5. Fungsionalisasi Keputusan Presiden nomor 17 tahun 2002
Fungsionalisasi hukum pidana diartikan sebagai upaya untuk membuat hukum pidana itu dapat berfungsi, beroperasi atau bekerja dan terwujud secara konkret.
26
Jadi fungsionalisasi Keputusan Presiden dapat diartikan sebagai upaya membuat Keppres dapat berfungsi, beroperasi atau bekerja dan terwujud secara konkret.
Sebelum membahas apakah Keputusan Presiden nomor 17 tahun 2002 difungsionalisasikan dengan baik, ada baiknya kita membahas sejarah pembentukan
Undang-Undang tentang narkotika, pada zaman penjajahan Belanda kebiasan penggunaan obat bius dan candu, sudah mulai terasa membahayakan masyarakat,
pemakainya terutama masyarakat golongan menengah khususnya keturunan Cina. Oleh sebab itu, pada zaman tersebut pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan
V.M.O. Staatblad 1927 No.278 jo No. 536, yaitu peraturan yang mengatur tentang obat bius dan candu.
Awal tahun 1970 penyalahgunaan narkotika sudah semakin sering terjadi di masyarakat dan jenis-jenis narkotika yang beredar pun semakin banyak pula
ragamnya. Kenyataan inilah yang mendorong timbulnya kesadaran akan perlunya segera dibentuk suatu Undang-Undang yang dapat menjangkau setiap bentuk
penyalahgunaan narkotika. Setidak-tidaknya Undang-Undang yang baru itu dapat menimbulkan rasa takut bagi anggota masyarakat untuk tidak melakukan perbuatan-
perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana narkotika.
26
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992, hlm 157.
Victor Keenan Barus : Fungsionalisasi Badan Narkotika Propinsi Dalam Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Di Propinsi Sumatera Utara, 2008
Pada tahun 1970-an tersebut, selain penyalahgunaan narkotika, banyak pula jenis kejahatan yang terjadi. Kejahatan-kejahatan tersebut cenderung mengganggu
stabilitas politik dan keamanan dalam rangka menjamin suksesnya pembangunan nasional, maka pada tangggal 8 September 1971 Presiden lalu mengeluarkan Instruksi
No. 6 tahun 1971 kepada Kepala Bakin yang pada prinsipnya memerintahkan Kepala Bakin untuk memberantas masalah-masalah yang menghambat pelaksanaan
pembangunan nasional itu. Dengan dikeluarkannya Inpres tersebut maka Kepala Bakin merumuskan 6 enam masalah pokok yang harus diberantas, yaitu:
a. Kenakalan remaja.
b. Penyalahgunaan narkotika.
c. Penyeludupan.
d. Uang palsu.
e. Subversif.
f. Pengawasan orang asing.
Khusus dalam masalah penyalahgunaan narkotika ketentuan hukum belum dapat menjangkaunya, sebab ketentuan-ketentuan tersebut bersumber kepada
ketentuan lama yang memiliki kelemahan-kelemahan, di antara kelemahan tersebut adalah:
1 Tidak adanya keseragaman di dalam pengertian narkotika.
2 Sanksi terlalu rigan dibanding dengan akibat penyalahgunaan narkotika.
3 Ketidaktegasan pembatasan pertanggungjawaban terhadap penjual, pemakai,
pengedar dan penyimpan narkotika.
Victor Keenan Barus : Fungsionalisasi Badan Narkotika Propinsi Dalam Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Di Propinsi Sumatera Utara, 2008
4 Ketidak serasian antara ketentuan hukum pidana mengenai narkotika.
5 Belum ada badan bertingkat nasional yang khusus mengenai masalah masalah
Penyalahgunaan narkotika. 6
Belum ada ketentuan khusus wajib lapor adanya penyalahgunaan narkotika. 7
Belum adanya hal-hal yang khusus bagi yang berjasa dalam penyelidikan- penyelidikan perkara penyalahgunaan narkotika.
Mengingat hal-hal tersebut di atas, maka dipandang perlu dalam waktu yang relatif singkat untuk mengadakan pembaharuan dan penyempurnaan perundang-
undangan tentang narkotika, dan diharapkan peraturan-peraturan tersebut efektif di dalam pengimplementasiaannya dan tepat sasaran di dalam penanggulangan terhadap
penyalahgunaan narkotika. ....................................................................................................................................Ke
cuali itu, terdapat pula faktor-faktor yang berperan penting dalam mendorong dibentuknya Undang-undang narkotika nasional, faktor-faktor tersebut adalah:
a. Faktor partisipasi sosial: Setelah badan koordinasi pelaksana Inpres No. 6 tahun 1971
melancarkan kegiatan penangggulangan berbagai masalah nasional kenakalan remaja, narkotika, penyeludupan, uang palsu dan
subversi termasuk narkotika di dalamnya, maka timbul spontanitas dikalangan masyarakat untuk mengambil bagian dan
berperan serta dalam operasi penanggulangan itu. Kesadaran sosial yang timbul dalam masyarakat didukung pula oleh media
Victor Keenan Barus : Fungsionalisasi Badan Narkotika Propinsi Dalam Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Di Propinsi Sumatera Utara, 2008
komunikasi massa terutama dari kalangan pers, baik nasional maupun daerah, masalah keadaan ini masih terasa sampai sekarang
ini. Dengan partisipasi sosial yang cukup tinggi tidak ketinggalan yang
berperan nyata adalah kalangan ilmuan termasuk yang ada pada jajaran ahli medis dan ahli hukum. Dari besarnya perhatian akan
usaha penanggulangan narkotika ini terungkap bahwa salah satu kesukaran dalam memberantas para pengedar narkotika yang
berusaha mencari mangsa, terutama bersasaran para remaja adalah kesenjangan Undang-undang yang berlaku pada saat itu.
Undang-undang obat bius V.M.O sudah tidak cocok lagi, tidak mampu mengakomodasi pengaturan penggunaan maupun
penindakan terhadap penyalahgunaan narkotika. Kesenjangan Undang-undang ini dipandang sebagai faktor yang
setidak-tidaknya turut menghambat upaya penanggulangan. Kesadaran akan lemahnya Undang-undang obat bius terutama juga
yang diargumentir oleh kalangan medis dan ahli hukum, seperti yang telah dikemukakan mengenai resolusi seminar kriminologi II
Semarang 1972, telah membawa kekuatan yang mendesak kepada pembuat Undang-undang untuk secepatnya menerbitkan Undang-
undang narkotika. b. Pelaksaan Pelita I 1969-1974:
Victor Keenan Barus : Fungsionalisasi Badan Narkotika Propinsi Dalam Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Di Propinsi Sumatera Utara, 2008
Pelita I 1969-1974 merupakan pencanangan era pembangunan yang merupakan perwujudan tekat Orde Baru untuk mengisi
kemerdekaan dengan pembangunan bertahap dan berencana. Sebagai konsekuensinya pembangunan pada tahap I satu akan
menentukan tahap-tahap berikutnya, maka pada Pelita II dua pemerintah menekankan perlunya untuk memperhatikan masalah-
masalah sosial yang bisa mengganggu jalannya pembangunan, dengan mengeluarkan Inpres No. 6 tahun 1971. Kemudian
Bakolak ini merumuskan masalah-masalah nasional tersebut adalah: kenakalan remaja, narkotika, penyeludupan, uang palsu,
dan subvesi. Masalah-masalah nasional ini dalam penanganan dan penanggulangannya memerlukan pengaturan oleh hukum yang
mantap dan syarat dengan citra masyarakat. Khusus terhadap narkotika membutuhkan pembaharuan Undang-undang obat bius
yang praktis di Indonesia. Inilah yang mendorong lahirnya Undang-undang No. 9 tahun 1976, yang kemudian disempurnakan
dengan Undang-undang No. 22 tahun 1997 tentang narkotika. c. Undang-undang sebagai sarana prevensi umum terhadap
kriminalitas. Undang-undang pidana yang baik yang sejalan dengan tuntutan
perkembangan sosial bisa dipandang sebagai sarana untuk melakukan tindakan prevensi umum.
Victor Keenan Barus : Fungsionalisasi Badan Narkotika Propinsi Dalam Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Di Propinsi Sumatera Utara, 2008
Demikianlah halnya dengan upaya mengahadapi bahaya narkotika. Secara yuridis, khususnya hukum pidana pemerintah didukung
oleh kalangan ahli dan praktisi menyadari pentingnya Undang- undang narkotika. Persepsi kalangan mengenai relevan dan urgen
hadirnya Undang-undang narkotika nasional yang baru merupakan dukungan besar atas diterbitkannya Undang-undang tentang
narkotika. Untuk memberikan kepastian hukum dalam upaya penanggulangan terhadap
penyalahgunaan narkotika, maka sebagai dasar hukum dari Undang-undang narkotika adalah sebagai berikut:
a. Undang-undang Dasar 1945.
b. Undang-undang No. 9 tahun 1960 tentang pokok-pokok kesehatan.
c. Instruksi Presiden No. 6 tahun 1971
d. Undang-undang No. 13 tahun 1961 tentang ketentuan-ketentuan pokok
Kepolisian. e.
Undang-undang No. 15 tahun 1961 tentang ketentuan-ketentuan pokok Kesehatan.
f. Undang-undang No. 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
g. Undang-undang No. 3 tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa.
h. Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman.
Victor Keenan Barus : Fungsionalisasi Badan Narkotika Propinsi Dalam Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Di Propinsi Sumatera Utara, 2008
i. Undang-undang No. 6 tahun 1976 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kesejahteraan Sosial. j.
Undang-undang No. 8 tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961, beserta protokol yang mengubahnya.
k. Undang-undang No. 7 tahun 1997 tentang Pengesahan konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotrapika.
Dengan mengingat dasar-dasar ketentuan undang-undang tersebut di atas, maka pemerintah memutuskan:
a. Mencabut V.M.O Verdoovende Middelen Ordonantie 1972 No. 278 jo. No.
536 sebagaimana telah diubah dan ditambah. b.
Memperbaharui Undang-undang No. 9 tahun 1976 tentang narkotika Lembaran Negara tahun 1976 No. 36 Tambahan Lembaran Negara Nomor
3086. c.
Menetapkan Undang-undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1997 Tanggal 1 September 1997 tentang Narkotika. Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor
67, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3698
27
. Akibat adanya BAKOLAK INPRES No. 61971 SUB TEAM
NARKOTIKA, ini maka kegiatan penangggulangan bahaya narkotika yang dilakukan oleh POLRI, KEJAKSAAN, PENGADILAN dalam rangka pemberantasan
27
Moh. Taufik Makarao, Suhasril, H. Moh. Zakky, A.S., Tindak pidana narkotika, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2003, hlm 9-16.
Victor Keenan Barus : Fungsionalisasi Badan Narkotika Propinsi Dalam Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Di Propinsi Sumatera Utara, 2008
kejahatan, dapat ditingkatkan dengan adanya Suatu Badan Koordinasi yang di dalamnya terdapat unsur-unsur dari LembagaDinasJawatan yang kegiatannya
langsung atau tidak lansung ada hubungannya dengan masalah narkotika seperti bea cukai, pelabuhan laut-udara, PD K, penerangan, agama dan lain-lain; sehingga
penanggulangan narkotika bisa didekatkan dari berbagai aspek, yang diikuti dengan tindakan-tindakan baik represif maupun preventif. Secara umum kegiatan-kegiatan
dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika yang telah dilakukan oleh aparatur Pemerintah di antaranya:
a. Mengurangi volume narkotika, yang menjadi tugas alat-alat penegak hukum, dengan usaha mengurangi volume narkotika, seperti
pembasmian sumber-sumber pengejaran dan penuntutan di Pengadilan terhadap pegedar-pegedar gelap dan lain-lain.
b. Menghindarkan remaja dari bujukan Narkotika dengan pengawasan dan disiplin yang ketat dengan kasih sayang baik di rumah maupun
di sekolah, memberikan wadah kegiatan olah raga, rekreasi dan lain-lain.
c. Penerangan dan edukasi oleh para ahli dan para petugas kepada masyarakat umumnya dan remaja khususnya.
d. Usaha-usaha pengobatan para korban dan rehabilitasi sosialnya.
Victor Keenan Barus : Fungsionalisasi Badan Narkotika Propinsi Dalam Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Di Propinsi Sumatera Utara, 2008
e. Penyusunan RUU Narkotika yang favourable up to date dan lain- lain
28
. Untuk menghadapi bahaya narkotika Pemerintah beserta aparaturnya
BAKOLAK INPRES No. 61971 Sub Team Narkotika berkeyakinan bahwa dalam penanggulangan bahaya narkotika penyembuhan terhadap korban-korban yang telah
kecanduan, adalah tidakkurang artinya dan akan besar resiko serta biaya yang harus dikeluarkan oleh individu, masyarakat dan negara, oleh karenanya “pencegahan
adalah yang paling baik untuk memerangi penyalahgunaan narkotika”. Beberapa upaya pencegahan yang effektif di antaranya:
1. Pembinaan kesadaran mental. 2. Membangkitkan kesadaraan untuk menanggulangi penyalahgunaan narkotika
secara preventif dalam lingkungan keluarga masing-masing. 3. Mengajak masyarakat membantu pemberantasan penyalahgunaan narkotika secara
represif membantu penegak hukum dengan melaporkan apalagi ada sumber- sumber atau pengedar narkotika gelap
29
. Tanggal 29 September 1999 dikeluarkan Keputusan Presiden No. 116 tahun
1999 tentang Badan Koordiansi Narkotika Nasional, dimana menurut pasal 3 KepPres tersebut tugas BKNN adalah:
28
Sudjono. D, Kriminalistik dan Ilmu Forensik, Pengantar Sederhana Tentang Teknik Dalam Pendidikan Kejahatan, PT Tribinasa Karya, Bandung 1976, hlm 160-161.
29
Ibid, hlm 165.
Victor Keenan Barus : Fungsionalisasi Badan Narkotika Propinsi Dalam Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Di Propinsi Sumatera Utara, 2008
a. Perumusan kebijaksanaan nasional yang berkenaan dengan ketersedian,
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika termasuk rehabilitasi;
b. Pemantauan ketersediaan narkotika baik yang diproduksi di dalam negeri
maupun yang diimpor dari luar negeri; c.
Pemaduan upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang dilaksanakan oleh instansi yang berwenang;
d. Penyuluhan, pengembangan sumber daya manusia, pegumpulan dan
pengolahan data, serta penelitian dan pengembangan; e.
Pengembangan kerjasama bilateral, regional dan multirateral dengan negara lain danatau badan internasional yang berkaitan dengan masalah narkotika.
Dulu, untuk menangani masalah kenakalan remaja dan narkoba Pemerintah hanya mengeluarkan Inpres No. 6 tahun 1971. Saat itu Orde Baru tidak pernah
menganggap narkoba sebagai masalah nasional. Tidak pernah masuk dalam agenda sidang kabinet karena dianggap sebagai aib bangsa. Akibatnya masalah narkoba
merebak secara diam-diam di bawah permukaan. Nah, pada tahun 1999 setelah narkoba menjadi penyakit parah yang menggerogoti seluruh lapisan masyarakat,
pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 1161999 tentang pembentukan badan koordinasi nasional BKNN. BKNN bertugas merumuskan kebijakan dan
starategi penanggulangan terhadap bahaya narkoba, melakukan koordinasi dengan lembaga pemerintah baik departemen dan nondepartemen serta lembaga swadaya
masyarakat untuk memerangi narkoba, meningkatkan kerjasama internasional. Dalam
Victor Keenan Barus : Fungsionalisasi Badan Narkotika Propinsi Dalam Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Di Propinsi Sumatera Utara, 2008
perjalanannya BKNN baru berfungsi setelah satu tahun karena proses koordinasi banyak menyita tenaga dan waktu. Selanjutnya, pada 2002, BKNN berubah nama
menjadi Badan Narkotika Nasional BNN sesuai dengan Keputusan Presiden No. 17 tahun 2002. Tugas BNN sama dengan BKNN, hanya bertambah satu poin yaitu
mengupayakan pemberantasan narkoba dengan membentuk satuan-satuan tugas. Artinya, BNN tidak lagi sekedar mengoordinasi tapi sudah dilengkapi dengan
perangkat operasional sendiri yaitu satgas. Satgas itu semacam pasukan khusus yang bisa bertindak represif terhadap para penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan
berbahaya narkoba. Saat ini BNN telah memiliki tiga gugusan tugas, yaitu:
a. Airport interdection atau satuan tugas di bandara udara.
b. Sea port interdection atau satuan tugas yang mengawasi di pelabuhan-
pelabuhan laut. c.
Satuan tugas percusor. Percusor adalah bahan kimia yang digunakan untuk industri obat-obatan, industri
farmasi, industri lem, industri kosmetik, tetapi disinyalir percusor yang masuk secara legal itu banyak disimpangkan untuk membuat narkotika dan psikotrapika.
Buktinya ecstasy tidak hanya dibuat oleh pabrik-pabrik besar tetapi juga oleh home industry. Percusor ini diimpor dari Amerika Serikat atau Cina melalui
Singapura. “Menurut catatan UNODC United Nation on Drugs and Crime Indonesia termasuk negara yang paling rawan penyalahgunaan percusor, selain
Malaysia dan Philipina.
Victor Keenan Barus : Fungsionalisasi Badan Narkotika Propinsi Dalam Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Di Propinsi Sumatera Utara, 2008
Selanjutnya, untuk meningkatkan profesionalisme, satgas-satgas itu dilatih secara khusus. Dan beberapakali mereka mengikuti pelatihan yang diselengarakan
Polri bekerjasama dengan DEA Drugs Enforcement Agency. Itu kami lakukan dalam rangka menjalankan strategi BNN yaitu upaya prevention pencegahan, law
enforcement, penataan administrasi, dan informasi di bidang bahaya narkoba. Selain pembentukan satgas, BNN yang kini mendapat anggaran biaya
tambahan sekitar Rp 12 miliar untuk pembangunan kebutuhan fisik, akan mengembangkan pembangunan Pramadi Siwi, semacam tempat rehabilitas bagi
korban narkoba. Dan, untuk meminimalisasi korban penyalahgunaan narkoba, ia menyetujui bila para bandar, pengedar maupun pemakai narkoba dihukum seberat-
beratnya bila terbukti bersalah. Bahkan bila perlu dijatuhi hukuman mati
30
. Pengoperasionalan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2002 terhadap upaya
penanggulangan kejahatan narkotika yang selama ini dilakukan, menurut hasil penelitian yang peneliti lakukan adalah Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2002
pada dasarnya tidakbelum dioperasionalkan secara maksimal seperti yang diharapkan, hal ini terlihat dari:
2. Belum terbentuknya Badan Narkotika di setiap daerah baik ditingkat Propinsi
maupun di tingkat KabupatenKota. 3.
Masih banyak penyalahgunaan narkotika. Sedangkan untuk Propinsi Sumatera Utara Badan Narkotika Propinsi belum
dilaksanakan secara maksimal dapat dilihat dari:
30
Rusman Widodo, Forum Keadilan nomor 43 edisi 2 Maret tahun 2003 hlm 43.
Victor Keenan Barus : Fungsionalisasi Badan Narkotika Propinsi Dalam Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Di Propinsi Sumatera Utara, 2008
1. Belum adanya panti rehabilitasi yang khusus menangani pelaku narkotika
sehingga program kerja dari Badan Narkotika Propinsi Sumatera Utara belum dapat berjalan dengan baik karena program tersebut tidak sampai
pada para pelaku penyalahgunaan narkotika yang tertangkap. Sehingga selama ini Badan Narkotika Propinsi terkesan hanya mempunyai tugas untuk
memberantas penyalahgunaan narkotika dan untuk melakukan rehabilitasi pelaku penyalahgunaan narkotika terkesan terlupakan
31
. 2.
Kurangnya dana sehingga upaya aparat kepolisian dalam menangani kasus penyalahgunaan narkotika belum maksimal
32
. 3.
Masih adanya rangkap jabatan para anggota Badan Narkotika Propinsi Sumatera Utara sehingga tugas dari para anggota kurang maksimal
33
.
C. Penanggulangan kejahatan 1.