Pemasyarakatan Klas II A Binjai. Berdasarkan Peraturan Pemerintah tentang syarat- syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak menyatakan setiap narapidana dan anak
didik pemasyarakatan mendapatkan perawatan rohani dan jasmani. Perawatan rohani diberikan dalam bentuk bimbingan rohani dan pendidikan budi pekerti. Pada setiap
Lapas wajib disediakan petugas untuk bimbingan rohani dan budi pekerti dan untuk keperluan itu Kalapas dapat menjalin kerjasama dengan instansi terkait, badan
pemasyarakatan atau perorangan. Pembinaan rohani tidak akan berjalan bila sarana pendukung seperti tempat
ibadah kurang memadai dengan jumlah Warga Binaan Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai. Hal ini dapat dilihat di lapangan bahwa kondisi
mesjid dan gereja kurang memadai.
B. Program Pembinaan Keterampilan dan Kegiatan Kerja
1. Program pembinaan keterampilan dan kegiatan kerja hanya berorientasi
kepada kebutuhan Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai. Perlindungan hukum terhadap sistem pembinaan didasarkan bahwa adanya
pembinaan bukan didasarkan kepada kepentingan suatu lembaga atau negara melainkan kepentingan narapidana. Tidak setiap narapidana mempunyai kebutuhan
dan bakat sama melainkan tergantung dari pribadi masing-masing yang sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, pengalaman maupun lingkungan sebelum
menjalani pidana hilang kemerdekaan.
122
122
Dalam pelaksanaan pembinaan dilakukan dengan mengedepankan kepentingan narapidana bottom up approach yang dirasakan lebih efektif jika dibandingkan dengan pembinaan yang berasal
l
Kebutuhan dan bakat narapidana merupakan kepentingan objektif narapidana yang diketahui semenjak narapidana menjadi warga binaan pemasyarakatan dan
mendapatkan pembinaan tahap pertama sebagai rangkaian proses pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan dan selanjutnya mendapatkan pengesahan
dalam sidang tim pengamat pemasyarakatan. Kepentingan objektif narapidana ini merupakan hal yang sangat penting mengingat adanya tujuan agar setelah menjalani
pidananya, narapidana tidak mengulangi perbuatannya dan dapat menjadi manusia yang seutuhnya. Persyaratan administratif dengan mengedepankan kebutuhan dan
bakat narapidana tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan pembinaan pada hakikatnya bukan berorientasi kepada kepentingan lembaga pemasyarakatan.
123
Dalam kata “bimbingan dan didikan” terkandung makna positif yaitu perlindungan harkat dan martabat narapidana sebagai manusia yang arti membimbing
terpidana agar bertobat, mendidik supaya menjadi anggota masyarakat sosialis yang berguna.
124
Sedangkan dalam kata “pembalasan” terkandung makna sebaliknya yaitu pengingkaran terhadap hak asasi manusia sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak
sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial pada hakikatnya merupakan
dari materi pembina pemasyarakatan top down approach. Narapidana dituntut untuk mengenal dirinya sendiri dan dalam rangka menentukan pembinaan apa yang sesuai dengan dirinya untuk
membentuk dirinya sendiri sehingga dapat aktif berperan dalam pembangunan dan hidup secara wajar setelah menjalani masa pidana di lembaga pemasyarakatan.
123
Kepentingan yang paling utama adalah kepentingan narapidana, meskipun baik lembaga pemasyarakatan mendapatkan keuntungan. Keuntungan bagi lembaga pemasyarakatan misalnya
berkurangnya pengamanan kepada narapidana selama mengikuti pembinaan. Hal ini juga dapat meningkatkan keahlian narapidana.
124
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung : Alumni, 1986, hlm. 73
li
pembaharuan hukum pidana yang pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan hukum pidana politik hukum pidana. Pembaharuan hukum dimulai sejak masa
permulaan berdirinya negara Republik Indonesia untuk mengisi kekosongan hukum yang ditentukan dalam Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa
segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.
Diadakannya aturan peralihan ini dimaksudkan untuk menghindari kekosongan hukum yang berarti bahwa peraturan-peraturan yang ada pada
zaman penjajahan masih tetap berlaku di mana pemberlakuan peraturan- peraturan zaman Belanda itu disesuaikan dengan kedudukan negara Republik
Indonesia sebagai negara merdeka. Pada tanggal 26 Februari 1946, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang
Peraturan Hukum Pidana. Sejak saat itulah dapat dikatakan pembaharuan hukum pidana di Indonesia dimulai. Peraturan dalam hukum pidana
merupakan cerminan dari ideologi politik dari suatu bangsa di mana hukum itu berkembang dan merupakan hal yang sangat penting bahwa seluruh
bangunan hukum itu bertumpu pada pandangan politik yang sehat dan konsisten.
125
Perlindungan terhadap hak asasi narapidana sebagai manusia dituangkan
dalam beberapa pasal yang telah diuraikan diatas. Beberapa pasal tersebut tidak menyebutkan kata-kata “harkat dan martabat”, namun secara eksplisit dengan adanya
hak dan kewajiban untuk melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap narapidana telah menunjukkan sebagai suatu bentuk perlindungan terhadap harkat dan martabat
narapidana. Perlindungan tersebut dilanjutkan dengan adanya pengawasan dalam bentuk peningkatan kedisiplinan narapidana.
2. Program pembinaan keterampilan dan kegiatan kerja kurang memiliki sarana.
125
Nyoman, Relevansi Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2005, hlm. 75
lii
Pelaksanaan pembinaan keterampilan dan kegiatan kerja memerlukan gedung dan lahan yang cukup luas untuk digunakan sebagai lokasi pengerjaan.
3. Adanya aspek penolakan masyarakat terhadap mantan narapidana, meskipun
memiliki keterampilan dan keahlian kerja. Aspek penolakan masyarakat terhadap mantan narapidana mengakibatkan
pembinaan keterampilan dan kegiatan kerja di Lembaga Pemasyarakatan kurang maksimal. Hal ini berkaitan dengan asumsi masyarakat bahwa bekas narapidana
bukan lebih baik akantetapi malah sebaliknya. Penolakan terhadap bekas narapidana memberikan kesan bahwa masyarakat ternyata tidak mampu atau kurang respon
untuk membina narapidana.
126
Sistem pemasyarakatan sebagai petunjuk arah pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan belum mencapai hasil yang memadai, dengan beberapa
indikator: a
Narapidana yang melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan. b
Pelanggaran hak-hak narapidana. c
Penolakan bekas narapidana oleh masyarakat. d
Keterbatasan sarana maupun prasarana dalam mendukung pembinaan. Rijken telah membedakan antara dasar hukum dari pidana dan tujuan pidana.
Dasar hukum dari pidana terletak pada pembalasan terhadap kesalahan yakni dari pembalasan itu terletak pembenaran dari wewenang pemerintah untuk
memidana strafbevoegdheid van de overheid. Apakah penguasa juga akan
126
Faktor penerimaan masyarakat terhadap bekas narapidana tidak hanya sekedar menerima menjadi anggota keluarga ataupun lingkungannya, tetapi harus menghilangkan prasangka buruk akan
adanya kemungkinan melakukan kejahatan kembali dengan cara menerima kembali bekerja di berbagai lapangan pekerjaan.
liii
menggunakan wewenang itu tergantung dari tujuan yang dikehendaki. Tujuan itu merupakan penegakan wibawa, penegakan norma, menakut-nakuti,
mendamaikan, mempengaruhi tingkah laku dan menyelesaikan konflik.
127
Sebagai penegak hukum, maka petugas pemasyarakatan fungsi sebagai wadah
yang melahirkan hak dan kewajiban. Dengan demikian, kedudukan dan peranan tidak dapat dipisahkan yang berarti pada prinsipnya suatu hak merupakan wewenang untuk
berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas. Peranan yang ideal dan peranan yang seharusnya merupakan nilai dalam kerangka normatif
sebagai acuan dalam melaksanakan peranan yang dianggap oleh diri sendiri dan peranan yang sebenarnya dilakukan.
128
Dari sisi sistem pemasyarakatan, aturan yang berkonotasi pemberian labelling dan stigma sedapat mungkin dihindarkan. Karena disadari bahwa pemberian cap
negatif terhadap narapidana, justru akan mempersulit pengembalian mereka re- integrasi ke dalam masyarakat.
129
Kedua konsep ini menunjukkan bahwa apabila seseorang di cap jahat, maka sadar atau tidak ia akan melakukan kembali kejahatannya itu residivis. Prinsip ke 8
yang dianut dalam Sepuluh Prinsip Pemasyarakatan menyatakan bahwa: “Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia,
127
Ibid., hlm. 2
128
Dalam perspektif ini, maka peranan petugas pemasyarakatan berada dalam ruang lingkup berhak berwenang dalam pembinaan. Perihal peranan lazimnya ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan yang meliputi peranan yang ideal, peranan yang seharusnya, peranan yang dianggap oleh diri sendiri dan peranan yang sebenarnya dilakukan.
129
Dalam teori psikologi, stigmatisasi dapat mengkondisikan seseorang cenderung untuk melakukan penyimpangan tahap kedua second deviant behaviour. Pada tahap ini seseorang
dikondisikan untuk menghayati perilakunya sebagai sesuatu yang seharusnya dan dianggap benar. Apalagi dari sudut sosiologi proses stigmatisasi, akan menimbulkan apa yang dinamakan self
propelling prophecy ramalan yang lambat-laun akan menjadi kenyataan.
liv
meskipun ia telah tersesat. Tidak boleh selalu ditunjukkan pada narapidana bahwa ia itu penjahat. Sebaliknya ia harus selalu merasa bahwa ia dipandang
dan diperlakukan sebagai manusia. Maka petugas pemasyarakatan tidak boleh bersikap maupun memakai kata-kata yang menyinggung perasaannya,
khususnya yang bersangkutan dengan perbuatan yang telah lampau yang menyebabkan ia masuk Lapas, segala label yang negatif cap sebagai
penjahat hendaknya sedapat mungkin dihapuskan.”
130
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai payung sistem
pemasyarakatan Indonesia, menyelenggarakan sistem pemasyarakatan agar narapidana dapat memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga
narapidana dapat diterima kembali dalam lingkungan masyarakatnya, kembali aktif berperan dalam pembangunan serta hidup secara wajar sebagai seorang warga negara.
Saat seorang narapidana menjalani vonis yang dijatuhkan oleh pengadilan, maka hak- haknya sebagai warga negara akan dibatasi. Sesuai Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1995, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Walaupun terpidana kehilangan kemerdekaannya, tapi ada
hak-hak narapidana yang tetap dilindungi dalam sistem pemasyarakatan Indonesia.
131
BAB IV
130
Didin Sudirman, Op-Cit., hlm 317
131
Oleh sebab itu dari sisi ilmu pemasyarakatan, ketentuan tersebut bertentangan dengan strategi yang digunakan dalam mencapai tujuan pemasyarakatan yaitu re-integrasi secara sehat dengan
masyarakat. Dampak lainnya adalah ketika mereka tidak diberikan haknya secara sama dengan narapidana lainnya. Hal itu berarti “perilaku baik mereka selama menjalani pidana” tidak di apresiasi
secara benar dan tepat oleh petugas. Situasi ini baik langsung maupun tidak langsung akan menimbulkan resistensi dari kelompok narapidana tersebut. Lebih jauh hal itu akan berpengaruh
terhadap keamanan di dalam Lapas karena adanya tekanan tambahan dari kelompok ini.
lv
UPAYA GUNA MENGHADAPI HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN TUJUAN PEMBINAAN DI LEMBAGA
PEMASYARAKATAN KLAS II A BINJAI
Proses pembinaan narapidana oleh Lembaga Pemasyarakatan Klas II Binjai perlu adanya upaya guna mencapai keberhasilan yang ingin dicapai, meliputi :
A. Program Pembinaan Kerohanian