Katsir, kelebihan tersebut dalam masalah rumah tangga dengan alasan kelanjutan ayat itu yang menyatakan bahwa laki-lakilah
yang harus mengeluarkan harta untuk mereka.
28
Rasyid Rida menekankan,
29
bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan terjadi karena dua sebab: fitri dan kasbi. Sebab fitri bawaan sudah ada sejak
penciptaan. Menurutnya, laki-laki sejak penciptaan sudah diberi kelebihan kekuatan al-Quwwah, dan kemampuan al-Qudrah. Laki-laki katanya lebih
tegap ajmal, lebih sempurna atamm wa akmal dan lebih kuat aqwa. Kelebihan laki-laki atas perempuan bukan hanya berlaku pada manusia
melainkan juga pada binatang. Binatang jantan adalah lebih tegap dan lebih sempurna ajmal wa akmal daripada betinanya. Sebagai akibat dari
kesempurnaan sejak penciptaan itu, laki-laki mempunyai kesempurnaan akal dan kejernihan pandangan. Rasyid Rida mengemukakan kenyataan itu merupakan
sesuatu yang wajar karena pribahasa sendiri menyatakan ’akal yang sehat ada pada tubuh yang sehat’. Kemudian kelebihan akal katanya, menyebabkan
kelebihan kasbi. Laki-laki lebih mampu berusaha, berinovasi, dan bergerak. Karena itu, laki-laki dituntut memberi nafkah pada perempuan, menjaga, dan
memimpinnya. Abdullah al-Mirgani mengartikan qawwamun sebagai pelindung yakni
laki-laki pelindung bagi perempuan, sebagaimana seorang pemimpin mengurus
28
Ibid., h. 293.
29
Rasyid Rida, Tafsir al-Manar, vol. 5 h. 69-70
rakyatnya. Hal ini dikarenakan Allah telah melebihkan sebagian mereka laki- laki atas sebagian yang lain perempuan yakni karena kaum laki-laki yang
mengatur urusan perempuan berkat kelebihan yang mereka miliki, di antaranya kesempurnaan akal, kemampuan manajemen, dan hak perwalian serta hak
lainnya. Selain itu karena laki-laki telah menafkahkan kepada perempuan sebagian dari harta mereka seperti kewajiban memberi nafkah dan mahar.
30
Sedangkan Nashir al-Sa’adi menafsirkan bahwa kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, maksudnya dengan cara mengharuskan
mereka untuk menunaikan hak-hak Allah berupa pemeliharaan akan kewajiban- kewajiban dari-Nya dan melarang mereka dari berbuat kerusakan, laki-laki wajib
untuk menekankan hal tersebut kepada mereka, dan laki-laki juga adalah pemimpin mereka dengan memberikan nafkah kepada mereka berupa pakaian
dan tempat tinggal.
31
Kemudian al-Sa’adi mengemukakan tentang kelebihan laki-laki atas perempuan disebabkan dari berbagai segi. Segi kekuasaan adalah dikhususkan
bagi laki-laki, kenabian, karasulan, dan pengkhususan mereka dalam berbagai macam ibadah seperti jihad, salat hari raya dan salat jumat, dan apa yang telah
berikan secara khusus bagi mereka berupa akal pikiran yang matang, kesabaran, dan ketegaran yang tidak dimiliki oleh perempuan. Demikian juga Allah telah
mengkhususkan mereka dengan kewajiban memberikan nafkah kepada istri,
30
Muhammad Usman Abdullah al-Mirgani, Taj al-Tafasir Dar al-Fikr, t.th., Juz I h. 90.
31
Abdurrahman bin Nashir al-Sa’adi, Tafsir al-Sa’adi. Penerjemah Muhammad Iqbal, dkk Jakarta: Pustaka Sahifa, 1999, h. 76
bahkan pada sebagian besar nafkah laki-laki dikhususkan untuknya dan diistimewakan dengannya daripada perempuan. Laki-laki adalah seperti wali dan
tuan bagi istrinya, sedangkan istrinya adalah sebagai pendamping, tawanan, dan pelayan. Maka tugas laki-laki adalah menunaikan apa yang telah Allah
perintahkan untuk dilindungi, dan tugas perempuan adalah melakukan ketaatan kepada Rabb-Nya dan kepada suaminya.
32
Amina Wadud Muhsin menyatakan kalimat ”Laki-laki adalah qawwamun atas perempuan” tidaklah dimaksudkan bahwa superioritas itu
melekat pada setiap laki-laki secara otomatis sebab hal itu hanya terjadi secara fungsional, yaitu selama yang bersangkutan memenuhi kriteria al-Qur’an
memiliki kelebihan dan memberikan nafkah. Dan ini jelas tidak hanya berlaku bagi laki-laki melainkan juga untuk perempuan. Ayat ini sendiri tidak menyebut
semua laki-laki superior atas perempuan. Hal yang dinyatakan Kitab Suci adalah bahwa ”Allah telah melebihkan sebagian mereka laki-laki ba’dahum atas
sebagian yang lain.
33
Selanjutnya Asghar Ali Engineer menjelaskan pernyataan al-Qur’an ”laki-laki adalah qawwam atas perempuan” sesungguhnya merupakan
pengakuan bahwa dalam realitas sejarah, kaum perempuan pada masa itu sangat rendah dan pekerjaan domestik dianggap pekerjaan perempuan. Sementara laki-
laki menganggap dirinya sendiri lebih unggul karena kekuasaan dan kemampuan
32
Ibid., h. 77
33
Amina Wadud, Qur’an Menurut Perempuan. Penerjemah Abdullah Ali Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006, h. 121 dan 123.
mereka mencari nafkah dan membelanjakannya untuk perempuan. Al-Qur’an menggambarkan situasi sosial itu. Hal yang perlu diperhatikan, menurutnya
ialah bahwa al-Qur’an hanya mengatakan ”Kaum laki-laki adalah qawwamun pemberi nafkah atau pengatur urusan keluarga dan tidak mengatakan bahwa
laki-laki harus menjadi qawwam. Menurutnya, laki-laki merupakan pernyataan kontekstual, bukan normatif.
34
Mahmud Yunus menerjemahkan qawwamun dengan tulang punggung pemimpin.
35
Quraish Shihab berpendapat bahwa kata qawwamun adalah bentuk jamak dari kata qawwam, yang terambil dari kata qama artinya berdiri
atau tegak. Perintah salat misalnya, juga menggunakan akar kata itu. qawwam artinya bukan mendirikannya semata akan tetapi juga melaksanakannya dengan
sempurna, memenuhi
segala syarat,dan
sunnahnya. Seseorang
yang melaksanakan tugas itu sesuai dengan harapannya dinamai qaim. Baru dinamai
qawwam seandainya pelaksanaan suatu tugas dilaksanakan sesempurna mungkin, berkesinambungan dan berulang-ulang. Kata yang digunakan dalam
ayat itu adalah kata qawwam untuk makna kata banyak laki-laki al-rijal.
36
Namun, pertanyaan kemudian adalah kenapa al-Qur’an menyatakan adanya keunggulan laki-laki atas perempuan karena nafkah yang mereka
berikan?. Masalah sesungguhnya di sini adalah masalah kesadaran sosial dan
34
Asghar Ali Engineer, Hak-hak Wanita dalam Islam. Penerjemah Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf Yogyakarta: Bentang, 1994, h. 701
35
Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim Jakarta: Hidakarya Agung, 2004, h.113
36
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an Ciputat: Lentera Hati, 2000, h. 402
penafsiran yang tepat. Kesadaran perempuan pada masa itu tidak diragukan lagi, sangat rendah dan pekerjaan domestik dianggap sebagai kewajiban perempuan.
Lebih dari itu, laki-laki menganggap dirinya sendiri lebih unggul karena kekuasaan dan kemampuan mereka mencari nafkah dan membelanjakan untuk
perempuan. Al-Qur’an mencerminkan kondisi sosial itu. Al-Qur’an hanya mengatakan bahwa laki-laki adalah qawwam pemberi nafkah atau pengatur
urusan keluarga dan tidak mengatakan bahwa mereka harus harus menjadi qawwam. Dapat dilihat bahwa ”qawwam”merupakan sebuah pernyataan
kontekstual, bukan normatif. Seandainya al-Qur’an mengatakan bahwa laki-laki harus menjadi qawwam, maka ia akan menjadi sebuah pernyataan normatif dan
pastilah akan mengikat bagi semua perempuan pada semua zaaman dan dalam semua keadaan.
37
Mengenai QS. al-Nisa 4: 34 yang telah dikemukakan di atas, dapat diketahui bahwa terdapat dua penafsiran yang berbeda. Kelompok pertama
menyatakan bahwa QS. al-Nisa 4: 34 hanya berkaitan dalam ruang lingkup rumah tangga. Laki-laki dalam hal ini adalah sebagai pemimpin, pelindung,
pendidik dan pengayom perempuan dalam rumah tangga karena laki-laki mempunyai kelebihan atas perempuan dan laki-lakilah yang memberikan nafkah
bagi perempuan. Ayat tersebut tidak lepas dalam konteks realitas sejarah masyarakat arab saat itu. Derajat perempuan sangat rendah dan pekerjaan
domestik hanya menjadi tugas perempuan. Keadaan perempuan saat ini sungguh
37
Abdulmanan Syafi’i, “Memahami Ayat al-Rijalu Qawwamuna ‘Ala al-Nisa Secara Tekstual dan Kontekstual”, Harakat an-Nisa’, vol. 1 no. 1 Januari 2001: h. 35-36
sangat berbeda dengan kondisi perempuan dalam sejarah arab jahili. Perempuan era sekarang sudah dapat mengakses dan mendapatkan ilmu pengetahuan dan
teknologi sama seperti laki-laki. Bahkan banyak perempuan yang dapat mengungguli prestasi laki-laki. Sedangkan kelompok kedua berpendapat bahwa
QS. al-Nisa 4: 34 menyatakan bahwa laki-laki adalah syarat mutlak sebagai pemimpin bagi perempuan dalam segala bidang, tidak terkecuali imamah
perempuan dalam salat.
C. Imam Salat dalam Perspektif Al-Hadits