Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada 18 Maret 2005, Amina Wadud Muhsin, seorang feminis Islam dari Amerika Utara, memimpin salat Jumat yang diikuti oleh 100 orang jamaah, baik laki-laki maupun perempuan di sebuah gereja Anglikan, Manhattan, New York, AS. Peristiwa ini mendapatkan kecaman publik, tidak hanya di Amerika tetapi juga di seluruh dunia. Bahkan sekelompok orang di Amerika mengancam akan meledakkan bom di tempat pelaksanaan salat Jumat yang rencananya akan dilakukan di Sundaram Tagore Gallery. Namun, dengan pertimbangan keamanan, akhirnya dipindahkan di gereja. 1 Berbagai reaksi pun muncul di kalangan para ulama, yang sekaligus menghadirkan kembali polemik yang selama ini hampir terkubur dalam pemikiran umat Islam. Tindakan Amina Wadud ini memicu kembali kontroversi seputar kebolehan-larangan perempuan menjadi imam, terutama bagi laki-laki. Sebagai agama yang membenarkan dan melengkapi ajaran-ajaran sebelumnya, Islam datang sebagai rahmatan lil alamin, rahmat untuk sekalian alam. Salah satu ajarannya yang sangat bernilai adalah keadilan antara sesama 1 Elya Munfarida, “Kepemimpinan Perempuan dalam Ibadah: Tafsir Transformatif atas Diskursus Imam Perempuan bagi Laki-Laki dalam Shalat”, Studi Anak dan Gender vol. 3 no. 2 Juli- Desember 2008: h. 1 umat manusia. Tidak sedikit ayat-ayat di dalam al-Qur`an yang menyebutkan bahwa umat manusia, laki-laki ataupun wanita, siapapun di antara mereka yang beriman dan beramal shaleh, maka akan mendapatkan ganjaran yang sama dari Allah swt. Seperti dijelaskan dalam firman Allah QS. al-Nahl 16: 97                     . ﻞﺤﻨﻟﺍ 16 : 97 Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. QS. al-Nahl 16: 97 Ayat lainnya seperti dijelaskan di dalam QS. Ali Imran 3: 195                ناﺮﻤﻋ لا 3 : 195 Artinya: ”Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya dengan berfirman: Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan. QS. Ali Imran 3: 195 Ayat-ayat di atas secara tegas menempatkan kesejajaran antara laki-laki dan perempuan dalam bekerja dan mendapatkan hak-haknya. Perempuan berhak mendapat ganjaran yang sama atas amal mereka, baik dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat. Tidak ada diskriminasi dari Allah terhadap hambanya. Karena itulah kaum laki-laki tidak boleh melecehkan perempuan dan memperlakukan mereka secara tidak manusiawi. Kaum laki-laki tidak boleh merasa dirinya lebih unggul dan mulia dari perempuan. Kemuliaan seseorang tidak diukur dari jenis kelamin dan suku bangsa, melainkan dari prestasi dan kepribadian mulia, yang ditampilkan melalui interaksi sosialnya. Pada dasarnya, ajaran Islam sangat mendorong kepada kaum perempuan untuk bekerja secara maksimal sesuai dengan kemampuan dan kodratnya. Karena itulah, perempuan memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki dalam pandangan Islam, antara lain laki-laki dan perempuan mempunyai persamaan hak dalam pendidikan dan ilmu pengetahuan. Perempuan juga mempunyai hak yang sama untuk menyatakan pendapat dan aspirasinya. Bahkan sebagian mereka ada yang ikut berperang, mendukung tugas laki-laki. 2 Posisi perempuan dalam Islam, pada dasarnya sejajar dengan kaum laki- laki dalam berbagai masalah kehidupan, sesuai dengan kodrat masing-masing. Tugas dan tanggung jawab perempuan dalam urusan rumah tangga, misalnya, terutama peran seorang istri, ikut mendukung keberhasilan tugas-tugas suami sebagai pemimpin keluarga. 3 Islam telah berperan besar dalam mengangkat harkat dan martabat perempuan. Kalau dalam masyarakat sebelum datangnya Islam, perempuan diperlakukan sebagai barang yang hampir-hampir tidak mempunyai hak, maka 2 Hasbi Indra, dkk, Potret Wanita Shalehah Jakarta: Penamadani, 2004, cet. Ke-3 h..4. 3 Ibid. h. 4 ajaran Islam secara drastis memperlakukan perempuan sebagai “manusia” yang mempunyai hak-hak tertentu sebagaimana layaknya laki-laki. 4 Prof. Dr. Amina Wadud, intelektual muslim di Amerika Serikat, saat ini menjadi tokoh kontroversial di kalangan umat muslim dunia. Tidak sedikit yang menuduhnya sebagai senjata baru Amerika Serikat, yang didesain mempertajam stigmatisasi pencitraburukan Islam di mata dunia setelah berbagai stigmatisasi pasca-Black September 2001 justru membuat George W. Bush banyak mendulang kecaman dunia internasional. Banyak juga yang menilai tak ada yang salah dari gebrakan revolusioner pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University, Amerika Serikat itu karena secara fiqih tidak ada larangan dalam al-Qur’an bagi seorang perempuan menjadi imam dalam salat. Melalui pertimbangan yang panjang, penulis memutuskan untuk meneliti serta mengkaji metode istidlal ulama tentang imamah perempuan dalam salat dengan lebih memfokuskan pada kajian ushul fiqh secara komprehensif. Gebrakan revolusioner pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University, AS, itu, membuka kembali perdebatan fiqih tentang kebolehan- larangan perempuan memimpin salat yang disertai makmum laki-laki. Berdasarkan paparan di atas, penulis ingin menuangkan masalah tersebut, dalam 4 Nasaruddin Umar, Kodrat Perempuan dalam Islam Jakarta: Kerjasama Lembaga Kajian Agama dan Jender, SP Solidaritas Perempuan dan The Asia Foundation, 1999, h. 23. sebuah karya ilmiah dengan judul ”METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH PEREMPUAN DALAM SALAT”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah