Perkawinan Usia Dini Dalam Perspektif Pluralisme Hukum (Studi Kasus di Desa Saentis Kecamatan Percut SeiTuan, Kabupaten Deli Serdang)

(1)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 128

5.1. Kesimpulan ... 128

5.2. Saran ... 132

DAFTAR PUSTAKA ... 134 LAMPIRAN


(2)

ABSTRAK

PERKAWINAN USIA DINI DALAM PERSPEKTIF PLURALISME HUKUM, Studi Kasus di Desa Saentis, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang. (Darwin H. Tambunan, 2011). Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 136 halaman, 8 daftar tabel, 11 daftar gambar, 42 daftar pustaka, dan 3 lampiran daftar perkawinan usia dini.

Setiap perkawinan di Indonesia umumnya telah diatur melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan perkawinan, sah apabila menurut adat dan kepercayaannya masing-masing. Dalam Undang-Undang juga telah di atur tentang batas-batas usia perkawinan, yang dimana Apabila seorang laki-laki kurangnya telah berusia 18 tahun dan bagi, seorang perempuan sekurang-kurangnya telah berusia 16 tahun. Penelitian ini membahas permasalahan tentang bagaimana perkawinan usia dini menurut masyarakat Jawa di desa Saentis ini khususnya. Perkawinan usia dini yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor seperti, 1. Hamil diluar nikah menyebabkan seorang anak perempuan tersebut menikah di usia dini. 2. Faktor ekonomi keluarga yang kurang mampu menjadikan seorang anak untuk menikah usia dini. 3. Kurangnya kontrol sosial (social control) orang tua terhadap si anak. Perkawinan usia dini yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perkawinan pada usia 14 tahun hingga 18 tahun, baik dilakukan oleh laki-laki mau pun perempuan. Perkawinan usia dini selalu diperkuat oleh hukum Negara, norma-norma agama dan adat yang terkait dengan tradisi kebudayaan masyarakat setempat yang disebut dengan adanya gejala

“Pluralisme Hukum”. Budaya yang berkembang pada masyarakat yang

melakukan perkawinan usia dini, dapat mengakibatkan ketentuan hukum di dalam Negara ini tidak akan direspon/ditanggapi oleh setiap masyarakat yang melakukan perkawinan dini. Bahwasannya hukum yang berlaku di dalam Negara ini dapat digantikan dengan hukum agama maupun hukum adat setempat yang diakui oleh setiap masyarakat itu sendiri.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi, bagaimana proses pengesahan perkawinan usia dini pada masyarakat Jawa di desa Saentis khususnya dalam perspektif “Pluralisme Hukum”. Dan bagaimana status perkawinan usia dini dilihat dari berbagai macam aturan hukum, baik hukum Negara, hukum agama dan hukum adat masyarakat setempat secara umum. Berdasarkan hasil observasi dan berdasarkan hasil wawancara dengan para informan diketahui bahwa masih ditemukannya perkawinan usia dini di desa Saentis khususnya. Pemilihan hukum dalam mengesakan perkawinan usia dini yang dilakukan ada tiga yaitu secara hukum Negara, secara agama dan secara adat. Namun disisi lain dominasi hukum menjadikan seorang tersebut melakukan perkawinan usia dini. Dalam pemilihan hukum masyarakat di desa Saentis khususnya lebih memilih hukum agama dibandingkan dengan hukum-hukum yang lainnya, tujuannya adalah untuk mendapatkan suatu pengesahan perkawinnan usia dini itu sendiri


(3)

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan mahluk sosial yang berarti bahwa manusia saling membutuhkan satu sama lainnya, begitu juga manusia yang berlainan jenis kelamin saling membutuhkan untuk dijadikan teman hidupnya. Sebagai perwujudan sifat alami tersebut maka sesuai dengan norma-norma kesusilaan dan norma-norma agama, maka dari itu dibentuklah suatu lembaga perkawinan agar hubungan manusia tersebut sah sesuai dengan norma yang ada.

Perkawinan merupakan salah satu tahap yang terpenting dalam sepanjang siklus kehidupan manusia yang disebut dengan stage a long the life cycle. Tahap-tahap yang ada disepanjang hidup manusia tersebut adalah seperti masa bayi, masa penyapihan, masa anak-anak, masa remaja, masa pubertas, masa sesudah menikah, masa tua dan sebagainya (Koentjaraningrat, 1985:89). Salah satu tahap tersebut secara tidak langsung akan merubah prilaku seseorang/manusia itu sendiri, hal itu dapat dilihat pada saat seseorang/manusia itu berada dalam sebuah ikatan perkawinan yang sah. Oleh sebab itu perkawinan adalah salah satu tahap yang sangat terpenting di dalam siklus kehidupan manusia, dimana perkawinan menjadi alat suatu kelompok masyarakat untuk melanjutkan keberlangsungan kelompoknya.

Perkawinan juga merupakan media budaya dalam mengatur hubungan antar sesama manusia yang berlainan jenis kelamin. Perkawinan bertujuan untuk mencapai suatu tingkat kehidupan yang lebih dewasa dan pada beberapa kelompok masyarakat kesukuan dewasa ini. Perkawinan tidak hanya menyatukan


(4)

kedua belah pihak, saudara-saudaranya dan kerabat mereka masing-masing (Koentjaraningrat, 1994:92). Maka dalam hal ini setiap perkawinan di Indonesia umumnya telah diatur dalam undang-undang No. I Tahun 1974 Pasal 1, yang berbunyi :

“Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga atau suatu rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa (YTE)”.

Perkawinan dapat dilaksanakan dan dinyatakan sah apabila telah memenuhi syarat serta ketentuan oleh hukum menurut, Negara, agama dan adat-istiadat dimana seseorang itu berada1. Oleh sebab itu dalam setiap perkawinan memiliki tatacara pengesahan perkawinan yang berbeda-beda pula, maka tujuan dari perkawinan yang sah menurut ketentuan undang-undang adalah, agar setiap perkawinan yang sudah berlangsung memiliki pengesahan berdasarkan undang-undang perkawinan. Namun fakta menunjukkan bahwa di Indonesia umumnya setiap perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat tidak hanya disahkan berdasarkan pada hukum Negara melalui ketentuan undang-undang saja, akan tetapi setiap perkawinan juga dapat dilaksanakan dan disahkan berdasarkan hukum agama serta menurut hukum adat yang berlaku di dalam masyarakat itu. Hal tersebut dapat dikatakan adanya gejala “pluralisme hukum” di dalam mengesahkan suatu perkawinan pada masyarakat itu sendiri, bahwa setiap perkawinan dapat disahkan berdasarkan pilihan-pilihan hukum seperti hukum Negara, hukum agama, dan hukum adat yang menurut masyarakat itu baik.


(5)

Selain itu, dalam hal ini undang-undang juga mengatur batas-batas usia yang hendak melakukan suatu perkawinan yaitu, bahwa seorang laki-laki sekurang-kurangnya telah berusia 19 tahun, dan untuk seorang perempuan sekurang-kurangnya telah berusia 16 tahun. Perkawinan tersebut harus sudah mendapatkan izin dari kedua pihak orang tua, apabila kedua pihak orang tua telahsetuju dalam menikahkan anaknya tersebut maka perkawinan sah berdasarkan hukum yang ada2

Hukum agama secara umum memandang bahwa perkawinan sebagai suatu perbuatan suci, karena perkawinan merupakan persetujuan antara dua pihak dalam memenuhi perintah Tuhan. Perkawinan dihubungkan dengan masalah keagamaan, oleh karena itu dikatakan bahwa perkawinan dilihat dari segi keagamaan adalah suatu perikatan jasmani dan rohani yang membawa akibat hukum terhadap agama yang dianut oleh kedua calon mempelai beserta keluarga kerabatnya. Selain itu hukum agama telah menetapkan kedudukan manusia dengan iman dan taqwanya tentang apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan

.

Berdasarkan wawancara awal penulis dengan Bapak Sumedi (46 tahun) menurut beliau idealnya suatu perkawinan dalam masyarakat umumnya apabila seorang perempuan tersebut sudah mencapai usia 21 hingga 25 tahun, dan sedangkan untuk seorang laki-laki telah berusia 25 hingga 28 tahun. Mengapa usia tersebut sangat ideal dalam melakukan suatu perkawinan, menurut beliau karena di usia seperti inilah usia yang sangat pantas untuk melangsungkan suatu perkawinan, jika dilihat dari segi kematangan berpikir serta untuk kesehatan reproduksinya.


(6)

(dilarang) oleh manusia itu sendiri. oleh karena itulah sebabnya sehingga setiap agama pada dasarnya tidak dapat memberikan perkawinan yang berlangsung tidak seagama3

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan bahwa suatu perkawinan itu tidak hanya diatur oleh hukum Negara saja, akan tetapi suatu perkawinan juga dapat diatur berdasarkan rukun dan syari”at Islam yang benar

.

4

. Selain itu islam sebagai agama yang sempurna didalamnya menyentuh berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan menusia sebagai individu, keluarga, dan juga masyarakat. Kehidupan berkeluarga antara seorang laki-laki dan perempuan dalam Islam merupakan fitrah naluri yang merupakan anugrah dari Allah SWT. Allah SWT menciptakan manusia untuk dijadikan khalifah dimuka bumi ini supaya memakmurkannya. Agar semua berjalan dengan baik, maka Allah SWT menciptakan pikiran dan dorongan nafsu yang menggiring manusia kepada berbagai spesies manusia5

Pelaksanaan dalam perkawinan diperlukan adanya suatu lembaga perkawinan yang mengatur hubungan antara suami-istri secara yuridis maupun religius sehingga hubungan tersebut sah menurut hukum Negara, hukum agama, dan hukum adat yang dalam penelitian ini disebut dengan “pluralisme hukum”. Maksud dari “pluralisme hukum” adalah adanya lebih dari satu tatanan hukum dalam suatu arena sosial, artinya dalam suatu masyarakat tidak ada hukum yang dominan, dan suatu aturan hukum akan terpengaruhi oleh hukum-hukum lain yang ada disekitarnya. Oleh sebab itu suatu perkawinan tidak hanya disahkan

.

3

Hilman Hadikusuma, Loc Cit: Hal 10 4

Lihat dalam KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI). 5


(7)

berdasarkan pada 1 (satu) pilihan hukum saja misalnya hukum Negara melalui undang-undang, akan tetapi suatu perkawinan dapat disahkan berdasarkan pilihan hukum yang menurut masyarakat itu sangat mempengaruhi dalam kehidupan seharinya, misalnya saja hukum agama dan hukum adat.

Kemudian pelaksanaan perkawinan tersebut akan diadakan dalam sejumlah rangkaian upacara perkawinan secara adat yang dipertahankan dan dilestarikan oleh masyarakat adat oleh karena hukum adat perkawinan merupakan hukum masyarakat (hukum rakyat) yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan negara yang mengatur tata tertib perkawinan. Dengan demikian hukum perkawinan adat sendiri dapat dikatakan tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang sampai saat ini masih tetap diakui serta dilaksanakan6

Bentuk dan tata cara perkawinan pada tiap suku bangsa memiliki perbedaan yang pada umumnya dipengaruhi oleh sistem kekerabatan masyarakat hukum adat setempat. Menurut C. Van Vollenhoven Indonesia memiliki kekayaan dan keaneka-ragaman hukum adat maksudnya kekayaan dan keaneka-ragaman hukum adat diklasifikasikan dalam 19 lingkungan hukum adat di Indonesia, sedangkan M.A Jaspan mengklasifikasi dalam 366 suku yang ada di Indonesia, masing-masing suku dan daerah mempunyai hukum adat yang berbeda

.

7

Masyarakat kini menganggap suatu perkawinan yang apabila dilakukan bagi seorang perempuan pada usia 13 hingga 16 tahun, sedangkan bagi seorang laki-laki berusia 15 hingga18 tahun merupakan hal yang sudah biasa. Bahkan hal tersebut dapat menjadi sebuah tradisi di dalam lingkungan masyarakat itu tinggal,

.

6


(8)

namun masyarakat secara umum menyebutnya dengan kawin muda atau perkawinan usia dini. Akan tetapi dalam perkembangan teknologi masa sekarang ini, ada juga sebagian masyarakat itu menganggap perkawinan usia dini adalah sebuah keanehan untuk dilakukan. Menurut Ibu Mariani (30 tahun) beliau berpendapat bahwa seorang perempuan yang belum menikah pada usia sebelum 20 tahun, maka perempuan tersebut dianggap sudah terlalu tua, dan perempuan itu tidak akan laku apabila usianya terlalu tua untuk dikawini. Untuk seorang laki-laki apabila sebelum usia 25 tahun ia belum menikah, maka laki-laki tersebut dianggap sudah terlalu tua dan akan sulit mendapatkan jodohnya kelak. Akan tetapi hal itu memang benar adanya menurut beliau, namun pada masyarakat kini masih ditemukannya perkawinan usia dini baik yang terjadi di pedesa an maupun yang terjadi di perkotaan.

Berdasarkan data dari Kantor Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) angka perkawinan usia dini atau kurang dari 18 tahun masih tinggi mencapai 690 ribu lebih kasus, atau sekitar 34% pada tahun 2009. Yang muncul di permukaan hanya yang terekam oleh media saja, namun jumlah sebenarnya jauh lebih banyak lagi. Menurut data laporan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tentang pencapaian target Tujuan Pembangunan Millenium Development Goals (MDGs) Indonesia tahun 2008, sebanyak 34,5% dari 2.049.000 perkawinan yang terjadi setiap tahun merupakan perkawinan usia dini. Pada tahun 2011 ini terjadi 696.660 kasus perkawinan usia dini, di Jawa Timur angkanya bahkan lebih tinggi dari angka rata-rata nasional, sampai 39%. Kasus perkawinan usia dini, juga tidak hanya terjadi pada masyarakat pedesa an tapi juga


(9)

pada masyarakat wilayah perkotaan yang tingkat pendidikannya rata-rata lebih tinggi.

Pengertian perkawinan usia dini secara umum memiliki banyak pengertian, misalnya saja perkawinan usia dini merupakan sebuah perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang masih di bawah usia atau belum dewasa. Lain halnya pengertian perkawinan usia dini menurut masyarakat di Desa Saentis ini khususnya menganggap suatu perkawinan usia dini yang terjadi merupakan perkawinan ideal dan ada juga sebagian masyarakat menganggap suatu perkawinan usia dini yang terjadi dikarenakan hamil sebelum nikah. Sehingga menyebabkan terjadinya perkawinan usia dini.

Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan (observasi) penulis temukan saat berada dilapangan sebelumnya, menunjukkan fakta bahwa di Desa Saentis Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang ini masih ditemukannya masyarakat yang melakukan perkawinan usia dini. Hasil wawancara penulis dengan beberapa orang tua yang melakukan perkawinan usia dini, tokoh masyarakat, tokoh pemerintahan, tokoh agama, tokoh adat hingga pada orang yang melakukan perkawinan usia dini itu sendiri. Mereka menjelaskan bahwa sebab akibat terjadinya perkawinan usia dini dikarenakan beberapa faktor yang mempengaruhi sosial ekonomi dan linngkungan kehidupan masyarakat itu berada. Rata-rata usia pada perkawinan usia dini yang dilakukan oleh masyarakat Desa Saentis adalah 14 tahun hingga 17 tahun baik itu dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan. Namun dalam kondisi usia seperti ini, perkawinan usia dini ini tidak sesuai dengan ketentuan hukum Negara melalui undang-undang, dan perkawinan usia dini juga tidak sesuai jika dilihat dari segi kesehatan reproduksi


(10)

maupun psikologinya. Akan tetapi masyarakat di Desa Saentis ini menjelaskan bahwa perkawinan usia dini yang terjadi sudah menjadi hal yang biasa, karena ada sebagian masyarakat menganggap perkawinan usia dini merupakan suatu tradisi turunan pada masa lalu nenek moyang mereka bila mana dalam membentuk keluarga baru. Menurut Ibu Mariani (30 tahun) dahulu nenek moyang maupun orang tua masyarakat khususnya Desa Saentis ini banyak yang telah menikah di usia muda, namun tidak pernah terjadi hal seperti yang dikwatirkan oleh banyak masyarakat sekarang ini.

Undang-undang telah mengatur tentang tata cara perkawinan melalui ketentuan hukum yang dimana dimaksud dalam undang-undang tersebut. Bahwa secara nasional menyatakan perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum, agama/kepercayaannya masing-masing, dan perkawinan tersebut dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku8

Berdasarkan data kasus yang sudah penulis jelaskan di atas, menunjukkan bahwa bagaimana pengaturan hukum dalam mensahkan perkawinan pada masyarakat itu sendiri, sehingga menciptakan peluang dalam melakukan perkawinan usia dini pada masyarakat yang ada di Desa Saentis khususnya. Namun masyarakat di Desa Saentis khususnya, tidak banyak yang mengetahui undang-undang yang mengatur tentang syarat dan batas-batas jika ingin melakukan suatu perkawinan. Ada sebagian masyarakat juga beranggapan bahwa tanpa mengetahui adanya undang-undang, suatu perkawinan khususnya pada perkawinan usia dini itu masih tetap bisa dilaksanakan. Menurut Ibu Mariani (30 tahun) yang terpenting adalah bagaimana perkawinan itu dilaksanakan atau


(11)

disahkan oleh beberapa aturan hukum yang ada di Negara Indonesia ini, seperti aturan perkawinan menurut Hukum Negara, Hukum Agama dan maupun Hukum Adat dalam masyarakat itu. Agar suatu perkawinan khususnya yang melakukan perkawinan usia dini mendapatkan pengesahan dari Negara melalui bukti perkawinan, seperti mendapatkan akte nikah dan buku nikah yang diberikan oleh Kantor Urusan Agama (KUA). Di Indonesia sendiri pelaksanaan perkawinan masih pluralistis, artinya di Indonesia berlaku tiga macam sistem hukum yang berlaku di dalam masyarakat yaitu, hukum negara, agama dan adat disebut dengan “Pluralisme Hukum”.

Oleh karena itu dari latar belakang masalah ini, yang ingin penulis lihat di dalam penelitian ini ialah, bagaimana hukum Negara, agama dan adat dalam mengesahkan suatu perkawinan usia dini yang sebenarnya. Selain itu penulis juga ingin melihat bagaimana proses pelaksanaan perkawinan usia dini serta bagaimana pilihan-pilihan hukum yang ada pada masyarakat Jawa di Desa Saentis itu sendiri dalam mensahkan perkawinannya. Maka dari itu penulis akan memfokuskan judul yang sudah ditentukan yaitu, “Perkawinan Usia Dini dalam Perspektif Pluralisme Hukum”.


(12)

1.2. Tinjauan Pustaka

Perkawinan menurut Koentjaraningrat (1994:103) adalah sebagai pengatur tingkah laku manusia yang berkaitan dengan kehidupan kelaminnya. Perkawinan disebutkan membatasi seseorang untuk besetubuh dengan lawan jenisnya yang lain. Selain pengatur kehidupan seksnya, perkawinan mempunyai berbagai fungsi dalam kehidupan bermasyarakt seperti memenuhi kebutuhan manusia akan teman hidup, memenuhi kebutuhan akan harta dan gengsi, selain itu juga untuk memelihara hubungan dengan kelompok kerabat tertentu.

Melalui perkawinan, status sosial seorang manusia dalam masyarakat tempat dia berada juga akan beralih dari seorang remaja menjadi seorang dewasa bahkan dia kemudian akan mendapat pengakuan akan status yang lebih di tengah masyarakat tersebut (Koentjaraninggrat, 1994:92).

Menurut Haviland (1993:77) sebuah perkawinan dapat dianggap sebagai suatu transaksi dan kontrak yang sah dan resmi antara seorang perempuan dan seorang laki-laki yang mengukuhkan hak mereka yang tetap untuk berhubungan seksual satu sama lain dan yang menegaskan bahwa si perempuan yang sedah bersangkuan sudah memenuhi syarat untuk melahirkan anak.

Suparlan (1980:16) menjelaskan, bahwa manusia sebagai makhluk sosial yang hidup dalam satu kelompok masyarakat yang memiliki tata peraturan dan norma-norma yang berlaku dan dijadikan sebagai acuan bagi setiap tata kelakuannya dalam kelompok masyarakat tersebut. Peraturan-peraturan dan norma-norma yang ada pada tiap kelompok masyarakat di sosialisasikan kepada anggota kelompoknya melalui proses belajar yang dimulai dari manusia dilahirkan sampai akhir usia. Pemahaman manusia terhadap lingkungan hidupnya di


(13)

interpretasikan kedalam prilaku yang berdasarkan sistem pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial merupakan kebudayaan.

Dari penjelasan Suparlan di atas memberikan suatu pemahaman atas permasalahan tentang bagaimana perkawinan usia dini yang terjadi pada masyarakat setempat, memiliki aturan-aturan hukum serta norma-norma agama dan budaya mengikat dalam kehidupan masyarakat yang memiliki prilaku yang berbeda-beda. Budaya yang selalu mempengaruhi aturan-aturan hukum dapat menjadikan seseorang berprilaku baik dalam setiap tatanan kehidupannya di dalam lingkungan masyarakat, setiap kelompok masyarakat dapat berinteraksi dengan kelompok masyarakat yang lain dengan cara bersosialisasi baik secara formal maupun informal, agar proses sosialisasi yang akan disampaikan kepada orang atau masyarakat yang di tujukan dapat disampaikan secara bertahap-tahap.

Usia perkawinan yang ideal untuk perempuan adalah 21-25 tahun, sementara laki-laki 25-28 tahun (Jalu, 2004). Karena di usia tersebut organ reproduksi perempuan secara fisiologis sudah berkembang dengan baik dan kuat serta siap untuk melahirkan keturunan. Secara psikis pun mulai matang. Sementara laki-laki, pada saat itu kondisi psikis dan fisiknya sangat kuat, hingga mampu menopang kehidupan keluarga untuk melindungi baik secara psikis emosional, ekonomi, dan sosial.

Perkawinan usia dini yang terjadi dalam masyarakat merupakan fenomena yang terjadi baik secara turun-temurun merupakan tradisi pada masyarakat itu sendiri, karena perkawinan usia dini selalu diperkuat oleh norma-norma agama, norma hukum, negara dan adat serta yang terkait dengan tradisi kebudayaan masyarakat setempat dalam melakukan perkawinan dini. Budaya yang


(14)

berkembang pada masyarakat yang melakukan perkawinan usia dini dapat mengakibatkan ketentuan hukum di dalam Negara ini tidak akan direspon atau ditanggapi oleh setiap masyarakat yang melakukan perkawinan dini. Bahwasannya hukum yang berlaku di dalam Negara ini dapat digantikan dengan hukum agama maupun hukum adat setempat yang diakui oleh setiap masyarakat itu sendiri.

Griffith berpendapat bahwa Pluralisme Hukum adalah adanya lebih dari satu tatanan hukum dalam suatu arena sosial (Irianto dalam Ihromi, 1993) oleh sebab itu setiap kehidupan masyarakat terdapat berbagai macam pilihan-pilihan hukum yang ingin dicapai sesuai dengan kedudukannya masing-masing. Tidak hanya itu juga Griffith dan Hooker sama-sama mengemukakan atau unsur pokok dalam kaitannya dengan pengertian pluralisme hukum ditandai dengan adanya situasi dimana dalam masyarakat terdapat dua atau lebih sistem hukum untuk dapat dijadikan pegangan dalam menghadapi masalah-masalah masyarakat yang bersangkutan. Tetapi Griffith lebih menekankan pluralisme hukum yang di adopsinya dari Sally F.Moore yang berkaitan dengan keragaman oraganisasi sosial, yang mana menurutnya memiliki otonomi terbatas (Irianto dalam Ihromi, 1993). Sally F.Moore menyebut otonomi terbatas dengan Semi Otonomous Social

Field. Artinya dalam suatu lapangan tidak ada hukum yang dominan. Suatu aturan

hukum akan terpengaruh oleh hukum-hukum lain yang ada disekitarnya.

Menurut Liria Tjahaja (2000) misalnya pada etnis Cina yang tinggal di Jakarta, ia berpendapat bahwa orang Cina yang melakukan perkawinan campuran dapat mensahkan perkawinan mereka dengan beberapa pilihan hukum yang menurut mereka pilihan hukum tersebut berfungsi dalam hal pengesahan


(15)

perkawinannya, dan juga berfungsi bagi kepentingan hidupnya dan juga kehidupan anak-anaknya. Proses pengesahan perkawinan selalu menunjukkan gejala yang dikenal dalam Antropologi sebagai gejala Pluralisme Hukum.

Hukum dan aturan-aturan tersebut hanya merupakan sebagian perangkat pembenaran tindakan, dan dalam penggunaannya setiap orang yang akan mensahkan perkawinannya dapat menggunakan berbagai hukum dan aturannya sekaligus atau menggabungkan hukum adat dengan hukum agama, hukum adat dengan hukum negara, dan hukum agama dengan hukum negara (Achadiat dalam Ihromi, 1993).

Pluralisme hukum adalah situasi dimana ada dua atau lebih hukum yang saling berinteraksi atau saling mempengaruhi tetapi hukum negara adalah merupakan hukum domiinan yang akan menentukan apakah hukum atau kebiasaan lain dapat berlaku untuk semua penduduk atau tidak.

Perkawinan usia dini secara umum adalah orang yang akan menikah, menurut hukum di Indonesia tidak memenuhi batas usia yang ditentukan. Seorang calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan dan belum mencapai usia 21 tahun harus mendapat izin orangtua. Sudarsono (2005:41) menyatakan “Perkawinan hanya di izinkan jika pihak laki-laki sudah mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai 16 (enam belas) tahun”. Batas usia seseorang untuk menikah dapat ditinjau dari berbagai aspek yang terkait seperti perkawinan hukum menurut perundangan nasional secara umum, perkawinan menurut hukum agama secara umum dan batasannya dan perkawinan menurut hukum adat kebudayaan secara umum.


(16)

A. Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Perundangan Nasional Secara umum.

Batas usia untuk menikah di Indonesia telah diatur dalam undang-undang perkawinan. Hadikusuma (1990:50) menyatakan bahwa untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai usia 21 tahun harus mendapat izin dari kedua orangtua (pas. 6 2 no.1-1974). Dengan kata lain bagi laki-laki atau perempuan yang telah mencapai usia 21 tahun tidak perlu ada izin dari orangtua untuk menikah. Hal ini juga diperjelas dengan pasal 7 yang menyatakan bahwa yang perlu memakai izin orangtua untuk melakukan perkawinan ialah laki-laki yang telah mencapai usia 19 tahun dan bagi perempuan yang telah mencapai usia 16 tahun (Hadikusuma, 1990:51). Persetujuan perkawinan pada dasarnya tidaklah sama dengan persetujuan-persetujuan yang lain, misalnya persetujuan jual- beli, sewa-menyewa, tukar menukar dan lain-lain. Menurut Wirjono Prodjodikoro, perbedaan antara persetujuan perkawinan dan persetujuan-persetujuan adalah dalam persetujuan biasa para pihak pada pokoknya penuh merdeka untuk menentukan sendiri isi dari persetujuannya itu sesuka hatinya, asal saja persetujuan itu tidak bertentangan dengan undang-undang kesusilaan dan ketertiban umum. Sebaliknya dalam suatu perkawinan sudah sejak semula ditentukan oleh hukum, isi dari persetujuan suami isteri.

Bahkan satu-satunya hal yang sama ialah, bahwa dalam perkawinan maupun dalam perkawinan pada umumnya terdapat persesuaian kehendak. Kalau seorang perempuan dan seorang laki-laki berkata sepakat untuk melakukan perkawinan satu sama lain ini berarti mereka saling berjanji akan taat pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku mengenai kewajiban dan hak-hak


(17)

masing-masing pihak selama dan sesudah hidup bersama itu berlangsung, dan mengenai kedudukannya dalam masyarakat dari anak-anak keturunannya. Juga dalam menghentikan perkawinan, suami dan isteri tidak leluasa penuh untuk menentukan sendiri syarat-syarat untuk penghentian itu, melainkan terikat juga pada peraturan hukum perihal itu.

B. Pengertian Perkawinan dan Batasan Perkawinan Menurut Hukum Agama Secara Umum.

Pandangan suatu perkawinan dari aturan agama adalah suatu aturan yang sangat penting. Dalam agama, perkawinan itu dianggap suatu lembaga yang suci. Upacara perkawinan adalah upacara yang suci, yang kedua pihak dihubungkan menjadi pasangan suami istri atau saling meminta menjadi pasangan hidupnya karena apa yang telah dipersatukan oleh Tuhan tidak boleh diceraikan oleh manusia. Dengan demikian bahwa untuk terjadinya hubungan atau ikatan lahir dan bathin antara suami isteri merupakan dasar bagi tercapainya tujuan perkawinan, yakni untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pada dasarnya hukum agama memandang perkawinan sebagai suatu perbuatan suci karena perkawinan itu adalah persetujuan antara dua pihak dalam memenuhi perintah Tuhan. Perkawinan dihubungkan dengan masalah keagamaan, oleh karena itu dikatakan bahwa: “Perkawinan dilihat dari segi keagamaan adalah suatu perikatan jasmani dan rohani yang membawa akibat hukum terhadap agama yang dianut oleh kedua calon mempelai beserta keluarga kerabatnya9. Hukum


(18)

agama telah metetapkan kedudukan manusia dengan iman dan taqwanya tentang apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan (dilarang) Itulah disebabnya sehingga setiap agama pada dasarnya tidak dapat memberikan perkawinan yang berlangsung tidak seagama.

Batas usia untuk perkawinan dalam hukum agama berbeda-beda satu dengan yang lain. Hukum Islam tidak terdapat kaidah-kaidah yang sifatnya menentukan batas usia untuk melaksanakan perkawinan. Hadikusuma (1990:55) mengungkapkan bahwa menurut hukum Gereja Katolik batas usia perkawinan adalah telah berusia 16 tahun bagi laki-laki dan 14 tahun bagi perempuan. Sedangkan menurut Hukum Gereja Kristen Protestan batas usia perkawinan telah mengikuti UU no.1 1974 yaitu 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi seorang perempuan (Hadikusuma, 1990:55). Menurut Agama Hindu juga tidak ada ketentuan batas usia perkawinan yang pasti. Sedangkan menurut hukum Agama Budha di Indonesia batas usia perkawinan ialah bagi laki-laki tersebut sudah mencapai usia 20 tahun dan 17 tahun bagi seorang perempuan (Hadikusuma, 1990:55).

Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa Agama Katolik dan Budha memiliki ketentuan batasan usia perkawinan, sedangkan Agama Islam dan Hindu tidak ada ketentuan batas usia perkawinan yang pasti. Jadi secara umum batas usia dalam hukum setiap agama dapat menyesuaikan dengan undang-undang perkawinan di Indonesia. Perkawinan yang terjadi sebagai ikatan lahir (jasmani) dan bathin (rohani) dapat diartikan sebagai suatu ikatan untuk mewujudkan kehidupan dunia dan akhirat. Untuk mengetahui lebih jauh tentang pengertian perkawinan menurut hukum agama maka berikut ini akan diuraikan pengertian


(19)

tersebut dengan 5 (lima) agama yang diakui di Indonesia berdasarkan Perpres No.1 Tahun 1965 yaitu: Agama Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu dan Buddha. Jadi di sini penulis hanya mefokuskan pada suku bangsa Jawa beragama Islam saja. Adapun penulis mengapa memfokuskan penelitian hanya pada suku bangsa Jawa dan beragama Islam, karena lokasi dimana tempat penulis meneliti merupakan masyarakatnya hampir mayoritas bersuku bangsa Jawa dan beragama Islam.

Agama Islam umumnya berkembang baik di kalangan masyarakat orang Jawa (Koentjaraningrat, 1983:339). Oleh karena itu, etika masyarakat Jawa muslim juga dipengaruhi oleh Agama Islam. Islam memberikan aturan moral yang didasarkan pada waktu suatu sistem nilai yang berisi norma-norma yang sama dengan sinar tuntunan untuk pencarian religius, yaitu: ketakwaan, penyerahan diri, kebenaran, keadilan, kasih sayang, hikmah, dan keindahan (Departemen Agama RI, 1997:51).

 Pengertian Perkawinan menurut Hukum Agama Islam.

Dalam kosa kata bahasa Arab, perkawinan disebut nikah yang mempunyai dua (2) arti yaitu pertama arti yang sebenarnya dan yang kedua arti kiasan. Nikah dalam arti yang sebenarnya adalah “dham” yang artinya menghimpit, menindih atau berkumpul, sedangkan nikah dalam arti kiasan adalah “wathaa” yang artinya bersetubuh10

Menurut Soemijati (1982:10) perkawinan merupakan perjanjian yang tertulis dalam surat Q S An-Nisa (4) ayat 21, dinyatakan bahwa perkawinan adalah perjanjian yang sangat kuat (Mitssaghan Ghalidzhan). Dapat dikemukakan


(20)

sebagai alasan untuk mengatakan perkawinan itu merupakan suatu perjanjian ialah karena adanya:

a. Cara mengadakan ikatan perkawinan telah diatur terlebih dahulu yaitu dengan akad nikah dan rukun atau syarat-syarat tertentu .

b. Cara menguraikan atau memutuskan ikatan perkawinan juga telah diatur sebelumnya yaitu dengan prosedur talak, kemungkinan fassakh, syiqaq dan sebagainya. Perjanjian dalam perkawinan ini mengandung tiga karakter yang khusus, yaitu:

1. Perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa unsur sukarela dari kedua belah pihak.

2. Kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) yang mengikat persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian tersebut berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-hukumnya.

3. Persetujuan perkawinan itu mengatur batas-batas hukum mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak.

Berdasarkan hukum Islam untuk menunjukkan makna perkawinan, Al-Quran memakai istilah “Mitssaghan Ghalidzhan” artinya perjanjian yang teguh. Istilah tersebut pertama-tama menunjukan pada perjanjian antara Allah dengan para nabi atau para rasulnya. Dengan menggunakan istilah “Mitssaghan Ghalidzhan” untuk perkawinan, Al-Quran secara tidak langsung menunjukkan kesucian hubungan antara Allah dengan manusia yang dipilih-Nya. Dengan demikian maka dalam suatu perkawinan diyakini adanya campur tangan Allah di dalam nya bahkan Al-Quran memandang perkawinan sebagai suatu hal dalam rangka mentaati agama (syariat). Sebuah perkawinan merupakan perintah Allah


(21)

walaupun perkawinan itu termasuk dalam bidang muamalat atau hubungan antara manusia dengan manusia. Nabi Muhammad dalam hadist menggarisbawahi pandangan sebagai “setengah ibadah” karena bukan hanya menyangkut perkara dunia semata-mata tetapi juga menyangkut Tuhan sehingga tidak mengherankan umat untuk berkeluarga11

Perkawinan berdasarkan Hukum Islam adalah “aqad” (perikatan) antara wali perempuan calon istri dengan laki-laki calon suaminya. Aqad nikah itu harus diucapkan oleh wali perempuan dengan jelas berupa “ijab”(serah) dan “kabul” (diterima) oleh si calon suami, yang dilaksanakan dihadapan dua orang saksi yang memenuhi syarat. Jika tidak demikian maka perkawinan tidak akan sah, yang menyatakan tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil. Hal tersebut merupakan bahwa syarat’(syariat), nikah pada hakekatnya adalah “aqad” antara seorang calon suami isteri untuk memperbolehkan keduanya bergaul sebagai suami isteri. Aqad artinya ikatan atau perjanjian untuk meningkatkan diri dalam perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan

.

12

Orang yang akan menikah, menurut hukum di Indonesia harus memenuhi batas umur minimal. Seorang calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan dan belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin orangtua. Sudarsono (2005:41) menyatakan “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak

laki-.

C. Perkawinan Menurut Hukum Adat Jawa dan Pengertian Perkawinan Usia Dini.

11


(22)

laki sekurang-kurangnya sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai 16 (enam belas) tahun”.

Geertz (1985:59) mengungkapkan tentang perkawinan keluarga tradisional sebagai berikut:

Kebanyakan gadis jawa telah kawin, setidaknya untuk waktu yang singkat pada saat kira-kira berumur 16 atau 17 tahun. Adapun anak laki-laki biasanya tidak menikah sampai sesudah benar-benar dewasa dan dapat menyangga keluarga dengan layak. Umur beraneka rupa, tetapi biasanya antara 18 dan 30 tahun.

Usia perkawinan di daerah pedesa an lebih muda dari pada di perkotaan (Dellyana, 1988:174). Perkawinan usia dini yang terjadi di desa biasanya disebabkan karena tingkat pendidikan yang rendah. Sedangkan sebab yang lain adalah terjadi hamil di luar nikah atau biasa disebut “kecelakaan”. Kasus hamil di luar nikah lebih banyak terjadi di perkotaan dari pada di desa . Hal ini karena pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan di kota. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perkawinan usia dini adalah perkawinan yang dilakukan oleh perempuan yang berumur di bawah 19 tahun, dan laki-laki yang berumur di bawah 20 tahun.

Pasangan muda perkawinan usia dini harus diberikan pembekalan yang memadai tentang norma-norma berkeluarga, adat istiadat, perilaku dan budaya malu, rasa hormat, dan pemahaman agama. Selain itu harus ditunjukkan tentang luhurnya sebuah perkawinan. Pemahaman tersebut menurut Djuariah Utja (Jalu, 2004), berupa:

a. Dari aspek syariah agama, perkawinan akan menjauhkan setiap insan manusia dari perbuatan dan tindakan yang diharamkan agama.


(23)

b. Perkawinan bisa menghindarkan diri serta tidak terjerumus dalam perbuatan hina dan nista.

c. Dari aspek sosial, perkawinan akan memberikan ketenteraman hidup. Bisa terhindar dari pergunjingan, fitnah maupun sanksi sosial masyarakat.

d. Dari segi kesehatan, lewat perkawinan akan terhindar dari pergaulan bebas yang menyesatkan serta dapat menyalurkan kebutuhan biologisnya secara sehat. e. Dari segi hukum, jika perkawinan tersebut membuahkan keturunan maka secara hukum akan melindungi hak-haknya.

Menurut (Moore dalam Liria, 1983:109), seluruh aneka norma/aturan yang muncul dari idividu masyarakat tertentu dapat berfungsi sebagaimana halnya dengan hukum. Dalam hal ini, Moore melihat bahwa pluralisme hukum dapat terjadi karena adanya kenyataan bahwa warga suatu masyarakat sebagai individu berada dalam beberapa lapangan/arena interaksi sosial yang masing-masing memiliki normanya sendiri sehingga individu yang bersangkutan dituntut untuk mengikuti norma tersebut. Aneka jenis pengaturan yang ada dalam masyarakat tidak semuanya berstatus hukum, namun sering dihayati sebagai sesuatu yang mengikat dan tidak kalah pentingnya dengan norma hukum. Adapun aturan dari masing-masing arena sosial itu saling berpengaruh satu sama lain dan rentan terhadap pengaruh hukum dari luar.

Sikap hidup orang Jawa yang mengerti etika dan taat pada adat-istiadat warisan nenek moyang, selalu mengutamakan kepentingan umum dari pada dirinya sendiri. Masyarakat Jawa memiliki watak dan tingkah laku terpuji yang disebut Panca-Sila, yaitu: rila atau rela, narima atau menerima nasib yang diterimanya, temen atau setia pada janji, sabar atau lapang dada, dan budi luhur


(24)

atau memiliki budi yang baik (Herusatoto, 2005:72). Kebanyakan orang Jawa percaya bahwa hidup manusia di dunia ini sudah diatur dalam alam semesta, sehingga tidak sedikit mereka yang bersikap narima, yaitu menyerahkan diri kepada takdir.

1.3. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah di uraiankan sebelumnya, dijelaskan bahwa di dalam pengesahan suatu perkawinan khususnya perkawinan usia dini, tidak hanya berdasarkan pada satu pilihan hukum saja. Ada beberapa aturan hukum dalam mengesahkan suatu perkawinan pada masyarakat itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa adanya gejala “pluralisme hukum” di dalam sistem perkawinan tersebut, khususnya pada masyarakat Jawa di Desa Saentis, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang. Dalam mensahkan suatu perkawinan usia dini yang terjadi pada masyarakat tersebut, tidak hanya di sahkan melalui satu pilihan hukum saja. Akan tetapi masyarakat tersebut dapat mengesahkannya melalui pemilihan hukum Negara, Agama dan Adat, yang ada pada masyarakat itu sendiri. Dengan kata lain disebut dengan “Pluralisme

Hukum”. Hal ini disebabkan karena sifatnya yang kompleks dari kehidupan

masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu setiap manusia memiliki karakter dan sifat yang berbeda-beda, sehingga manusia sekarang ini bukan hanya saja bagian dari suku bangsanya saja, melainkan manusia juga adalah bagian dari Negara yang memiliki berbagai macam aturan hukum yang berlaku dan digunakan sebagai alat yang bermanfaat di dalam pengesahhan perkawinan.


(25)

Dewasa sekarang ini permasalahan perkawinan usia dini yang terjadi, menunjukkan bahwa masih ada beberapa masyarakat Jawa khususnya di Desa Saentis ini yang melakukan perkawinan usia dini, oleh karena itu penulis ingin melihat bagaiamana kedudukan hukum dalam masyarakat itu sendiri, dapat dilihat melalui berbagai macam pilihan hukum baik itu pilihan hukum Negara, Agama atau juga melalui pilihan hukum Adat. Ini menunjukkan bahwa pada masyarakat terdapat adanya kemajemukan hukum di dalam mensahkan suatu perkawinan usia dini.

Berdasarkan pengamatan penulis lakukan sebelumnya, terlihat jelas bagaimana pengesahan status perkawinan usia dini yang dilakukan oleh masyarakat Jawa yang tinggal di Desa Saentis ini. Maka dapat dikaji lagi berdasarkan hukum apa saja masyarakat Desa Saentis ini, dalam mensahkan perkawinan usia dini tersebut, apakah masyarakat itu hanya mensahkan perkawinan usia dini mereka melalui pilihan hukum Negara, Agama ataupun Adat. Oleh karena itu penelitian ini akan mengkaji tentang :

1. Mengidentifikasi proses dan tata cara pengesahan perkawinan usia dini pada masyarakat Jawa yang ada di desa Saentis ini.

2. Mendeskripsikan pelaksanaan perkawinan usia dini pada masyarakat Jawa yang ada di desa Saentis itu sendiri.

3. Menggambarkan status perkawinan usia dini itu dilihat dari berbagai macam aturan hukum baik hukum Negara, hukum agama dan hukum adat masyarakat setempat secara umum.


(26)

1.4. Ruang Lingkup Masalah

Yang menjadi ruang lingkup penelitian ini hanya berfokus pada perspektif pluralisme hukum saja, dan bagaimana status perkawinan usia dini itu dilihat dari berbagai macam aturan hukum baik hukum Negara, hukum Agama dan hukum Adat masyarakat setempat khususnya di desa Saentis, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang. Mengingat ruang lingkup pembahasan nantinya akan semakin luas sekali, oleh karena itu penulis hanya membatasi sekitar masalah perkawinan usia dini, dan bagaimana “Perspektif Pluralisme hukum” yang ada dalam mayarakat itu sendiri. Sehingga ruang lingkup masalah yang penulis teliti hanya fokus pada satu objek masalah saja. Oleh karena itu penulis akan memfokuskan atau mengkonsentrasikan dengan judul, “Perkawinan Usia Dini dalam Perspektif Pluralisme Hukum”. Maksud dari pluralisme hukum adalah adanya lebih dari satu tatanan hukum dalam suatu arena sosial, artinya dalam suatu masyarakat tidak ada hukum yang dominan. Suatu aturan hukum akan terpengaruh oleh hukum-hukum lain yang ada disekitarnya.

I.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian a. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan, bagaimana proses tatacara pelaksanaan pengesahan perkawinan usia dini pada masyarakat Jawa yang tinggal di Desa Saentis ini, apakah pengesahan perkawinan usia dini itu di sahkan hanya berdasarkan hukum Negara melalui Kantor Urusan Agama (KUA), atau di sahkan berdasarkan hukum agama Islam saja dan bagaiamana pengesahan perkawinan usia dini menurut hukum Adat masyarakat Jawa di Desa Saentis


(27)

khususnya. Dengan demikian penulis nantinya dapat menguraikan bagaimana status perkawinan usia dini dapat dilihat dari berbagai macam aturan hukum baik itu hukum Negara, hukum agama dan hukum adat masyarakat setempat secara umum, yang disebut dengan “pluralisme hukum”. Selain itu juga penelitian ini bertujuan untuk menguraikan bagaimana kedudukan antara Hukum Agama Islam dan Hukum Positif pada perkawinan usia dini, dalam melihat kesempatan atau peluang masyarakat dalam melakukan perkawinan usia dini.

b. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan nantinya dapat bermanfaat kedepannya bagi kalangan civitas akademika, pemerintah, para orang tua, kalangan masyarakat umum dan khususnya dapat bermanfaat bagi masyarakat di desa Saentis ini. Penelitian ini nantinya akan memberikan pandangan mengenai kasus-kasus pengesahan perkawinan usia dini secara umum yang terjadi, dalam kehidupan masyarakat Jawa yang tinggal di desa Saentis. Serta penelitian ini dapat memperkaya atau menambah khsanah Ilmu Antropologi secara akademik mengenai “Perkawinan Usia Dini dalam Perspektif Pluralisme Hukum” pada masyarakat Jawa yang tinggal di Desa Saentis, Kecamatan Percut Sei Tuan, dalam mensahkan perkawinan usia dini pada beberapa pilihan-pilihan hukum tersebut. Selanjutnya, diharapkan adanya penelitian lebih lanjut yang mengulas mengenai perkawinan usia dini yang selalu terjadi di dalam kehidupan masyarakat secara umum.


(28)

I.6. Metode Penelitian 1.6.1 Tipe Penelitian

Jenis penelitian ini bersifat eksploratif, dan pemaparannya dalam bentuk deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk menggambarkan secara terperinci bagaimana perkawinan usia dini dapat dikaji dalam perspektif pluralisme hukum. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1989:29) penelitian yang bersifat deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan atau gejala atau kelompok tertentu atau untuk menentukan frekuensi atau penyebaran suatu gejala atau frekuensi adanya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lainnya dalam suatu masyarakat. Metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif digunakan untuk mendapatkan gambaran yang mendalam tentang bagaimana masyarakat menentukan pilihan-pilihan hukumnya, serta bagaiamana proses pengesahan perkawinan usia dini tersebut terjadi khususnya pada masyarakat Jawa yang tinggal di Desa Saentis.

I.6.2. Teknik Pengumpulan Data a. Observasi

Pada saat berada dilapangan, yang pertama sekali penulis lakukan dalam penelitian ini adalah dengan mengadakan observasi (pengamatan) terhadap masyarakat Jawa yang tinggal di Desa Saentis ini dalam melakukan perkawinan usia dini. Pada penelitian ini observasi yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah observasi partisipan. Yang dimaksud dengan non-partisipan, yaitu peneliti (pengamat) hanya mengamati masalah yang terjadi pada masyarakat tersebut dan tidak ikut serta terhadap masalah yang akan diteliti


(29)

nantinya. Teknik yang dilakukan oleh penulis adalah dengan cara mengamati dan mencatat segala gejala yang diteliti dan yang berhubungan dengan pertanyaan penelitian. Gejala yang diamati oleh penulis antara lain adalah bagaimana proses pelaksanaan perkawinan usia dini tersebut. Pada proses ini yang diamati antara lain bagaimana tatacara pengesahan perkawinan usia dini yang terjadi pada masyarakat Jawa di Desa Saentis khususnya, apakah pengesahan perkawinan usia dini tersebut disahkan berdasarkan aturan hukum Negara, hukum Agama dan apakah disahkan berdasarkan hukum Adat masyarakat setempat. Penulis akan mengamati bagaimana masyarakat Jawa yang tinggal di Desa Saentis khususnya dalam memilih pilihan hukum untuk mensahkan perkawinan usia dini tersebut. Dengan demikian penulis akan melihat bukti dari perkawinan usia dini yang dilakukan oleh masyarakat melalui akte nikah dan buku nikah yang mereka dapatkan dari Kantor Urusan Agama (KUA). Tidak hanya itu saja penulis akan mengamati bagaimana tingkat pendidikan masyarakat, kemiskinan, serta pengaruh lingkungan dari masyarakat yang melakukan perkawinan usia dini itu sendiri. Sehingga penulis nantinya dapat menyimpulkan bagaimana perkawinan usia dini yang terjadi pada masyarakat yang tinggal di Desa Saentis ini khususnya.

b. Wawancara

Selain melakukan observasi (pengamatan), penulis juga akan melakukan wawancara terhadap informan yang benar-benar mengetahui tentang masalah yang sedang diteliti oleh penulis. wawancara merupakan suatu teknik untuk mendekati sumber informasi dengan cara tanya jawab yang dikerjakan dengan sistimatis dan berdasarkan pada tujuan penelitian. Wawancara ini digunakan


(30)

untuk mengungkapkan masalah yang sedang diteliti. Dengan demikian wawancara dilakukan dengan pertanyaan yang “Open ended” (wawancara dimana jawaban tidak terbatas pada satu tanggapan saja) dan mengarah pada pedalaman informasi serta dilakukan tidak secara formal terstruktur. Wawancara ini dilakukan beberapa kali sesuai dengan keperluan peneliti yang berkaitan dengan kejelasan dan kemantapan masalah yang dijelajahi.

Dalam wawancara ini digunakan metode wawancara mendalam, terbuka secara mendalam dilakukan secara akrab dan penuh kekeluargaan. Metode wawancara mendalam secara umum adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relative lama. Sesuai dengan pendapat (Spradley, 1979:46; 1980:3) yang mengatakan bahwa, metode wawancara mendalam (indept interview) jenis ini tentunya berpijak pada prinsip bahwa peneliti melakukan learning from people (belajar pada masyarakat), dan bukannya

study of people (mengkaji masyarakat).

Pada awalnya penulis mendatangi Kantor Desa Saentis untuk mewawancarai orang yang terkait dalam penelitian ini, seperti Kepala Desa Saentis yang bernama Bapak Racitno (46 tahun) namun penulis tidak menemukan informasi yang disampaikan oleh Bapak Racitno tersebut. Penulis pun akhirnya ditujukan kepada Sekretaris Desa Saentis yang bernama Bapak Sudarto, karena menurut Bapak Racitno, Bapak Sudarto sangat mengetahui apa yang sedang penulis teliti. Setelah itu penulis memberikan pertanyaan kepada Bapak Sudarto


(31)

dan ia pun membenarkan bahwa di Desa Saentis ini khusunya memang sering terjadi perkawinan usia dini, namun masyarakat menganggap hal itu sudah menjadi hal yang biasa atau lumrah menurut Bapak Sudarto dan Bapak Sudarto menambahkan lagi bahwa sering terjadi perkawinan usia muda di Desa Saentis khususnya, namun jika perkawinan usia dini terjadi maka kebanyakan mereka menambahi usia mereka agar mendapatkan pengesahan Kantor Urusan Agama (KUA). Setelah mendapatkan informasi dari Bapak Sudarto, Bapak Sudarto juga menyuruh penulis untuk pergi ke ruangan bendahara Desa Saentis, karena menurut Bapak Sudarto di ruangan tersebut terdapat data-data masyarakat yang telah menikah usia dini, tanpa pikir panjang penulis pun menuju ke ruangan tersebut dan akhirnya penulis melihat buku yang bertulisan daftar buku nikah. Setelah meilhat daftar buku nikah tersebut penulis sangat kesulitan menemukan mana pasangan yang telah menikah usia muda, namun tidak sia-sia juga penulis pun akhirnya diberitahu oleh kak Dewi masyarakat yang melakukan perkawinan usia dini, dan kakak tersebut pun juga menjelaskan bahwa dibelakang kantor mereka juga terdapat masyarakat yang melakukan perkawinan usia dini.

Setelah mendapatkan data dari Kantor Desa Saentis, maka penulis selanjutnya melakukan wawancara di rumah Bapak Sumedi (46 tahun) beliau adalah Tuan Kadhi atau Petugas Pegawai Pencatat Nikah khusus daerah Desa Saentis yang ditugaskan oleh Kantor Urusan Agama (KUA). Karena penulis yakin bahwa Bapak Sumedi adalah orang yang mengesahan perkawinan usia dini di Desa Saentis, ini dan pada saat itu juga penulis mencocokkan data yang telah diperoleh dari Kantor Desa Saentis dengan data yang dimiliki oleh beliau. Setelah data yang sudah diperoleh dari beliau, maka langkah selanjutnya penulis


(32)

melakukan wawancara dengan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Percut Sei Tuan yaitu Bapak Bahrum (59 tahun) beliau adalah orang yang berhak mengeluarkan aktek nikah dan buku nikah. Selain itu penulis juga melakukan wawancara terhadap setiap Kepala Dusun yang ada di Desa Saentis ini khususnya, demi mendapatkan informasi tentang perkawinan usia dini yang terjadi pada warganya. Tidak ketinggalan lagi penulis juga melakukan wawancara dengan Tokoh Adat yaitu dengan Ibu Murni (62 tahun) beliau adalah dukun manten di Desa Saentis ini, karena beliau adalah orang yang sangat berperan dalam mensahkan suatu perkawinan khususnya dalam mensahkan perkawinan usia dini secara adat Jawa. Selanjutnya penulis melakukan wawancara dengan Bapak Agusniadi (42 tahun) beliau adalah tokoh Agama yang tinggal di Desa Saentis ini. Saat penulis mewawancara beliau, ia menjelaskan bahwa perkawinan usia dini yang terjadi di Desa Saentis khususnya dikarenakan, kurangnya kesadaran orang tua dalam memberikan ajaran-ajaran agama Islam, sehingga akhlak anak-anak sekarang yang tinggal di Desa Saentis ini khususnya tidak sesuai dengan harapan atau syari’at agama Islam umumnya. Selanjutnya penulis juga melakukan wawancara dengan orang tua si anak yang melakukan perkawinan usia dini tersebut. Orang tua yang penulis maksud adalah Bapak Lim Tjek Tjeng (52 tahun) dengan Ibu Agustini (38 tahun), Bapak Harianto (40 tahun) dengan Ibu Mariani (38 tahun), Bapak Agus Supardi (42 tahun) dengan Ibu Watini (39 tahun), mereka adalah orang tua yang anaknya telah melakukan perkawinan usia dini. Penulis sangat yakin bahwa mereka sangat lebih mengetahui dan orang yang paling berperan dalam pengesahan perkawinan usia dini tersebut. Informasi tersebut dapat dibuktikan setelah penulis melakukan observasi di Desa Saentis


(33)

tersebut. Selain itu penulis juga melakukan wawancara dengan Bapak Ngadenan (68 tahun) beliau adalah tokoh masyarakat yang mengetahui banyak tentang sejarah beridirinya Desa Saentis dahulunya.

Dalam penelitian ini penulis melakukan wawancara terhadap tiga (3) pasangan keluarga muda yaitu dengan. Pada awalnya penulis mewawancarai pasangan yang menikah usia dini yaitu Rahmat Nuriyono dengan Wiliyana, Riduan dengan Lely Suparti dan dilanjutin dengan wawancara pada pada pasangan muda Ami Aidir dan Desy Purnama Sari, mereka merupakan informan kunci dalam penelitian ini yang mengetahui betul mengapa mereka menikah di usia dini. Rahmat Nuriyono (17 tahun) adalah seorang penduduk Desa Tanjung Rejo yang pekerjaan sehari-harinya hanya sebagai buruh bangunan dan Rahmat menikah dengan Wiliyana (16 tahun) yang merupakan penduduk asli Desa Saentis, mereka merupakan pasangan muda yang menikah usia dini pada tahun 2010 lalu. Awalnya saat penulis mewawancarai Rahmat Nuriyono dan Wiliyana mereka seakan-akan enggan memberikan informasi terhadap penulis, mereka merasa takut saat penulis memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada mereka berdua, karena mereka beranggapan bahwa kedatangan saya seperti utusan dari Kantor Urusan Agama (KUA) padahal kenyataannya tidak seperti itu. Namun tidak mau mereka curiga dengan penulis, penulis pun berinisiatif menjelaskan maksud dan tujuan dari kedatangan penulis kerumah mereka, setelah selesai menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan penulis kerumah mereka, mereka pun akhirnya bersedia memberikan informasi yang penulis butuhkan dalam penelitian ini. Setelah menikah mereka tinggal menetap di Desa Saentis ini. Selanjutnya penulis juga mewawancarai Riduan (18 tahun) adalah seorang penduduk asli Desa


(34)

Cinta Rakyat yang menikah dengan Lely Suparti (16 tahun) adalah seorang penduduk asli Desa Saentis, mereka merupakan pasangan muda yang telah menikah usia dini pada januari lalu. Saat penulis mendatangi rumah mereka di Dusun Samiaji Desa Saentis untuk melakukan wawancara, mereka pun terkejut dengan kedatangan penulis dan mereka mengira penulis seperti tukang penagih tukang kredit sepeda motor, namun setelah penulis menjelaskan maksud dan tujuan penulis datang kerumah mereka. Mereka pun sangat tertutup dalam memberikan informasi yang dibutuhkan oleh penulis, penulis berusaha semaksimal mungkin dan melakukan teknik-teknik lain demi mendapatkan informasi mengapa mereka melakukan perkawinan usia dini. Akhirnya juga penulis mendapatkan informasi yang penulis inginkan dan hasilnya adalah bahwa mereka melakukan perkawinan usia dini, karena Lely Suparti saat itu telah hamil tiga (3) bulan, mau tidak mau Riduan yang saat itu sedang dilanda kebingungan dan pada saati itu pula Riduan menikahi Lely Suparti walaupun usia keduanya tidak memenuhi syarat. Selanjutya penulis juga melakukan wawancara dengan Ami Aidir (18 tahun) merupakan penduduk diluar Desa Saentis, Aidir menikahi Desy Purnama Sari (16 tahun) pada bulan januari yang lalu dan sedangkan Desy Purnama Sari adalah penduduk asli Desa Saentis. Mereka merupakan pasangan muda yang telah melakukan perkawinan usia dini, kasus yang mereka alami hampir sama yang terjadi pada pasangan Riduan dengan Lely Suparti, bahwa pada saat itu Desy Purnama Sari telah hamil dan akhirnya Aidir menikahi Desy takut masalah yang mereka alami saat itu diketahui oleh masyarakat setempat.


(35)

I.6.3. Rangkaian Pengalaman di Lapangan

Penulis tiba di lokasi penelitian pada tanggal 22 Juni 2011 yang lalu. Setelah sekian lama penulis menidurkan skripsinya tanpa ada sedikit pun niat untuk memulainya, dan pada akhirnya penulis pun sadar karena sudah banyak adik-adik stambuk yang telah menyelesaikan skripsinya. Kemudian sebagai langkah awal penulis melapor ke Kantor Desa Saentis serta mejelaskan maksud dari kedatangan penulis ke Kantor Desa Saentis ini. Saat penulis berhadapan langsung dengan Kepala Desa Saentis yaitu Bapak Racitno, penulis pun memperkenalkan diri dan tidak lupa juga penulis memberikan surat izin penelitian dari Universitas Sumatera Utara kepada beliau. Beliau sangat menerima kedatangan penulis dengan baik pada waktu itu dan pada saat penulis berdiskusi dengan beliau saat itu, beliau sangat tertarik dengan judul yang penulis ingin teliti di Desa Saentis ini. Setelah sekian lama berdiskusi dengan beliau, beliau menyuruh penulis pergi ke ruangan Bapak Sudarto beliau adalah sekretaris Desa Saentis, untuk mengurus segala keperluan penulis yang dibutuhkan. Saat penulis masuk ke ruangan kerja beliau, penulis pun menyampaikan maksud dan tujuan datang ke Kantor Desa Saentis ini, tidak lupa juga penulis menyertakan surat izin penelitian dari Universitas Sumatera Utara. Selang beberapa menit kemudian beliau menayakan kembali tentang judul yang ingin penulis teliti di Desa saentis, mengapa anda mengambil judul tentang perkawinan usia dini dalam perspektif pluralisme hukum? tanya beliau kepada penulis, tanpa pikir panjang penulis pun menjawab pertanyaan yang beliau berikan kepada penulis. Setelah lama menjelaskan judul penelitian kepada belau, akhirnya beliau pun paham dengan apa yang sedang penulis teliti di Desa Saentis ini. Kemudian beliau juga


(36)

menanyakan kembali kepada penulis, apa yang harus kami bantu kepada anda? tanya beliau kepada penulis, penulis pun menjawab dengan senang hati “ya” sesuai dengan data yang diperlukan penulis nantinya “pak” dan beliau pun menjawab “oke” tidak ada masalah kalau seperti itu keadaannya. Jika dikemudian hari ada halangan atau hambatan yang anda dapatkan dilapangan harap melapor ke kantor Desa Saentis ini “ya”, kata beliau kepada penulis.

Hari pertama saat berada dilapangan, dengan hati penuh dengan kegembiraan penulis pun menuju ke Kantor Desa Saentis untuk meminta data tentang kependudukan serta demografi Desa Saentis secara keseluruhan. Setelah penulis mendapatkan data tersebut kemudian penulis juga menanyakan kepada bapak Sudarto, ada tidak tokoh adat Jawa dalam mengetahui tentang perkawinan khususnya yang tinggal di Desa Saentis ini “pak” tanya penulis kepada beliau. Beliau pun menjawab dengan nada suara yang tenang “ada” tetapi masyarakat mengangap tokoh adat Jawa itu adalah sebagai Dukun Manten, menurut beliau Dukun Manten sangat berperan aktif dalam suatu acara pengesahan perkawinan khususnya pada adat Jawa yang ada di Desa Saentis ini. Tidak lama kemudian penulis pun diberikan surat izin oleh beliau untuk bertemu dengan Ibu Murni dan beliau juga berpesan kepada penulis “jangan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang sulit kepada Ibu Murni “ya” karena beliau tidak akan bisa menjawabnya” pesan beliau kepada penulis. Setelah penulis mendapatkan surat izin tersebut, penulis pun bergegas menuju ketempat kediaman Ibu Murni yang jaraknya tidak begitu jauh dengan kantor Desa Saentis tersebut. Akhirya penulis pun berjumpa dengan Ibu Murni, saat itu beliau sangat terkejut dengan kedatangan penulis saat itu dan mengira kedatangan penulis sebagai penagih hutang, penulis pun tertawa


(37)

dengan apa yang disampaikan beliau tersebut kepada penulis. Kemudian penulis dipersilahkan duduk oleh Ibu Murni dan beliau juga menghidangkan secangkir air putih untuk penulis saat itu. Penulis menceritakan maksud kedatangan penulis ke rumah beliau dan saat itu juga penulis memberikan pertanyaan kepada beliau tentang bagaimana proses perkawinan adat Jawa khususnya di Desa Saentis ini. Beliau pun menceritakan bagaiamana proses perkawinan adat Jawa yang beliau ketahui saat menikahkan masyarakat yang tinggal di Desa Saentis ini. Disela-sela beliau menjelaskan tentang proses perkawinan adat Jawa tersebut, tidak lupa juga penulis memberikan pertanyaan kepada beliau tentang perkawinan usia dini yang beliau ketahui. Beliau pun menceritakan bahwa benar di Desa Saentis ini khususnya sering terjadi perkawinan usia dini, namun menurut beliau terkadang masyarakat yang tinggal di Desa Saentis ini merasa tidak peduli dengan hal seperti ini, tetapi tidak semua masyarakat yang melakukan perkawinan usia dini tersebut. Yang melakukan perkawinan usia dini tersebut hanya sebagian kecil masyarakat saja yang melakukannya, dikarenakan beberapa faktor yang mempengaruhi seperti, ekonomi, lingkungan tempat tinggal dan kurangnya kontrol orang tua terhadap anak sehingga menjadikan seorang anak tersebut dapat melakukan hal-hal sesuka hatinya. Setelah mendapatkan informasi dari Ibu Murni, mencatat dan merekam segala bentuk pembicaraan antara penulis dengan informan. Penulis pun tidak mau menyimpulkan hasil pembicaraan sebelumnya, kurang lebih 1 jam penulis melakukan wawancara kepada Ibu Murni, penulis pun berpamitan pulang kerumah. Sesampainya dirumah, penulis mengulang kembali hasil pembicaraan tersebut dan setelah itu penulis dapat menganalisis data tersebut.


(38)

Hari selanjutnya penulis terjun kelapangan dan mendatangi kembali kantor Desa Saentis untuk meminta data tentang perkawinan. Beliau pun tanpa pikir panjang menyuruh pergi keruangan Ibu Dewi, Ibu Dewi adalah bendahara Desa Saentis saat ini, ketika penulis berjumpa dengan ibu Dewi tersebut dan penulis pun menyampaikan mandat dari Bpak Sudarto bahwa penulis ingin melihat-lihat data tentang perkawinan di Desa Saentis ini. Tidak lama kemudian Ibu Dewi memberikan data tersebut, setelah melihat data tersebut penulis merasa sangat kebingungan menemukan data mana yang telah melakukan perkawinan usia dini, penulis pun bertanya lagi kepada Ibu Dewi ada tidak masyarakat yang melakukan perkawinan usia dini, Ibu Dewi pun menunjukkan orang-orang yang telah melakukan perkawinan usia dini di data tersebut dan Ibu Dewi tersebut menjelaskan bahwa memang betul sangat susah menemukan data yang benar-benar melakukan perkawinan usia dini. Tetapi kebanyakan mereka yang telah melakukan perkawinan usia dini sebelumnya menambahi usianya demi mendapatkan pengesahan dari Kantor Urusan Agama (KUA) menurut Ibu Dewi, jika tidak ditambahi usianya maka akan sulit untuk menikah. Setelah penulis mendata orang-orang yang telah menikah usia muda pada daftar perkawinan tersebut, penulis pun begegas pergi kerumah Bapak Sumedi adalah Tuan Kadhi yang ditugaskan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) khusus untuk Desa Saentis ini. Akhirnya penulis bertemu dengan beliau dan saat mewawancarai beliau, penulis pun memulai wawancara dengan beliau dan bertanya mengenai proses perkawinan menurut agama Islam khususnya serta bagaimana syarat-syarat perkawinan menurut agama Islam itu sendiri, beliau pun menjawab apa yang di tanyakan oleh penulis. Beberapa menit kemudian sesuai dengan tujuan penetian


(39)

penulis pun akhirnya menanyakan tentang perkawinan usia dini yang terjadi di Desa Saentis ini. Saat itu beliau pun sempat terkerjut dengan temuan yang saya dapatkan dari lapangan sebelumnya, beliau tersebut menanyakan kembali kepada penulis dari mana anda mendapatkan informasi tersebut? Tanya beliau kepada penulis, penulis pun menjawab informasi tersebut yang penulis dapatkan dari hasil wawancara penulis lakukan dengan informan sebelumnya pak. Namun beliau sampai sekarang ini tidak mengetahui bahwa adanya masyarakat yang telah melakukan perkawinan usia dini di Desa Saentis ini khsususnya. Setelah sekian lama berdiskusi dengan beliau, penulis pun meminta data-data tentang perkawinan yang ada di Desa Saentis ini. Pada saat itu juga penulis diberikan informasi oleh beliau, bahwa jika ingin mendapatkan data yang lengkap tentang perkawinan di Desa Saentis ini. Penulis diarahkan langsung ke Kantor Urusan Agama (KUA) Percut Sei Tuan, setelah mendapatkan informasi tersebut penulis pun akhirnya berpamitan pulang.

Esok harinya penulis mendatangi Kantor Urusan Agama (KUA) Percut Sei Tuan, hari baik selalu datang kepada penulis. Penulis pun berjumpa langsung dengan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) yaitu Bapak Bahrum Nasution dan penulis pun melakukan wawancara kepada beliau, sama halnya dengan jawaban Bapak Sumedi beliau juga tidak mengetahui adanya masyarakat yang melakukan perkawinan usia dini. TUPOKSI dari Kantor Urusan Agama (KUA) adalah hanya memproses data yang masuk ke kantor ini menurut beliau, namun penulis juga memberikan pertanyaan lagi kepada beliau apa sebenarnya yang sedang dilakukan Pegawai Petugas Pencatatan Nikah? Tanya penulis kepada beliau, informasi yang disampaikan oleh beliau seakan-akan ada yang ditutupi beliau kepada penulis.


(40)

Tanpa pikir panjang penulis tidak ingin beliau tertekan oleh pertanyaan-pertanyaan penulis, maka penulis pun menyudahi wawancara tersebut dan kemudian meminta izin kepada beliau agar memberikan data yang penulis butuhkan. Setelah mendapatkan data dari Kantor Urusan Agama (KUA), penulis pun akhirnya berpamitan pulang kepada beliau. Sesampainya dirumah penulis kembali melihat data yang penulis dapatkan dari lapangan, hasilnya memang betul apa yang dikatakan oleh Ibu Dewi sebelumnya kepada penulis adalah benar adanya, penulis menemukan data yang telah menikah sebelumnya memberikan data pribadi tidak sesuai dengan Kartu Keluarga (KK), semua data yang penulis temukan banyak terjadi bahasa setempat mengatakan mencuri usia atau menambahi usia.

Selanjutnya penulis langsung kembali kelapangan dan mewawancarai masyarakat yang telah melakukan perkawinan usia dini tersebut, saat mewawancarai informan penulis tidak menemukan titik terang dari kasus tersebut, mereka seakan-akan menutup diri dalam memberikan jawaban-jawaban yang dipertanyakan oleh penulis. Kebohongan-keobohongan yang penulis dapatkan dari mereka saat ditanyai mereka mengapa mereka menikah di usia muda, jawaban mereka hanya singkat saja namanya suka sama suka bang apa boleh buat. Itu yang penulis tidak habis pikir selalu mendapatkan jawaban yang tidak sesuai dengan kebutuhan penulis, namun penulis menggunakan alternative lain agar mereka mau memberikan informasi yang sebenarnya mengapa mereka menikah usia muda. Pada saat itu ketika berjumpa dengan Wiliyana yang menikah usia muda pada tahun 2010 lalu, ia menjelaskan mengapa ia menikah di usia muda dikarenakan telah hamil diluar nikah pada saat itu dan mau tidak mau harus


(41)

menikah sebagai jalan keluarnya, walaupun usia tidak sesuai dengan ketentuan hukum namun mereka tetap melakukan perkawinan tersebut dari pada nanti dikemudian hari menjadi masalah dalam keluarga.

I.7. Lokasi Penelitian

Lokasi Penelitian ini dilakukan di desa Saentis, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang. Alasan mengapa penulis memilih lokasi penelitian ini, bahwa penduduk yang ada di desa Saentis ini masih terdapat masyarakat yang melakukan perkawinan usia dini, oleh sebab itu peneliti ingin melihat bagaimana proses pengesahan perkawinan usia dini yang dilakukan oleh masyarakat. Alasan lain dalam pemilihan desa tersebut karena sarana dan prasarana dilokasi penelitian ini sangat mendukung, dan tempat tinggal si penulis sangat berdekatan dengan lokasi penelitian sehingga hal ini akan membantu peneliti dalam hal menghemat biaya, tenaga, dan waktu disamping membantu itu dapat mempermudah memperoleh data yang dibutuhkan.


(42)

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1. Lokasi dan Keadaan Alam

Secara geografis Desa Saentis terletak diantara beberapa desa yang merupakan induk dari Kecamatan Percut Sei Tuan, Desa Saentis dahulunya merupakan sebuah kampung terpencil yang ditempati oleh beberapa masyarakat saja dan dahulunya adalah tempat bekerjanya para buruh perkebunan transmigran yang datangnya dari luar Sumatera Utara, misalnya saja seperti ada yang datang dari Solo, Jawa, Wonogiri dan Capu. Daerah tersebut merupakan daerah yang pada saat itu banyak mendatangkan buruh-buruh kontrak. Desa Saentis adalah sebuah desa yang terletak di tepi/pinggiran Kota Medan, Sumatera Utara yang mayoritas penduduknya bersuku bangsa Jawa dan beragama Islam khusunya, walaupun ada juga terdapat beberapa sub-sub etnis sebagai pendatang baru di Desa ini yang populasinya tidak begitu banyak dibandingkan dengan suku bangsa Jawa sebelumnya, akan tetapi dapat dipastikan bahwa daerah ini telah menjadi tempat pemukiman penduduk yang jumlahnya senantiasa berkembang seiring berjalannya waktu.

Desa Saentis, Kecamatan Percut Sei Tuan merupakan salah-satu desa yang juga terletak di tepi/pinggiran laut dan tidak begitu jauh letaknya dengan Desa Bagan, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, serta jarak tempuh dari Desa Saentis ke tepi/pinggiran laut ke Desa Bagan ± 7 Km. Walaupun jarak antara Desa Saentis dengan Desa Bagan tidak begitu jauh, namun dalam pekerjaan atau sistem mata pencaharian antara Desa Saentis dengan Desa Bagan berbeda, masyarakat yang ada di Desa Bagan dalam pekerjaannya


(43)

maupun dalam mata pencahariannya sehari-hari adalah mayoritas melaut, hanya sedikit saja masyarakat yang bertani atau berkebun dan itupun ada juga masyarakat yang bukan penduduk di Desa Bagan itu memiliki tanah dan rumah untuk disewakan kepada warga desa setempat. Sedangkan Desa Saentis merupakan desa agraris, mengapa dikatakan sebagai desa agraris karena di Desa Saentis ini penduduknya petani dan berkebun, tidak perlu heran Desa Saentis banyak ditanami tanaman tembakau, sayur, padi, buah-buahan hingga tanaman keras seperti sawit.

Jarak tempuh dari Desa Saentis ke Ibukota Kecamatan 16 Km/jam jika menggunakan alat transportasi umum, sedangkan jarak tempuh dari Desa Saentis ke Ibukota Kabupaten/Kotamadya ± 30 Km/jam jika mengunakan alat trasportasai umum seperti bus dan angkutan umum lainnya, dan sedangkan jarak tempuh dari Desa Saentis ke Ibukota Propinsi adalah ± 18 Km/jam. Dalam hal ini juga Desa Saentis, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang berbatasan dengan.

1. Sebelah Utara Berbatasan dengan Desa Tanjung Rejo / Tanjung Selamat 2. Sebelah Selatan Berbatasan dengan Desa Sampali

3. Sebelah Barat Berbatasan dengan Pematang Johar 4. Sebelah Timur Berbatasan dengan Desa Sei Tuan

Luas Desa Saentis secara umum adalah

+ 2400

Ha. Sebagian besar lahan ada yang dijadikan pertanian sawah 155 Ha, perkebunan rakyat 50 Ha, perkebunan negara 1650 Ha, perkebunan swasta 15 Ha, Kawasan Industri Medan (

KIM) Mabar

+ 350 Ha,

Pemukiman

+ 110

Ha, pekuburan 1 Ha, fasilitas umum 2.8 Ha. Untuk dapat mencapai Desa Saentis, Kecamatan Percut Sei Tuan ini, dari Ibu Kota Kabupaten diperlukan waktu sekitar 120 Menit dengan berkendaraan


(44)

umum, dan tiga kali transit dari daerah yang satu dengan daerah lainnya, oleh karena itu angkutan umum dan tarif ongkosnya juga berbeda-beda ada yang Rp. 3000- hingga Rp.5000- sekali jalan. Sedangkan dari Ibu Kota Kecamatan menuju Desa Saentis ini diperlukan waktu sekitar 60 Menit, dengan berkendaraan umum seperti CV. Kenari dan biaya ongkosnya sekitar Rp.6000- sampai tujuan.

Pada umumnya Desa Saentis, berada pada ketinggian ± 4 meter dari permukaan laut yang curah hujannya 0-15 mm/tahun dan keadaan suhu rata-rata 30ºc, dengan ketinggian dari permukaan laut tersebut banyak dijadikan oleh masyarakat sebagai Lahan Pertanian, Lahan Perkebunan Rakyat/Perkebunan Negara/Swasta, Tempat Perkantoran Swasta, Supermarket dan juga Kawasan Industri besar dan Kawasan Industri kecil-kecilan. Sehingga struktur/bentuk permukaan laut dan produktivitas tanah dapat dikatakan sangat baik atau subur untuk dijadikan sebagai tempat pertanian maupun juga dijadikan tempat beternak lainnya, dalam kondisi tanah di Desa Saentis terlihat masih sangat produktif untuk ditanami seperti tanaman tembakau maupun tanaman tebu gula serta juga tanaman lain, yang pada dasarnya dikelolah oleh pihak swasta seperti PTPN II Deli Serdang dan ada juga masyarakat desa setempat memanfaatkan lahan tersebut untuk ditanami tanaman lain seperti tanaman ubi, jagung dan tanaman lainnya yang dianggap produktif, sedangkan suhu udara di desa ini tidak begitu panas jika pada siang hari, karena desa ini masih banyak pepohonan hijau serta tanaman yang mengelilingi desa ini, sedangkan jika pada malam hari tiba udara disini terasa sejuk akibat hembusan angin laut maupun angin darat. Berikut nama Dusun dan pembagian Dusun yang ada di Desa Saentis.


(45)

2.2. Sejarah Singkat Desa Saentis

Dahulu pada tahun 1920 Desa Saentis ini masih kawasan hutan belantara milik para jajahan belanda, sebelum disebut dengan Desa Saentis pada umumnya masyarakat pendatang menyebutnya adalah sebuah Kampung Saentis yang dimana Kampung Saentis ini dahulunya tempat para berkumpul para ilmuan-ilmuan pertanian dan para arsitek-arsitek dari Negara Belanda, oleh karena itu menurut Bapak Ngadenan (68 tahun) kata Saentis berasal dari sebuah kata

”Sains” yang berarti “ilmu pengetahuan” sedangkan kata “Tis” adalah sebuah

kata untuk menandakan seseorang yang “pintar” di dalam ilmu pertanian pada masa itu, oleh karena itu pada masa jajahan kolonial Belanda tahun 1920 lahirlah sebuah kampung dan diberi nama oleh masyarakat, kampung Saentis yang artinya adalah tempat berkumpulnya atau tempat persinggahan orang-orang pintar dan para ahli teknologi yang datang dari Negara Belanda.

Menurut Bapak Ngadenan, ia adalah salah satu tokoh masyarakat yang pernah bekerja sebagai karyawan PTPN-IX pada masa belanda, sejak tahun 1920 belanda mengirimkan buruh perkebunan atau disebut dengan kuli kontrak yang didatangkan dari Negara Cina dan Negara Hindia, namun perkembangan PTPN-IX meluas hingga sampai keseluruh Kabupaten yang ada di Propinsi Sumatera Utara, dan pada saat itu PTPN-IX kekurangan buruh perkebunan di kampung Saentis ini, sehingga menyebabkan Belanda mendatangkan kuli kontrak lokal dari daerah Jawa, ada juga yang berasal dari Wonogiri, Solo dan juga Capu adalah merupakan daerah yang paling banyak mengirimkan kuli kontrak secara besar-besaran ke desa Saentis ini, hal itu dilakukan oleh kolonial belanda adalah untuk mengantisipasi akan kekurangan buruh perkebunan dan khususnya untuk


(46)

memperluas areal tanaman tembakau pada masa itu, jadi tidak perlu heran jika di Desa Saentis khusunya masyarakatnya mayoritas bersuku bangsa Jawa, namun perkembangan orang Jawa bukan hanya terletak di Desa Saentis ini saja, perkembangan orang Jawa juga hingga sampai pada setiap kecamatan yang ada di Kabupaten Deli Serdang.

Pada saat itu juga Kampung Saentis ini masih kawasan hutan, yang banyak ditumbuhi dengan semak-semak belukar, rumput-rumput lalang yang menjulur sangat tinggi disetiap tanah dan ditumbuhi oleh pepohonan-pepohonan besar. Setelah para kolonial Belanda mengirim kuli kontrak ke Kampung Saentis pada masa itu, disaat itulah kuli-kuli kontrak menebangi hutan dan membabat habis hutan hingga meluas ke kawasan Helvetia untuk ditanami tanaman tembakau. Setelah menebangi hutan dan memperluas areal tanaman, maka para kuli kontrak dan dengan atas dasar perintah dari mandor perkebunan milik belanda saat itu mengintruksikan kepada kuli-kuli kotrak tersebut agar terlebih dahulu membangun kantor untuk pejabat-pejabat belanda, tidak hanya itu juga para kuli kontrak membangun gudang penyimpanan tembakau, membangun rumah dinas untuk para mandor dan assisten kebun, dan juga para kuli kontrak membangun Bangsal adalah tempat untuk dijadikan proses permentasi dari daun tembakau yang sudah dikeringkan hingga menjadi sebuah tembakau.

Pada tahun 1926 para kuli-kuli kontrak tersebut telah selesai membangun/mendirikan rumah dinas, gudang, bangsal dan lain sebagainya. Belanda member nama Deli Congsi Maatscappij (DCM), jadi setiap kantor, rumah dinas dan gudang penyimpanan tembakau, maupun bangsal tempat pengeringan tembakau diberi nama Deli Congsi Maatscappij (DCM). Hingga tahun 1949


(47)

sampai pada tahun 1950 pertumbuhan penduduk Kampung Saentis berkembang sangat pesat, sehingga pada waktu itu masyarakat menuntut agar ada pemimpin di Kampung tersebut, atas dasar semangat dan kemauan masyarakat setempat untuk memajukan Kampungnya, masyarakatpun berinisiatif memberikan sebuah nama Kampung Saentis menjadi Desa Saentis dan pada saat itu juga terpililah salah satu Kepala Desa Saentis untuk pertama kalinya pada tahun 1950 yaitu Bapak H. Zainal Abidin Nasution dan beliau masih keturunan Jawa Mandailing, masa jabatan Bapak H. Zainal Abidin Nasution berakhir pada tahun 1971. Selain Bapak H. Zainal Abidin Nasution.

Setelah pada masa nasionalisasi semua perusahaan perkebunan milik Belanda yang ada di Indonesia pada tahun 1957 telah berganti nama dari Deli Congsi Maatscappij (DCM) ke PTPN-IX, oleh karena itu setiap perkebunan-perkebunan tembakau yang ada di Sumatera Utara (eks Keresidenan Sumatera Timur) dilebur ke dalam PTPN-IX (Perseroan Terbatas Perkebunan Negara IX). Dalam hal ini PTPN-IX dibagi dalam 3 (tiga) bagian yaitu Tembakau Deli I (TD I) yang berwilayah di daerah Batang Kuis, Bandar Kliffah, Pagar Merbau dan Tanjung Jati, Tembakau Deli II (TDII) yang berwilayah di daerah Saentis, Marendal, Helvetia, Medan Estate, Sampali dan Sungai Semayam, Tembakau Dali III (TD III) yang berwilayah di daerah Timbang Langkat, Kuala Binge, Kuala Kumit, Tandam Hilir, Bulu Cina, Klumpang, Klambir Lima dan Kuala Namu. Namun dalam areal wilayah Desa Saentis adalah merupakan tempat atau pusat perkantoran orang-orang Belanda pada masa itu, sehingga para buruh perkebunan banyak yang ditempati di Desa Saentis ini, karena tempatnya sangat strategis dan


(48)

juga sangat berdekatan dengan laut sehingga memudahkan pengiriman kuli-kuli kontrak dari Jawa melalui jalur laut.

2.3. Keadaan Penduduk

Berdasarkan hasil pengumpulan data yang diperoleh penulis dari kantor Desa Saentis Kecamatan Percut Sei Tuan, jumlah penduduk yang terdapat di desa pada tahun 2010 sebelumnya berjumlah 16.172 jiwa dengan jumlah 3.935 Kepala Keluaraga (KK). Dari jumlah penduduk tesebut dapat diklasifikasikan atas beberapa pembagian yaitu menurut jenis kelamin, umur, suku, agama, mata pencaharian hidup dan pendidikan.

Masyarakat penduduk yang tinggal di Desa Saentis umumnya mayoritas bersuku bangsa Jawa dahulu datang dari luar sumatera utara, hal ini dikarenakan bahwa pada waktu itu yang pertama sekali menempati daerah ini adalah orang Jawa sebagai buruh perkebunan di masa penjajahan Belanda pada tahun 1920, hingga saat ini perkembangan orang jawa di Desa Saentis semakin bertambah dan populasinya semakin meningkat setiap tahunnya. Selain itu juga masih terdapat beberapa suku bangsa lain yang dahulunya juga adalah sebagai pendatang di Desa Saentis ini, namun pada dasarnya tidak bekerja sebagai buruh perkebunan melainkan berkerja sebagai guru sekolah, mantri dan karyawan dikantor perkebunan milik Belanda waktu itu, dan kini suku bangsa sebagai pendatang sudah tinggal menetap di Desa Saentis, suku bangsa pendatang diantaranya adalah suku bangsa Batak Toba, Karo, Cina, dan India. Untuk lebih jelasya perbandingan daripada jumlah penduduk berdasarkan suku bangsa dapat dilihat pada tabel dibawah ini.


(49)

Tabel I

Jumlah Perbandingan Penduduk Berdasarkan Suku Bangsa No. Suku Bangsa Jumlah/Jiwa Persentase (%)

1. Jawa 15.621 96,5928 %

2. Batak Toba 320 1.9787 %

3. Batak Karo 100 0,6183 %

4. Cina (Tionghoa)

104

0,6430 %

5. India (Tamil)

27

0.1669 %

Total

16. 172

100 %

Sumber : Kantor Desa Saentis Kecamatan Percut Sei Tuan 2010, dan dikelola penulis

Terlihat jelas perbandingannya diatas bahwa suku bangsa yang mendominasi di Desa Saentis saat ini adalah suku bangsa jawa, walaupun dominasi orang Jawa di Saentis paling banyak namun sampai sekarang ini sangat jarang terjadi konflik baik antara suku yang satu maupun dengan suku yang lainnya. Pernah terjadi konflik di Desa Saentis ini, konflik tersebut terjadi pada masa era reformasi Indonesia tahun 1998, konflik terjadi karena masalah kesukubangsaan atau disebut dengan non-pribumi, tetapi konflik itu tidak berlansung lama hanya sehari saja dan konflik tersebut tidak ada menimbulkan korban jiwa hanya saja terdapat ruko-ruko atau rumah milik non-pribumi (cina) dibakar habis oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab pada masa era reformasi Indonesia yang lalu.

2.3.1. Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Menurut Usia

Berdasarkan Data yang ada, jumlah penduduk Desa Saentis untuk saat ini berjumlah 16.172 jiwa dan jika diklasifikasikan berdasarkan jenis kelamin secara keseluruhan, yaitu laki-laki 8.192 jiwa sedangkan perempuan berjumlah 7.980 jiwa yang masing-masing rumah tangganya diperkirakan terdiri dari 5 sampai 8 orang/rumah tangga, jika dilihat perbandingan jumlah antara laki-laki dengan


(50)

perempuan tidak begitu jauh bedanya hanya selisih sedikit jumlahnya, namun sampai sekarang ini pertumbuhan pendukduk di Desa Saentis semakin meningkat jumlahnya seiring berjalannya waktu. Berikut komposisi jumlah penduduk berdasarkan usia dan jenis kelamin.

Tabel II

Komposisi Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin

No. Usia (Tahun) Jenis Kelamin Jumlah

Laki-laki Perempuan

1. 0 - 4 Tahun 730 712 1842

2. 5 – 9 Tahun 894 844 1738

3. 10 – 14 Tahun 924 837 1761

4. 15 – 19 Tahun 777 784 1561

5. 20 – 24 Tahun 661 649 1310

6. 25 – 29 Tahun 705 791 1496

7. 30 - 34 Tahun 607 610 1217

8. 35 – 39 Tahun 600 588 1188

9. 40 – 44 Tahun 595 608 1003

10. 45 – 49 Tahun 539 531 870

11. 50 – 54 Tahun 369 349 718

12. 55 – 59 Tahun 303 266 569

13. 60 – 64 Tahun 187 198 385

14. 65 – 69 Tahun 164 148 312

15. Lebih Dari 70 Tahun 100 102 202

Jumlah 8.155 8.017 16.172

Sumber : Kantor Desa Saentis Kecamatan Percut Sei Tuan 2010, dan dikelola penulis.

Pada rentang usia 10-14 Tahun dan 15-19 Tahun yang berjumlah total 3322 jiwa merupakan posisi yang rentan terhadap perilaku perkawinan usia dini, dan tidak perlu heran jika di Desa Saentis masih terdapat masyarakat yang melakukan perkawinan usia dini pada usia 14 tahun hingga usia 16 tahun.


(51)

2.3.2. Komposisi Penduduk Menurut Pendidikan

Secara umum tingkat pendidikan di desa ini sudah cukup lumayan baik jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, walaupun ada sebagian anak yang putus bersekolah di akibatkan faktor ekonomi orang tua yang tidak mampu, begitu juga dengan sebaliknya ada orang tuanya mampu namun anak-anaknya ada yang putus sekolah, di akibatkan karena pergaulan bebas dan kurangnya kontrol orang tua terhadap anak, sehingga menyebabkan anak-anak remaja di Desa Saentis ini masih banyak ditemukan yang putus sekolah. Berdasarkan wawancara peneliti sebelumnya kepada Ibu Murni ia menjelaskan bahwa masih kurangnya kesadaran para orang tua untuk menyekolahkan anaknya, sehingga menyebabkan terjadinya pergaulan seks bebas terhadap anak dibawah umur, penganguran dan perjudian, terkadang masyarakat beranggapan bahwa untuk apa sekolah tinggi-tinggi pada akhirnya pun akan menjadi orang sulit juga nantinya.

Kesadaran dalam dunia pendidikan masyarakat di Desa Saentis ini sangat kurang peminatnya, bukan karena sarana pendidikan yang kurang memadai terkadang masyarakat nya saja tidak memanfaatkan sarana pendidikan tersebut, bahkan fasilitas pendidikan serta sarana pendidikan dan lainnya yang ada di Desa Saentis untuk saat ini sangatlah mendukung, demi mendorong minat pendidikan masyarakat setempat. Tidak hanya itu juga bagi masyarakat yang ingin melanjutkan dunia pendidikan ke jenjang perguruan tinggi, maka mereka harus pergi ke Kota Medan karena hanya di Kota Medan saja terdapat sarana perguruan tinggi seperti, Universitas Negeri Medan, Universitas Sumatera Utara dan Universitas lainnya. Berikut komposisi penduduk Desa Saentis berdasarkan pendidikannya.


(1)

dalam pengesahan suatu perkawinan tersebut melalui Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai perwakilan dari pemerintah di dalam pengesahan perkawinan usia dini. Namun dalam Hukum Adat Jawa sendiri suatu perkawinan tidak begitu erat kaitannya di dalam pengesahan khususnya dalam pengesahan perkawinan usia dini, pengesahannya hanya bersifat ceremonial saja atau pengesahanya mengadakan suatu pesta adat Jawa dan juga mengundang para kerabat terdekat sebagai saksi dari perkawinan tersebut, karena Hukum Adat umumnya sangat bertolak belakang dengan Hukum Agama, oleh karena itu perkawinan merupakan rangka proses mentaati agama yang disebut degan syariat.

Hal ini menunjukkan bahwa adanya gejala “pluralisme hukum” di dalam sistem perkawinan tersebut, khususnya pada masyarakat Jawa di Desa Saentis, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang. Dalam mensahkan suatu perkawinan usia dini yang terjadi pada masyarakat tersebut, tidak hanya di sahkan melalui satu pilihan hukum saja. Akan tetapi masyarakat tersebut dapat mengesahkannya melalui pemilihan hukum yang bersifat mengikat dalam kehidupan mereka masing-masing. Dengan kata lain perkawinan tersebut disebut dengan “Pluralisme Hukum”. Maksud dari pluralisme hukum adalah adanya lebih dari satu tatanan hukum dalam suatu arena sosial, artinya dalam suatu masyarakat tidak ada hukum yang dominan. Suatu aturan hukum akan terpengaruh oleh hukum-hukum lain yang ada disekitarnya.


(2)

5.2 Saran

Berdasarkan pengalaman penelitian penulis selama berada di lapangan, penulis masih menemukan masyarakat yang melakukan perkawinan usia dini, penulis menemukan usia-usia yang sangat bervariasi dari usia 14 tahun hingga sampai pada usia 18 tahun. Ketertutupan masyarakat dalam memberikan informasi tentang perkawinan usia dini, menyebabkan penulis sangat sulit mendapatkan informasi dari masyarakat, maka dari itu penulis terpaksa menggunakan alternatif-alternatif lain agar data yang di inginkan penulis sesuai dengan yang dibutuhkan. Namun ada juga beberapa tokoh masyarakat, tokoh agama dan lainnya dapat memberikan informasi tentang perkawinan usia dini tersebut, maka dari itu dengan ini penulis dapat menyimpulkan bahwa terjadinya perkawinan usia dini itu, bukan karena kemauan masyarakat itu sendiri, namun perkawinan usia dini terjadi karena sampai sekarang ini masyarakat tidak mengetahui tentang adanya Undang-udang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Kurangnya kontrol dari Kantor Urusan Agama (KUA) itu sendiri terhadap masyarakat yang melakukan perkawinan usia dini, karena penulis banyak menemukan data-data pasangan usia muda yang sebelumnya sudah menikah menambahi usianya serta memberikan data pribadi maupun data keluarga tidak sesuai dengan kenyataan. Maka dari itu penulis memiliki beberapa saran sebagai berikut :

1. Harusnya masyarakat atau pasangan usia muda yang sudah dan yang akan melangsungkan suatu perkawinan jika usianya tidak mencukupi, haruslah pasangan tersebut memberikan data yang sebenarnya ke Kantor Urusan


(3)

ataupun tidak berdasarkan Kartu Keluarga. Karena akan memberikan dampak kerugian dimasa yang akan datang, seperti misalnya saja kehilangan Akte Nikah dan Buku Nikah, maka dalam pengurusan nantinya akan sangat sulit karena data yang mereka berikan saat menikah tidak sesuai dengan ijazah taupun tidak sesuai dengan Kartu Keluarga (KK). 2. Pemerintah melalui Kantor Urusan Agama (KUA) setempat, haruslah

mensosialisasikan tentang sebenarnya syarat dan batas usia untuk melakukan perkawinan berdasarkan Undang-undang perkawinan tersebut. Agar masyarakat apat memahami makna dari suatu perkawinan itu.

3. Adanya peran dan pencegahan dari pemerintah terhadap perkawinan usia dini itu sendiri.

4. Orang tua seharusnya lebih aktif dalam mengontrol segala aktivitas si anak itu sendiri, jangan memberikan kebebasan jika tidak sesuai dengan lingkungannya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Bruner, Edward. 1994. “Kerabat dan Bukan Kerabat” dalam Pokok-Pokok Antropologi Budaya. TO Ihromi (ed). Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Bungin, H.M. Burhan. 2008 “Penelitian Kuailitatif : Komunikasi, Ekonumi, Kebijkan Publik dan Ilmu Sosial”,Kencana, Jakarta. Dellyana, Shanty. 1988. Perempuan dan Anak di Mata Hukum. Yogyakarta:

Liberty.

Geertz, Hildred. 1985. Keluarga Jawa. Jakarta: PT Grafiti Pers.

Griffit, Jhon. 1986. “Whaas Is Legal Pluralism” Journal Of Legal Pluralism. Hadikusuma, Hilman. 1990. “Hukum Perkawinan Indonesia”. Mandar Maju,

Bandung.

Hanitijo Soemitro, Rony. 1982. “Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia, Indonesia”. Semarang.

Haviland, William. A. 1993. “Antropologi Edisi Keempat Jilid 2’’. Erlangga : Jakarta.

Herusatoto, Budiono. 2005. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita.

Hooker, M.B 1989. “Legal Pluralism Introduction To Colonial And New-Colonial Law”. Oxfort. University Press.

Idris Ramulyo, Mohd. 1996. “Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis Dari Undang- Undang No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam)”. PT Bumi Aksara, Jakarta.

Ihromi, T.O. 1984. “Antropologi Hukum dan Hukum”. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Ihromi, T.O. 1987. “Kata Pengantar” dalam T.O. Ihromi (ed.), Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia.

Ihromi, T.O. 1993. “Pokok-Pokok Antropologi Budaya; Gramedia. Jakarta.

Ihromi, T.O. 1993. “Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai”. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.


(5)

Keesing, R.M., 1981. Cultural Anthropology: A Contemporary Perspective. London: Holt, Rinehart & Winston.

Koentjaraningrat. 1980. “Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Dian Rakyat”. Jakarta.

Koentjaraningrat. 1989. “Sejarah Teori Antropologi I”. Jakarta. Universitas Indonesia.

Koentjaraningrat 1998. “Pengantar Antropologi. Pokok-Pokok Etnografi II””.Rineka Cipta. Jakarta.

Liria, Tjahaja. 2000. “Pluralisme Hukum dan Masalah Perkawinan Campuran”. Dalam

Lukito, Ratno, 1998. Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia. Jakarta: INIS.

Masinambow. E.K.M. 2003. Hukum dan Kemajemukan Budaya. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Moleong, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Moleong, Lexy. J. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya. Bandung.

Malik, Rusdi. 2001. “Peranan Agama Dalam Hukum Perkawinan di Indonesia”. Universitas Trisakti, Jakarta.

Rachman, Maman. 1999. Strategi dan Langkah-langkah Penelitian. Semarang: IKIP Semarang Perss.

Sadarsono, S.H. 1991. “Hukum Perkawinan Nasional”. Rineka Cipta. Jakarta. Sudarsono, S.H. 2005 Hukum PerkawinanNasional, Rineka Cipta, Jakarta.

Prawirahamidjojo. R , Soetojo. 2000. “Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia”. UI, Press. Jakarta.

Soemijati. 1982. Hukum Perkawinan Islam dan Undang- Undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta.

Spradley. James P. 1997. Metode Etnografi. PT. Tiara Wacana Yogya. Sudarsono. 2005. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta. Syaltut, Mahmud, 1988. Fatawa. Kairo: Dar al-Syuruq.


(6)

Suparlan, Parsudi. 1980. Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungan. PT. Raja Grafindo Jakarta.

Tarimana, Abdurrauf, 1993. Kebudayaan Tolaki. Jakarta: Balai pustaka.

Sumber Lainnya :

1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 9 Tahun 19975 2. Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

3. Yusuf Fatawie.

4. Alfurqon. Perkawinan Usia Dini Di Indonesia Capai 690 Kasus Per Tahun.