A. Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Perundangan Nasional Secara umum.
Batas usia untuk menikah di Indonesia telah diatur dalam undang-undang perkawinan. Hadikusuma 1990:50 menyatakan bahwa untuk melangsungkan
perkawinan seorang yang belum mencapai usia 21 tahun harus mendapat izin dari kedua orangtua pas. 6 2 no.1-1974. Dengan kata lain bagi laki-laki atau
perempuan yang telah mencapai usia 21 tahun tidak perlu ada izin dari orangtua untuk menikah. Hal ini juga diperjelas dengan pasal 7 yang menyatakan bahwa
yang perlu memakai izin orangtua untuk melakukan perkawinan ialah laki-laki yang telah mencapai usia 19 tahun dan bagi perempuan yang telah mencapai usia
16 tahun Hadikusuma, 1990:51. Persetujuan perkawinan pada dasarnya tidaklah sama dengan persetujuan-persetujuan yang lain, misalnya persetujuan jual- beli,
sewa-menyewa, tukar menukar dan lain-lain. Menurut Wirjono Prodjodikoro, perbedaan antara persetujuan perkawinan dan persetujuan-persetujuan adalah
dalam persetujuan biasa para pihak pada pokoknya penuh merdeka untuk menentukan sendiri isi dari persetujuannya itu sesuka hatinya, asal saja
persetujuan itu tidak bertentangan dengan undang-undang kesusilaan dan ketertiban umum. Sebaliknya dalam suatu perkawinan sudah sejak semula
ditentukan oleh hukum, isi dari persetujuan suami isteri. Bahkan satu-satunya hal yang sama ialah, bahwa dalam perkawinan
maupun dalam perkawinan pada umumnya terdapat persesuaian kehendak. Kalau seorang perempuan dan seorang laki-laki berkata sepakat untuk melakukan
perkawinan satu sama lain ini berarti mereka saling berjanji akan taat pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku mengenai kewajiban dan hak-hak
Universitas Sumatera Utara
masing-masing pihak selama dan sesudah hidup bersama itu berlangsung, dan mengenai kedudukannya dalam masyarakat dari anak-anak keturunannya. Juga
dalam menghentikan perkawinan, suami dan isteri tidak leluasa penuh untuk menentukan sendiri syarat-syarat untuk penghentian itu, melainkan terikat juga
pada peraturan hukum perihal itu.
B. Pengertian Perkawinan dan Batasan Perkawinan Menurut Hukum Agama Secara Umum.
Pandangan suatu perkawinan dari aturan agama adalah suatu aturan yang sangat penting. Dalam agama, perkawinan itu dianggap suatu lembaga yang suci.
Upacara perkawinan adalah upacara yang suci, yang kedua pihak dihubungkan menjadi pasangan suami istri atau saling meminta menjadi pasangan hidupnya
karena apa yang telah dipersatukan oleh Tuhan tidak boleh diceraikan oleh manusia. Dengan demikian bahwa untuk terjadinya hubungan atau ikatan lahir
dan bathin antara suami isteri merupakan dasar bagi tercapainya tujuan perkawinan, yakni untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada dasarnya hukum agama memandang perkawinan sebagai suatu
perbuatan suci karena perkawinan itu adalah persetujuan antara dua pihak dalam memenuhi perintah Tuhan. Perkawinan dihubungkan dengan masalah keagamaan,
oleh karena itu dikatakan bahwa: “Perkawinan dilihat dari segi keagamaan adalah suatu perikatan jasmani dan rohani yang membawa akibat hukum terhadap agama
yang dianut oleh kedua calon mempelai beserta keluarga kerabatnya
9
9
Hilman Hadfikusuma, Loc Cit: Hal 10
. Hukum
Universitas Sumatera Utara
agama telah metetapkan kedudukan manusia dengan iman dan taqwanya tentang apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan
dilarang Itulah disebabnya sehingga setiap agama pada dasarnya tidak dapat memberikan perkawinan yang berlangsung tidak seagama.
Batas usia untuk perkawinan dalam hukum agama berbeda-beda satu dengan yang lain. Hukum Islam tidak terdapat kaidah-kaidah yang sifatnya
menentukan batas usia untuk melaksanakan perkawinan. Hadikusuma 1990:55 mengungkapkan bahwa menurut hukum Gereja Katolik batas usia perkawinan
adalah telah berusia 16 tahun bagi laki-laki dan 14 tahun bagi perempuan. Sedangkan menurut Hukum Gereja Kristen Protestan batas usia perkawinan telah
mengikuti UU no.1 1974 yaitu 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi seorang perempuan Hadikusuma, 1990:55. Menurut Agama Hindu juga tidak ada
ketentuan batas usia perkawinan yang pasti. Sedangkan menurut hukum Agama Budha di Indonesia batas usia perkawinan ialah bagi laki-laki tersebut sudah
mencapai usia 20 tahun dan 17 tahun bagi seorang perempuan Hadikusuma, 1990:55.
Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa Agama Katolik dan Budha memiliki ketentuan batasan usia perkawinan, sedangkan Agama Islam dan Hindu
tidak ada ketentuan batas usia perkawinan yang pasti. Jadi secara umum batas usia dalam hukum setiap agama dapat menyesuaikan dengan undang-undang
perkawinan di Indonesia. Perkawinan yang terjadi sebagai ikatan lahir jasmani dan bathin rohani dapat diartikan sebagai suatu ikatan untuk mewujudkan
kehidupan dunia dan akhirat. Untuk mengetahui lebih jauh tentang pengertian perkawinan menurut hukum agama maka berikut ini akan diuraikan pengertian
Universitas Sumatera Utara
tersebut dengan 5 lima agama yang diakui di Indonesia berdasarkan Perpres No.1 Tahun 1965 yaitu: Agama Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu
dan Buddha. Jadi di sini penulis hanya mefokuskan pada suku bangsa Jawa beragama Islam saja. Adapun penulis mengapa memfokuskan penelitian hanya
pada suku bangsa Jawa dan beragama Islam, karena lokasi dimana tempat penulis meneliti merupakan masyarakatnya hampir mayoritas bersuku bangsa Jawa dan
beragama Islam. Agama Islam umumnya berkembang baik di kalangan masyarakat orang
Jawa Koentjaraningrat, 1983:339. Oleh karena itu, etika masyarakat Jawa muslim juga dipengaruhi oleh Agama Islam. Islam memberikan aturan moral yang
didasarkan pada waktu suatu sistem nilai yang berisi norma-norma yang sama dengan sinar tuntunan untuk pencarian religius, yaitu: ketakwaan, penyerahan diri,
kebenaran, keadilan, kasih sayang, hikmah, dan keindahan Departemen Agama RI, 1997:51.
Pengertian Perkawinan menurut Hukum Agama Islam.
Dalam kosa kata bahasa Arab, perkawinan disebut nikah yang mempunyai dua 2 arti yaitu pertama arti yang sebenarnya dan yang kedua arti kiasan. Nikah
dalam arti yang sebenarnya adalah “dham” yang artinya menghimpit, menindih atau berkumpul, sedangkan nikah dalam arti kiasan adalah “wathaa” yang artinya
bersetubuh
10
Menurut Soemijati 1982:10 perkawinan merupakan perjanjian yang tertulis dalam surat Q S An-Nisa 4 ayat 21, dinyatakan bahwa perkawinan
adalah perjanjian yang sangat kuat Mitssaghan Ghalidzhan. Dapat dikemukakan .
10
Sudarsono, Loc Cit, Hal 36
Universitas Sumatera Utara
sebagai alasan untuk mengatakan perkawinan itu merupakan suatu perjanjian ialah karena adanya:
a. Cara mengadakan ikatan perkawinan telah diatur terlebih dahulu yaitu dengan akad nikah dan rukun atau syarat-syarat tertentu .
b. Cara menguraikan atau memutuskan ikatan perkawinan juga telah diatur sebelumnya yaitu dengan prosedur talak, kemungkinan fassakh, syiqaq dan
sebagainya. Perjanjian dalam perkawinan ini mengandung tiga karakter yang khusus, yaitu:
1. Perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa unsur sukarela dari kedua belah pihak.
2. Kedua belah pihak laki-laki dan perempuan yang mengikat persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian
tersebut berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-hukumnya. 3. Persetujuan perkawinan itu mengatur batas-batas hukum mengenai hak dan
kewajiban masing-masing pihak. Berdasarkan hukum Islam untuk menunjukkan makna perkawinan, Al-
Quran memakai istilah “Mitssaghan Ghalidzhan” artinya perjanjian yang teguh. Istilah tersebut pertama-tama menunjukan pada perjanjian antara Allah dengan
para nabi atau para rasulnya. Dengan menggunakan istilah “Mitssaghan Ghalidzhan” untuk perkawinan, Al-Quran secara tidak langsung menunjukkan
kesucian hubungan antara Allah dengan manusia yang dipilih-Nya. Dengan demikian maka dalam suatu perkawinan diyakini adanya campur tangan Allah di
dalam nya bahkan Al-Quran memandang perkawinan sebagai suatu hal dalam rangka mentaati agama syariat. Sebuah perkawinan merupakan perintah Allah
Universitas Sumatera Utara
walaupun perkawinan itu termasuk dalam bidang muamalat atau hubungan antara manusia dengan manusia. Nabi Muhammad dalam hadist menggarisbawahi
pandangan sebagai “setengah ibadah” karena bukan hanya menyangkut perkara dunia semata-mata tetapi juga menyangkut Tuhan sehingga tidak mengherankan
umat untuk berkeluarga
11
Perkawinan berdasarkan Hukum Islam adalah “aqad” perikatan antara wali perempuan calon istri dengan laki-laki calon suaminya. Aqad nikah itu harus
diucapkan oleh wali perempuan dengan jelas berupa “ijab”serah dan “kabul” diterima oleh si calon suami, yang dilaksanakan dihadapan dua orang saksi yang
memenuhi syarat. Jika tidak demikian maka perkawinan tidak akan sah, yang menyatakan tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil.
Hal tersebut merupakan bahwa syarat’syariat, nikah pada hakekatnya adalah “aqad” antara seorang calon suami isteri untuk memperbolehkan keduanya
bergaul sebagai suami isteri. Aqad artinya ikatan atau perjanjian untuk meningkatkan diri dalam perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan .
12
Orang yang akan menikah, menurut hukum di Indonesia harus memenuhi batas umur minimal. Seorang calon mempelai yang akan melangsungkan
perkawinan dan belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin orangtua. Sudarsono 2005:41 menyatakan “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak laki-
. C. Perkawinan Menurut Hukum Adat Jawa dan Pengertian Perkawinan Usia
Dini.
11
Lihat dalam KOMPILASI HUKUM ISLAM KHI.
12
Lihat dalam KOMPILASI HUKUM ISLAM KHI Bagian Keempat Pasal 24 - 29.
Universitas Sumatera Utara
laki sekurang-kurangnya sudah mencapai umur 19 sembilan belas tahun dan pihak perempuan sudah mencapai 16 enam belas tahun”.
Geertz 1985:59 mengungkapkan tentang perkawinan keluarga tradisional sebagai berikut:
Kebanyakan gadis jawa telah kawin, setidaknya untuk waktu yang singkat pada saat kira-kira berumur 16 atau 17 tahun. Adapun anak
laki-laki biasanya tidak menikah sampai sesudah benar-benar dewasa dan dapat menyangga keluarga dengan layak. Umur
beraneka rupa, tetapi biasanya antara 18 dan 30 tahun.
Usia perkawinan di daerah pedesa an lebih muda dari pada di perkotaan Dellyana, 1988:174. Perkawinan usia dini yang terjadi di desa biasanya
disebabkan karena tingkat pendidikan yang rendah. Sedangkan sebab yang lain adalah terjadi hamil di luar nikah atau biasa disebut “kecelakaan”. Kasus hamil di
luar nikah lebih banyak terjadi di perkotaan dari pada di desa . Hal ini karena pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan di kota. Berdasarkan uraian di
atas, dapat disimpulkan bahwa perkawinan usia dini adalah perkawinan yang dilakukan oleh perempuan yang berumur di bawah 19 tahun, dan laki-laki yang
berumur di bawah 20 tahun. Pasangan muda perkawinan usia dini harus diberikan pembekalan yang
memadai tentang norma-norma berkeluarga, adat istiadat, perilaku dan budaya malu, rasa hormat, dan pemahaman agama. Selain itu harus ditunjukkan tentang
luhurnya sebuah perkawinan. Pemahaman tersebut menurut Djuariah Utja Jalu, 2004, berupa:
a. Dari aspek syariah agama, perkawinan akan menjauhkan setiap insan manusia dari perbuatan dan tindakan yang diharamkan agama.
Universitas Sumatera Utara
b. Perkawinan bisa menghindarkan diri serta tidak terjerumus dalam perbuatan hina dan nista.
c. Dari aspek sosial, perkawinan akan memberikan ketenteraman hidup. Bisa terhindar dari pergunjingan, fitnah maupun sanksi sosial masyarakat.
d. Dari segi kesehatan, lewat perkawinan akan terhindar dari pergaulan bebas yang menyesatkan serta dapat menyalurkan kebutuhan biologisnya secara sehat.
e. Dari segi hukum, jika perkawinan tersebut membuahkan keturunan maka secara hukum akan melindungi hak-haknya.
Menurut Moore dalam Liria, 1983:109, seluruh aneka normaaturan yang muncul dari idividu masyarakat tertentu dapat berfungsi sebagaimana halnya
dengan hukum. Dalam hal ini, Moore melihat bahwa pluralisme hukum dapat terjadi karena adanya kenyataan bahwa warga suatu masyarakat sebagai individu
berada dalam beberapa lapanganarena interaksi sosial yang masing-masing memiliki normanya sendiri sehingga individu yang bersangkutan dituntut untuk
mengikuti norma tersebut. Aneka jenis pengaturan yang ada dalam masyarakat tidak semuanya berstatus hukum, namun sering dihayati sebagai sesuatu yang
mengikat dan tidak kalah pentingnya dengan norma hukum. Adapun aturan dari masing-masing arena sosial itu saling berpengaruh satu sama lain dan rentan
terhadap pengaruh hukum dari luar. Sikap hidup orang Jawa yang mengerti etika dan taat pada adat-istiadat
warisan nenek moyang, selalu mengutamakan kepentingan umum dari pada dirinya sendiri. Masyarakat Jawa memiliki watak dan tingkah laku terpuji yang
disebut Panca-Sila, yaitu: rila atau rela, narima atau menerima nasib yang diterimanya, temen atau setia pada janji, sabar atau lapang dada, dan budi luhur
Universitas Sumatera Utara
atau memiliki budi yang baik Herusatoto, 2005:72. Kebanyakan orang Jawa percaya bahwa hidup manusia di dunia ini sudah diatur dalam alam semesta,
sehingga tidak sedikit mereka yang bersikap narima, yaitu menyerahkan diri kepada takdir.
1.3. Perumusan Masalah