Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini perkembangan kejahatan sudah pada taraf mengkhawatirkan karena berkembang tidak hanya secara kuantitasnya tapi juga secara kualitasnya. Secara kuantitas dilihat dari maraknya pemberitaan tindak kejahatan yang terjadi di masyarakat dan secara kualitas dilihat dari alat dan cara yang digunakan oleh pelaku kejahatan dalam menjalankan aksinya. Secara kualitas dilihat dari modus operandi dan teknologi yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan. Begitu juga dengan kejahatan narkotika, secara kualitas kejahatan narkotika dilihat dari modus operandi dan teknologi yang dipergunakan untuk memasukkan atau menyalurkan narkotika tersebut, baik yang dijual untuk dikonsumsi di Indonesia maupun untuk dijual keluar Indonesia, dan secara kuantitas dilihat dari perkembangan jenis-jenis narkotika yang semakin bertambah dan jumlah narkotika yang ada. Terjadinya tindak kejahatan yang semakin tinggi di masyarakat akhir-akhir ini bukan hanya dipengaruhi oleh karena keinginan untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi yang sulit sekarang ini, namun juga karena dipengaruhi oleh penggunaan obat-obat terlarang, dan sikap hedonisme yang semakin menjamur dalam masyarakat Indonesia. Dalam pemberitaan media sering kita membaca, mendengar dan melihat penangkapan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap pengedar dan pemakai narkotika yang sering meresahkan masyarakat. Namun, tetap saja para pengedar dan Victor Keenan Barus : Fungsionalisasi Badan Narkotika Propinsi Dalam Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Di Propinsi Sumatera Utara, 2008 pemakai narkotika tidak habis-habisnya kita jumpai. Bahkan anak-anak kecil juga banyak yang menjadi sasaran peredaran dan menjadi pengguna narkotika tersebut. Akibatnya masyarakat yang bukan sebagai pengguna akan terus merasa terganggu dan resah. Keresahan yang terjadi di masyarakat ini sudah sepatutnya menjadi perhatian yang serius oleh aparat pemerintah untuk dapat memberantas pengedar dan pengguna narkotika. Penyalahgunaan narkotika merupakan kejahatan yang korbannya adalah diri sendiri, yang berbahaya bagi kesehatan, dan apabila telah ketergantungan pada akhirnya dapat mengakibatkan kematian. Tetapi bahaya yang paling mengancam adalah hilangnya para kaum muda bangsa Indonesia yang sangat penting bagi pembangunan Negara, berdasarkan data Badan Narkotika Nasional BNN lebih dari 15.000 orang usia muda tewas akibat narkoba 1 , dan negara mengalami kerugian Rp 65 milyar per hari atau sekitar Rp 23,6 trilyun per tahun dari jumlah total kerugian tersebut, sebanyak Rp 11,3 trilyun merupakan biaya ekonomi untuk konsumsi narkoba dan Rp12,3 trilyun sisanya adalah biaya sosial, yakni munculnya dampak kriminalisasi akibat penyalahgunaan narkotika 2 . Masalah narkotika di Indonesia bukanlah hal baru, dan telah dicoba untuk diantisipasi oleh pemerintah Indonesia, hal ini terbukti di Indonesia telah diatur masalah narkotika sejak jaman Hindia Belanda yaitu Verdoovende Middelen 1 Harian Analisa, Senin, 19 Juni 2006, Narkoba Tewaskan 15 Ribu Generasi Muda, No. 12007: Hlm 1. 2 Harian Analisa, Rabu, 31 Mei 2006, Negara Rugi Rp 65 MilyarHari Akibat Narkotika, No. 11988: Hlm 1. Victor Keenan Barus : Fungsionalisasi Badan Narkotika Propinsi Dalam Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Di Propinsi Sumatera Utara, 2008 Ordonatie Stbl no.278 jo no.536 yang telah diubah dan ditambah yang dikenal dengan Undang-Undang Bius V.M.O. Peraturan ini telah diganti dengan Undang-Undang nomor 9 tahun 1976 tentang Narkotika, karena sudah tidak mengikuti perkembangan kejahatan narkotika dan teknologi. Undang-Undang nomor 9 tahun 1976 tentang narkotika tidak berlaku lagi sejak diundangkannya Undang-Undang nomor 22 tahun 1997 tentang narkotika. Namun dalam kenyataannya penyalahgunaan narkotika tidak pernah surut sehingga mendorong pemerintah Indonesia untuk membentuk suatu badan penanggulangan yang khusus menangani narkotika. Dalam pasal 54 Undang-Undang nomor 22 tahun 1997 tentang narkotika berbunyi: Ayat 1: Pemerintah membentuk sebuah badan koordinasi narkotika tingkat nasional yang bertangggungjawab langsung kepada Presiden. Ayat 2: Badan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 mempunyai tugas melakukan koordinasi dalam rangka ketersediaan, pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Ayat 3: Ketentuan mengenai susunan, kedudukan organisasi dan tata kerja badan narkotika nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diatur dengan Keputusan Presiden. Dalam penjelasan pasal 54 ayat 2 menyatakan penanganan masalah narkotika pada dasarnya menjadi tugas dan tanggung jawab berbagai instansi Pemerintah di samping keikutsertaan masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Namun demikian, agar penanganan masalah narkotika Victor Keenan Barus : Fungsionalisasi Badan Narkotika Propinsi Dalam Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Di Propinsi Sumatera Utara, 2008 dilakukan secara terpadu dan mencapai hasil yang maksimal, perlu dilakukan koordinasi dalam menetapkan kebijaksanaan nasional di bidang narkotika. Pelaksanaan koordinasi ini sama sekali tidak mengurangi tugas dan tanggung jawab instansi Pemerintah tersebut. Akibat peningkatan penyalahgunaan narkotika dan sesuai dengan keinginan Undang-Undang nomor 22 tahun 1997 tentang narkotika untuk membentuk badan koordinasi narkotika tingkat nasional, maka Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 116 tahun 1999 tentang Badan Koordinasi Narkotika Nasional yang bertugas membantu tugas Presiden melaksanakan koordinasi dalam rangka ketersediaan, pencegahan dan pemberantasan peyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika 3 , yang kemudian diganti dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 17 tahun 2002 tentang Badan Narkotika Nasional yang bertugas membantu Presiden dalam: 1. Mengkoordinasi instansi pemerintah terkait dalam penyusunan kebijakan dan pelaksanaanya di bidang ketersediaan, pencegahan dan pemberantasan peyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotrapika dan zat adiktif lainnya. 2. Melaksanakan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotrapika, prekursor dan zat adiktif lainnya dengan membentuk satuan tugas-satuan tugas yang terdiri dari unsur-unsur instansi 3 KepPres no.116 tahun 1999, Tentang Badan Koordinasi Narkotika Nasional, pasal 2. Victor Keenan Barus : Fungsionalisasi Badan Narkotika Propinsi Dalam Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Di Propinsi Sumatera Utara, 2008 Pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya masing- masing 4 . Akibat meningkatnya kejahatan tindak pidana narkotika khususnya di Propinsi SUMUT menimbulkan pertanyaan bagi peneliti pada masalah tersebut. Pertama, apakah hal ini disebabkan oleh penduduknya yang mayoritas kaum muda yang memang menjadi sasaran para pegedar narkotika? Hal ini dapat saya tarik karena para pelaku kejahatan narkotika di Medan mayoritas adalah para pelajar dan mahasiswa yang rata-rata usianya 15 sampai 25 tahun. Kedua, apakah disebabkan karena tidak adanya pengaturan yang ketat terhadap lalu lintas penduduk sehingga orang dapat berpindah tempat semaunyadengan mudah? Ketiga, apakah kurangnya kesadaran masyarakat terhadap bahaya narkotika? Sehingga peran serta masyarakat tidak maksimal atau tidak ada sama sekali dalam memberantas tindak kejahatan narkotika. Keempat, apakah strategi penanggulangan yang kurang optimal atau tidak tepat dari aparat penegak hukum, sehingga tidak tepat pada sasaran? Kelima, apakah disebabkan oleh putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan yang tidak maksimal sehingga tidak membuat pelaku atau pelaku pontensial lainnya jeratakut? Dalam kesempatan ini, peneliti akan mencoba mengkaji apakah apakah strategi penanggulangan yang kurang optimal atau tidak tepat dari aparat penegak hukum mempunyai pengaruh atau kaitan terhadap perkembangan kejahatan narkotika di Kota Medan, berkaitan dengan pasal 11 Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 17 tahun 2002 tentang Badan Narkotika Nasional yang berbunyi: 4 KepPres no.17 tahun 2002, Tentang Badan Narkotika Nasional, pasal 2. Victor Keenan Barus : Fungsionalisasi Badan Narkotika Propinsi Dalam Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Di Propinsi Sumatera Utara, 2008 Ayat 1: Di propinsi dan KabupatenKota dapat dibentuk Badan Narkotika Propinsi dan Badan Narkotika KabupatenKota. Ayat 2: Badan Narkotika Propinsi ditetapkan oleh Gubernur. Ayat 3: Badan Narkotika KabupatenKota ditetapkan oleh BupatiWalikota. Berangkat dari pemikiran di atas, maka penulis mengajukan usul penelitian dengan judul “ FUNGSIONALISASI BADAN NARKOTIKA PROPINSI DALAM UPAYA PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DI PROPINSI SUMATERA UTARA ”.

B. Rumusan Masalah