Latar Belakang Masalah Perkawinan Usia Dini Dalam Perspektif Pluralisme Hukum (Studi Kasus di Desa Saentis Kecamatan Percut SeiTuan, Kabupaten Deli Serdang)

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan mahluk sosial yang berarti bahwa manusia saling membutuhkan satu sama lainnya, begitu juga manusia yang berlainan jenis kelamin saling membutuhkan untuk dijadikan teman hidupnya. Sebagai perwujudan sifat alami tersebut maka sesuai dengan norma-norma kesusilaan dan norma-norma agama, maka dari itu dibentuklah suatu lembaga perkawinan agar hubungan manusia tersebut sah sesuai dengan norma yang ada. Perkawinan merupakan salah satu tahap yang terpenting dalam sepanjang siklus kehidupan manusia yang disebut dengan stage a long the life cycle. Tahap- tahap yang ada disepanjang hidup manusia tersebut adalah seperti masa bayi, masa penyapihan, masa anak-anak, masa remaja, masa pubertas, masa sesudah menikah, masa tua dan sebagainya Koentjaraningrat, 1985:89. Salah satu tahap tersebut secara tidak langsung akan merubah prilaku seseorangmanusia itu sendiri, hal itu dapat dilihat pada saat seseorangmanusia itu berada dalam sebuah ikatan perkawinan yang sah. Oleh sebab itu perkawinan adalah salah satu tahap yang sangat terpenting di dalam siklus kehidupan manusia, dimana perkawinan menjadi alat suatu kelompok masyarakat untuk melanjutkan keberlangsungan kelompoknya. Perkawinan juga merupakan media budaya dalam mengatur hubungan antar sesama manusia yang berlainan jenis kelamin. Perkawinan bertujuan untuk mencapai suatu tingkat kehidupan yang lebih dewasa dan pada beberapa kelompok masyarakat kesukuan dewasa ini. Perkawinan tidak hanya menyatukan dua pribadi yang berbeda, tetapi juga menjadi media yang menyatukan orang tua Universitas Sumatera Utara kedua belah pihak, saudara-saudaranya dan kerabat mereka masing-masing Koentjaraningrat, 1994:92. Maka dalam hal ini setiap perkawinan di Indonesia umumnya telah diatur dalam undang-undang No. I Tahun 1974 Pasal 1, yang berbunyi : “Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga atau suatu rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa YTE”. Perkawinan dapat dilaksanakan dan dinyatakan sah apabila telah memenuhi syarat serta ketentuan oleh hukum menurut, Negara, agama dan adat- istiadat dimana seseorang itu berada 1 1 Lihat dalam Undang-Undang Perkawinan BAB I No. I Tahun 1974 Pasal 2. . Oleh sebab itu dalam setiap perkawinan memiliki tatacara pengesahan perkawinan yang berbeda-beda pula, maka tujuan dari perkawinan yang sah menurut ketentuan undang-undang adalah, agar setiap perkawinan yang sudah berlangsung memiliki pengesahan berdasarkan undang- undang perkawinan. Namun fakta menunjukkan bahwa di Indonesia umumnya setiap perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat tidak hanya disahkan berdasarkan pada hukum Negara melalui ketentuan undang-undang saja, akan tetapi setiap perkawinan juga dapat dilaksanakan dan disahkan berdasarkan hukum agama serta menurut hukum adat yang berlaku di dalam masyarakat itu. Hal tersebut dapat dikatakan adanya gejala “pluralisme hukum” di dalam mengesahkan suatu perkawinan pada masyarakat itu sendiri, bahwa setiap perkawinan dapat disahkan berdasarkan pilihan-pilihan hukum seperti hukum Negara, hukum agama, dan hukum adat yang menurut masyarakat itu baik. Universitas Sumatera Utara Selain itu, dalam hal ini undang-undang juga mengatur batas-batas usia yang hendak melakukan suatu perkawinan yaitu, bahwa seorang laki-laki sekurang-kurangnya telah berusia 19 tahun, dan untuk seorang perempuan sekurang-kurangnya telah berusia 16 tahun. Perkawinan tersebut harus sudah mendapatkan izin dari kedua pihak orang tua, apabila kedua pihak orang tua telahsetuju dalam menikahkan anaknya tersebut maka perkawinan sah berdasarkan hukum yang ada 2 Hukum agama secara umum memandang bahwa perkawinan sebagai suatu perbuatan suci, karena perkawinan merupakan persetujuan antara dua pihak dalam memenuhi perintah Tuhan. Perkawinan dihubungkan dengan masalah keagamaan, oleh karena itu dikatakan bahwa perkawinan dilihat dari segi keagamaan adalah suatu perikatan jasmani dan rohani yang membawa akibat hukum terhadap agama yang dianut oleh kedua calon mempelai beserta keluarga kerabatnya. Selain itu hukum agama telah menetapkan kedudukan manusia dengan iman dan taqwanya tentang apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan . Berdasarkan wawancara awal penulis dengan Bapak Sumedi 46 tahun menurut beliau idealnya suatu perkawinan dalam masyarakat umumnya apabila seorang perempuan tersebut sudah mencapai usia 21 hingga 25 tahun, dan sedangkan untuk seorang laki-laki telah berusia 25 hingga 28 tahun. Mengapa usia tersebut sangat ideal dalam melakukan suatu perkawinan, menurut beliau karena di usia seperti inilah usia yang sangat pantas untuk melangsungkan suatu perkawinan, jika dilihat dari segi kematangan berpikir serta untuk kesehatan reproduksinya. 2 Lihat dalam Undang-Undang Perkawinan BAB II No. I Tahun 1974 Pasal 6. Universitas Sumatera Utara dilarang oleh manusia itu sendiri. oleh karena itulah sebabnya sehingga setiap agama pada dasarnya tidak dapat memberikan perkawinan yang berlangsung tidak seagama 3 Menurut Kompilasi Hukum Islam KHI dijelaskan bahwa suatu perkawinan itu tidak hanya diatur oleh hukum Negara saja, akan tetapi suatu perkawinan juga dapat diatur berdasarkan rukun dan syari”at Islam yang benar . 4 . Selain itu islam sebagai agama yang sempurna didalamnya menyentuh berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan menusia sebagai individu, keluarga, dan juga masyarakat. Kehidupan berkeluarga antara seorang laki-laki dan perempuan dalam Islam merupakan fitrah naluri yang merupakan anugrah dari Allah SWT. Allah SWT menciptakan manusia untuk dijadikan khalifah dimuka bumi ini supaya memakmurkannya. Agar semua berjalan dengan baik, maka Allah SWT menciptakan pikiran dan dorongan nafsu yang menggiring manusia kepada berbagai spesies manusia 5 Pelaksanaan dalam perkawinan diperlukan adanya suatu lembaga perkawinan yang mengatur hubungan antara suami-istri secara yuridis maupun religius sehingga hubungan tersebut sah menurut hukum Negara, hukum agama, dan hukum adat yang dalam penelitian ini disebut dengan “pluralisme hukum”. Maksud dari “pluralisme hukum” adalah adanya lebih dari satu tatanan hukum dalam suatu arena sosial, artinya dalam suatu masyarakat tidak ada hukum yang dominan, dan suatu aturan hukum akan terpengaruhi oleh hukum-hukum lain yang ada disekitarnya. Oleh sebab itu suatu perkawinan tidak hanya disahkan . 3 Hilman Hadikusuma, Loc Cit: Hal 10 4 Lihat dalam KOMPILASI HUKUM ISLAM KHI. 5 Dedi Junaidi, Bimbingan Perkawinan Membina Keluarga Sakinah Menurut Al-Qur’an dan As Sunnah, cet 1, Akademika Pressindo, Jakarta, 2000, hal 1076 Universitas Sumatera Utara berdasarkan pada 1 satu pilihan hukum saja misalnya hukum Negara melalui undang-undang, akan tetapi suatu perkawinan dapat disahkan berdasarkan pilihan hukum yang menurut masyarakat itu sangat mempengaruhi dalam kehidupan seharinya, misalnya saja hukum agama dan hukum adat. Kemudian pelaksanaan perkawinan tersebut akan diadakan dalam sejumlah rangkaian upacara perkawinan secara adat yang dipertahankan dan dilestarikan oleh masyarakat adat oleh karena hukum adat perkawinan merupakan hukum masyarakat hukum rakyat yang tidak tertulis dalam bentuk perundang- undangan negara yang mengatur tata tertib perkawinan. Dengan demikian hukum perkawinan adat sendiri dapat dikatakan tumbuh dan berkembang di tengah- tengah masyarakat Indonesia yang sampai saat ini masih tetap diakui serta dilaksanakan 6 Bentuk dan tata cara perkawinan pada tiap suku bangsa memiliki perbedaan yang pada umumnya dipengaruhi oleh sistem kekerabatan masyarakat hukum adat setempat. Menurut C. Van Vollenhoven Indonesia memiliki kekayaan dan keaneka-ragaman hukum adat maksudnya kekayaan dan keaneka-ragaman hukum adat diklasifikasikan dalam 19 lingkungan hukum adat di Indonesia, sedangkan M.A Jaspan mengklasifikasi dalam 366 suku yang ada di Indonesia, masing-masing suku dan daerah mempunyai hukum adat yang berbeda . 7 Masyarakat kini menganggap suatu perkawinan yang apabila dilakukan bagi seorang perempuan pada usia 13 hingga 16 tahun, sedangkan bagi seorang laki-laki berusia 15 hingga18 tahun merupakan hal yang sudah biasa. Bahkan hal tersebut dapat menjadi sebuah tradisi di dalam lingkungan masyarakat itu tinggal, . 6 ibid, Hal. 14 7 Dalam Buku Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia; Rajawali, Jakarta, 1983, Hal.23 Universitas Sumatera Utara namun masyarakat secara umum menyebutnya dengan kawin muda atau perkawinan usia dini. Akan tetapi dalam perkembangan teknologi masa sekarang ini, ada juga sebagian masyarakat itu menganggap perkawinan usia dini adalah sebuah keanehan untuk dilakukan. Menurut Ibu Mariani 30 tahun beliau berpendapat bahwa seorang perempuan yang belum menikah pada usia sebelum 20 tahun, maka perempuan tersebut dianggap sudah terlalu tua, dan perempuan itu tidak akan laku apabila usianya terlalu tua untuk dikawini. Untuk seorang laki-laki apabila sebelum usia 25 tahun ia belum menikah, maka laki-laki tersebut dianggap sudah terlalu tua dan akan sulit mendapatkan jodohnya kelak. Akan tetapi hal itu memang benar adanya menurut beliau, namun pada masyarakat kini masih ditemukannya perkawinan usia dini baik yang terjadi di pedesa an maupun yang terjadi di perkotaan. Berdasarkan data dari Kantor Komisi Perlindungan Anak Indonesia KPAI angka perkawinan usia dini atau kurang dari 18 tahun masih tinggi mencapai 690 ribu lebih kasus, atau sekitar 34 pada tahun 2009. Yang muncul di permukaan hanya yang terekam oleh media saja, namun jumlah sebenarnya jauh lebih banyak lagi. Menurut data laporan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bappenas tentang pencapaian target Tujuan Pembangunan Millenium Development Goals MDGs Indonesia tahun 2008, sebanyak 34,5 dari 2.049.000 perkawinan yang terjadi setiap tahun merupakan perkawinan usia dini. Pada tahun 2011 ini terjadi 696.660 kasus perkawinan usia dini, di Jawa Timur angkanya bahkan lebih tinggi dari angka rata-rata nasional, sampai 39. Kasus perkawinan usia dini, juga tidak hanya terjadi pada masyarakat pedesa an tapi juga Universitas Sumatera Utara pada masyarakat wilayah perkotaan yang tingkat pendidikannya rata-rata lebih tinggi. Pengertian perkawinan usia dini secara umum memiliki banyak pengertian, misalnya saja perkawinan usia dini merupakan sebuah perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang masih di bawah usia atau belum dewasa. Lain halnya pengertian perkawinan usia dini menurut masyarakat di Desa Saentis ini khususnya menganggap suatu perkawinan usia dini yang terjadi merupakan perkawinan ideal dan ada juga sebagian masyarakat menganggap suatu perkawinan usia dini yang terjadi dikarenakan hamil sebelum nikah. Sehingga menyebabkan terjadinya perkawinan usia dini. Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan observasi penulis temukan saat berada dilapangan sebelumnya, menunjukkan fakta bahwa di Desa Saentis Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang ini masih ditemukannya masyarakat yang melakukan perkawinan usia dini. Hasil wawancara penulis dengan beberapa orang tua yang melakukan perkawinan usia dini, tokoh masyarakat, tokoh pemerintahan, tokoh agama, tokoh adat hingga pada orang yang melakukan perkawinan usia dini itu sendiri. Mereka menjelaskan bahwa sebab akibat terjadinya perkawinan usia dini dikarenakan beberapa faktor yang mempengaruhi sosial ekonomi dan linngkungan kehidupan masyarakat itu berada. Rata-rata usia pada perkawinan usia dini yang dilakukan oleh masyarakat Desa Saentis adalah 14 tahun hingga 17 tahun baik itu dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan. Namun dalam kondisi usia seperti ini, perkawinan usia dini ini tidak sesuai dengan ketentuan hukum Negara melalui undang-undang, dan perkawinan usia dini juga tidak sesuai jika dilihat dari segi kesehatan reproduksi Universitas Sumatera Utara maupun psikologinya. Akan tetapi masyarakat di Desa Saentis ini menjelaskan bahwa perkawinan usia dini yang terjadi sudah menjadi hal yang biasa, karena ada sebagian masyarakat menganggap perkawinan usia dini merupakan suatu tradisi turunan pada masa lalu nenek moyang mereka bila mana dalam membentuk keluarga baru. Menurut Ibu Mariani 30 tahun dahulu nenek moyang maupun orang tua masyarakat khususnya Desa Saentis ini banyak yang telah menikah di usia muda, namun tidak pernah terjadi hal seperti yang dikwatirkan oleh banyak masyarakat sekarang ini. Undang-undang telah mengatur tentang tata cara perkawinan melalui ketentuan hukum yang dimana dimaksud dalam undang-undang tersebut. Bahwa secara nasional menyatakan perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum, agamakepercayaannya masing-masing, dan perkawinan tersebut dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku 8 Berdasarkan data kasus yang sudah penulis jelaskan di atas, menunjukkan bahwa bagaimana pengaturan hukum dalam mensahkan perkawinan pada masyarakat itu sendiri, sehingga menciptakan peluang dalam melakukan perkawinan usia dini pada masyarakat yang ada di Desa Saentis khususnya. Namun masyarakat di Desa Saentis khususnya, tidak banyak yang mengetahui undang-undang yang mengatur tentang syarat dan batas-batas jika ingin melakukan suatu perkawinan. Ada sebagian masyarakat juga beranggapan bahwa tanpa mengetahui adanya undang-undang, suatu perkawinan khususnya pada perkawinan usia dini itu masih tetap bisa dilaksanakan. Menurut Ibu Mariani 30 tahun yang terpenting adalah bagaimana perkawinan itu dilaksanakan atau . 8 Lihat dalam Undang-Undang Perkawinan pada BAB I No. I Tahun 1974 Pasal 2. Universitas Sumatera Utara disahkan oleh beberapa aturan hukum yang ada di Negara Indonesia ini, seperti aturan perkawinan menurut Hukum Negara, Hukum Agama dan maupun Hukum Adat dalam masyarakat itu. Agar suatu perkawinan khususnya yang melakukan perkawinan usia dini mendapatkan pengesahan dari Negara melalui bukti perkawinan, seperti mendapatkan akte nikah dan buku nikah yang diberikan oleh Kantor Urusan Agama KUA. Di Indonesia sendiri pelaksanaan perkawinan masih pluralistis, artinya di Indonesia berlaku tiga macam sistem hukum yang berlaku di dalam masyarakat yaitu, hukum negara, agama dan adat disebut dengan “Pluralisme Hukum”. Oleh karena itu dari latar belakang masalah ini, yang ingin penulis lihat di dalam penelitian ini ialah, bagaimana hukum Negara, agama dan adat dalam mengesahkan suatu perkawinan usia dini yang sebenarnya. Selain itu penulis juga ingin melihat bagaimana proses pelaksanaan perkawinan usia dini serta bagaimana pilihan-pilihan hukum yang ada pada masyarakat Jawa di Desa Saentis itu sendiri dalam mensahkan perkawinannya. Maka dari itu penulis akan memfokuskan judul yang sudah ditentukan yaitu, “Perkawinan Usia Dini dalam Perspektif Pluralisme Hukum”. Universitas Sumatera Utara

1.2. Tinjauan Pustaka