1. Secara teoritis, diharapkan menjadi bahan masukan untuk perkembangan ilmu
hukum pidana, khususnya mengenai bagaimana melaksanakan sistem pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan.
2. Secara praktis
a. Masukan bagi pihak Lembaga Pemasyarakatan Binjai untuk mengevaluasi
pelaksanaan sistem pemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan Binjai dengan berpedoman Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
sehingga mantan narapidana akan benar-benar menyadari kesalahannya yang pada akhirnya akan menjadi anggota masyarakat berguna bagi agama, bangsa,
dan negara. b.
Masukan bagi pihak Lembaga Pemasyarakatan Binjai serta instansi yang terkait untuk mengevaluasi faktor-faktor yang menghambat dan faktor yang
mendukung dalam mencapai keberhasilan sistem pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Binjai.
c. Masukan bagi Lembaga Pemasyarakatan Binjai dan instansi terkait untuk dapat
mencari upaya penyelesaian dalam menghadapi kendala dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Binjai.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan oleh peneliti mengenai “Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai”. belum
Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai, 2009
pernah dilakukan. Hal ini berarti menegaskan bahwa penelitian tersebut adalah asli.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka
Teori
a. Teori pembinaan pelanggaran hukum
Pembinaan pelanggaran hukum menurut sejarah adalah merupakan koreksi atas kegagalan dari konsep pemenjaraan dimana dalam pelaksanaannya telah
menimbulkan dampak yang negatif. John Howard yang merupakan sheriff dari Bedford Inggris pada tahun 1777 telah mengorbankan harta dan jiwanya
dalm mengunjungi rumah-rumah penjara di Inggris yang bertujuan untuk meringankan orang-orang yang di penjara sehingga pada tahun 1800-an
muncul istilah probation pidana bersyarat dan parole pelepasan bersyarat.
28
Kedudukannya sebagai koreksi terhadap pidana penjara, maka pembinaan
pelanggaran hukum berdasarkan sistem pemasyarakatan memandang bahwa perilaku melanggar hukum adalah merupakan kekurangan manusiawi yang ada pada setiap
manusia dan pada hakekatnya tidak terlepad dari adanya kekurangan yang melekat pada masyarakat. Pembinaan pelanggaran hukum lebih berfungsi untuk pemenuhan
kebutuhan dari anggota masyarakat yang melakukan perbuatan melanggar hukum yaitu dalam mempertahankan eksistensinya sebagai sesama manusia, sesama anggota
masyarakat dengan hak-haknya yang asasi, yang secara tidak langsung menyangkut pula kebutuhan masyarakat dalam rangka kesejahteraan manusia.
Adanya pengenalan antara pemenuhan kebutuhan antara anggota masyarakat yang melanggar hukum di satu sisi dan pemenuhan kebutuhan masyarakat di lain
28
Didin Sudirman, Reposisi dan Revitalisasi Pemasyarakatan, Jakarta : Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2007, hlm. 105
Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai, 2009
pihak yang sebenarnya tidak dapat di pisahkan satu sama lainnya menyebabkan adanya pergeseran penekanan dalam pelaksanaan pembinaan sehingga dalam
pembinaan pelanggar hukum terdapat adanya 2 dua perspektif yaitu: 1
Pola pembinaan yang lebih berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan dari yang membina sebagai cerminan pemenuhan kebutuhan masyarakat official
perspective.
2 Pola pembinaan yang lebih berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan dari
yang di bina consumers perspective.
29
Dalam sistem pemasyarakatan terlihat adanya suatu upaya adanya pengintegrasian narapidana, petugas pemasyarakatan dan masyarakat.
Pemasyarakatan tidak hanya sekedar rehabilitasi dan resosialisasi narapidana tetapi harus ada mata rantai pemulihan hubungan sosial narapidana dengan
masyarakat pasca menjalani pidana, setelah narapidana kembali ke masyarakat.
30
Berdasarkan prinsip pemasyarakatan tersebut, terlihat bahwa Sahardjo menginginkan adanya pengintegrasian narapidana, petugas dan masyarakat.
Pemasyarakatan tidak hanya sekedar rehabilitasi dan sosialisasi narapidana tetapi harus ada mata rantai pemulihan hubungan sosial narapidana dengan masyarakat
pasca menjalani pidana, yaitu penerimaan kembali bekas narapidana setelah di masyarakat. Adapun pertimbangan lain yang di lihat Sahardjo akan perlunya peran
masyarakat disebabkan terpidana telah menjalani pidana dan pembinaan sehingga
29
Ibid, hlm. 106
30
Oleh karena itu pembinaan dengan sistem pemasyarakatan dapat memenuhi tujuan pemidanaan dapat dikaji berdasarkakan teori relatif menurut teori ini pidana bukanlah sekedar untuk
melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan tindak pidana. Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai, 2009
tidak boleh ada hukuman tambahan dari pihak manapun.
31
Menurut teori utilitarian, hukuman bertujuan mencegah semua pelanggaran hukum atau kejahatan. Hal ini merupakan tujuan yang paling luas, yaitu mencegah
bahkan bila memungkinkan dapat mencegah semua jenis kejahatan. Disamping itu hukuman harus dapat mencegah hal-hal buruk. Tujuan hukuman untuk mendorong
setiap orang agar tidak melakukan pelanggaran yang tidak berbahaya atau bukan sesuatu yang jahat, sehingga ada kebebasan untuk memilih, namun didorong untuk
tidak memilih perbuatan yang tidak berbahaya. Hukuman bertujuan menekan kejahatan, di mana setelah seseorang itu menjalani hukuman diharapkan tidak
melakukan kejahatan kembali. Dalam mencegah kejahatan harus dilakukan dengan biaya semurah mungkin.
Hukum pidana yang berisi kumpulan peraturan mengandung larangan akan mendapat sanksi pidana atau hukuman apabila dilanggar. Dengan demikian
menjatuhkan hukuman bagi pelaku tindak pidana oleh negara adalah bagian dari perlindungan terhadap hukum yang berlaku serta melindungi kepentingan setiap
warga negara. Sejak dipergunakannya institusionalisasi dalam bentuk pidana penjara, maka perkembangan dari pelaksanaan pidana penjara itu sendiri juga tidak dapat
dilepaskan dari perkembangan doktrin-doktrin pemidanaan. Fungsi pidana penjara yang semula bertujuan merampas kemerdekaan
mengalami perubahan-perubahan sejalan dengan perkembangan masyarakat dan
31
Dalam hal ini Sahardjo ingin memberikan pemahaman bahwa tanggung jawab lembaga pemasyarakatan tidak boleh di campur-adukkan dengan proses penjatuhan pidana. Dengan demikian
sejauh mana pemasyarakatan itu dapat memenuhi tujuan pidana, dikaji berdasarkan teori utilitarian. Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai, 2009
sejalan pula dengan perkembangan berbagai disiplin ilmu yang mendominasi dan mempengaruhi tujuan dari pidana penjara.
32
Gagasan pemasyarakatan sebagai sistem perlakuan terhadap narapidana di Indonesia pada dasarnya menganut pola reintegrasi yang di anut oleh sebagian besar
bangsa-bangsa didunia yang dalam prinsip dasar perlakuannya lebih berorientasi pada pembinaan di tengah-tengah masyarakat community based corrections . Walaupun
tujuan pidana penjara mengalami perubahan, namun dalam kenyataannya tidak pernah terjadi bahwa tujuan yang lama terjadilah akumulasi dari tujuan-tujuan
tersebut yang terhimpun di atas kepentingan individual maupun sosial yang berbeda- beda yang tidak jarang bertentangan antara kepentingan yang satu dengan yang
lainnya. Teori yang bersifat utilitarian ini lebih ”memandang kedepan” daripada ”memandang ke belakang”. Hukuman digambarkan sebagai landasan moral untuk
mencapai sesuatu yang lebih bermanfaat di masa mendatang. Manfaat-manfaat itu mempunyai jangkauan pencegahan kejahatan. Jangkauan pencegahan kejahatan
paling tidak mengacu kepada pencegahan umum, ancaman sebagai hukuman harus dapat mempengaruhi pandangan orang akan resiko dari suatu perbuatan jahat,
sedangkan pada pencegahan khusus mengacu pada bagaimana hukuman dapat membentuk pandangan orang sebagai objek hukuman.
33
32
Tujuan yang semula ditujukan untuk pembalasan retribution beralih kepada penjaraan deterrence, rehabilitasi rehabililtation, resosialisasi resosialitation dan terakhir reintegrasi sosial
social reintegration.
33
Begitupun halnya dengan incapacitation,mengacu kepada kemampuan hukuman untuk membatasi pelaku dengan cara pemindahan pelaku kejahatan dari masyarakat. Dengan demikian harus
Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai, 2009
b. Teori pengayoman pemasyarakatan
Kedudukan, sifat dan fungsi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 di Lembaga Pemasyarakatan dalam mengayomi serta memasyarakatkan warga binaan
cukup penting karena yang tadinya warga binaan dianggap sebagai sampah masyarakat, oleh Lembaga Pemasyarakatan diupayakan kembali menjadi orang yang
berguna bagi nusa dan bangsa serta dapat diharapkan berperan aktif dan produktif dalam pembangunan dan bagi dirinya ia dapat berbahagia di dunia dan akhirat.
Pencapaian tujuan yang dimaksud dilakukan oleh pihak Lembaga Pemasyarakatan melalui 10 sepuluh prinsip pokok pemasyarakatan serta dengan bentuk-bentuk
pembinaan, pengayoman yakni pembinaan mental, sosial dan keterampilan. Pengayoman pemasyarakatan diberikan kepada warga binaan yang
berorientasi pada masa depan yang cerah dapat diwujudkan, yakni : 1
Mempercepat kesadaran warga binaan 2
Mempersiapkan kembali kemasyarakat 3
Memberikan bekal untuk hidup bermasyarakat.
34
Untuk mewujudkan sistem pembinaan pemasyarakatan tersebut, maka Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan mengatur tentang
hak-hak yang dimiliki oleh narapidana. Hak ini dapat di lihat dalam Pasal 14 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995, menentukan bahwa:
35
Narapidana berhak:
ada tujuan lebih jauh dari hanya pidana saja, sehingga teori ini mengharapkan hukuman dapat memperbaiki pelaku kejahatan.
34
Berlin Nainggolan, Implementasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Sebagai Dasar Mengayomi Serta Memasyarakatkan Warga Binaan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Siborong-
Borong, Medan : FH USU, 2002, hlm. 1.
35
Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai, 2009
a Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaan.
b Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani.
c Mendapatkan pendidikan dan pengajaran.
d Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak.
e Menyampaikan keluhan.
f Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang
tidak terlarang. g
Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan. h
Menerima kunjungan keluarga penasehat hukum atau orang tertentu lainnya. i
Mendapatkan pengurangan masa pidana remisi. j
Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti, mengunjungi keluarga. k
Mendapatkan pembebasan bersyarat. l
Mendapatkan cuti menjelang bebas. m
Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan pada tanggal 19 Mei 1999. Peraturan Pemerintah ini dapat
dikatakan sangat terlambat, namun demikian kita masih menghargai usaha pemerintah untuk mengatur dengan cara melakukan pembinaan dan pembimbingan
terhadap warga dan pemasyarakatan. Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 menentukan bahwa:
1 Pembinaan narapidana dilaksanakan melalui beberapa tahap pembinaan
2 Tahap pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 terdiri dari 3 tiga
tahap yaitu: a
Tahap awal b
Tahap lanjutan dan c
Tahap akhir 3
Pengalihan pembinaan dari satu tahap ke tahap lain, ditetapkan melalui sidang tim pengamat pemasyarakatan berdasarkan data dari pembina
pemasyarakatan, pengaman pemasyarakatan, pembimbing kemasyarakatan dan wali narapaidana.
Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai, 2009
4 Data sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 merupakan hasil pengamatan,
penilaian dan laporan terhadap pelaksanaan pembinaan. 5
Ketentuan mengenai pengamatan, penilaian dan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat 4 diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Selanjutnya mengenai waktu untuk tiap-tiap proses pembinaan tersebut diatur dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 selengkapnya
menentukan: 1
Pembinaan tahap awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat 2 huruf a bagi narapidana dimulai sejak yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana
sampai dengan 13 satu pertiga dari masa pidana.
2 Pembinaan tahap lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat 2 huruf
b meliputi: 3
Tahap lanjutan pertama, sejak berakhirnya pembinaan tahap awal sampai dengan ½ satu perdua dari masa pidana dan
4 Tahap lanjutan kedua sejak berakhirnya pembinaan tahap lanjutan pertama
sampai dengan 23 dua pertiga masa pidana. 5
Pembinaan tahap akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat 2 huruf c dilaksanakan sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya
masa pidana dari narapidana yang bersangkutan.
6 Pentahapan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, 2 dan 3
ditetapkan melalui sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan.
Ketentuan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 dijelaskan bahwa tahapan pembinaan ada 3 tiga tahap. Ketentuan tersebut apabila diperhatikan
tetap membagi tahapan pembinaan tahap. Karena tahap kedua dibagi dua yaitu pembinaan tahap lanjutan pertama, tahap lanjutan kedua yang dalam Keputusan
Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor. M.02-PK.04.10 Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan PidanaTahanan disebut tahap kedua untuk tahap lanjutan pertama
dan tahap untuk tahap lanjutan kedua. Memahami fungsi Lembaga Pemasyarakatan yang dinyatakan oleh Sahardjo,
sejak itu dipakai sistem pemasyarakatan sebagai metode dan pemasyarakatan sebagai
Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai, 2009
proses. Dengan dipakainya sistem pemasyarakatan sebagai metode pembinaan narapidana, jelas terjadi perubahan fungsi Lembaga Pemasyarakatan yang tadinya
sebagai tempat pembalasan berganti sebagai tempat pembinaan. Didalam perjalanannya, bentuk pembinaan yang diterapkan bagi narapidana yang meliputi:
36
a Pembinaan berupa interaksi langsung sifatnya kekeluargaan antara pembina
dan yang dibina; b
Pembinaan yang bersifat persuasif, yaitu berusaha merubah tingkah laku melalui keteladanan;
c Pembinaan berencana, terus-menerus dan sistematis;
d Pembinaan kepribadian yang meliputi kesadaran beragama, barbangsa dan
bernegara, intelektual, kecerdasan, kesadaran hukum, keterampilan, mental spiritual.
Pelaksanaan pidana penjara dengan menonjolkan aspek pembinaan di dalam lembaga, hingga saat ini mengalami hambatan. Hal ini antara lain disebabkan
keterbatasan sarana fisik berupa bangunan penjara dan peralatan bengkel kerja yang masih memakai peninggalan kolonial Belanda; sarana personalia yaitu tenaga ahli
yang profesional di bidang ilmu keperilakuan; sarana administrasi dan keuangan berupa terbatasnya dana peraturan dan perundang-undangan yang masih memakai
reglemen penjara Gestichten Reglemen 1917 No.708.
37
Keterbatasan sarana dapat merupakan salah satu penghambat pembinaan narapidana seperti yang diharapkan. Oleh karenanya, sulit untuk menghasilkan
pembinaan yang efektif, efisien serta berhasil guna. Hal ini cukup beralasan, mengingat tujuan sistem pemasyarakatan itu sangat ideal, sedangkan sarananya
36
Departemen Kehakiman, Pola Pembinaan NarapidanaTahanan, 1990
37
Tujuan pembinaan narapidana selanjutnya dikatakan untuk memperbaiki dan meningkatkan budi pekerti para narapidana dan anak didik yang berada di dalam Lembaga Pemasyarakatanrumah
tahanan negara. Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai, 2009
sangat terbatas. Akibatnya, setiap petugas akan mengalami kejenuhan dan berkhayal mengenai cita-cita pemasyarakatan. Masalah pembinaan terhadap narapidana tidak
terlepas dengan pembicaraan masalah pidana, pemidanaan. Dalam pidana hal yang tidak kalah penting adalah berkaitan dengan masalah mengapa manusia melakukan
perbuatan melanggar hukum. Dalam arti sebab-sebab timbulnya kejahatan dan apa perlunya sanksi hukum pidana diterapkan.
Menurut peneliti sampai saat ini meskipun perubahan dalam arti sifat, bentuk dan tujuan pidana, pidana tetap dianggap sebagai satu-satunya jawaban akhir dalam
memberantas kejahatan, padahal pandangan ini tidaklah benar karena persoalannya bukan saja pengaruh pidana yang menakutkan atau membentuk penegak hukum yang
profesional akan tetapi ada hal lain yang penting diperhatikan adalah adanya faktor motif timbulnya pelanggar-pelanggar hukum.
38
J.E. Sahetapy dalam disertasinya, mengemukakan bahwa pemidanaan bertujuan “pembebasan” pidana harus dapat membebaskan si pelaku dari cara atau
jalan yang keliru yang telah ditempuhnya. Maka membebaskan tidak identik dengan pengertian rehabilitasi atau reformasi. Makna membebaskan menghendaki agar si
pelaku bukan saja harus dibebaskan dari alam pikiran yang jahat yang keliru, melainkan ia harus pula dibebaskan dari kenyataan sosial dimana ia terbelenggu.
39
Menurut Sahetapy tidak dapat disangkal bahwa dalam pengertian pidana
38
Oleh karena itu sampai saat ini belum dapat diberikan jawaban yang memuaskan mengapa orang melakukan kejahatan tertentu dan mengapa masih ada orang melakukan kejahatan yang sama
setelah pelakunya dipidana mati.
39
J.E. Sahetapi, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Jakarta : Rajawali Press, 1992, hlm. 279
Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai, 2009
tersimpul unsur-unsur penderitaan, tetapi penderitaan dalam tujuan membebaskan bukanlah semata-mata untuk penderitaan agar si pelaku menjadi takut atau merasa
menderita akibat suatu pembalasan dendam melainkan derita itu harus dilihat sebagai obat atau sebagai kunci jalan keluar yang membebaskan dan yang memberikan
kemungkinan bertobat dengan penuh keyakinan.
40
Peter Hoefnagels mengemukakan tujuan pidana adalah untuk penyelesaian konflik conflict resolution, mempengaruhi para pelanggar dan orang-orang lain ke
arah perbuatan yang kurang lebih sesuai dengan hukum influencing offenders and possibly other than offenders toward more or less law-conforming behavior.
41
Rijksen, membedakan antara dasar hukum dari pidana dan tujuan pidana. Dasar hukum dari pidana terletak pada pembalasan terhadap kesalahan yakni
dari pembalasan itu terletak pembenaran dari wewenang pemerintah untuk memidana strafbevoegdheid van de overheid. Apakah penguasa juga akan
menggunakan wewenang itu tergantung dari tujuan yang dikehendaki. Tujuan itu merupakan penegakan wibawa, penegakan norma, menakut-nakuti,
mendamaikan, mempengaruhi tingkah laku dan menyelesaikan konflik.
42
Selanjutnya Roeslan Saleh berpendapat bahwa pada hakekatnya ada dua poros
yang menentukan garis hukum pidana yaitu; pertama dari segi prevensi yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi, suatu upaya untuk dapat mempertahankan
kelestarian hidup bersama dengan melakukan pencegahan kejahatan dan kedua dari segi pembalasan yaitu bahwa hukum pidana sekaligus merupakan pula penentuan
hukum, merupakan koreksi dari dan reaksi atas sesuatu yang bersifat tidak hukum sehingga dapat dikatakan bahwa pidana adalah selaku merupakan perlindungan
40
Ibid, hlm. 280.
41
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op-Cit, hlm. 21.
42
Ibid, hlm 21. Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai, 2009
terhadap masyarakat dan pembalasan atas perbuatan tidak hukum.
43
Memahami fungsi Lembaga Pemasyarakatan yang dilontarkan Sahardjo, sejak itu dipakai sistem pemasyarakatan sebagai metode dan pemasyarakatan sebagai
proses. Dengan dipakainya sistem pemasyarakatan sebagai metode pembinaan narapidana, jelas terjadi perubahan fungsi Lembaga Pemasyarakatan yang tadinya
sebagai tempat pembalasan berganti sebagai tempat pembinaan. Di dalam perjalanannya, bentuk pembinaan yang diterapkan bagi narapidana yang meliputi:
44
a Pembinaan berupa interaksi langsung sifatnya kekeluargaan antara pembina
dan yang dibina; b
Pembinaan yang bersifat persuasif, yaitu berusaha merubah tingkah laku melalui keteladanan;
c Pembinaan berencana, terus-menerus dan sistematis;
d Pembinaan kepribadian yang meliputi kesadaran beragama, barbangsa dan
bernegara, intelektual, kecerdasan, kesadaran hukum, keterampilan, mental spiritual.
Keterbatasan sarana dapat merupakan salah satu penghambat pembinaan narapidana seperti yang diharapkan. Oleh karenanya, sulit untuk menghasilkan
pembinaan yang efektif, efisien serta berhasil guna. Hal ini cukup beralasan, mengingat tujuan sistem pemasyarakatan itu sangat ideal, sedangkan sarananya
sangat terbatas. Akibatnya, setiap petugas akan mengalami kejenuhan mengenai cita- cita pemasyarakatan.
Richard D. Schwartz dan Jerome H. Skolnick, menyatakan sanksi pidana dimaksudkan untuk a mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana to
prevent recidivism; b mencegah orang lain melakukan perbuatan yang sama
43
Disamping mengandung hal-hal lain yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat
diterima kembali dalam masyarakat.
44
Departemen Kehakiman, Pola Pembinaan NarapidanaTahanan, 1990. Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai, 2009
seperti yang dilakukan si terpidana to deter other from the peformance of similar acts; c menyediakan saluran untuk mewujudkan motif-motif balas
to provide a channel for the expression of realiatory motives.
45
Selanjutnya Emile Durkheim mengatakan mengenai fungsi dari pidana adalah untuk
menciptakan kemungkinan bagi pelepasan emosi-emosi yang ditimbulkan atau diguncangkan oleh adanya kejahatan the function of punishment is to
create a possibility for the release of emotion that are aroused by the time.
46
Roger Hood berpendapat bahwa sasaran pidana disamping untuk mencegah
terpidana atau pembuat potensial melakukan tindak pidana juga untuk, pertama memperkuat kembali nilai-nilai sosial reinforcing social values, kedua
menentramkan rasa takut masyarakat terhadap kejahatan allaying public fear of crime.
47
Ahli di bidang kepenjaraan penolog mengakui bahwa ada 3 tiga elemen pokok apabila tujuan pemasyarakatan tercapai, yaitu: 1 petugas; 2 narapidana; dan
3 masyarakat. Dipertimbangkannya unsur masyarakat adalah sesuatu yang rasional dan tepat mengingat beberapa hal bahwa narapidana adalah anggota masyarakat yang
telah melanggar hukum, serta narapidana juga nantinya setelah lepas menjalani hukuman kembali ke masyarakat.
48
Sistem pemasyarakatan sebagai petunjuk arah pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan belum mencapai hasil yang memadai, dengan beberapa
indikator:
49
45
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung : Alumni, 1998, hlm. 20.
46
Ibid, hlm. 19.
47
Ibid., hlm. 21.
48
Hal ini berarti bahwa pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan dirasakan tidak mencukupi karena pembinaan hanya sebatas masa hukuman.
49
Oleh karena itu lanjutan pembinaan tetap berada di lingkungan masyarakat itu sendiri yang Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai, 2009
a Narapidana yang melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan.
b Pelanggaran hak-hak narapidana.
c Penolakan bekas narapidana oleh masyarakat.
d Keterbatasan sarana maupun prasarana dalam mendukung pembinaan.
2. Kerangka Konsepsional