5 Dalam banyak persoalan yang terkait dengan persoalan relasi laki-laki dan perempuan, baik yang menyangkut bidang ibadah maupun sosial, di mana
berlangsung pertemuan antara perempuan dan laki-laki, baik secara bersama-sama, berhadap-hadapan, maupun aktivitas perempuan yang mengundang perhatian laki-
laki, para ulama fiqh selalu mengaitkannya dengan alasan khauf al-fitnah menjaga jangan sampai terjadi fitnah, yakni suasana yang menganggu atau menggoda hati
dan pikiran laki-laki. Dengan alasan seperti ini pula maka dalam banyak masalah, seperti urusan shaf dalam salat berjamaah, posisi perempuan dan laki-laki haruslah
terpisah dan shaf perempuan di belakang laki-laki. Selain itu, perempuan juga tidak diwajibkan melaksanakan salat jum’at,
9
dilarang menyampaikan khutbah, atau mengumandangkan azan dengan suara yang dapat didengar laki-laki. Bahkan
perempuan yang keluar rumah untuk mengikuti salat berjamaah di mesjid dianggap kurang baik. Bahkan Abu Hanifah dan dua orang murid utamanya berpendapat
bahwa makruh bagi perempuan-perempuan muda menghadiri salat berjamaah bersama laki-laki karena khawatir akan terjadi fitnah. Mazhab Syafi’i dan Hanbali
juga sepakat dengan pendapat ini.
10
2. Pendapat yang menerima kepemimpinan perempuan dalam salat dengan
makmum laki-laki.
Inti dari pandangan ini adalah upaya untuk meletakkan kesetaraan kedudukan laki-laki dan perempuan, sehingga kemudian keduanya memiliki hak
9
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabiy, 1996, Juz I, h. 171.
10
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender Yogyakarta: LKiS, 2009, h. 44-45.
yang berimbang. Mereka berupaya menjelaskan bahwa Islam mengandung keadilan melalui interpretasi-interpretasi baru.
Golongan ini menganggap bahwa tradisi-tradisi Islam yang secara letterlejk redaksinya menolak perempuan menjadi imam salat dengan makmum laki-laki
bersifat kontekstual tidak berlaku umum. Akibatnya, perlu diadakan interpretasi- interpretasi baru menurut konteks zamannya, tanpa harus menjadikannya sebagai
hukum yang baku. Berikut ini akan diungkapkan tanggapan-tanggapan dan dalil-dalil yang
digunakan golongan ini. Sebelumnya perlu diketahui bahwa mereka yang menerima kepemimpinan perempuan dalam salat dengan makmum laki-laki
berarti telah menolak keputusan jumhur ulama dan tradisi yang telah lama berjalan di masyarakat.
a. Al-Qur’an
ﺀﺎﺴﻨﻟﺍ 4
:
34 Artinya:
”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka laki-laki atas sebahagian yang
lain wanita, dan karena mereka laki-laki telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. QS. al-Nisa 4: 34
Pendapat yang mengambil landasan terjemah firman Allah SWT QS. Al- Nisa 4: 34 bahwa ”Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan.”
merujuk kepada asbab al-nuzul ayat tersebut. Ayat tersebut diturunkan dalam
konteks istri Sa’ad bin al-Rabi’ yang membangkang, lalu ditampar oleh Sa’ad. Kemudian istri Sa’ad mengadu kepada Nabi Muhammad SAW. Nabi berkata:
”Balaslah suamimu Ketika si istri beranjak pergi, Rasulullah memanggilnya kembali dan mengatakan, ”Begini, Jibril datang kepadaku, lalu Allah menurunkan
firman-Nya; dengan terjemahan: ”Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan.” QS. Al-Nisa: 34. Kata Rasulullah lebih lanjut, ”Aku menghendaki
suatu hal dan Allah menghendaki hal lain.
11
Quraish Shihab berpendapat bahwa QS. al-Nisa: 34 hanya berkaitan dengan kepemimpinan laki-laki dalam hal ini suami terhadap seluruh
keluarganya dalam bidang kehidupan rumah tangga. Kepemimpinan ini tidak mencabut hak-hak istri dalam berbagai segi kehidupan.
12
Tegasnya bahwa ayat di atas hanya berbicara`dalam ruang lingkup keluarga. Lebih lanjut,
rumah tangga sebagai institusi memerlukan seorang pemimpin dalam rangka menjaga kelestarian institusi tersebut. Hukum dan Undang-Undang
perkawinan di Indonesia menetapkan bahwa pemimpin rumah tangga adalah laki-laki.
13
Secara tekstual, kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga tersebut merujuk pada QS. al-Nisa ayat 34. Ayat ini lebih lanjut menjadi alat
legitimasi bagi pendapat yang menyatakan bahwa kepemimpinan rumah tangga berada di tangan suami.
11
Qomaruddin Saleh , dkk, Asbab al-Nuzul: Latar Belakang Turunnya Ayat-ayat al-Qur’an Bandung: Diponegoro, 1996, h. 33.
12
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat Jakarta: Mizan, 1997, h. 274.
13
UU No. 1 Tahun 1974 bab VI pasal 31 ayat 3.
Menanggapi ayat tersebut, Asghar Ali berpendapat bahwa QS al-Nisa ayat 34 tersebut tidak dapat difahami lepas sosial pada saat ayat tersebut
diturunkan. Menurutnya, pada saat itu, struktur sosial yang ada tidak benar- benar mengakui adanya kesetaraan laki-laki dan perempuan. Oleh karena
kondisi yang semacam itu, orang tidak dapat menilai ayat tersebut semata- mata dalam pandangan teologis, tetapi harus menggunakan perspektif sosio-
teologis.
14
Keunggulan laki-laki yang diungkapkan dengan kata fadala dalam ayat tersebut menurut pandangan Asghar Ali bukanlah keunggulan jenis
kelamin yang bersifat absolut, tetapi keunggulan tersebut lebih bersifat fungsional karena laki-laki bertanggung jawab atas nafkah serta
membelanjakan hartanya untuk perempuan sebagai isterinya. Fungsi sosial laki-laki sebagai pemberi nafkah ini seimbang dengan fungsi sosial yang
diemban oleh perempuan yaitu melakukan tugas-tugas domestik dalam rumah tangga. Namun demikian, al-Quran menyatakan keunggulan laki-laki atas
perempuan adalah karena nafkah yang mereka berikan kepada perempuan.
15
Tidak ada satu teks pun dalam al-Qur’an yang melarang perempuan memimpin laki-laki dalam salat . Al-Qur’an menegaskan bahwa perempuan
mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki bukan hanya dalam urusan ibadah mahdah, tetapi juga bidang-bidang pengabdian
14
Asghar Ali Engineer, Hak-hak Wanita dalam Islam. Penerjemah Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf Yogyakarta: Bentang, 1994, h. 61
15
Siti Habibah Jazila, “ Konsep Kepemimpinan Rumah Tangga: Telaah atas Pemikiran Asghar Ali Engineer”, Justitia Islamica. Vol. 3, no.2 Juni-Desember 2006: h. 34 -35.
ibadah dalam pengertian yang luas, yakni amal-amal saleh yang lain. Al-Qur’an menyebutkan asas egalitarianisme Islam. Kelebihan manusia
atas manusia yang lain hanya berlaku pada kwalitas ibadahnya kepada Allah. Hal ini dapat dilihat dalam QS. al-Hujurat 49: 13
ﺕﺍﺮﺠﳊﺍ 49
:
13 Artinya:
”Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa -
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah
orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. QS. al-Hujurat 49: 13
Ayat di atas menegaskan bahwa Islam datang untuk membebaskan manusia dari diskriminasi dan subordinasi. Sejarah masyarakat Arab
sebelum kedatangan Islam menginformasikan bahwa diskriminasi dan subordinasi terhadap perempuan merupakan ciri khas mereka. Perempuan
pada masa itu bukan hanya terdiskriminasi dan tersubordinasi, tetapi juga dipandang dengan kebencian dan merupakan sumber fitnah. Perempuan
dikonotasikan kepada hal-hal yang bersifat negatif stereotype yang tampaknya mempunyai pengaruh atau imbas yang sangat besar. Dengan
adanya diskriminasi dan subordinasi, maka pemahaman ulama atau mufasir pendahulu kita sesuai dengan zamannya, di mana perempuan
memang belum bisa banyak berkiprah seperti kaum laki-laki, sehingga muncul penafsiran yang sesuai dengan situasi dan kondisi saat itu.
16
Melalui ayat ini Islam ingin menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk beribadah kepada Allah
dalam seluruh aspek kehidupannya. b. Al-Hadits
Abu Tsaur, al-Muzani, dan al-Thabari mendasarkan pendapat mereka tentang kebolehan perempuan menjadi imam dengan makmum laki-laki pada
hadits Ummu Waraqah yang diriwayatkan Abu Daud sebagai berikut:
ﻝﺎﻗ ﺙﺭﺎﳊﺍ ﻦﺑ ﷲﺍ ﺪﺒﻋ ﺖﻨﺑ ﺎﻬﻨﻋ ﷲﺍ ﻲﺿﺭ ﺔﻗﺭﻭ ﻡﺃ ﻦﻋﻭ :
ﻝﻮﺳﺭ ﻥﺎﻛﻭ ﺎﻫﺮﻣﺍﻭ ﺎﳍ ﻥﺫﺆﻳ ﺎﻧﺫﺆﻣ ﺎﳍ ﻞﻌﺟﻭ ﺎﻬﺘﻴﺑ ﰲ ﺎﻫﺭﻭﺰﻳ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﷲﺍ
ﺎﻫﺭﺍﺩ ﻞﻫﺃ ﻡﺆﺗ ﻥﺃ .
ﻦﲪﺮﻟﺍ ﺪﺒﻋ ﻝﺎﻗ :
ﺍﲑﺒﻛ ﺎﺨﻴﺷ ﺎﺫﺆﻣ ﺖﻳﺃﺭ ﺎﻧﺄﻓ ﻪﺟﺮﺧﺍ
دواد ﻮﺑا
17
Artinya: “Dari Ummu Waraqah bintu Abdillah bin Al Haarits, beliau
menyatakan bahwa Rasulullah mengunjunginya di rumah dan mengangkat untuknya seorang muazin yang berazan untuknya dan memerintahkannya
untuk mengimami keluarganya di rumah. Abdurrahman berkata: saya melihat muazinnya seorang lelaki tua”.
Al-Syaukani mengatakan bahwa menurut lahiriyahnya Ummu Waraqah jelas melakukan salat sementara sang muazzin, pembantu laki-laki
dan penghuni rumahnya yang lain menjadi makmumnya.
18
Pendapat yang
16
Zaitunah Subhan, Rekonstruksi Pemahaman Jender dalam Islam: Agenda Sosio-Kultural dan Politik Peran Perempuan Ciputat: el-Kahfi, 2002, h. 60.
17
Abu Daud al-Sijistani, Sunan Abi Daud, Juz I, h. 100
18
Al-Syaukani, Nail al-Authar Kairo: Musthafa al-Babi al-Halabi, t.th., Juz III, h. 187.
sama juga dikemukakan oleh al-Shan’ani, penulis kitab Subul al-Salam yang mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan atas kebolehan perempuan
menjadi imam dengan makmum laki-laki. Secara eksplisit hadits ini memperlihatkan bahwa Ummu Waraqah menjadi imam salat bagi laki-laki
tua, laki-laki hamba sahaya, dan perempuan hamba sahaya.
19
c. Perempuan yang dianggap sebagai sumber fitnah menunjukkan adanya bias laki-laki dalam memandang perempuan. Fitnah atau gangguan itu seakan-akan
hanya muncul dari pihak perempuan terhadap laki-laki.
20
Padahal fitnah atau gangguan juga bisa muncul dari pihak laki-laki terhadap perempuan. Sebab,
ketertarikan dan ketergodaan dapat terjadi pada masing-masing pihak. Jadi, jika alasan khauf al-fitnah yang diutarakan oleh ulama tidak cukup beralasan
dengan konteks kekinian. Apalagi jika dengan mekanisme tertentu atau dalam situasi dan ruang serta waktu tertentu, pertemuankebersamaan laki-laki dan
perempuan dapat dipastikan tidak akan membawa fitnah.
21
B. Argumen Ulama Mengenai Imam Salat Perempuan