Metode Pembentukan Hukum Ulama Mazhab

bertahan dalam kurun waktu yang lama. Bahkan perkembangannya sampai sekarang dan mewarnai umat Islam di seluruh belahan bumi. Di antara mazhab fiqh yang terkenal adalah: 1. Mazhab Hanafiyyah. Imamnya Abu Hanifah 80-150 H. 2. Mazhab Malikiyyah. Imamnya Malik ibn Anas 93-179 H. 3. Mazhab Syafi’iyyah. Imamnya Muhammad ibn Idris al-Syafi’i 150-204 H. 4. Mazhab Hanabilah. Imamnya Ahmad ibn Hanbal 164-241 H. 5. Mazhab Zhahiriyyah. Imamnya Dawud ibn Ali al-Ashfahaniy 202-270 H. 6. Mazhab Zaidiyyah. Imamnya Zaid ibn Ali Zainul Abidin 80-122 H. 7. Mazhab Ja’fariyyah. Imamnya Ja’far al-Shadiq 80-148 H.

B. Metode Pembentukan Hukum Ulama Mazhab

Sebagaimana diketahui, sumber ajaran Islam yang pertama adalah al- Qur’an. Al-Qur’an itu merupakan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an tidak diwahyukan sekaligus tetapi dengan cara berangsur-angsur dimulai di Mekkah dan disudahi di Madinah. Atas dasar wahyu inilah Nabi menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat Islam ketika itu. Ketika persoalan yang dijumpai masyarakat Islam saat itu tidak ditemukan ketetapan hukumnya di dalam al-Qur’an, Nabi menyelesaikannya dengan pemikiran dan pendapat beliau dan terkadang pula melalui permusyawaratan dengan para sahabat. Inilah yang kemudian dikenal dengan Sunnah Rasul. Memang al-Qur’an hanya memuat prinsip-prinsip dasar dan tidak menjelaskan secara rinci. Perinciannya, dalam masalah ibadah, diberikan oleh hadits. Sedangkan dalam bidang muamalat, prinsi-prinsip dasar itu, yang belum dijelaskan oleh Nabi SAW diserahkan kepada umat untuk mengaturnya. Dalam periode Nabi, karena persoalan yang timbul dalam bidang ini dikembalikan penyelesaiannya kepada Nabi, maka tidak ada persoalan. Tetapi dalam periode sahabat, ketika daerah yang dikuasai Islam bertambah luas, sedangkan permasalahan yang dihadapi semakin kompleks, sedangkan Nabi sebagai tempat bertanya tidak ada lagi, ummat pun menyelesaikan persoalannya berdasarkan al-Qur’an dan hadits Nabi. Ternyata pada prakteknya, tidak semua persoalan yang timbul dapat dikembalikan pada al- Qur’an dan hadits Nabi secara eksplisit. Untuk menyelesaikan persoalan yang tidak dijumpai dari kedua sumber tersebut para ulama melakukan ijtihad. Karena wahyu sudah tidak turun dan Nabi sudah wafat, maka para mujtahid tidak ada yang berani menyatakan benar atau tidaknya hasil ijtihad itu. Untuk mengatasi masalah itu dipakai ijma’. Dengan demikian putusan hukum yang diambil secara suara bulat bersama oleh para ulama, lebih kuat daripada putusan hukum yang dibuat oleh satu atau beberapa orang saja. Ketika kekuasaan Islam semakin bertambah luas, para ulama tinggal secara berpencar sehingga ijma’ dalam arti di atas tidak mungkin dilakukan lagi. Akhirnya masing-masing ulama melakukan istinbath hukum sendiri. Maka lahirlah bermacam-macam metode istinbath hukum seperti qiyas, istihsan, urf, dan lain-lain. Metode-metode istinbath hukum itu selanjutnya menjadi objek kajian ilmu ushul fiqh. Pada perkembangannya metode istinbath hukum tersebut melahirkan mazhab. Imam mazhab dalam melakukan istinbath hukum telah menyusun macam-macam sumber dalil secara sistematik. Kenyataannya, macam-macam sumber dalil tersebut ada yang disepakati dan tidak disepakati. Dengan kata lain, dalil-dalil yang menjadi sumber penetapan hukum di kalangan ulama mazhab tersebut di satu pihak terdapat persamaan dan di pihak lain terdapat perbedaan. Macam-macam sumber dalil dan sistematika yang menjadi pijakan berbagai mazhab dalam melakukan istinbath hukum seperti berikut ini: 1. Mazhab Hanafiyyah Pendiri mazhab ini adalah Abu Hanifah 80-150 H dikenal sebagai ulama Ahl al-Ra’yi. 16 Sehingga dapat diketahui bahwa dalam menetapkan hukum Islam, baik yang diistinbathkan dari al-Qur’an ataupun hadits, beliau banyak menggunakan nalar. Beliau lebih menggunakan ra’yi dari khabar ahad. Apabila terdapat hadits yang bertentangan, beliau menetapkan hukum 16 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2003, h.98. dengan jalan qiyas dan istihsan. 17 Jika dipandang bahwa menggunakan qiyas kurang tepat, dipergunakan istihsan. Jika tidak dapat dipergunakan istihsan, diambillah ’urf . Hal ini menjadikan Imam Hanafi banyak sekali mengemukakan masalah-masalah baru, bahkan beliau banyak menetapkan hukum-hukum yang belum terjadi. Adapun metode istidlal Imam Abu Hanifah dapat dipahami dari ucapan beliau sendiri yakni: ﱏﺇ ﷲﺍ ﺏﺎﺘﻜﺑ ﺬﺧﺍ ﻪﺗﺪﺟﻭ ﺍﺫﺇ ﺎﻤﻓ ﺪﺟﺃ ﱂ ﺕﺬﺧﺃ ﻪﻴﻓ ﻩ ﷲﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﺔﻨﺴﺑ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﺕﺎﻘﺜﻟﺍ ﻯﺪﻳﺃ ﰱ ﺖﺸﻧ ﱴﻟﺍ ﻪﻨﻋ ﺡﺎﺤﺼﻟﺍ ﺭﺎﺛﻻﺍﻭ . ﺈﻓ ﺍﺫ ﺕﺬﺧﺃ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﷲﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﺔﻨﺳﻻﻭ ﷲﺍ ﺏﺎﺘﻛ ﰱ ﺪﺟﺃ ﱂ ﻉﺩﺃﻭ ﺖﺌﺷ ﻦﻣ ﻪﺑﺎﺤﺻﺃ ﻝﻮﻘﺑ ﻝﻮﻗ ﺖﺌﺷ ﻦﻣ ﰒ ﻢﳍﻮﻗ ﻦﻣ ﺝﺮﺧﺃﻻ ﻏ ﻝﻮﻗ ﱃﺇ ﻢﻫﲑ . ﺮﻣﻷﺍ ﻰﻬﺘﻧﺍ ﺍﺫﺈﻓ ﱃﺇ ﱯﻌﺸﻟﺍﻭ ﻢﻴﻫﺍﺮﺑﺇ ﻦﺴﳊﺍﻭ ﻦﺑﺍﻭ ﺪﻴﻌﺳﻭ ﻦﻳﲑﺳ ﻦﺑ ﺐﻴﺴﳌﺍ ﻻﺎﺟﺭ ﺪﻋﻭ ﻥﺃ ﻰﻠﻓ ﺍﻭﺪﻬﺘﺟﺇ ﺪﻗ ﺪﻬﺘﺟﺃ ﺎﻤﻛ ﺍﻭﺪﻬﺘﺟﺍ . 18 Artinya: “Sesungguhnya saya berpegang kepada Kitab Allah al-Qur’an apabila menemukannya. Jika saya tidak menemukannya, saya berpegang kepada Sunnah Rasulullah SAW dan atsar-atsar yang memiliki tingkat keshahihan yang tersebar luas di kalangan perawi terpercaya. Jika tidak saya temukan dalam kitab dan sunnah, saya berpegang kepada pendapat para sahabat dan mengambil mana yang saya sukai dan meninggalkan yang lainnya, saya tidak keluar pindah dari pendapat mereka kepada yang lainnya. Maka jika persoalan sampai kepada Ibrahim, al-Sya’bi, al-Hasan, Ibn Sirrin, Said ibn 17 Ibid., h. 98. 18 Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami Kairo: Maktabah wa Matba’ah Ali Sabih wa auladuh, t.th., h. 91-92 al-Musayyab dan Abu Hanifah menyebut beberapa orang lagi, maka mereka itu orang-orang yang telah berijtihad, karena itu saya pun berijtihad sebagaimana mereka telah berijtihad”. ﺔﻔﻴﻨﺣ ﰊﺃ ﻡﻼﻛ ﺱﺎﻨﻟﺍ ﺕﻼﻣﺎﻌﻣ ﰱ ﺮﻈﻨﻟﺍﻭ ﺢﺒﻘﻟﺍ ﻦﻣ ﺭﺍﺮﻓﻭ ﺔﻘﺜﻟﺍﺎﺑ ﺬﺧﺃ ﻓ ﺱﺎﻴﻘﻟﺍ ﻰﻠﻋ ﺮﻣﻷﺍ ﻰﻀﳝ ﻢﻫﺭﻮﻣﺃ ﻪﻴﻠﻋ ﺢﻠﺻﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﺍﻮﻣﺎﻘﺘﺳﺍﺎﻣﻭ ﺢﺒﻗ ﺍﺫﺈ ﻘﻟﺍ ﻪﻟ ﻰﻀﳝ ﻡﺍﺩﺎﻣ ﻥﺎﺴﺤﺘﺳﻹﺍ ﻰﻠﻋ ﺎﻬﻴﻀﳝ ﺱﺎﻴ . ﱂ ﺍﺫﺈﻓ ﱃﺇ ﻊﺟﺭ ﻪﻟ ﻰﻀﳝ ﻥﻮﻤﻠﺴﳌﺍ ﻞﻣﺎﻌﺘﻳﺎﻣ ﻪﺑ . ﻥﺎﻛﻭ ﻑﻭﺮﻌﳌﺍ ﺚﻳﺪﳊﺍ ﻞﺻﻮﻳ ﻡﺍﺩﺎﻣ ﻪﻴﻠﻋ ﺲﻴﻘﻳ ﰒ ﻪﻴﻟﺇ ﻊﺟﺭ ﻖﻓﻭﺃ ﻥﺎﻛ ﺎﻤﻬﻳﺃ ﻥﺎﺴﺤﺘﺳﻹﺍ ﱃﺇ ﻊﺟﺮﻳ ﰒ ﺎﻐﺋﺎﺳ ﺱﺎﻴﻘﻟﺍ . 19 Artinya: “Pendirian Abu Hanifah ialah mengambil hal yang diyakini dan dipercayai dan lari dari keburukan serta memperhatikan muamalah-muamalah manusia dan apa yang mendatangkan maslahat bagi manusia. Ia menjalankan urusan atas qiyas. Apabila qiyas tidak baik dilakukan, ia melakukannya atas istihsan selama dapat dilakukannya. Apabila tidak dapat dilakukan, ia kembali kepada urf manusia. Dan ia mengamalkan hadits yang sudah terkenal kemudian ia mengqiyaskan sesuatu kepada hadits itu selama qiyas dapat dilakukan. Kemudian ia kembali kepada istihsan. Di antara keduanya yang mana lebih tepat, kembalilah ia kepadanya”. Kutipan di atas menunjukkan bahwa Imam Abu Hanifah dalam melakukan istinbath hukum berpegang kepada sumber dalil yang sistematika atau tertib urutannya seperti apa yang ia ucapkan tersebut. Dari sistematika atau tertib urutan sumber dalil di atas nampak bahwa Imam Abu Hanifah menempatkan al-Kitab atau al-Qur’an pada urutan pertama, kemudian al- Sunnah pada urutan kedua dan seterusnya secara berurutan pendapat sahabat, 19 Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah al-Qahirah: Dar al-Fikr al-Arabiy, 1987, Juz II, h. 161. qiyas, istihsan dan terakhir adalah urf. Tidak disebutkannya ijma’ dalam rumusan ini bukan berarti Abu Hanifah menolak ijma’ tetapi menggunakan ijma’ sahabat yang tergambar dalam ucapannnya di atas. 20 Jika terjadi pertentangan qiyas dengan istihsan, sementara qiyas tidak dapat dilakukan, maka Imam Abu Hanifah meninggalkan qiyas dan berpegang kepada istihsan karena adanya pertimbangan maslahat. Dengan kata lain penggunaan qiyas dapat dilakukan sepanjang ia dapat memenuhi persyaratan. Jika qiyas tidak mungkin dilakukan terhadap kasus-kasus yang dihadapi, maka pilihan alternatifnya adalah menggunakan istihsan dengan alasan maslahat. 21 Secara terperinci dasar Imam Abu Hanifah dalam menetapkan suatu dasar hukum adalah: a. Al-Kitab Al-Kitab adalah sumber pokok dan sumber pertama ajaran Islam yang menjadi dasar dalam pembentukan hukum Islam sampai akhir zaman. Oleh karena itu, jika didalam al-Qur’an dijumpai nash mengenai suatu hukum, maka nash itu harus diikuti. Dalam menetapkan hukum Islam yang diistinbathkan dari al-Qur’an, beliau banyak menggunakan akal nalar. b. Al-Sunnah 20 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 106. 21 Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, h. 48. Al-Sunnah berfungsi sebagai penjelasan al-Kitab, merinci yang masih bersifat umum global. Jika dalam al-Qur’an tidak dijumpai nash mengenai suatu hukum, maka harus kembali ke al-Sunnah. Apabila di dalam al-Sunnah didapati hukum yang pasti, maka al- Sunnah tersebut harus diikuti. Abu Hanifah mensyaratkan bahwa hadits yang diriwayatkan harus masyhur di kalangan perawi hadits terpercaya. 22 Perawi hadits harus beramal berdasarkan hadits yang diriwayatkan dan tidak boleh menyimpang dari periwayatannya. Perawi hadits tidak boleh merupakan seseorang yang aibnya tersebar di kalangan umum. 23 c. Aqwalu al-Shahabah pendapat sahabat Para sahabat adalah orang-orang yang membantu Nabi menyampaikan risalah Allah. Mereka hidup dan bergaul bersama Nabi. Lantaran kedekatannya dengan Nabi dalam pergaulan sehingga mampu memahami al-Qur’an dan hukum-hukumnya. Mereka lebih mengetahui sebab-sebab turunnya ayat-ayat al-Qur’an dan asbabu al- wurud hadits Nabi serta bagaimana kaitannya hadits dengan al- Qur’an yang diturunkan itu. 22 Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, h. 94. 23 Muhammad Ali al-Sayis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh: Hasil Refleksi Ijtihad. Penerjemah M. Ali Hasan Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995, h. 100. Perkataan sahabat memperoleh posisi yang kuat dalam pandangan Abu Hanifah. 24 Beliau menerima pendapat sahabat dan mengharuskan umat Islam untuk mengikutinya. 25 Jika pada suatu masalah ada beberapa pendapat sahabat, maka beliau mengambil salah satunya sebagai hujjah. Beliau membolehkan mengikuti pendapat salah seorang sahabat yang dikehendaki akan tetapi tidak boleh menentang keseluruhan pendapat sahabat. Oleh karena itu, penggunaan qiyas masih tidak diperkenankan selama masih ada pendapat sahabat walaupun hanya mengikuti pendapat salah seorang sahabat yang dikehendaki. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Abu Hanifah bahwa apabila ia tidak mendapatkan ketentuan dari al- Qur’an dan al-Sunnah maka beliau akan mengambil pendapat sahabat yang dikehendaki dan meninggalkan pendapat sahabat yang tidak dikehendaki. Beliau tidak mau keluar dari pendapat sahabat-sahabat tersebut untuk kemudian memilih pendapat selain sahabat. d. Al-Qiyas Abu Hanifah berpegang kepada Qiyas jika dalam al-Qur’an dan al-Sunnah atau perkataan sahabat tidak beliau temukan ketetapan hukum. 26 Beliau menghubungkan sesuatu yang belum ada hukumnya 24 M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996, h. 189. 25 Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997, h. 160. 26 Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, Juz II, h. 162. dengan nash setelah menyamakan illat yang sama diantara keduanya. Kemampuan Abu Hanifah dalam menerapkan Qiyas menurut Shubhy Mahmasany sebagaimana dikutip oleh Huzaemah Tahido Yanggo disebabkan profesi beliau sebagai saudagar dan pengetahuannya yang mendalam di bidang ilmu hukum sehingga menjadikannya ahli dalam menguasai pendapat dan logika dalam penerapan hukum syari’at. 27 e. Al-Istihsan Istihsan secara etimologi berarti mengangap baik terhadap sesuatu. Menurut istilah ulama ushul, istihsan adalah kepindahan seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jali nyata kepada qiyas khafi samar, atau dari dalil kulli kepada hukum takhsish lantaran terdapat dalil yang menyebabkan mujtahid mengalihkan hasil fikirannya dan mementingkan perpindahan hukum. 28 Dari pengertian istihsan tersebut dapat dipahami bahwa apabila seorang mujtahid menghadapi suatu peristiwa yang sudah tidak ada nash yang menetapkan hukumnya, sedangkan untuk menetapkannya terdapat jalan yang berbeda-beda, jalan yang satu adalah jelas dan jalan yang lainnya adalah samar-samar, sedangkan pada diri mujtahid tersebut terdapat suatu dalil yang dapat digunakan untuk menarjihkan jalan yang samar-samar, maka ia menempuh jalan yang nyata 27 Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 101. 28 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh, h. 88. tersebut untuk menempuh jalan yang samar-samar itu. Demikian juga jika ia menemukan dalil kulli yang menetapkan suatu hukum, kemudian ia menemukan dalil yang lain yang mengecualikan suatu hukum dari dalil kulli tersebut, maka ia menetapkan hukum lain yang berbeda dengan hukum yang ditetapkan oleh dalil kulli tersebut. Abu Hanifah banyak menetapkan hukum dengan istihsan. Tetapi ia tidak pernah menjelaskan pengertian dan rumusan dari istihsan yang dilakukannya itu. Istihsan menurut bahasa, sebagaimana telah dijelaskan, berarti menganggap atau memandang baik terhadap sesuatu. 29 Karena Abu Hanifah tidak menjelaskan pengertian dan rumusan dari istihsan itu, maka orang mengatakan bahwa Abu Hanifah dalam menetapkan hukum menurut keinginannya saja tanpa menggunakan metode. Hal ini dikarenakan Abu Hanifah tidak menjelaskan pengertian dan rumusan dari istihsan itu. Abu Hanifah dalam menetapkan hukum hanya berpatokan pada apa yang sudah dipandang baik maka sudah bisa menjadi dasar penetapan hukum. Setelah timbul kritikan-kritikan terhadap istihsan yang tidak diketahui definisi hakikinya, maka para sahabat dan murid Abu Hanifah berusaha menjelaskan pengertian dan rumusan istihsan. 29 Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994, h. 43. Mereka berusaha untuk menjelaskan bahwa sesungguhnya istihsan itu tidak keluar dari dalil-dalil syara. Sebagian Ulama Hanafiah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan istihsan adalah qiyas yang wajib beramal dengannya, karena illatnya didasarkan pada pengaruh hukumnya. Illat yang mempunyai pengaruh hukum yang kuat dinamakan istihsan dan illat yang mempunyai pengaruh hukum yang lemah dinamakan qiyas. Istihsan ini seolah-olah satu macam cara beramal dengan salah satu yang paling kuat. Ini disimpulkan dari penelitian induksi terhadap masalah-masalah yang ada dalam istihsan menurut ketentuan-ketentuan mereka. 30 f. Urf Urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena telah menjadi kebiasaan atau tradisi baik bersifat perkataan, perbuatan atau dalam kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu, sekaligus disebut adat. 31 Abu Hanifah berpegang kepada urf dalam menetapkan hukum. 32 Pendirian Abu Hanifah ialah mengambil hal yang sudah diyakini dan dipercayai dan lari dari keburukan serta memperhatikan muamalah-muamalah manusia dan apa yang mendatangkan maslahat bagi manusia. Beliau melakukan segala urusan yakni apabila tidak 30 Ibid., h. 44. 31 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh, h. 99. 32 Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, h., 177. ditemukan dalam al-Qur’an, sunnah, ijma’ atau qiyas, dan apabila tidak baik dilakukan denngan cara qiyas maka beliau kembali ke istihsan selama dapat dilakukannya. Apabila tidak dapat dilakukan melalui istihsan maka beliau kembali pada urf. Hal ini menunjukan bahwa beliau memperhatiakn urf manusia apabila tidak ditemukan nash dalam al-Qur’an, sunnah, ijma, qiyas maupun istihsan. Tegasnya, Abu Hanifah pun hanya menggunakan urf shahih dengan meninggalkan urf fasid. 2. Mazhab Malikiyyah Pendiri mazhab ini adalah Imam Malik 93-179 H. Imam Malik adalah seorang tokoh yang dikenal para ulama sebagai alim besar dalam ilmu hadits. 33 Al-Muwaththa’ adalah kitab hadits yang merupakan karya Imam Malik. Kitab ini banyak mengandung hadits- hadits yang berasal dari Rasullullah SAW. atau dari Sahabat dan Tabi’in. Oleh karena itu, Imam Malik juga lebih dikenal termasuk beraliran Ahl al-Hadits. Adapun metode istidlal Imam Malik dalam menetapkan hukum Islam berpegang kepada: a. Al-Qur’an 33 Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 105. Imam Malik bersandarkan kepada nash al-Qur’an sebagai pegangan pokok dalam pengambilan hukum Islam. Pengambilan hukum itu berdasarkan zahir nash al-Qur’an atau keumumannya. 34 b. Al-Sunnah Dalam berpegang kepada sunnah sebagai dasar hukum yang kedua setelah al-Qur’an, imam Malik tetap mengikuti cara yang dilakukannya dalam berpegang kepada al-Qur’an. Apabila dalil syar’i menghendaki adanya penta’wilan, maka hal yang dijadikan pegangan adalah arti ta’wil tersebut. 35 Apabila sunnah berlawanan dengan zahir al-Qur’an, baik zahir itu bersifat ’am, ataupun khas, maka Imam Malik lebih mendahulukan zahir al-Qur’an terkecuali sunnah tersebut dikuatkan oleh Amal Ahl al-Madinah, ijma’ atau oleh qiyas. Jika sunnah tersebut dikuatkan oleh Amal Ahl Madinah, ijma’ atau oleh qiyas, maka Imam Malik lebih mengutamakan makna yang terkandung dalam sunnah daripada zahir al-Qur’an. Imam Malik tidak mensyaratkan kepopuleran hadits seperti yang disyaratkan Imam Hanafi dalam penerimaan hadits. Imam Malik tidak menolak khabar wahid hanya karena bertentangan dengan qiyas atau karena perawinya bertindak tidak sesuai dengan hadits periwayatannya. Imam Malik tidak mendahulukan qiyas dari 34 Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, h. 99. 35 Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 106. khabar wahid. Selain itu, Imam Malik juga menggunakan hadits mursal dalam mengistinbathkan hukum. Beliau mensyaratkan dalam penerimaan khabar ahad yakni khabar ahad tersebut tidak bertentangan dengan amal ahl Madinah dan tolak ukur dalam hadits adalah hadits yang diriwayatkan oleh ulama Hijaz. 36 c. Amal Ahl al-Madinah Amal Ahl al-Madinah ada dua macam yakni Amal Ahl al- Madinah yang asalnya dari al-Naql, hasil dari mencontoh Rasulullah SAW, bukan dari hasil ijtihad Ahl al-Madinah seperti tentang penentuan suatu tempat, seperti tempat mimbar Nabi SAW atau tempat dilakukannya amalan-amalan rutin seperti adzan di tempat yang tinggi dan lain-lain. Ijma’ semacam ini dijadikan hujjah oleh Imam Malik. 37 Akan tetapi terkadang beliau menolak hadist apabila ternyata berlawanan atau tidak diamalkan oleh para ulama madinah. d. Khabar Ahad dan al-Qiyas Dalam penggunaan khabar ahad, Imam Malik tidak selalu konsisten. 38 Kadang-kadang ia mendahulukan qiyas, daripada khabar ahad. Kadang-kadang ia mendahulukan khabar ahad daripada qiyas. 39 Jika khabar ahad tidak dikenal di kalangan masyarakat Madinah, 36 Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, h. 101. 37 Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab h. 106. 38 Ibid., h. 108. 39 Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, h. 215. maka khabar ahad itu tidak dianggap sebagai petunjuk dan tidak dianggap benar sebagai sesuatu yang berasal yang Rasulullah SAW. Dengan demikian, khabar ahad tidak digunakan sebagai dasar hukum, akan tetapi ia menggunakan qiyas dan maslahah. Hal ini menunjukan bahwa Imam Malik tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu yang datang dari Rasulullah jika khabar ahad itu bertentangan dengan sesuatu yang sudah dikenal oleh masyarakat Madinah. Kecuali khabar ahad itu dikuatkan dengan dalil-dalil qat’i. e. Al-Maslahah al-Mursalah Al-maslahah al-mursalah adalah maslahah yang tidak ada ketentuannya secara tersurat atau sama sekali tidak disingung dalam nash dengan tujuan untuk memelihara tujuan-tujuan syara’ dengan jalan menolak segala sesuatu yang merusak makhluk. Jadi, maslahah mursalah itu kembali kepada memelihara syariat yang diturunkan. Tujuan syariat dapat diketahui melalui al-Qur’an, sunnah, dan ijma’ ulama. Imam Malik terlalu bebas dalam penggunaan prinsip istishlah, sehingga prinsip metodologi ini dinisbatkan pada dirinya. Memang, kadangkala para imam mujtahid menggunakan prinsip ini, tetapi dalam bentuk lain, misalnya istihsan. 40 40 Muhammad Ali al-Sayis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh: Hasil Refleksi Ijtihad. Penerjemah M. Ali Hasan, h. 102-103. Adapun syarat-syarat penggunaan maslahah mursalah sebagai dasar hukum yakni sebagai berikut: 41 1. Maslahah harus benar-benar merupakan maslahah menurut penelitian seksama, bukan sekedar diperkirakan secara sepintas saja. 2. Maslahah harus bersifat umum bukan maslahah yang hanya berlaku untuk orang-orang tertentu. 3. Maslahah tersebut merupakan maslahah yang bersifat umum yang tidak bertentangan dengan nash atau ijma’. f. Fatwa Sahabat Imam Malik berpegang kepada fatwa sahabat besar karena mereka dianggap memiliki pengetahuan terhadap suatu masalah yang didasarkan pada al-naql. Menurut Imam Malik, 42 para sahabat besar tersebut tidak akan memberi fatwa kecuali atas dasar apa yang difahami dari Rasulullah SAW. Pada perkembangannya di kalangan muta’akhirin mazhab Maliki, mereka menjadikan fatwa sahabat yang semata-mata hasil ijtihad mereka sebagai hujjah. g. Al-Istihsan Madzhab Maliki sebagaimana dikatakan al-Syatibi berpendapat bahwa istihsan adalah menurut hukum dengan 41 Ibid., h. 110. 42 Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, h., 206. mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kully menyeluruh dengan maksud mengutamakan istidlal al-mursalah daripada qiyas, sebab menggunakan istihsan itu tidak berarti hanya mendasarkan pada pertimbangan perasaan semata, melainkan mendasarkan pertimbangannya pada maksud pembuat syara secara keseluruhan. 43 Tegasnya istihsan selalu melihat dampak suatu ketentuan hukum. Jangan sampai ketentuan hukum membawa dampak merugikan. Dampak suatu ketentuan hukum harus mendatangkan maslahat atau menghindarkan madharat. Dalil umum melarang melihat aurat seseorang. Akan tetapi jika dalil umum itu tetap digunakan sampai melarang melihat seseorang dokter dalam pengobatan, maka hal itu akan mengakibatkan hilangnya maslahat yang ingin diwujudkan oleh dalil tersebut, karena dalil yang umum bertujuan untuk memelihara kemaslahatan. Larangan melihat dalam pengobatan menghilangkan kemaslahatan yang pokok, karena dengan tidak mengadakan pengobatan akan mengakibatkan kematian. Dasar memelihara jiwa adalah pokok, sedangkan memelihara pandangan adalah pelengkap bagi yang pokok, maka pelengkap itu tidak perlu dipertahankan. Pendapat Imam Malik dengan penggunaan prinsip istihsan terdapat pada banyak kasus persoalan seperti persoalan saksi yang 43 Al-Syatibi, al-Muwafaqat Fi Ushul al-Ahkam Beirut: Dar al-Fikr, t.th, Juz. IV, h. 206. melihat langsung dan bersumpah, pemaksaan majikan dan para pemimpin untuk penyamarataan pemberian upah kerja bagi para pekerja. Hanya saja, Imam Malik tidak seberani mazhab Hanafiyah dalam menggunakan prinsip ini. 44 h. Sadd al-Zarai’i Imam Malik menggunakan sadd al-zarai’i sebagai landasan dalam menetapkan hukum. 45 Menurutnya, semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang haram atau terlarang, maka hukumnya juga haram. Dan semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang halal, maka halalnya juga hukumnya. i. Istishab Imam Malik menjadikan istishab sebagai landasan dalam menetapkan hukum. 46 Istishab adalah menetapkan sesuatu berdasar keadaan yang berlaku sebelumnya hingga ada dalil yang menunjukkan adanya perubahan keadaan itu. 47 Tegasnya adalah tetapnya suatu hukum untuk sekarang dan yang akan datang berdasarkan ketetapan hukum yang sudah ada pada masa lampau. Yakni jika sesuatu yang telah diyakini adanya, kemudian datang keraguan padanya, maka yang menjadi landasan adalah hukum 44 Muhammad Ali al-Sayis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh: Hasil Refleksi Ijtihad. Penerjemah M. Ali Hasan, h. 103. 45 Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, h. 219. 46 Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 111. 47 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh, h. 102. pertama yang telah diyakini. Misalnya, ketika seseorang yang salat maghrib yakin bahwa dia sudah melaksanakan salat 2 rakaat, kemudian datang keraguan 2 rakaat atau 3 rakaat, maka yang menjadi hukum bagi orang tersebut adalah 2 rakaat. j. Syar’u Man Qablana Syar’un Lana Menurut Qadhy Abd. Wahab al-Maliky sebagaimana dikutip oleh Huzaemah Tahido Yanggo, Imam Malik menggunakan kaidah syar’u man qablana syar’un lana sebagai dasar hukum. Tetapi menurut Sayyid Muhammad Musa seperti yang dikutip oleh Huzaemah, kita tidak menemukan secara jelas pernyataan Imam Malik yang mengatakan demikian. 48 Menurut Abdul Wahab Khalaf, bahwa apabila al-Qur’an dan al-Sunnah mengisahkan syariat atau hukum-hukum syara’ bagi umat sebelum kita melalui utusan-Nya, dan juga dalam nash ditetapkan sebagai syariat seperti untuk diwajibkan kepada orang-orang sebelum kita, maka hal itu tidak terdapat perbedaan bahwa syariat itu merupakan syariat dan undang-undang yang wajib ditaati dengan menetapkannya sebagai syariat. 49 Contohnya antara lain sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Baqarah 1: 183 48 Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 112. 49 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh, h. 105.               ﺓﺮﻘﺒﻟﺍ 1 : 183 Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. QS. al-Baqarah 1: 183 Namun, jika al-Qur’an dan al-Sunnah menyatakan bahwa hukum- hukum tersebut telah dihapus, maka hukum-hukum tersebut sudah tidak berlaku lagi buat kita. Contoh dari hal tersebut adalah bahwa umat nabi Musa apabila berbuat maksiat maka harus bunuh diri karena sudah tidak dapat bertobat lagi. Hukum tersebut pernah diberlakukan bagi umat nabi Musa, tetapi tidak bagi kita. 3. Mazhab Syafi’iyyah Mengenai dasar-dasar yang hukum yang dipakai oleh Imam Syafi’i 150 H- 204 H dalam menetapkan hukum adalah sebagai berikut: ﻥﺍﺮﻗ ﻞﺻﻷﺍ ﺎﻤﻬﻴﻠﻋ ﺱﺎﻴﻘﻓ ﻦﻜﻳ ﱂ ﻥﺈﻓ ﺔﻨﺳﻭ . ﺚﻳﺪﳊﺍ ﻞﺼﺗﺍ ﺍﺫﺇﻭ ﻰﻬﺘﻨﳌﺍ ﻮﻬﻓ ﺩﺎﻨﺳﻹﺍ ﺢﺻﻭ ﷲﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﻦﻣ . ﻹﺍﻭ ﱪﳋﺍ ﻦﻣ ﱪﻛﺃ ﻉﺎﲨ ﻪﺒﺷﺃ ﺎﻤﻓ ﱐﺎﻌﳌﺍ ﻞﻤﺘﺣﺍ ﺍﺫﺇﻭ ﻩﺮﻫﺎﻇ ﻰﻠﻋ ﺚﻳﺪﳊﺍﻭ ﺩﺮﻔﳌﺍ ﻩﺮﻫﺎﻇ ﺎﻬﻨﻣ ﺲﻴﻟﻭ ،ﺎﻫﻻﻭﺃ ﺍﺩﺎﻨﺳﺇ ﺎﻬﺤﺻﺄﻓ ﺚﻳﺩﺎﺣﻻﺍ ﺕﺄﻓﺎﻜﺗ ﺍﺫﺇﻭ ﻪﺑ ﺎﻫﻻﻭﺃ ﻞﺻﺃ ﻰﻠﻋ ﻞﺻﺃ ﺱﺎﻴﻗ ﻻﻭ ﺐﻴﺴﳌﺍ ﻦﺑﺍ ﻊﻄﻘﻨﻣ ﺍﺪﻋ ﺎﻣ ﺀﻲﺸﺑ ﻊﻄﻘﻨﳌﺍ ؟ﻒﻴﻛ ،ﱂ ﻞﺻﻷ ﻝﺎﻘﻳ ﻻﻭ ﺎﻴﻗ ﺢﺻ ﺍﺫﺈﻓ ؟ﱂ ﻉﺮﻔﻠﻟ ﻝﺎﻘﻳ ﺎﳕﺇﻭ ﻪﺳ ﺔﺠﺣ ﻪﺑ ﺖﻣﺎﻗﻭ ﺢﺻ ﻞﺻﻷﺍ ﻰﻠﻋ . 50 Artinya: ”Dasar utama dalam menetapkan hukum adalah al-Qur’an dan Sunnah. Jika tidak ada, maka dengan mengqiyaskan kepada al- Qur’an dan Sunnah. Apabila sanad hadits bersambung sampai kepada Rasulullah SAW. dan shahih sanadnya, maka itulah yang dikehendaki. Ijma’ sebagai dalil adalah lebih kuat khabar ahad dan hadits menurut zahirnya. Apabila suatu hadits mengandung arti lebih dari satu pengertian, maka arti yang zahirlah yang utama. Kalau hadits itu sama tingkatannya, maka yang lebih shahihlah yang lebih utama. Hadits Munqathi’ tidak dapat dijadikan dalil kecuali jika diriwayatkan oleh Ibnu al-Musayyab. Suatu pokok tidak dapat diqiyaskan kepada pokok yang lain dan terhadap pokok tidak dapat dikatakan mengapa dan bagaimana, tetapi kepada cabang dapat dikatakan mengapa. Apabila sah mengqiyaskan cabang kepada pokok, maka qiyas itu sah dan dapat dijadikan hujjah”. Dari perkataan Imam Syafi’i tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa pokok-pokok pemikiran beliau dalam mengistinbathkan hukum adalah: a. Al-Qur’an dan al-Sunnah Imam Syafi’i berpendapat bahwa al-Qur’an dan al-Sunnah mempunyai kedudukan yang sama yakni dalam satu martabat. Hal ini dikarenakan bahwa kedua-duanya berasal dari Allah dan keduanya merupakan dua sumber yang membentuk syariat Islam. 51 Al-Sunnah menurut beliau adalah menjelaskan al-Qur’an oleh 50 Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, h. 105. 51 Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, h. 239. karenanya al-Sunnah sejajar dengan al-Qur’an. Akan tetapi beliau tidak menyamakan hadits ahad dengan al-Qur’an dan hadits mutawatir karena tidak sama nilainya. Al-Qur’an dan al-Sunnah mempunyai derajat yang sama. Untuk menghindari kekeliruan terhadap pandangan yang mempersamakan al-Qur’an dan al-Sunnah, maka perlu digaris bawahi: 52 1. Al-Sunnah yang seperingkat dengan al-Qur’an adalah al-Sunnah al- Mutawatirah Sabitah, sama-sama qat’i al-wurud. Sedangkan hadits ahad tidak seperingkat dengan al-Qur’an karena zanni al- wurud. Akan tetapi, hadits ahad dibolehkan mentakhsiskan ayat- ayat al-Qur’an yang zanni al-dalalah. 2. Al-Qur’an dan al-Sunnah seperingkat dalam mengistinbathkan hukum furu’ bukan dalam menetapkan akidah. 3. Kesamaan peringkat tersebut tidak boleh diartikan sebagai menurunkan al-Qur’an dari posisinya sebagai pokok dan sendi agama Islam. Demikian juga tidak boleh diartikan sebagai menaikkan posisi al-Sunnah dari posisinya sebagai cabang dan penjelas al-Qur’an. Persamaannya hanya dalam hal sama-sama menjadi landasan istinbath hukum furu’. 52 Sulaiman Abdullah, Dinamika Qiyas dalam Pembaharuan Hukum Islam: Kajian Konsep Qiyas Imam Syafi’i Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996, h. 57. Imam Syafi’i mengambil al-Qur’an dengan makna arti yang lahir kecuali jika didapati alasan yang menunjukkan bukan arti yang lahir itu yang harus dipakai atau dituruti. Dalam hal sunnah, beliau tidak hanya mewajibkan mengambil hadits yang mutawatir saja, tetapi beliau juga mengambil dan menggunakan hadits ahad sebagai dalil selama selama perawi hadis tersebut terpercaya, kuat ingatan dan bersambung sanadnya langsung sampai kepada Nabi SAW. 53 b. Ijma’ Imam Syafi’i menyatakan bahwa ijma’ menjadi hujjah setelah al- Qur’an dan al-Sunnah sebelum qiyas dalam menetapkan hukum. 54 Pengertian ijma’ dalam pandangannya ialah bahwa para ulama suatu masa bersatu pendapat tentang sesuatu persoalan, sehingga ijma’ mereka menjadi hujjah terhadap persoalan yang mereka ijma’kan, seperti yang dikemukakannya bahwa ”Saya dan tidak seorang pun dari kalangan ulama pernah mengatakan: ”Ini adalah persoalan yang telah disepakati”, kecuali menyangkut persoalan yang tidak seorang ahli pun pernah mempersoalkannya lagi kepada anda dan meriwayatkannya dari orang-orang yang mendahuluinya, seperti salat Zuhur empat rakaat, bahwa khamar itu diharamkan dan sebagainya”. 55 53 M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, h. 211. 54 Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, h. 253. 55 Muhammad Idris al-Syafi’i, al-Risalah Kairo: Dar al-Turas, 1979, Juz III, h. 534. Statemennya tersebut mengandung pengertian bahwa mereka yang berijma’ adalah para ulama karena merekalah yang bisa menemukan apa yang halal dan apa yang haram atas sesuatu yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan sunnah. Mereka terdiri dari ulama semasa dari seluruh negeri Islam. Ijma’ yang bisa dijadikan hujjah adalah ijma’ yang berasal dari ulama seluruh penjuru Islam bukan ijma’ ulama ahl Madinah. Artinya, ijma’ ahl Madinah tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum. Dengan demikian, Imam Syafi’i menolak ijma’ ulama yang diakui gurunya, Imam Malik. Hal ini sesuai dengan pernyataan beliau bahwa Ijma’ adalah ijma’ ulama pada suatu masa di seluruh dunia Islam, bukan ijma’ suatu negeri saja dan juga bukan ijma’ kaum tertentu saja. Namun Imam Syafi’i mengakui bahwa ijma’ sahabat merupakan ijma’ yang paling kuat. 56 Hal ini karena ijma’ mereka menunjukkan bahwa masalah yang diijma’kan itu didengarnya dari Nabi SAW. c. Qiyas Imam Syafi’i menjadikan qiyas sebagai hujjah dan dalil dalam menetapkan hukum setelah al-Qur’an, al-Sunnah dan ijma’. Beliau adalah mujtahid yang mula-mula menguraikan dasar-dasar qiyas. Beliau adalah mujtahid pertama yang membicarakan qiyas dengan patokan kaidahnya dan menjelaskan alasan-alasannya. Maka pantaslah beliau 56 Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, h. 259. diakui sebagai peletak pertama metodologi qiyas sebagai satu disiplin ilmu dalam menetapkan hukum Islam sehingga dapat dipelajari dan diajarkan. 57 Sedangkan mujtahid sebelumnya sekalipun telah menggunakan qiyas dalam berijtihad, namun mereka belum membuat rumusan patokan kaidah dan asas-asasnya, bahkan dalam praktek ijtihad secara umum belum mempunyai patokan yang jelas sehingga sulit diketahui mana hasil ijtihad yang benar dan mana yang keliru. Disini Imam Syafi’i tampil ke depan memilih metode qiyas serta memberikan kerangka teoritis dan metodologisnya dalam bentuk kaidah rasional namun tetap praktis. Bahkan Imam Syafi’i mengatakan bahwa ijtihad itu adalah qiyas. 58 Beliau menggunakan qiyas berdasarkan pada firman Allah dalam QS. al-Nisa 4: 59                                ﺀﺎﺴﻨﻟﺍ 4 : 59 57 Sulaiman Abdullah, Dinamika Qiyas dalam Pembaharuan Hukum Islam: Kajian Konsep Qiyas Imam Syafi’i, h. 96. Contoh qiyas seperti firman Allah dalam QS. al-Zilzal: 7-8 bahwa ”Barangsiapa yang melakukan kebaikan sebesar zarrah, Ia pasti melihatnya. Barangsiapa yang melakukan kejahatan sebesar zarrah, Ia pun pasti akan melihatnya”. Maka jika diqiyaskan bahwa kebaikan yang lebih berat dari satu zarrah, berarti lebih terpuji dan keburukan yang lebih berat dari satu zarrah lebih tercela. 58 Muhammad Idris al-Syafi’i, al-Risalah, Juz III h. 477. Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul Nya, dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah Al Quran dan Rasul sunnahnya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya”. QS. al-Nisa 4: 59 Imam Syafi’i berpendapat bahwa maksud ”kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya” maksudnya adalah kembalikanlah kepada salah satu dari keduanya yakni al-Qur’an atau al-Sunnah. 59 Selain berdasarkan kepada al-Qur’an, imam Syafi’i juga berdasarkan kepada al-Sunnah dalam menetapkan qiyas sebagai hujjah, yaitu berdasarkan hadis tentang dialog Nabi dengan sahabat yang bernama Mua’adz ibn Jabal, ketika ia akan diutus ke Yaman sebagai gubernur di sana. Mua’dz ibn Jabal memutuskan masalah berdasarkan al-Qur’an, jika beliau tidak menemukan dalam al-Qur’an maka diputuskan berdasarkan al-Sunnah. Jika tidak ditemukan dalam al-Sunnah, maka beliau berijtihad berdasarkan pendapatnya. 4. Mazhab Hanabilah Imam Ahmad bin Hanbal 164-241 H merupakan ahli hadits sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama. 60 Akan tetapi terjadi perselisihan di antara ulama tentang kemampuan beliau sebagai ahli fiqh. Ibn Jarir al-Thabary berpendapat bahwa Imam Ahmad ibn Hanbal termasuk Ahlu 59 Ibid., Juz I, h. 81. 60 Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, h. 323. al-Hadits. 61 Oleh karena itu, beliau tidak memperhitungkan pendapat- pendapat Imam Ahmad dalam menghadapi khilaf dalam persoalan fiqh. Ibnu Qutaibah memasukkan Ahmad ibn Hanbal dalam bilanggan muhadditsin, bukan fuqaha. 62 Sedangkan Ibn Abdul al-Barr sebagaimana dikutip oleh Huzaemah Tahido Yanggo hanya memasukkan Abu Hanifah, Malik dan al- Syafi’i sebagai ahli fiqh. 63 Adapun metode istidlal Imam Ahmad ibn Hanbal dalam menetapkan hukum adalah: 64 a. Nash dari al-Qur’an dan Sunnah yang shahih Apabila beliau telah menghadapi suatu nash dari al-Qur’an dan dari Sunnah Rasul yang shahih, maka beliau dalam menetapkan hukum adalah dengan mengambil dari kedua sumber hukum tersebut. b. Fatwa para Sahabat Nabi SAW. Imam Ahmad ibn Hanbal akan menetapkan hukum dengan mengambil dasar dari fatwa para Sahabat Nabi SAW. yang tidak ada perselisihan di antara mereka jika beliau tidak menemukan suatu nash yang jelas dari al-Qur’an dan Rasul yang shahih. c. Fatwa Sahabat yang diperselisihkan 61 Ibid., h. 323. 62 Ibid., h. 323. 63 Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 140. 64 Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin. Ed. Thaha Abd al- Rauf Kairo: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah, 1973, Juz I, h. 29-33. Imam Ahmad ibn Hanbal akan menetapkan hukum dari fatwa Sahabat yang diperselisihkan dengan memilih fatwa Sahabat yang lebih mendekati al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini beliau lakukan jika beliau tidak menemukan nash yang jelas dari al-Qur’an, Sunnah dan fatwa sahabat yang tidak ada perselisihan di antara mereka. d. Hadits Mursal dan Hadits Dha’if Imam Ahmad ibn Hanbal membagi hadits menjadi dua yakni hadits mursal dan hadits dha’if tidak seperti para ulama yang membagi hadits menjadi shahih, hasan dan dha’if. Apabila dalam suatu perkara tidak terdapat penyelesaian, maka hadits mursal dan dha’if digunakan sebagai hujjah. Akan tetapi hadits dha’if yang digunakan bukan berarti hadits dha’if yang batil, mungkar dan hadits yang dalam periwayatannya terdapat perawi yang diragukan kejujurannya. Apabila hadits dha’if tersebut tidak terdapat atsar yang membantah keabsahannya, atau pendapat sahabat, tidak pula ijma’, maka lebih mengamalkan hadits dha’if lebih utama daripada melakukan qiyas. 65 Dalam keadaan darurat Imam Ahmad menerima hadits dha’if dan mendahulukannya dari qiyas. Beliau menetapkan hukum dengan mengambil dasar dari hadits mursal dan dha’if jika beliau tidak 65 Muhammad Ali al-Sayis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh: Hasil Refleksi Ijtihad. Penerjemah M. Ali Hasan, h. 107-108. menemukan nash yang jelas dari al-Qur’an, Sunnah dan fatwa Sahabat yang disepakati atau diperselisihkan. e. Qiyas Imam Ahmad ibn Hanbal walaupun tergolong ulama yang mengunakan Qiyas dalam menetapkan hukum, akan tetapi beliau tidak banyak menggunakannya. Beliau hanya menggunakannya dalam keadaan darurat. 5. Mazhab Syiah Imamiyah Mazhab syiah asalnya bukan sebagai mazhab dalam bidang hukum fiqih, tetapi sebagai kelompok politik yang berpendapat bahwa yang berhak menjadi khalifah setelah nabi wafat adalah Ali bin Ibn Abi Thalib, bukan Abu Bakar, Umar, dan Utsman. 66 Pada perkembangannya mazhab syiah bukan saja menjadi mazhab politik, tetapi juga menjadi mazhab fiqh. Syiah Isna Asyariyah, biasa juga dikenal dengan nama Imamiyah atau Ja’fariyah, adalah kelompok Syiah yang mempercayai adanya dua belas imam yang kesemuanya dari keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah al-Zahra, putri Rasulullah SAW. 66 Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 145 Syiah Imamiyah menetapkan hukum berdasarkan pada al- Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan al-Ra’yu. 67 Imamiyah berpendapat bahwa pendapat para imam sama nilainya dengan hadits Rasul. Pendapat para imam tidak dipandang istinbath, tetapi dianggap sunnah yang harus diikuti. Pendapat para imam dianggap satu kesatuan. Lantaran itu syiah Imamiyah tidak mengatakan bahwa Ja’far al-Shadiq mempunyai fiqh yang berdiri sendiri, terpisah dari fiqh imam-imam syiah yang lain. 68 Pada mulanya ulama syiah imamiyah melakukan ijtihad mengikuti metode imam Syafi’i dalam menetapkan hukum, tetapi lama- kelamaan, mereka menetapkan ushul fiqh sendiri dan beristinbath dengan caranya sendiri pula. Mereka berijtihad menggunakan maslahat, bukan dengan cara qiyas. 69 Secara terperinci Syiah Imamiyah dalam mengistinbathkan hukum berdasarkan pada: a. Al-Qur’an Al-Qur’an merupakan hujjatul Islam pokok yang disepakati oleh seluruh umat Islam. Al-Qur’an merupakan sumber dari segala sumber. Al-Qur’an dijamin terpelihara oleh Allah sebagaimana firman- Nya di dalam QS. al-Hijr 15: 9 67 Ibid., 148. 68 Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, h. 409. 69 Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 148.        ﺮﺠﳊﺍ 15 : 9 Artinya: ”Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. QS. al-Hijr 15: 9 Imam Ja’far al-Shadiq berpendapat bahwa al-Qur’an adalah kitab yang mencakup segala hukum, sedangkan al-Sunnah tidak mendatangkan sesuatu yang baru. Al-Sunnah tidak diterima dan diamalkan sebelum dirujuk kepada al-Qur’an. 70 b. Al-Sunnah Syiah Imamiyah berpendapat bahwa sunnah terbagi dua macam yakni sunnah mutawatirah dan sunnah yang tidak mutawatirah. 71 Sunnah mutawatirah ada yang mutawatir dari Nabi dan ada yang mutawatir dari imam yang ma’shum. Sunnah bagi mereka termasuk fatwa imam. Mereka berpendapat bahwa mengingkari sunnah mutawatirah akan menjadi kafir dan menolak fatwa imam akan menjadi fasik. c. Ijma’ Jumhur Syiah Imamiyah berpendapat bahwa ijma’ adalah kesepakatan suatu golongan yang kesepakatan mereka menyingkapkan 70 Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, h. 32 . 71 Ibid., h. 45. pendapat imam yang ma’shum. 72 Dalam hal ini dapat dipahami bahwa ijma’ di kalangan Syiah Imamiyah hanya dapat terjadi ketika tidak ada imam dari golongan mereka. Ijma’ dalam pandangan Syiah Imamiyah hanyalah menyingkap pendapat imam. Imamlah yang menjadi pokok dasar. Apabila murid-murid imam sepakat menetapkan suatu hukum, maka hal itu dianggap pendapat imam-imam mereka. d. Al-Ra’yu Syiah Imamiyah mempergunakan ra’yu akal untuk mengetahui hal baik yang merupakan sesuatu yang dituntut syara’ dan hal buruk yang merupakan sesuatu yang dilarang oleh syara’. Golongan imamiyah berpendapat bahwa segala yang diperintah akal harus dikerjakan. Segala yang dilarang akal harus ditinggalkan. Akal menurut mereka tidak menyuruh dan melarang akan sesuatu. Akal hanya menyingkap perintah dan larangan Allah. 73 Al-Zaidiyah adalah adalah kelompok syiah pengikut Zaid bin Muhammad bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib ra. Beliau lahir pada 80 H dan terbunuh pada 122 H. Beliau dikenal sebagai seorang yang sangat taat beribadah, berpengetahuan luas sekaligus revolusioner. 74 72 Ibid., 53. 73 Ibid., h. 59. 74 Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan Mungkinkah? Kajian atas Konsep Ajaran dan Pemikiran Ciputat: Lentera Hati, 2007, h. 78. Al-Zaidiyah dalam konteks menetapkan hukum menggunakan al-Qur’an, sunnah dan nalar. 75 Mereka tidak membatasi penerimaan hadits dari keluarga Nabi semata-mata, tetapi mengandalkan juga riwayat-riwayat dari sahabat-sahabat Nabi yang lain. 76 6. Mazhab Zhahiriyah Pendiri mazhab Zhahiriyah adalah Daud ibn Ali al-Ashfaniy yang dilahirkan pada tahun 202 H. di Kufah dan wafat pada tahun 270 H. di Baghdad. Mazhab Zhahiriyah adalah suatu mazhab yang menetapkan hukum Islam berdasarkan kepada zahir nash saja, tidak memberikan ta’wil atau tafsir terhadap nash, baik al-Qur’an maupun sunnah Rasul. Mereka menafsirkan ayat al-Qur’an atau hadits dengan menggunakan ayat al-Qur’an atau hadits yang lain dan tidak menafsirkan dengan selain itu. 77 Kemudian mazhab Zhahiriyah ini dikembangkan oleh Ali ibn Hazmin al-Zhahiriy 384-456 H yang dikenal dengan ibn Hazm. Ibn Hazm sebagaimana diterangkan dalam kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam mengistinbathkan hukum berdasarkan 4 sumber yakni al-Qur’an, sunnah, ijma’ sahabat dan dalil. 78 75 Kamil Musa, al-Madkhal ila al-Tasyri’ al-Islamiy Beirut: Muassasah al-Risalah, 1989, h. 166. 76 Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan Mungkinkah? Kajian atas Konsep Ajaran dan Pemikiran, h. 82. 77 Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 152. 78 Abu Muhammad Ali ibn Hazm al-Andalusi al-Zahiri, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam Beirut: Dar al-Jil, 1987, Juz I h. 69. Secara terperinci dasar Ibnu Hazm dalam menetapkan suatu dasar hukum adalah: a. Al-Qur’an Al-Qur’an adalah sumber dari segala sumber. Tidak ada sesuatu dalil syar’i melainkan diambil dari al-Qur’an. Al-Qur’an adalah asal dari setiap asal. Ibn Hazm hanya mengambil zahir al- Qur’an dalam menetapkan hukum. Apabila zahir al-Qur’an memerintah wajib, maka wajib segera dilaksanakan kecuali terdapat dalil yang menetapkan tidak demikian. Lafaz umum harus dimaknai umum karena berdasarkan zahir keumuman lafaz tersebut kecuali terdapat keterangan bahwa yang dimaksudkan adalah bukan zahir. 79 b. Al-Sunnah Ibn Hazm berpendapat bahwa al-Sunnah merupakan nash yang turut membina syariat walau hujjahnya diambil dari al-Qur’an. Keduanya merupakan wahyu dari Allah. 80 Al-Qur’an dan al-Sunnah merupakan satu dalam bidang istidlal, tidak didahulukan yang satu atas yang lain. Keduanya dipandang senilai dan semartabat dalam bidang istidlal. c. Ijma’ Sahabat Ijma’ yang ditetapkan oleh ibn Hazm adalah ijma’ mutawatir yang bersambung sanadnya kepada Rasul dan harus bersandarkan 79 Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, h. 324. 80 Ibid., 326. kepada nash. Ijma’ yang tidak bersandarkan kepada nash bukan termasuk ijma’. Ijma’ ulama Madinah oleh ibn Hazm tidak dapat dikatakan sebagai ijma’ dan tidak dijadikan hujjah dalam mengistinbathkan hukum. d. Dalil Ibn Hazm menggunakan apa yang ia sebut dengan ”dalil” sebagai pengganti qiyas dalam mengistinbathkan hukum setelah al- Qur’an, sunnah dan ijma’ sahabat. 81 Dalil diambil dari nash atau ijma’. 81 Ibid., h. 349. 55

BAB III PEREMPUAN MENJADI IMAM SALAT DALAM PANDANGAN ULAMA