Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai)

(1)

PELAKSANAAN PEMBINAAN MENURUT

UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995

TENTANG PEMASYARAKATAN

(STUDI DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II A BINJAI)

TESIS

Oleh

ANTON SETIAWAN

077005003/HK

S

E K O L A H

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

PELAKSANAAN PEMBINAAN MENURUT

UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995

TENTANG PEMASYARAKATAN

(STUDI DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II A BINJAI)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

ANTON SETIAWAN

077005003/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : PELAKSANAAN PEMBINAAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN (STUDI DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II A BINJAI)

Nama Mahasiswa : Anton Setiawan

Nomor Pokok : 077005003

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) Ketua

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH,DFM)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Direktur,

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc)

Tanggal lulus : 24 Juli 2009


(4)

Telah diuji pada Tanggal : 24 Juli 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS

Anggota : 1. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH

2. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM 3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH

4. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum


(5)

ABSTRAK

Keberhasilan pembinaan narapidana setelah berada di masyarakat, sangat tergantung pada proses sosialisasi narapidana di dalam lembaga, dengan mengadaptasi nilai-nilai agama, kesusilaan dan sosial lainnya yang berlaku dalam masyarakat. Artinya, bentuk-bentuk penekanan, pemerasan dan perlakuan tidak senonoh, harus tidak terjadi dalam kehidupan Lembaga Pemasyarakatan. Oleh karenanya pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan hendaknya bukan dengan cara penekanan (pembalasan), tetapi perlindungan.

Penelitian tentang “Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai)” terdiri atas 3 (tiga) masalah, yaitu : Bagaimanakah pelaksanaan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Binjai berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan; Faktor-faktor apakah yang menghambat dan mendukung dalam keberhasilan tujuan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Binjai; dan Upaya-upaya apakah yang dilakukan untuk menghadapi hambatan dalam pelaksanaan tujuan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Binjai.

Pendekatan masalah dalam penelitian tesis “Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai)” yang peneliti laksanakan menggabungkan pendekatan yuridis normatif dengan yuridis sosiologis. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan menginventarisasi dan meneliti bahan kepustakaan hukum yang terkait dengan tujuan pidana, penjara, dan pemasyarakatan serta peraturan perundang-undangan lainnya.

Hasil penelitian berupa banyak ditemukan kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan yang menyebabkan “viktimisasi” terhadap para terpidana. Konsep Lembaga Pemasyarakatan pada level empirisnya tak ada bedanya dengan penjara. Bahkan ada tudingan bahwa Lembaga Pemasyarakatan adalah “sekolah kejahatan”. Sebab orang justru menjadi lebih jahat setelah menjalani hukuman penjara di Lembaga Pemasyarakatan. Ini menjadi salah satu faktor dominan munculnya seseorang bekas narapidana melakukan kejahatan lagi, yang biasa disebut dengan residivis.

Keberhasilan upaya pembinaan, pengayoman warga binaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan sangat tergantung kepada faktor-faktor pendukung lainnya, sementara yang diketahui saat ini adalah Lembaga Pemasyarakatan menghadapi 4 (empat) permasalahan pokok, yaitu: masalah peraturan pelaksana dalam membina warga binaan yang kurang efektif; masalah personalia Lembaga Pemasyarakatan; masalah administrasi; masalah sarana fisik.

Upaya yang perlu dilakukan dalam menghadapi hambatan pembinaan narapidana adalah: menjalin kerjasama dengan instansi pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat dalam upaya peningkatan pembinaan terhadap narapidana; adanya motivasi yang kuat di dalam pribadi petugas Lembaga Pemasyarakatan


(6)

dengan prinsip moralitas dan idealisme yang tinggi; upaya peningkatan kesejahteraan petugas Lembaga Pemasyarakatan untuk meningkatkan loyalitas petugas dalam melaksanakan tugas; adanya moralitas yang baik dalam diri narapidana sehingga sadar bahwa narapidana adalah seseorang yang taat hukum setelah bebas; melengkapi sarana dan prasana yang dibutuhkan dalam melakukan pembinaan; dan meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap narapidana melalui kesediaan masyarakat untuk menerima narapidana sebagai anggota masyarakat.

Peneliti menyarankan adanya suatu pemahaman mengenai tanggung jawab pembinaan terhadap narapidana dengan semua pihak, khususnya komponen dalam sistem peradilan pidana seperti kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman dengan mengikutsertakan masyarakat secara aktif, serta perlunya peran serta pemerintah dan pihak swasta dalam upaya menghadapi kendala yang dihadapi lembaga pemasyarakatan.

Kata kunci : Pembinaan, Narapidana, Pemasyarakatan


(7)

ABSTRACT

Efficacy of convict construction after residing in society, very depend on process of convict socialization in institute, with the adaptation of religion values, other social and ethics going into effect in society. Its meaning, emphasis forms, unharmonious treatment and extortion, should not be happened in life Institute The Pemasyarakatan. For the reason convict construction in Institute Pemasyarakatan shall non by emphasis (retaliation), but protection.

Research about “Construction Execution of According to Number Law 12 Year 1995 About Pemasyarakatan (Study in Institute The Pemasyarakatan Klas II A Binjai)” consisted of 3 (three) problem, that is : What will be construction execution in Institute of Pemasyarakatan Binjai of pursuant to Number Law 12 Year 1995 about Pemasyarakatan; Factors what pursuing and supporting in efficacy of construction target in Institute of Pemasyarakatan Binjai; and Efforts what conducted to face the resistance in execution of construction target in Institute of Pemasyarakatan Binjai.

Approach of internal issue of thesis research “Construction Execution of According to Number Law 12 Year 1995 About Pemasyarakatan Study in Institute The Pemasyarakatan Klas II A Binjai)” what researcher execute to join the approach of yuridis normatif by yuridis is sosiologis. Approach of yuridis normatif done with the stocktaking and check the related law bibliography substance with an eye to crime, serve a sentence, and pemasyarakatan and also other law and regulation.

Result of research in the form of a lot of found by hardness and power abuse causing viktimisasi to all punished. Concept Institute the Pemasyarakatan its level empiric nothing; there is no the difference with the prison. May even exist accusation that Institute Pemasyarakatan is badness school. People cause exactly become more virulent after serving a sentence in Institute Pemasyarakatan. This become one of dominant factor of somebody appearance is convict do the badness again, ordinary referred as with recidivist.

Efficacy strive the construction, pengayoman of citizen binaan in Institute Pemasyarakatan very depended to other supporter factors, whereas knew in this time [is] Institute Pemasyarakatan face 4 (fundamental four) problems, that is: problem of executor regulation in constructing citizen binaan which less be effective; personnel problem Institute the Pemasyarakatan; administrative affair; problem of physical medium.

Effort which require to be conducted in face of resistance of convict construction is : braiding cooperation with the governmental institution and Self-Supporting Institute of society in the effort make-up of construction to convict; existence of strong motivation in worker person Institute the Pemasyarakatan principally is high moralitas idealism and; strive the make-up of worker prosperity Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang


(8)

Institute the Pemasyarakatan to increase loyalitas worker in executing duty; existence of good moralitas in conscious convict it'self so that that convict is obedient somebody punish after free; equiping medium and prasana required in conducting construction; and improve the society participation to convict through society readiness to accept convict as society member.

Researcher suggest the existence of an understanding of concerning construction responsibility to convict with all party, specially component in system of judicature of crime like police, public attorney, and judgement by involve the society actively, and also the importance of governmental role and also and party of private sector in the effort facing constraint faced by the institute pemasyarakatan.

Keywords : Construction, Convict, Pemasyarakatan.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan Kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian dengan judul penelitian “PELAKSANAAN PEMBINAAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR

12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN (STUDI DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II A BINJAI)”

Penulisan tesis merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam rangka menyelesaikan studi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Peneliti turut mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&Sp. A(K) atas dibukanya kerjasama program beasiswa Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dengan Universitas Sumatera Utara. 2. Direktur Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc atas

pemberian kesempatan menjadi mahasiswa di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.

3. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH selaku Ketua Program Sudi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.

4. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan sumbang saran dalam penelitian.

5. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH selaku Komisi Pembimbing yang telah memberikan nasehat dan masukan dalam penelitian ini.


(10)

6. Syafruddin Sulung Hasibuan, SH, MH,DFM selaku Komisi Pembimbing yang telah memberikan ide-ide dalam penulisan.

7. Dosen-dosen yang telah memberikan materi kuliah di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan, sehingga peneliti dapat menyelesaikan studi dengan baik.

8. Staf pegawai yang telah memberikan informasi dan kontribusi selama peneliti kuliah di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.

Peneliti berterima kasih atas dukungan moril yang telah diberikan istri tercinta beserta anak-anakku tersayang yang telah mengerti atas perjuangan memperoleh gelar di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan. Dengan segala keterbatasan kekurangan yang ada, peneliti berharap semoga penelitian ini bisa dimanfaatkan oleh segenap kalangan yang membutuhkan.

Medan, Agustus 2009 Penulis

Anton Setiawan


(11)

RIWAYAT HIDUP

Nama : ANTON SETIAWAN

Tempat/Tgl. Lahir : Jogyakarta, 28 Mei 1975 Jenis Kelamin : Laki-laki

Status : Menikah

Agama : Islam

Alamat : Jl. Kemiri Ujung Komplek Graha Taman Sari No. 34 B

PENDIDIKAN FORMAL

- Sekolah Dasar dari tahun s/d . - Sekolah dari tahun s/d . - Sekolah dari tahun s/d . - Fakultas Hukum dari tahun s/d .

- Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU) dari tahun 2007 s/d sekarang.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... v

RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR SINGKATAN ... xii

DAFTAR ISTILAH ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 17

C. Tujuan Penelitian ... 17

D. Manfaat Penelitian ... 18

E. Keaslian Penelitian ... 19

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 19

G. Metode Penelitian ... 33

BAB II PEMBINAAN NARAPIDANA MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN ... 35

A. Gambaran Umum Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai ... 35

B. Pola Pembinaan Narapidana ... 45

1. Pembinaan Mental Rohani ... 53

2. Pembinaan Umum ... 55

3. Pembinaan Keterampilan dan Kegiatan Kerja ... 56

4. Pembinaan Lainnya ... 58


(13)

5. Pembinaan Olahraga dan Kesenian ... 61

BAB III HAMBATAN PEMBINAAN NARAPIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II A BINJAI ... 85

A. Program Pembinaan Kerohanian ... 85

B. Program Pembinaan Keterampilan dan Kegiatan Kerja ... 88

BAB IV UPAYA GUNA MENGHADAPI HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN TUJUAN PEMBINAAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II A BINJAI ... 94

A. Program Pembinaan Kerohanian ... 94

B. Program Pembinaan Keterampilan dan Kegiatan Kerja ... 95

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 103

A. Kesimpulan ... 103

B. Saran ... 104

DAFTAR PUSTAKA ... 105


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Rekapitulasi Data Pegawai Berdasarkan Golongan di Lembaga Pemasyarakatan

Klas II A Binjai Bulan April Tahun 2009... 38 2. Rekapitulasi Data Pegawai Berdasarkan

Tingkat Pendidikan di Lembaga Pemasya-

rakatan Klas II A Binjai Bulan April Tahun 2009 ... 39 3. Rekapitulasi Data Pegawai Berdasarkan

Jenis Kelamin di Lembaga Pemasyarakatan

Klas II A Binjai Tahun 2009 ... 39 4. Rekapitulasi Data Pegawai Berdasarkan

Jabatan di Lembaga Pemasyarakatan Klas

II A Binjai Tahun 2009 ... 39 5. Rekapitulasi Pembinaan Mental Rohani Islam

di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai

Tahun 2009 ... 53 6. Rekapitulasi Pembinaan Mental Rohani Kristen

di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai

Tahun 2009 ... 54 7. Daftar Mata Pelajaran Paket B di Lembaga

Pemasyarakatan Klas II A Binjai Bulan April

Tahun 2009 ... 56 8. Bimbingan Kerja di Lembaga Pemasyarakatan

Klas II A Binjai Bulan April Tahun 2009 ... 57 9. Hasil Produksi di Lembaga Pemasyarakatan

Klas II A Binjai Bulan April Tahun 2009 ... 57 10. Rekapitulasi Keadaan Kesehatan Narapidana

di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai

Bulan April Tahun 2009 ... 60 11. Kegiatan Olahraga di Lembaga Pemasyarakatan

Klas II A Binjai Bulan April Tahun 2009 ... 61


(15)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

1. Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai ... 37


(16)

DAFTAR SINGKATAN

KUHP : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana LN : Lembaran Negara

SMR : The Standar Minimum Rulers Fo The Treatment of Prisoners WvS : Wetboek van Straafrecht


(17)

DAFTAR ISTILAH

Parole : Pelepasan Bersyarat Probation : Pidana Bersyarat

Retribution : Pembalasan Deterrence : Kepenjaraan Penolog : Ahli Kepenjaraan Rehabilitation : Pemulihan Resosialitation : Penggabungan Social Reintegration : Penyatuan Sosial Way of Life : Pandangan Hidup


(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemberian sanksi pidana yang setimpal terhadap pelaku kejahatan belum mengakibatkan pelaku jera dalam melakukan kejahatan. Bahkan ada indikasi statistik bahwa kejahatan semakin meningkat, baik secara kuantitas maupun kualitas. Oleh karenanya masalah pemberian sanksi pidana masih relevan untuk dipertanyakan keberadaannya.

Adanya suatu pemahaman yang tepat terhadap pelaku atau pelanggar hukum atau sanksi pidananya akan membawa dampak yang cukup berarti bagi pemberian sanksi pidana itu sendiri. Pada prinsipnya dalam hukum pidana di Indonesia, tujuan pemberian sanksi pidana harus berfungsi untuk membina atau membuat pelanggar hukum menjadi tobat dan bukan berfungsi sebagai pembalasan. Pemahaman yang demikian sesuai dengan pandangan hidup bangsa (way of life) yang terkandung dalam Pancasila yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Awalnya, sanksi pidana berupa penjara itu dikenal sebagai salah satu sarana untuk membalas dendam bagi seorang pelaku kejahatan, tanpa memperhitungkan setimpal atau tidaknya sanksi pidana itu dengan kejahatan yang dilakukannya.1

Tujuan sanksi pidana pada waktu dulu hanya membuat si pelaku kejahatan menjadi jera dan masyarakat takut untuk berbuat kejahatan. Perkembangan pemikiran ke arah perbaikan hidup pelaku kejahatan baru dikenal sejak adanya teori penjatuhan hukuman.

Secara tradisional, teori pemidanaan dapat dibagi menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu:

1

Barda Nawawi Arief, Kebijaksanaan Sanksi Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Makalah, (Semarang : Universitas Diponegoro, 1989), hlm. 12.


(19)

1) Teori absolut yang menyebutkan pidana dijatuhkan semata-mata karena orang yang melakukan tindak pidana. Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan tersebut.

2) Teori relatif yang menyebutkan memidana bukanlah memuaskan tuntutan absolut dari keadilan.2

Pembalasan itu tidak mempunyai nilai, tetapi mempunyai tujuan tertentu yang bermanfaat. Jadi dasar pembenaran menurut teori relatif terletak pada tujuan pidana yang diputuskan bukan karena orang tersebut jahat, melainkan supaya orang tidak lagi melakukan kejahatan. Persoalan yang perlu dilihat apakah sanksi pidana dapat menjamin seseorang untuk tetap taat pada norma hukum setelah menjalani pidana, atau dapatkah dinyatakan bahwa kejahatan terjadi bukan saja disebabkan oleh penyimpangan moral, tetapi juga karena pengaruh sosial ekonomi, sehingga sanksi pidana dituntut dapat bervariasi, dalam rangka pembinaan terhadap si pelaku atau pelanggar hukum.3

Pemberian sanksi pidana selalu direalisasikan dengan membina di Lembaga Pemasyarakatan. Ada anggapan yang menyatakan bahwa pelanggar hukum hanya dapat dibina jika diasingkan dari lingkungan sosial, serta pelanggar hukum

2

Petrus Panjaitan, Lembaga Pemasyarakatan Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995), hlm. 9.

3

Usaha untuk memperbaharui sanksi pidana hendaknya berorientasi kepada pendidikan yang dapat menghasilkan karya nyata di masyarakat. Sedangkan sanksi pidana berupa hukuman semata tidak akan bermanfaat bagi pembaharuan kesadaran hukum, moral, dan mental pelanggar hukum, jika semata-mata hanya untuk mematuhi Undang-undang tanpa memperhatikan kesiapan mental, fisik, dan spritual si pelaku atau pelanggar hukum.


(20)

dinyatakan sebagai individu yang telah rusak dalam segala-galanya sehingga tidak akan dapat diharapkan untuk bersikap ramah terhadap lingkungan sosialnya. Adanya pemahaman seperti itu merupakan suatu pembalasan yang dilegalisir oleh kenyataan dan kehendak masyarakat itu sendiri (stigma).4

Pembalasan secara timbal-balik di atas, sulit untuk dicegah jika perlakuan terhadap si pelaku kejahatan masih menganut aliran konvensional. Oleh karena itu, di satu pihak membina anggota keluarga si pelaku kejahatan, di lain pihak menghilangkan persepsi buruk masyarakat terhadap si pelaku kejahatan itu sendiri.

Secara yuridis formal, masalah pemberian sanksi pidana di Indonesia dikenal sejak berlakunya KUHP (Wetbooek Van Straafrecht Voor Indonesie) yang merupakan produk kolonial.Tujuan pemberian sanksi pidana yang terkandung dalam Pasal 10 KUHP semata-mata sebagai reaksi atas pelanggaran yang dilakukan seseorang. Ini berarti pengakuan terhadap hak asasi manusia si pelaku kejahatan tidak menjadi prioritas.

Herbert L. Packer dalam bukunya The Limits of The Criminal Sanction yang dikutip Barda Nawawi Arief membicarakan masalah sanksi pidana dalam penanggulangan kejahatan, menyebutkan bahwa:

a) Sanksi pidana sangatlah diperlukan, kita tidak dapat hidup sekarang maupun di masa yang akan datang tanpa pidana;

b) Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang sudah ada, yang kita miliki untuk menghadapi bahaya-bahaya besar dan bersifat segera;

4

Pembalasan tidak selalu dalam bentuk-bentuk penyiksaan fisik, tetapi bisa juga bersifat penekanan psikologis. Hal itu bertujuan bukan saja ditujukan kepada pelaku kejahatan, tetapi tertuju pada anggota keluarga. Terciptanya pembalasan seperti ini akan membawa dampak negatif terhadap anggota keluarga si pelaku kejahatan. Akibatnya anggota keluarga akan dipaksa oleh keadaan berbuat hal yang sama dengan si pelaku kejahatan.


(21)

c) Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama atau terbaik dan suatu ketika merupakan pengancam yang utama dari kebebasan manusia itu sendiri. Ia merupakan penjamin apabla dipergunakan secara hemat, cermat dan secara manusiawi. Ia merupakan pengancam apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa.5

Sedangkan menurut Muladi, bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang diakibatkan oleh tindak pidana. Hal ini terdiri atas seperangkat tujuan pemidanaan yang harus dipenuhi dengan tujuan yang merupakan titik berat harus bersifat kasuistis. Perangkat tujuan pemidanaan yang dimaksud terdiri atas:

1) Pencegahan (umum dan khusus); 2) Perlindungan masyarakat;

3) Memelihara solidaritas masyarakat; 4) Pengimbalan/perimbangan.6

Pengaruh langsung dari penjatuhan pidana itu jelas terhadap orang yang dikenai pidana. Tetapi pidana itu belum dirasakan sungguh-sungguh olehnya kalau sudah dilaksanakan secara efektif. Dengan pemidanaan di sini dikehendaki agar terpidana tidak melakukan tindak pidana lagi. Oleh karena itu, penjatuhan pidana menjadi alternatif dalam rangka mencegah perbuatan melanggar hukum, baik oleh individu maupun kelompok. Pemenjaraan dalam bentuk pengisolasian diri dalam tembok penjara, ternyata mengalami perubahan seiring dengan kemajuan peradaban suatu bangsa. Penghargaan terhadap citra manusia menjadi dasar utama

5

Barda Nawawi Arief, Op-Cit, hlm. 23. 6

Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung : Alumni, 1985), hlm. 61.


(22)

memperlakukan si terpidana lebih manusiawi. Sehubungan dengan itu, pemberian sanksi pidana dengan membina narapidana di Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia mengalami perubahan yang cukup berarti, khususnya tentang metode perlakuan terhadap narapidana itu sendiri.

Pemikiran mengenai fungsi pemidanaan menurut Indonesia yang menganut ideologi Pancasila tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang telah ditetapkan dengan suatu sistem perlakuan terhadap para pelanggar hukum di Indonesia yang dinamakan dengan sistem pemasyarakatan. Istilah pemasyarakatan untuk pertama kali disampaikan oleh Almarhum Bapak Sahardjo (Menteri Kehakiman pada saat itu) pada tanggal 5 Juli 1963 dalam pidato penganugerahan gelar Doctor Honoris Causa oleh Universitas Indonesia. Pemasyarakatan oleh beliau dinyatakan sebagai tujuan dari pidana penjara.7

Plato menyatakan bahwa tidak ada yang bisa mengubah nasib manusia kecuali dirinya sendiri.Dengan adanya suatu perubahan memungkinkan manusia mengenal dirinya sendiri. Proses pengenalan diri sendiri memerlukan tahap motivasi berupa tahap kelanjutan dari introspeksi. Dalam hal pemasyarakatan, Warga Binaan Pemasyarakatan diberikan motivasi untuk dirinya sendiri sehingga dapat memandang positif setiap kejadian. Dengan adanya motivasi diri yang berlangsung terus-menerus, maka akan menimbulkan suatu proses pengembangan diri dengan tahapan self

7

Satu tahun kemudian, pada tanggal 27 April 1964 dalam Konferensi Jawatan Kepenjaraan yang dilaksanakan di Lembang Bandung, istilah pemasyarakatan dibakukan sebagai pengganti kepenjaraan. Pemasyarakatan dalam konferensi ini dinyatakan sebagai suatu system pembinaan terhadap para pelanggar hukum dan sebagai suatu pengejawantahan keadilan yang bertujuan untuk mencapai reintegrasi sosial atau pulihnya kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan Warga Binaan Pemasyarakatan di dalam masyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya, pelaksanaan system pemasyarakatan semakin mantap dengan diundangkannya Undang Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.


(23)

development.8

Dengan adanya Undang Undang Pemasyarakatan ini maka makin kokoh usaha-usaha untuk mewujudkan visi sistem pemasyarakatan, sebagai tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara Pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab.9

Pembinaan diatur secara khusus dari Pasal 5 sampai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995. Jika dilihat Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan mengatur tentang pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan dilakukan di BAPAS. Selanjutnya dipertegas dengan Pasal 7ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 yang menyatakan bahwa pembinaan dan pembimbing Warga Binaan Pemasyarakatan diselenggarakan oleh Menteri dan dilaksanakan oleh petugas pemasyarakatan.10

Perubahan pandangan dalam memperlakukan narapidana di Indonesia tentunya didasarkan pada suatu evaluasi kemanusiaan yang merupakan wujud manifestasi Pancasila, sebagai dasar pandangan hidup bangsa yang mengakui hak-hak asasi narapidana. Menilik butir ketiga dari pemikiran Sahardjo di atas, ada suatu mata

8

C.Harsono, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, (Jakarta : Djambatan, 1995), hlm. 10 9

Sahardjo yang dikenal sebagai tokoh pembaharu dalam dunia kepenjaraan, telah mengemukakan ide pemasyarakatan bagi terpidana. Alasannya: 1). Tiap orang adalah makhluk kemasyarakatan; 2) tidak ada orang yang hidup di luar masyarakat; 3) kemudian narapidana hanya dijatuhi hukuman kehilangan kemerdekaan bergerak. Jadi perlu diusahakan supaya tetap dapat mempunyai mata pencaharian.

10

Lihat Pasal 5 sampai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan


(24)

rantai yang harus jelas diperhatikan oleh para pembina maupun pemerintah, yaitu, bagaimana pembina itu mampu menghasilkan si narapidana yang tetap mempunyai mata pencaharian setelah keluar dari penjara.11

Kesimpulannya, individu sebagai anggota masyarakat tentunya tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya berbuat jahat. Namun, sebagai manusia yang mempunyai citra, harkat juga martabat yang sama di hadapan Tuhan, tentunya harus diperlakukan secara bertanggungjawab dan manusiawi. Pemberian sanksi pidana bagi pelanggar hukum, bukan sebagai pembalasan atau eksploitasi tenaga manusia untuk kepentingan golongan/jawatan pemerintah, tetapi bertujuan untuk menyadarkan perilaku menyimpang pada diri si pelanggar hukum tersebut. Pidana penjara di dalam sejarahnya dikenal sebagai reaksi masyarakat akibat adanya tindak pidana yang dilakukan oleh seorang pelanggar hukum. Oleh karena itu pidana penjara juga disebut sebagai pidana hilang kemerdekaan, dimana seseorang itu dibuat tidak berdaya dan diasingkan secara sosial dari lingkungannya semula.12

Oleh karena itu sesuai dengan pernyataan Baharudin Suryobroto sebagai

11

Berhasil tidaknya mendidik narapidana sebagai seorang pekerja yang taat pada hukum kelak setelah berada di masyarakat, sangat tergantung pada proses sosialisasi narapidana di dalam lembaga, dengan mengadaptasi nilai-nilai agama, kesusilaan dan sosial lainnya yang berlaku dalam masyarakat. Artinya, bentuk-bentuk penekanan, pemerasan dan perlakuan tidak senonoh, harus tidak terjadi dalam kehidupan Lembaga Pemasyarakatan. Oleh karena itu pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan tidak dilakukan dengan cara penekanan (pembalasan), tetapi perlindungan.

12

Pidana penjara sebagaimana terdapat di Indonesia, ternyata mempunyai kaitan sejarah yang erat dengan perkembangan hukum kolonial, yaitu Wetboek van Straafrecht (WvS) yang merupakan produk pemerintah Belanda. Di samping itu, pidana penjara selalu menjadi tema sentral dalam setiap kali terjadi diskusi dalam seminar-seminar Hukum Pidana maupun kriminologi serta penologi, bahkan dalam perkembangan hukum pidana, pidana penjara ini tidak pernah luput dari sorotan.


(25)

berikut:13

Pidana penjara hingga sekarang masih tetap merupakan pidana yang menduduki tempat terpenting sebagai tempat institut pidana. Nama aslinya yang pernah kita kenal di Indonesia ini ialah “gevengenis straaf” berasal dari kata Belanda yang menunjukkan kepada wujud dari pidana itu, karena

gevengenis yang dapat diartikan sebagai suatu status/keadaan di mana orang

yang bersangkutan berada dalam keadaan gevengenis atau tertangkap, memang merupakan perwujudan utama dari vrijheids bercoving als straaf

(vrijheid straaf) atau dalam bahasa Indonesianya pidana hilang kemerdekaan

(lazimnya kata gevengenis dipakai untuk menunjukkan kepada bangunannya). Bahasa Inggris “imprisonment” yang berasal dari kata “prison” sedikit ada perbedaannya dengan “gevengenis straaf”. Istilah Pidana Penjara sebenarnya lebih menunjukkan kepada tujuan dari “gevengenis straaf”, yakni

“afschrikking” atau penjeraan (deterence). Istilah penjeraan yang berasal dari

kata “jera” ini sebenarnya ditunjukkan kepada yang dikenakan pidana itu. Akan tetapi sebagaimanapun sebutannya, yang jelas “gevengenis straaf” atau

“improsnment”, dalam keasliannya dimaksudkan untuk “penjeraan”, afschrikking, detterence, suatu doktrin yang bersumber pada pendapat 1,5

abad yang lalu dan paling dibela oleh Baccaria (1738-1794).

Pidana penjara di samping diatur dalam Pasal 10 KUHP sub a juga diatur dalam Pasal 12. Menurut bunyi Pasal ini bahwa lamanya waktu dari pidana penjara itu adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu, yang dikategorikan lagi ke dalam hari, berupa paling pendek satu hari dan paling lama lima belas tahun. Selanjutnya ayat 3 dari Pasal ini menegaskan bahwa pidana penjara itu boleh dijalani selama dua puluh tahun berturut-turut. Kurun waktu pidana yang dijalani seorang narapidana selama waktu tertentu tidak boleh melebihi dua puluh tahun.14

Selanjutnya Pasal 13 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini

13

Baharudin Suryobroto, “Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan”, Majalah Lembaga Pembinaan Hukum Nasional, (Jakarta : BPHN, No.16 Tahun V, April, Mei, Juni, 1972), hlm.10.

14

Pidana penjara diatur dalam Pasal 10, 12, 13, 14 sub a 1, 15, 24, 25, 26, 27, 28, 29 KUHP saat ini, merupakan urutan kedua di bawah pidana mati di kelompok pidana pokok. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia yang ada sekarang menurut sejarahnya merupakan bagian terbesar dari Wetboek van Straafrecht (WvS) 1915 sejak tanggal 1 Januari 1918. KUHP 1915 ternyata mengikuti Straf Wetboek tahun 1881 di Belanda.


(26)

mengklasifikasikan terpidana atas beberapa golongan atau kelas. Adapun yang dimaksudkan dengan kelas/golongan terpidana itu adalah seperti tercantum dalam Pasal 49 Gestichten Reglement 1917 No. 708. pasal 49 Reglemen Kepenjaraan (L.N.1917 No. 708 diubah dengan L.N. 1948 No. 77) menurut lamanya hukuman yang harus dijalani, maka para terhukum penjara dibagi atas empat kelas, yang terberat masuk Kelas I, kemudian Kelas II, Kelas III dan yang teringan masuk Kelas IV. Bila terpidana berkelakuan baik, maka dapat dinaikkan kelasnya. Berdasarkan ketentuan ayat 2 Pasal 50 Reglemen menentukan, bahwa para terhukum penjara selama hidup dan terhukum penjara sementara yang nakal atau berbahaya bagi para pegawai penjara dan para terhukum lainnya, disendirikan daripada terhukum lainnya. Maksud pembagiannya, yaitu:15

1) Orang mempunyai dasar-dasar baik jangan sampai dijangkiti kebiasaan-kebiasaan buruk.

2) Mendorong orang hukuman berkelakuan baik agar dapat naik pangkat dan demikian dapat memperbaiki nasibnya.

3) Merupakan persiapan dari terhukum, yaitu dari keadaan dihukum kemudian diberi kelonggaran-kelonggaran lebih banyak, diberi kemerdekaan dengan perjanjian dan akhirnya dimerdekakan tanpa syarat.

Menurut Pasal 15 KUHP seseorang yang dipidana penjara boleh dilepaskan dengan perjanjian, bila telah dua pertiga dari bagian hukuman yang sebenarnya dan juga paling sedikit sembilan bulan daripada itu. Pasal ini juga dikenal sebagai “pelepasan bersyarat”. Selanjutnya Pasal 50 ayat (1) dari Reglement Penjara menyatakan bahwa terpidana dibagi ke dalam beberapa golongan, antara lain:

15

Soegiarta Dwidjoseputro, Peraturan Penjara Dengan Keterangan, (Jakarta : Direktorat Pemasyarakatan, 1998), hlm. 23.


(27)

pangkat pertama termasuk:16

(1) a. Orang yang dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup.

b. Orang yang dihukum dengan hukuman penjara sementara yang tidak mau turut perintah atau yang berbahaya untuk keamanan pegawai-pegawai penjara atau teman-teman terpenjara.

(2) Orang hukuman yang masuk pangkat ini harus dipisahkan dengan orang-orang terpenjara lainnya.

(3) Orang-orang itu jika mungkin harus ditutup di penjara istimewa (khusus dan dikerjakan dalam lingkungan tembok penjara dengan penjagaan yang keras). (4) Orang yang dihukum dengan hukuman penjara sementara dan termasuk

pangkat ini dapat dinaikkan ke pangkat dua, apabila kelakuannya selama satu tahun baik.

Disamping pembagian golongan, para terpidana yang dipenjara atau menjalani hukuman, menurut Pasal 14 KUHP diwajibkan menjalankan segala pekerjaan berdasarkan ketentuan pelaksanaan Pasal 29. Menurut Pasal 29 KUHP menjelaskan bahwa: tempat kerja, upah kerja ditentukan dalam ordonansi yang sesuai dengan kitab Undang-undang itu.

Adapun ordonansi yang dimaksudkan itu termaktub dalam LN 1917 No. 708 diubah dengan LN 1948 No. 77 (Peraturan Kepenjaraan) yaitu dalam Bab VIII Pasal 57 sampai dengan Pasal 64.

Hal-hal yang perlu mendapat sorotan dari ketentuan wajib bagi terpidana menurut keterangan ini, adalah:17

a) Bahwa pekerjaan yang diberikan kepada terpidana merupakan suatu kewajiban; baik di luar maupun di dalam tembok penjara, baik pria maupun perempuan.

b) Pekerjaan yang dilakukan oleh orang terpenjara harus untuk keperluan jawatan negara; dan penghasilan pekerjaan orang terpenjara menjadi keuntungan negara pula.

16

Pasal 50 ayat (1) dari UU No. 708 tahun 1917 tentang Reglement Penjara 17

Pasal 57, Pasal 59, dan Pasal 62


(28)

c) Orang terpenjara diwajibkan bekerja selama 9 jam setiap harinya.

Pasal 24 KUHP, menjelaskan bahwa orang terpidana boleh diwajibkan bekerja di dalam atau di luar tembok penjara. Adapun bentuk pekerjaan yang dilakukan terpidana, adalah:

Pekerjaan yang dapat dilakukan yang terhukum di luar tembok penjara meliputi, antara lain, mengikuti ekspedisi militer, dipekerjakan di tambang batubara atau tambang lain, dipekerjakan pada pekerjaan umum (seperti pembangunan) yang besar, dipekerjakan disuruh membuka hutan, dipekerjakan di perusahaan karet di Nusakambangan dan sebagainya. Juga dalam tembok penjara dapat dilakukan pekerjaan yang dapat meliputi, antara lian, memintal, menenun, menjahit, membuat sepatu, tas, dan barang-barang lain dari kulit, dipekerjakan di bengkel besi dalam penjara, dipekerjakan dalam penjara, dan sebagainya.18

Pasal 24 KUHP ternyata tidak dikenakan kepada semua terpidana, tetapi ada pengecualian seperti yang termaksud dalam Pasal 25 KUHP, yaitu bagi terpidana yang dijatuhi pidana seumur hidup serta perempuan maupun orang yang menurut hasil pemeriksaan dokter kesehatannya tidak kuat, maka tidak diwajibkan. Sebagai penjelasan dikemukakan bahwa narapidana itu yang dihukum seumur hidup tidak diperkenankan bekerja di luar tembok karena dikhawatirkan akan lari, sedangkan narapidana wanita tidak diperkenankan juga bekerja di luar tembok lembaga pemasyarakatan karena pertimbangan kesusilaan.

Di samping adanya terpidana yang dikecualikan mengikuti pekerjaan seperti yang terdapat dalam Pasal 25 KUHP, ternyata Pasal 26 KUHP juga memberikan pengecualian, di mana menurut ketentuannya, yaitu:

Jika mengingat keadaan diri atau masyarakat terpidana, hakim menimbang

18

Pasal 24 KUHP


(29)

ada alasan, maka dalam putusan ditentukan bahwa terpidana tidak boleh diwajibkan bekerja diluar tembok tempat orang-orang terpidana. Menurut penjelasannya, peraturan ini ditujukan kepada misalnya orang-orang yang mempunyai kedudukan tinggi dalam masyarakat sehingga bila mereka dipekerjakan di luar tembok, terlihat banyak orang dirasa malu, sehingga hal ini dapat merupakan pemberatan hukumannya. Maka untuk hal ini Hakim memerlukan bahwa para pegawai yang diwajibkan dengan pemeriksaan pendahuluan dalam proses verbalnya atau laporan-laporan mereka tidak menuliskan kesimpulan-kesimpulan sendiri akan tetapi harus memberitahukan hal-hal atau peristiwa-peristiwa menurut kenyataannya saja yang dapat meyakinkan Hakim, bahwa dalam hal-hal yang tertentu betul-betul ada alasan untuk memperhatikan kedudukan kemasyarakatan terdakwa, setidak-tidaknya memberikan pendapatnya sendiri. Hal ini menurut pertimbangan Hakim dan ditetapkan dalam surat keputusannya. Jika tidak ada keputusan Hakim seperti ini, maka orang-orang berpangkat tinggi pun jika dihukum dapat dipekerjakan pula di luar tembok seperti terhukum lain-lainnya.19

Pengaturan pidana penjara seperti yang termuat dalam Pasal 27 KUHP adalah mengklasifikasikan waktu tertentu, yang dikenal dengan hari, minggu, bulan dan tahun. Pasal 26 mengatur agar pidana penjara dan pidana kurungan itu dapat dijalani di rumah penjara, namun dalam bagiannya sendiri-sendiri. Pasal 29 KUHP sebagai pasal penutup/akhir dari pengaturan pidana penjara yang menyatakan bahwa perihal menjalani pidana, pekerjaan dan upah terpidana dan lain sebagainya menunjuk Undang-undang lain sebagai peraturan yang akan mengatur lebih lanjut. Adapun peraturan yang dimaksud adalah Reglement Penjara 1917 No. 708. Di dalam perkembangan berikutnya, kurun waktu awal berlakunya Hukum Pidana (melalui UU No. 1 Tahun 1946) hingga sekarang ini, yang dalam tahap penggodokan Hukum Pidana yang baru, masalah jenis-jenis pidana, dalam hal ini pidana penjara dalam Pasal 10 KUHP tetap merupakan salah satu hal yang urgen dalam membicarakan

19

Pasal 26 KUHP


(30)

keseluruhan hukum pidana yang baru.

Praktisi hukum maupun kalangan akademis yang mendalami hukum pidana, selalu berpendapat bahwa pidana penjara itu harus dipertahankan dalam sistem pemidanaan Indonesia. Walaupun ada yang menganut garis moderat bahwa pidana penjara itu masih diperlukan, akan tetapi perlu kejelasan filosofinya atau falsafah Pancasilanya harus ditonjolkan, KUHP yang akan datang disadari sekali bahwa jiwa dan pengaruh dari jenis-jenis pidana yang terdapat di dalam WvS 1915 itu tidak dengan begitu saja hilang tanpa bekas, setidak-tidaknya kerangka berpikir para pengusul ide-ide pembaharuan masih didominasi oleh KUHP sekarang ini.20

Sehubungan dengan prospek pidana penjara di masa datang (dalam hal ini pidana penjara yang ada di KUHP baru) maka patut dipahami pendapat Muladi di bawah ini:21

Di dalam penjelasan umum konsep rancangan KUHP tahun 1972 dinyatakan, bahwa pidana perampasan kemerdekaan berasal dari pandangan hidup individualistis dan melalui Wetboek van Strafrecht sejak 1 Januari 1916 pidana ini berlaku di Indonesia. Baik secara universal maupun secara pembaharuan baik teoritis untuk mengurangi daya lakunya. Namun merupakan suatu kenyataan, bahwa di suatu pihak pidana perampasan kemerdekaan akan tetap ada sekalupun namanya berbeda-beda dan di lain pihak tanpa mengurangi penghargaan atas pembaharu-pembaharu pidana perampasan kemerdekaan, pada pidana tersebut akan selalu melekat kerugiann yang ditinjau dari segi tujuan yang hendak dicapai adalah sebagai berikut: 1) Tujuan penjara sebagai sarana maka terdapat pengamanan terpidana; dan

2) Memberikan kesempatan-kesempatan kepada narapidana untuk merehabilitasi.

20

Pidana penjara sebagaimana yang diatur dalam KUHP (WvS 1915) tersebut menunjukkan cirinya sebagai hukum pidana yang menganut teori pembalasan, yang kalau diakui secara jujur dan manusiawi, maka sering dipersoalkan keuntungan apa yang diperoleh dari pidana penjara itu.

21

Muladi, “Jenis-Jenis Pidana Pokok dalam KUHP Baru”, Majalah Hukum Nasional, (Jakarta : BPHN, No. 2 Tahun 1989), hlm. 95.


(31)

Sehubungan dengan kenyataan-kenyataan di atas, perlu kiranya di hayati prinsip-prinsip yang harus dipegang teguh baik di dalam pengaturan kemerdekaan yang antara lain adalah menempatkan preferensi pada alternatif pidana perampasan kemerdekaan (alternative to improsonment) seperti denda dan pidana bersyarat (pidana pengawasan) jangan menggunakan pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek, sejauh mungkin diusahakan untuk menerapkan The Standar Minimum Rulers

Fo The Treatment of Prisoners (SMR) yang telah diadopsi oleh Kongres PBB I

tentang pencegahan kejahatan dan pembinaan para pelaku pada tahun 1955 dengan perubahan-perubahannya, selalu berusaha untuk mengembangkan alternatif pidana perampasan kemerdekaan dan program-program pembinaan narapidana di luar lembaga (the institiutuinalization of corrections).22

Memahami pendapat Muladi di atas, terkandung makna yang menyatakan bahwa penggunaan pidana penjara seperti yang terdapat dalam KUHP sekarang sepertinya sudah bukan merupakan alternatif perbaikan pidana penjara ke arah yang lebih manusiawi dan menghindari dampak negatif bagi perkekmbangan sosial kemasyarakatan terpidana, mengakibatkan timbulnya pendapat yang mempertentangkan manfaat pidana penjara sebagai salah satu sarana politik kriminal, maupun mencegah kejahatan, seperti yang diungkapkan oleh Barda Nawawi Arief:23

22

Hal ini akan mengakibatkan dehumanisasi pelaku tindak pidana dan pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi narapidana yang terlalu lama di dalam lembaga, berupa ketidak mampuan untuk melanjutkan kehidupan secara produktif di dalam masyarakat. Namun demikian keberadaan pidana perampasan kemerdekaan sulit dihindari karena untuk menggantikan sarana primitis ini dengan yang lebih baik belum dapat dilakukan.

23

Barda Nawawi Arief, Kebijaksanaan Sanksi Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Makalah, (Semarang : Universitas Diponegoro, 1989), hlm. 66.


(32)

Kritik yang cukup menarik dilihat dari sudut politik kriminal ialah adanya pernyataan bahwa orang tidak menjadi lebih baik tetapi justru menjadi lebih jahat setelah menjalani pidana penjara, terutama apabila pidana penjara ini dikenakan kepada anak-anak atau para remaja. Sehubungan dengan hal ini sering pula diungkapkan bahwa rumah penjara meurpakan perguruan tinggi kejahatan atau pabrik kejahatan.

Mengenai kritik terhadap pidana penjara ini, The American Correctional

Association pada tahun 1959 telah mengemukakan bahwa pidana penjara yang

dilaksanakan berdasarkan pandangan yang bersifat pemidanaan semata-mata, akan lebih banyak menghasilkan penjahat daripada mencegahnya. Dinyatakan selanjutnya, bahwa pidana penjara yang bersifat pemidanaan (punitive imprisonment) saat ini tidaklah merupakan alat pencegah yang efektif kebanyakan penghuni penjara.24

Gerakan abolosionis ini, secara akademis menampakkan dirinya pada tahun 1983, di Vienna Austria yakni pada The Minth World Congress of Criminology. Norwegia dan Amerika Utara merupakan pelopor gerakan ini, setelah kelompok-kelompok tertentu mengkaji secara mendalam keadaan yang menyedihkan dalam kehidupan narapidana.25

Bilamana gerakan di Amerika menekankan reaksinya pada penghapusan penjara (prison abolitionistis), maka gerakan di kalangan akademis Eropa menekankan keberatannya terhadap “the criminal justice system as a whole” di mana sistem kepenjaraan merupakan jantungnya yang bersifat represif.

Pandangan abolosionis ingin membentuk masyarakat yang bebas, dengan cara

24

Ketidakpuasan akan hasil yang dicapai dari adanya suatu sanksi berupa pidana penjara, ternyata bukan saja monopoli para pembaharu hukum di Indonesia, tetapi sebelumnya juga telah muncul apa yang dikenal dengan gerakan abolosionis.

25

Muladi, “Gerakan Abolisionis (Rancangan Non-Refresif Terhadap Kejahatan)”, Makalah, (Semarang : Fakultas Hukum Universitas Tujuh Belas Agustus 1945, 1988), hlm. 1.


(33)

menghapuskan penjara-penjara sebagai refleksi pemikiran punitif. Pemikiran dari gerakan kaum abolosionis ini ternyata ditanggapi secara positif oleh Muladi, seperti yang dikatakannya di bawah ini:

Terlepas dari segalanya, secara jujur kita harus mengakui bahwa, pidana penjara membawa dampak negatif tidak saja bagi yang terkena, tetapi juga bagi masyarakat. Bagi yang terkena, penderitaan tidak hanya dialami sendiri, tetapi juga bagi keluarganya dan orang-orang yang hidupnya tergantung pada narapidana.Bagi masyarakat, kerugian tampak dari sering timbulnya Residivisme akibat penjatuhan pidana.26

Di samping Muladi, Roeslan Saleh juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap pidana penjara itu banyak laporan dan penelitian mengungkapkan, bahwa selagi menjalani pidana penjara masih banyak pula akibat-akibat sampingan yang negatif. Oleh karenanya pembentuk undang-undang seharusnya berhemat dengan jenis pidana penjara.27

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penelitian ini akan membahas tentang “Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah:

26

Muladi, “Sanksi Alternatif”, Makalah Ilmiah, 1988 hlm. 2. 27

Roeslan Saleh, Segi Lain Hukum Pidana, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984), hlm. 10. Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang


(34)

1. Bagaimanakah pelaksanaan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Binjai berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan? 2. Faktor-faktor apakah yang menghambat dan mendukung dalam keberhasilan

tujuan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai?

3. Upaya-upaya apakah yang dilakukan untuk menghadapi hambatan dalam pelaksanaan tujuan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka penelitian ini bertujuan:

1. Untuk mengetahui pelaksanaan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Binjai dengan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor pendukung dan penghambat untuk keberhasilan tujuan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai.

3. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dilakukan guna menghadapi hambatan dalam pelaksanaan tujuan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:


(35)

1. Secara teoritis, diharapkan menjadi bahan masukan untuk perkembangan ilmu hukum pidana, khususnya mengenai bagaimana melaksanakan sistem pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan.

2. Secara praktis

a.Masukan bagi pihak Lembaga Pemasyarakatan Binjai untuk mengevaluasi pelaksanaan sistem pemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan Binjai dengan berpedoman Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan sehingga mantan narapidana akan benar-benar menyadari kesalahannya yang pada akhirnya akan menjadi anggota masyarakat berguna bagi agama, bangsa, dan negara.

b.Masukan bagi pihak Lembaga Pemasyarakatan Binjai serta instansi yang terkait untuk mengevaluasi faktor-faktor yang menghambat dan faktor yang mendukung dalam mencapai keberhasilan sistem pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Binjai.

c.Masukan bagi Lembaga Pemasyarakatan Binjai dan instansi terkait untuk dapat mencari upaya penyelesaian dalam menghadapi kendala dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Binjai.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan oleh peneliti mengenai “Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai)”. belum


(36)

pernah dilakukan. Hal ini berarti menegaskan bahwa penelitian tersebut adalah asli.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

a. Teori pembinaan pelanggaran hukum

Pembinaan pelanggaran hukum menurut sejarah adalah merupakan koreksi atas kegagalan dari konsep pemenjaraan dimana dalam pelaksanaannya telah menimbulkan dampak yang negatif. John Howard yang merupakan sheriff dari Bedford Inggris pada tahun 1777 telah mengorbankan harta dan jiwanya dalm mengunjungi rumah-rumah penjara di Inggris yang bertujuan untuk meringankan orang-orang yang di penjara sehingga pada tahun 1800-an muncul istilah probation (pidana bersyarat) dan parole (pelepasan bersyarat).28

Kedudukannya sebagai koreksi terhadap pidana penjara, maka pembinaan pelanggaran hukum berdasarkan sistem pemasyarakatan memandang bahwa perilaku melanggar hukum adalah merupakan kekurangan manusiawi yang ada pada setiap manusia dan pada hakekatnya tidak terlepad dari adanya kekurangan yang melekat pada masyarakat. Pembinaan pelanggaran hukum lebih berfungsi untuk pemenuhan kebutuhan dari anggota masyarakat yang melakukan perbuatan melanggar hukum yaitu dalam mempertahankan eksistensinya sebagai sesama manusia, sesama anggota masyarakat dengan hak-haknya yang asasi, yang secara tidak langsung menyangkut pula kebutuhan masyarakat dalam rangka kesejahteraan manusia.

Adanya pengenalan antara pemenuhan kebutuhan antara anggota masyarakat yang melanggar hukum di satu sisi dan pemenuhan kebutuhan masyarakat di lain

28

Didin Sudirman, Reposisi dan Revitalisasi Pemasyarakatan, (Jakarta : Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2007), hlm. 105


(37)

pihak (yang sebenarnya tidak dapat di pisahkan satu sama lainnya) menyebabkan adanya pergeseran penekanan dalam pelaksanaan pembinaan sehingga dalam pembinaan pelanggar hukum terdapat adanya 2 (dua) perspektif yaitu:

1) Pola pembinaan yang lebih berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan dari yang membina sebagai cerminan pemenuhan kebutuhan masyarakat (official

perspective).

2) Pola pembinaan yang lebih berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan dari yang di bina (consumers perspective).29

Dalam sistem pemasyarakatan terlihat adanya suatu upaya adanya pengintegrasian narapidana, petugas pemasyarakatan dan masyarakat. Pemasyarakatan tidak hanya sekedar rehabilitasi dan resosialisasi narapidana tetapi harus ada mata rantai pemulihan hubungan sosial narapidana dengan masyarakat pasca menjalani pidana, setelah narapidana kembali ke masyarakat.30

Berdasarkan prinsip pemasyarakatan tersebut, terlihat bahwa Sahardjo menginginkan adanya pengintegrasian narapidana, petugas dan masyarakat. Pemasyarakatan tidak hanya sekedar rehabilitasi dan sosialisasi narapidana tetapi harus ada mata rantai pemulihan hubungan sosial narapidana dengan masyarakat pasca menjalani pidana, yaitu penerimaan kembali bekas narapidana setelah di masyarakat. Adapun pertimbangan lain yang di lihat Sahardjo akan perlunya peran masyarakat disebabkan terpidana telah menjalani pidana dan pembinaan sehingga

29

Ibid, hlm. 106 30

Oleh karena itu pembinaan dengan sistem pemasyarakatan dapat memenuhi tujuan pemidanaan dapat dikaji berdasarkakan teori relatif menurut teori ini pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan tindak pidana.


(38)

tidak boleh ada hukuman tambahan dari pihak manapun.31

Menurut teori utilitarian, hukuman bertujuan mencegah semua pelanggaran hukum atau kejahatan. Hal ini merupakan tujuan yang paling luas, yaitu mencegah bahkan bila memungkinkan dapat mencegah semua jenis kejahatan. Disamping itu hukuman harus dapat mencegah hal-hal buruk. Tujuan hukuman untuk mendorong setiap orang agar tidak melakukan pelanggaran yang tidak berbahaya atau bukan sesuatu yang jahat, sehingga ada kebebasan untuk memilih, namun didorong untuk tidak memilih perbuatan yang tidak berbahaya. Hukuman bertujuan menekan kejahatan, di mana setelah seseorang itu menjalani hukuman diharapkan tidak melakukan kejahatan kembali. Dalam mencegah kejahatan harus dilakukan dengan biaya semurah mungkin.

Hukum pidana yang berisi kumpulan peraturan mengandung larangan akan mendapat sanksi pidana atau hukuman apabila dilanggar. Dengan demikian menjatuhkan hukuman bagi pelaku tindak pidana oleh negara adalah bagian dari perlindungan terhadap hukum yang berlaku serta melindungi kepentingan setiap warga negara. Sejak dipergunakannya institusionalisasi dalam bentuk pidana penjara, maka perkembangan dari pelaksanaan pidana penjara itu sendiri juga tidak dapat dilepaskan dari perkembangan doktrin-doktrin pemidanaan.

Fungsi pidana penjara yang semula bertujuan merampas kemerdekaan mengalami perubahan-perubahan sejalan dengan perkembangan masyarakat dan

31

Dalam hal ini Sahardjo ingin memberikan pemahaman bahwa tanggung jawab lembaga pemasyarakatan tidak boleh di campur-adukkan dengan proses penjatuhan pidana. Dengan demikian sejauh mana pemasyarakatan itu dapat memenuhi tujuan pidana, dikaji berdasarkan teori utilitarian. Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang


(39)

sejalan pula dengan perkembangan berbagai disiplin ilmu yang mendominasi dan mempengaruhi tujuan dari pidana penjara.32

Gagasan pemasyarakatan sebagai sistem perlakuan terhadap narapidana di Indonesia pada dasarnya menganut pola reintegrasi yang di anut oleh sebagian besar bangsa-bangsa didunia yang dalam prinsip dasar perlakuannya lebih berorientasi pada pembinaan di tengah-tengah masyarakat (community based corrections ). Walaupun tujuan pidana penjara mengalami perubahan, namun dalam kenyataannya tidak pernah terjadi bahwa tujuan yang lama terjadilah akumulasi dari tujuan-tujuan tersebut yang terhimpun di atas kepentingan individual maupun sosial yang berbeda-beda yang tidak jarang bertentangan antara kepentingan yang satu dengan yang lainnya. Teori yang bersifat utilitarian ini lebih ”memandang kedepan” daripada ”memandang ke belakang”. Hukuman digambarkan sebagai landasan moral untuk mencapai sesuatu yang lebih bermanfaat di masa mendatang. Manfaat-manfaat itu mempunyai jangkauan pencegahan kejahatan. Jangkauan pencegahan kejahatan paling tidak mengacu kepada pencegahan umum, ancaman sebagai hukuman harus dapat mempengaruhi pandangan orang akan resiko dari suatu perbuatan jahat, sedangkan pada pencegahan khusus mengacu pada bagaimana hukuman dapat membentuk pandangan orang sebagai objek hukuman.33

32

Tujuan yang semula ditujukan untuk pembalasan (retribution) beralih kepada penjaraan (deterrence), rehabilitasi (rehabililtation), resosialisasi (resosialitation) dan terakhir reintegrasi sosial (social reintegration).

33

Begitupun halnya dengan incapacitation,mengacu kepada kemampuan hukuman untuk membatasi pelaku dengan cara pemindahan pelaku kejahatan dari masyarakat. Dengan demikian harus Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang


(40)

b.Teori pengayoman pemasyarakatan

Kedudukan, sifat dan fungsi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 di Lembaga Pemasyarakatan dalam mengayomi serta memasyarakatkan warga binaan cukup penting karena yang tadinya warga binaan dianggap sebagai sampah masyarakat, oleh Lembaga Pemasyarakatan diupayakan kembali menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa serta dapat diharapkan berperan aktif dan produktif dalam pembangunan dan bagi dirinya ia dapat berbahagia di dunia dan akhirat. Pencapaian tujuan yang dimaksud dilakukan oleh pihak Lembaga Pemasyarakatan melalui 10 (sepuluh) prinsip pokok pemasyarakatan serta dengan bentuk-bentuk pembinaan, pengayoman yakni pembinaan mental, sosial dan keterampilan.

Pengayoman pemasyarakatan diberikan kepada warga binaan yang berorientasi pada masa depan yang cerah dapat diwujudkan, yakni :

1) Mempercepat kesadaran warga binaan 2) Mempersiapkan kembali kemasyarakat

3) Memberikan bekal untuk hidup bermasyarakat.34

Untuk mewujudkan sistem pembinaan pemasyarakatan tersebut, maka Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan mengatur tentang hak-hak yang dimiliki oleh narapidana. Hak ini dapat di lihat dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, menentukan bahwa:35

Narapidana berhak:

ada tujuan lebih jauh dari hanya pidana saja, sehingga teori ini mengharapkan hukuman dapat memperbaiki pelaku kejahatan.

34

Berlin Nainggolan, Implementasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Sebagai Dasar Mengayomi Serta Memasyarakatkan Warga Binaan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Siborong-Borong, (Medan : FH USU, 2002), hlm. 1.

35

Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995


(41)

a) Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaan. b) Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani. c) Mendapatkan pendidikan dan pengajaran.

d) Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak. e) Menyampaikan keluhan.

f) Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak terlarang.

g) Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan.

h) Menerima kunjungan keluarga penasehat hukum atau orang tertentu lainnya. i) Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi).

j) Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti, mengunjungi keluarga. k) Mendapatkan pembebasan bersyarat.

l) Mendapatkan cuti menjelang bebas.

m) Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan pada tanggal 19 Mei 1999. Peraturan Pemerintah ini dapat dikatakan sangat terlambat, namun demikian kita masih menghargai usaha pemerintah untuk mengatur dengan cara melakukan pembinaan dan pembimbingan terhadap warga dan pemasyarakatan.

Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 menentukan bahwa: 1) Pembinaan narapidana dilaksanakan melalui beberapa tahap pembinaan

2) Tahap pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari 3 (tiga) tahap yaitu:

a) Tahap awal

b) Tahap lanjutan dan c) Tahap akhir

3) Pengalihan pembinaan dari satu tahap ke tahap lain, ditetapkan melalui sidang tim pengamat pemasyarakatan berdasarkan data dari pembina pemasyarakatan, pengaman pemasyarakatan, pembimbing kemasyarakatan dan wali narapaidana.


(42)

4) Data sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 merupakan hasil pengamatan, penilaian dan laporan terhadap pelaksanaan pembinaan.

5) Ketentuan mengenai pengamatan, penilaian dan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat 4 diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

Selanjutnya mengenai waktu untuk tiap-tiap proses pembinaan tersebut diatur dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 selengkapnya menentukan:

1) Pembinaan tahap awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a bagi narapidana dimulai sejak yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3 (satu pertiga) dari masa pidana.

2) Pembinaan tahap lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b meliputi:

3) Tahap lanjutan pertama, sejak berakhirnya pembinaan tahap awal sampai dengan ½ (satu perdua) dari masa pidana dan

4) Tahap lanjutan kedua sejak berakhirnya pembinaan tahap lanjutan pertama sampai dengan 2/3 (dua pertiga) masa pidana.

5) Pembinaan tahap akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c dilaksanakan sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya masa pidana dari narapidana yang bersangkutan.

6) Pentahapan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2) dan (3) ditetapkan melalui sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan.

Ketentuan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 dijelaskan bahwa tahapan pembinaan ada 3 (tiga) tahap. Ketentuan tersebut apabila diperhatikan tetap membagi tahapan pembinaan tahap. Karena tahap kedua dibagi dua yaitu pembinaan tahap lanjutan pertama, tahap lanjutan kedua yang dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor. M.02-PK.04.10 Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Pidana/Tahanan disebut tahap kedua untuk tahap lanjutan pertama dan tahap untuk tahap lanjutan kedua.

Memahami fungsi Lembaga Pemasyarakatan yang dinyatakan oleh Sahardjo, sejak itu dipakai sistem pemasyarakatan sebagai metode dan pemasyarakatan sebagai


(43)

proses. Dengan dipakainya sistem pemasyarakatan sebagai metode pembinaan narapidana, jelas terjadi perubahan fungsi Lembaga Pemasyarakatan yang tadinya sebagai tempat pembalasan berganti sebagai tempat pembinaan. Didalam perjalanannya, bentuk pembinaan yang diterapkan bagi narapidana yang meliputi:36

a) Pembinaan berupa interaksi langsung sifatnya kekeluargaan antara pembina dan yang dibina;

b) Pembinaan yang bersifat persuasif, yaitu berusaha merubah tingkah laku melalui keteladanan;

c) Pembinaan berencana, terus-menerus dan sistematis;

d) Pembinaan kepribadian yang meliputi kesadaran beragama, barbangsa dan bernegara, intelektual, kecerdasan, kesadaran hukum, keterampilan, mental spiritual.

Pelaksanaan pidana penjara dengan menonjolkan aspek pembinaan di dalam lembaga, hingga saat ini mengalami hambatan. Hal ini antara lain disebabkan keterbatasan sarana fisik berupa bangunan penjara dan peralatan bengkel kerja yang masih memakai peninggalan kolonial Belanda; sarana personalia yaitu tenaga ahli yang profesional di bidang ilmu keperilakuan; sarana administrasi dan keuangan berupa terbatasnya dana peraturan dan perundang-undangan yang masih memakai

reglemen penjara (Gestichten Reglemen 1917 No.708).37

Keterbatasan sarana dapat merupakan salah satu penghambat pembinaan narapidana seperti yang diharapkan. Oleh karenanya, sulit untuk menghasilkan pembinaan yang efektif, efisien serta berhasil guna. Hal ini cukup beralasan, mengingat tujuan sistem pemasyarakatan itu sangat ideal, sedangkan sarananya

36

Departemen Kehakiman, Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan, 1990 37

Tujuan pembinaan narapidana selanjutnya dikatakan untuk memperbaiki dan meningkatkan budi pekerti para narapidana dan anak didik yang berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan/rumah tahanan negara.


(44)

sangat terbatas. Akibatnya, setiap petugas akan mengalami kejenuhan dan berkhayal mengenai cita-cita pemasyarakatan. Masalah pembinaan terhadap narapidana tidak terlepas dengan pembicaraan masalah pidana, pemidanaan. Dalam pidana hal yang tidak kalah penting adalah berkaitan dengan masalah mengapa manusia melakukan perbuatan melanggar hukum. Dalam arti sebab-sebab timbulnya kejahatan dan apa perlunya sanksi hukum pidana diterapkan.

Menurut peneliti sampai saat ini meskipun perubahan dalam arti sifat, bentuk dan tujuan pidana, pidana tetap dianggap sebagai satu-satunya jawaban akhir dalam memberantas kejahatan, padahal pandangan ini tidaklah benar karena persoalannya bukan saja pengaruh pidana yang menakutkan atau membentuk penegak hukum yang profesional akan tetapi ada hal lain yang penting diperhatikan adalah adanya faktor motif timbulnya pelanggar-pelanggar hukum.38

J.E. Sahetapy dalam disertasinya, mengemukakan bahwa pemidanaan bertujuan “pembebasan” pidana harus dapat membebaskan si pelaku dari cara atau jalan yang keliru yang telah ditempuhnya. Maka membebaskan tidak identik dengan pengertian rehabilitasi atau reformasi. Makna membebaskan menghendaki agar si pelaku bukan saja harus dibebaskan dari alam pikiran yang jahat yang keliru, melainkan ia harus pula dibebaskan dari kenyataan sosial dimana ia terbelenggu.39

Menurut Sahetapy tidak dapat disangkal bahwa dalam pengertian pidana

38

Oleh karena itu sampai saat ini belum dapat diberikan jawaban yang memuaskan mengapa orang melakukan kejahatan tertentu dan mengapa masih ada orang melakukan kejahatan yang sama setelah pelakunya dipidana mati.

39

J.E. Sahetapi, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, (Jakarta : Rajawali Press, 1992), hlm. 279


(45)

tersimpul unsur-unsur penderitaan, tetapi penderitaan dalam tujuan membebaskan bukanlah semata-mata untuk penderitaan agar si pelaku menjadi takut atau merasa menderita akibat suatu pembalasan dendam melainkan derita itu harus dilihat sebagai obat atau sebagai kunci jalan keluar yang membebaskan dan yang memberikan kemungkinan bertobat dengan penuh keyakinan.40

Peter Hoefnagels mengemukakan tujuan pidana adalah untuk penyelesaian konflik (conflict resolution), mempengaruhi para pelanggar dan orang-orang lain ke arah perbuatan yang kurang lebih sesuai dengan hukum (influencing offenders and

possibly other than offenders toward more or less law-conforming behavior).41

Rijksen, membedakan antara dasar hukum dari pidana dan tujuan pidana. Dasar hukum dari pidana terletak pada pembalasan terhadap kesalahan yakni dari pembalasan itu terletak pembenaran dari wewenang pemerintah untuk memidana (strafbevoegdheid van de overheid). Apakah penguasa juga akan menggunakan wewenang itu tergantung dari tujuan yang dikehendaki. Tujuan itu merupakan penegakan wibawa, penegakan norma, menakut-nakuti, mendamaikan, mempengaruhi tingkah laku dan menyelesaikan konflik.42

Selanjutnya Roeslan Saleh berpendapat bahwa pada hakekatnya ada dua poros yang menentukan garis hukum pidana yaitu; pertama dari segi prevensi yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi, suatu upaya untuk dapat mempertahankan kelestarian hidup bersama dengan melakukan pencegahan kejahatan dan kedua dari segi pembalasan yaitu bahwa hukum pidana sekaligus merupakan pula penentuan hukum, merupakan koreksi dari dan reaksi atas sesuatu yang bersifat tidak hukum sehingga dapat dikatakan bahwa pidana adalah selaku merupakan perlindungan

40

Ibid, hlm. 280. 41

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op-Cit, hlm. 21. 42

Ibid, hlm 21.


(46)

terhadap masyarakat dan pembalasan atas perbuatan tidak hukum.43

Memahami fungsi Lembaga Pemasyarakatan yang dilontarkan Sahardjo, sejak itu dipakai sistem pemasyarakatan sebagai metode dan pemasyarakatan sebagai proses. Dengan dipakainya sistem pemasyarakatan sebagai metode pembinaan narapidana, jelas terjadi perubahan fungsi Lembaga Pemasyarakatan yang tadinya sebagai tempat pembalasan berganti sebagai tempat pembinaan. Di dalam perjalanannya, bentuk pembinaan yang diterapkan bagi narapidana yang meliputi:44

a) Pembinaan berupa interaksi langsung sifatnya kekeluargaan antara pembina dan yang dibina;

b) Pembinaan yang bersifat persuasif, yaitu berusaha merubah tingkah laku melalui keteladanan;

c) Pembinaan berencana, terus-menerus dan sistematis;

d) Pembinaan kepribadian yang meliputi kesadaran beragama, barbangsa dan bernegara, intelektual, kecerdasan, kesadaran hukum, keterampilan, mental spiritual.

Keterbatasan sarana dapat merupakan salah satu penghambat pembinaan narapidana seperti yang diharapkan. Oleh karenanya, sulit untuk menghasilkan pembinaan yang efektif, efisien serta berhasil guna. Hal ini cukup beralasan, mengingat tujuan sistem pemasyarakatan itu sangat ideal, sedangkan sarananya sangat terbatas. Akibatnya, setiap petugas akan mengalami kejenuhan mengenai cita-cita pemasyarakatan.

Richard D. Schwartz dan Jerome H. Skolnick, menyatakan sanksi pidana dimaksudkan untuk a) mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana (to

prevent recidivism); b) mencegah orang lain melakukan perbuatan yang sama

43

Disamping mengandung hal-hal lain yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat.

44

Departemen Kehakiman, Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan, 1990.


(47)

seperti yang dilakukan si terpidana (to deter other from the peformance of

similar acts); c) menyediakan saluran untuk mewujudkan motif-motif balas (to provide a channel for the expression of realiatory motives).45 Selanjutnya Emile Durkheim mengatakan mengenai fungsi dari pidana adalah untuk menciptakan kemungkinan bagi pelepasan emosi-emosi yang ditimbulkan atau diguncangkan oleh adanya kejahatan (the function of punishment is to

create a possibility for the release of emotion that are aroused by the time).46

Roger Hood berpendapat bahwa sasaran pidana disamping untuk mencegah terpidana atau pembuat potensial melakukan tindak pidana juga untuk, pertama memperkuat kembali nilai-nilai sosial (reinforcing social values), kedua menentramkan rasa takut masyarakat terhadap kejahatan (allaying public fear of

crime).47

Ahli di bidang kepenjaraan (penolog) mengakui bahwa ada 3 (tiga) elemen pokok apabila tujuan pemasyarakatan tercapai, yaitu: 1) petugas; 2) narapidana; dan 3) masyarakat. Dipertimbangkannya unsur masyarakat adalah sesuatu yang rasional dan tepat mengingat beberapa hal bahwa narapidana adalah anggota masyarakat yang telah melanggar hukum, serta narapidana juga nantinya setelah lepas menjalani hukuman kembali ke masyarakat.48

Sistem pemasyarakatan sebagai petunjuk arah pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan belum mencapai hasil yang memadai, dengan beberapa indikator:49

45

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung : Alumni, 1998), hlm. 20.

46

Ibid, hlm. 19. 47

Ibid., hlm. 21. 48

Hal ini berarti bahwa pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan dirasakan tidak mencukupi karena pembinaan hanya sebatas masa hukuman.

49

Oleh karena itu lanjutan pembinaan tetap berada di lingkungan masyarakat itu sendiri yang Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang


(48)

a) Narapidana yang melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan. b) Pelanggaran hak-hak narapidana.

c) Penolakan bekas narapidana oleh masyarakat.

d) Keterbatasan sarana maupun prasarana dalam mendukung pembinaan.

2. Kerangka Konsepsional

Konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian, jika masalah dan kerangka konsep teoritisnya telah jelas, biasanya sudah diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian, dan suatu konsep sebenarnya adalah defenisi secara singkat dari apa yang diamati, konsep menentukan antara variabel yang ingin menentukan adanya hubungan empiris.50

Oleh karena itu dalam penelitian ini didefinisikan beberapa konsep dasar agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu:

1. Penjara adalah bangunan untuk menempatkan para terpidana; lembaga pemasyarakatan; bui; hal ini erat hubungannya dengan Pasal 10 KUHP, yaitu: Pidana terdiri atas:

berimplikasi terhadap masyarakat bertanggungjawab bagi kelangsungan kehidupan sosial ekonomi bekas narapidana. Faktor penerimaan masyarakt terhadap bekas narapidana tidak hanya sekedar menerima menjadi anggota keluarga ataupun lingkungannya, tetapi harus menghilangkan prasangka buruk akan adanya kemungkinan melakukan kejahatan kembali dengan cara menerima kembali bekerja di berbagai lapangan pekerjaan.

50

Koentjorodiningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta : Gramedia Pustaka, 1997), hlm. 21.


(49)

a. Pidana pokok: 1. Pidana mati; 2. Pidana penjara; 3. Pidana kurungan; 4. Pidana denda; 5. Pidana tutupan. b. Pidana tambahan:

1. Pencabutan hak-hak tertentu; 2. Perampasan barang-barang tertentu; 3. Pengumuman putusan hakim.51

2. Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.52

G. Metode Penelitian

1. Spesifikasi dan Sifat Penelitian

Pendekatan masalah dalam penelitian tesis “Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai)” yang peneliti laksanakan menggabungkan pendekatan yuridis normatif dengan yuridis sosiologis. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan menginventarisasi dan meneliti bahan kepustakaan hukum yang terkait dengan tujuan pidana, penjara, dan pemasyarakatan serta peraturan perundang-undangan lainnya.53

Sedangkan penelitian empiris dilakukan melalui penelitian terhadap sistem pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.54

51

Ibid, hlm. 350. 52

Ketentuan Umum butir 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan 53

Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rineka Cipta, 1996), hlm. 4. 54

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1998), hlm. 54.


(50)

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai karena merupakan Lembaga Pemasyarakatan yang menerapkan sistem pembinaan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan sehingga dapat dijadikan teladan bagi Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai.

3. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode empiris yang dilakukan dengan studi lapangan dengan cara penyebaran kuesioner, wawancara, dan pengamatan terhadap pelaksanaan pembinaan dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai.

4. Analisis Data

Data yang diperoleh melalui wawancara, observasi, dan studi kepustakaan dikelompokkan berdasarkan realibilitasnya, yang akan dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif.

Pada analisis kualitatif ini peneliti akan menganalisis hasil wawancara dari responden dan membuat tabel hasil kuesioner serta melakukan evaluasi hasil pengamatan yang ada yaitu keadaan serta gejala-gejala yang ada selama di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai, yang selanjutnya dilaporkan dengan menggunakan sistem penulisan deskriptif analitis.


(51)

BAB II

PEMBINAAN NARAPIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN

A. Gambaran Umum Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai

1. Sejarah Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai

Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai merupakan bangunan peninggalan pemerintahan kolonial Belanda yang berdiri pada tahun 1918. Terletak di Jalan Jendral Gatot Subroto No. 72 Binjai, dengan luas areal seluruhnya adalah 30.980,00 m2 yang terdiri dan bangunan seluas ± 10.755.20 m2 dan sisa tanah dipergunakan untuk perkebunan kelapa sawit dan perumahan pegawai.

Secara geografis Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai mempunyai batasan-batasan sebagai berikut :

a) Sebelah selatan berbatasan dengan perkebunan Tanjung Jati. b) Sebelah utara berbatasan dengan Jl. Jend. Gatot Subroto. c) Sebelah barat berbatasan dengan SD lnpres 02.

d) Sebelah timur berbatasan dengan pemukiman penduduk.55

2. Bangunan Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai

Bangunan Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai berbentuk persegi panjang dikelilingi oleh tembok setinggai ± 4 meter dan terdapat pos jaga di setiap

55

Wawancara dengan Ibu Nurmawaty selaku Ka. Sub Bag. TU di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai pada tanggal 3 Maret 2009


(52)

sudutnya. Berikut bangunan-bangunan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai:

1) Perkantoran. 2) Blok hunian.

a.Blok A (tahanan) b.Blok B (narapidana) c.Blok C (tahanan wanita)

35

d.Blok D (narapidana) e.Blok E

f. Blok F 3) Mesjid. 4) Gereja. 5) Poloklinik. 6) Aula.

7) Perpustakaan. 8) Kantin.

9) Ruang kunjungan. 10)Dapur.

11)Gudang.

12)Ruang kegiatan kerja. 13)Kamar mandi dan wc.

3. Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai


(53)

Efektifitas dan mobilitas di dalam Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai ditentukan oleh sistem mekanisme kerja yang ada dimana masing-masing telah mempunyai tugas dan kewajiban atau wewenang yang telah ditentukan. Berikut ini struktur organisasi Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai, yaitu:


(54)

(55)

4. Keadaan Petugas Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai

Keberhasilan suatu pembinaan narapidana tidak terlepas dari partisipasi petugas. Jumlah petugas atau pegawai di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai adalah 82 (delapan puluh dua) orang.

Tabel 1 Rekapitulasi Data Pegawai Berdasarkan Golongan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai Bulan April Tahun 2009

No. Golongan Jumlah

1. 2. 3. 4. I II III IV - 46 orang 35 orang 1 orang

Total 82 orang

Sumber data : Ka. Sub Bag. TU berdasarkan data bulan April 2009 di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai

Berdasarkan Tabel 1 diatas dapat diketahui bahwa sebagaian besar pegawai masih berada di golongan II dan III yang dilhat berdasarkan masa kerja.

Sedangkan tingkat pendidikan pegawai relatif lebih banyak di tingkat SLTA. Hal ini dapat dilihat melalui tabel 2 di bawah ini:

Tabel 2 Rekapitulasi Data Pegawai Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai Bulan April Tahun 2009

No. Tingkat Pendidikan Jumlah

1. 2. 3. 4. Sarjana Lengkap Sarjana Muda SLTA SLTP 18 orang 1 orang 60 orang 3 orang

Sumber data : Ka. Sub Bag. TU berdasarkan data bulan April 2009 di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai


(56)

Tabel 3 Rekapitulasi Data Pegawai Berdasarkan Jenis Kelamin di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai Tahun 2009

No. Jenis Kelamin Jumlah

1. 2. Laki-Laki Perempuan 71 orang 11 orang

Sumber data : Ka. Sub Bag. TU berdasarkan data bulan Februari 2009 di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai

Tabel 4 Rekapitulasi Data Pegawai Berdasarkan Jabatan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai Tahun 2009

No. Jabatan Jumlah

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Pejabat Struktural Staf Umum Staf Kepegawaian Staf Bimkemas Staf Kegiatan Kerja Staf Kamtib Staf KPLP Staf Registrasi Petugas Jaga Total 14 orang 3 orang 6 orang 4 orang 2 orang 3 orang 12 orang 4 orang 34 orang 82 orang

Sumber data : Ka. Sub Bag. TU berdasarkan data bulan Februari 2009 di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai

Struktur organisasi Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai dan uraian tugas masing-masing adalah:56

1) Kepala lembaga pemasyarakatan

Menyusun rencana kerja Lembaga Pemasyarakatan dengan mengkoordinasikan tugas seksi pembinaan, seksi kegiatan kerja, seksi administrasi keamanan dan tata tertib, pengamanan Lembaga Pemasyarakatan sesuai dengan

56

Wawancara dengan Ibu Nurmawaty selaku Ka. Sub Bag. TU di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai pada tanggal 3 Maret 2009


(57)

petunjuk dan aturan yang berlaku. Menilai dan mengesahkan penilaian pekerjaan dan pegawai dalam lingkungan Lembaga Pemasyarakatan dan melakukan pembinaan pegawai di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan.

2) Sub bagian tata usaha

Menyusun rencana kerja pada Sub Bagian Tata Usaha, mengkoordinasikan pelaksanaan tugas ketatausahaan pada urusan umum, kepegawaian dan keuangan Lembaga Pemasyarakatan sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam rangka pemberian pelayanan administrasi serta mengesahkan penilaian pelaksanaan pekerjaan pejabat bawahan. Dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh:

a) Urusan Kepegawaian dan Keuangan, yang mempunyai tugas melakukan urusan kepegawaian dan keuangan seperti: pengusulan calon pegawai yang telah memenuhi syarat untuk mengikuti pelatihan pra jabatan, pengusulan kenaikan pangkat, pengusulan pengangkatan dalam jabatan struktural, pengusulan pemindahan pegawai, pengusulan pemberhentian pegawai, pengusulan pensiun pegawai, membuat daftar gaji/ lembur dan rapel pegawai, melakukan pembayaran gaji, mengkoordinasikan penyusunan Daftar Urutan Kepangkatan (DUK) dan Daftar Usulan Proyek (DUP), melaksanakan pencairan dana, membayar atas tagihan beban anggaran rutin, melakukan pemotongan pajak pada setiap pengeluaran, melakukan penilaian pelaksanaan pekerjaan pejabat/ staf.

b) Urusan Umum, mempunyai tugas antara lain: melakukan hal-hal yang berkaitan dengan surat-menyurat, melakukan pemeliharaan kendaraan dinas, perlengkapan


(1)

Reksodiputro yang menyatakan bahwa hukum pidana bertujuan: 1) Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;

2) Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.

3) Mengusahakan agar orang yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulanginya.137

Hukum sebagai sarana kontrol sosial, salah satu wujudnya ialah menggunakan sarana penal (pidana). Eksistensi hukum pidana memiliki nilai-nilai pokok sebagai berikut:

1) Keamanan dan ketertiban sebagai tujuan setiap hukum pidana;

2) Kesadaran warga masyarakat akan makna dan hakikat hukum yang kemudian dapat menjadi sumber keadilan, kedamaian, kesejahteraan rohaniah dan jasmaniah sebagai tujuan akhir hukum pidana;

3) Keserasian antara kejasmanian dan kerohanian harus dicapai dalam hukum pidana.138

Dengan demikian beberapa hal yang perlu dilaksanakan adalah:

1) Menjalin kerjasama dengan instansi pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat dalam upaya peningkatan pembinaan terhadap narapidana.

2) Adanya motivasi yang kuat di dalam pribadi petugas Lembaga Pemasyarakatan dengan prinsip moralitas dan idealisme yang tinggi.

3) Upaya peningkatan kesejahteraan petugas Lembaga Pemasyarakatan untuk meningkatkan loyalitas petugas dalam melaksanakan tugas.

137

Penanggulangan kejahatan merupakan bahagian yang terpenting dalam hukum pidana sehingga pembinaan terhadap narapidana di lembaga pemasyarakatan berfungsi sebagai tempat pemidanaan yang merupakan puncak dari seluruh proses mempertanggungjawabkan perbuatan pelanggaran hukum. Sebagai puncak dimaksudkan bahwa lembaga pemasyarakatan memiliki fungsi sentral untuk mencapai tujuan dari hukum pidana sebagai norma yang bertujuan agar narapidana tidak mengulangi perbuatannya. Mardjono Reksodiputro, Op-Cit, hlm. 84

138


(2)

4) Adanya moralitas yang baik dalam diri narapidana sehingga sadar bahwa narapidana adalah seseorang yang taat hukum setelah bebas.

5) Melengkapi sarana dan prasana yang dibutuhkan dalam melakukan pembinaan.

6) Meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap narapidana melalui kesediaan masyarakat untuk menerima narapidana sebagai anggota masyarakat.

BAB V


(3)

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka peneliti mengambil beberapa kesimpulan di antaranya :

1. Pemasyarakatan sebagai suatu sub sistem peradilan pidana tidak dapat bekerja sendiri tanpa dibantu oleh sub sistem pidana lainnya, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Dalam suatu sistem, apabila salah satu komponen tidak berfungsi maka sulit untuk mencapai tujuan yang dikehendaki oleh sistem tersebut.

2. Hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan pembinaan narapidana dapat diatasi dengan meningkatkan menambah daya tampung Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai untuk memaksimalkan pembinaan serta meningkatkan kedisiplinan pembinan/petugas dalam memberikan pembinaan sesuai dengan aturan yang berlaku.

3. Upaya yang dilakukan dalam mengatasi hambatan pembinaan narapidana diperlukan penanaman moral petugas yang berintegritas dan memiliki loyalitas dalam melaksanakan pembinaan sehingga dapat berjalan dengan baik.

B. Saran


(4)

yaitu :

1. Diharapkan adanya suatu pemahaman mengenai tanggung jawab pembinaan terhadap narapidana dengan semua pihak, khususnya komponen dalam sistem peradilan pidana seperti kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman dengan mengikutsertakan masyarakat secara aktif.

2. Diharapkan Kalapas dapat memberikan instruksi ke jajarannya secara tegas sehingga pembinaan narapidana oleh pembina dapat dilakukan dengan baik. 3. Perlunya peran serta pemerintah dan pihak swasta dalam upaya menghadapi

hambatan yang dihadapi lembaga pemasyarakatan.

DAFTAR PUSTAKA


(5)

Arief, Barda Nawawi, Kebijaksanaan Sanksi Pidana Dalam Penanggulangan

Kejahatan, Semarang : Universitas Diponegoro, 1989

Atmasasmita, Romli, Strategi Pembinaan Pelanggaran Hukum Dalam Penegakan

Hukum di Indonesia, Bandung : Alumni, 1982

Dwidjoseputro, Soegiarta, Peraturan Penjara Dengan Keterangan, Jakarta : Direktorat Pemasyarakatan, 1998

Hamzah, Andi, Sistem Pidana Dan Pemidanaan di Indonesia Dari Retribusi Ke

Reformasi, Bandung : Prandya Paramita, 1996

Hanitijo Soemitro, Roni, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1988

Koentjorodiningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta : Gramedia Pustaka, 1997

Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung : Alumni, 1985

Panjaitan, Petrus, Lembaga Pemasyarakatan Dalam Perspektif Sistem Peradilan

Pidana, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995

Poernomo, Bambang, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Yogyakarta : Liberty, 1980

Priyatno, Dwidja, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Bandung : Refika Aditama, 2006

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung : Aditya Bakti, 1996

Samosir, Djisman, Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan Di Indonesia, Bandung : Bina Cipta, 1992

Soegondo, Kebutuhan Biologis Bagi Narapidana Di Tinjau dari Segi Hukum, Agama

dan Psikologi, Jakarta : Gramedia, 1982

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press, 1986 ---, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI-Press, 1986

---, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995


(6)

---, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta : Rajawali Press, 1985

Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta : Rineka Cipta, 2007

2. Makalah, Seminar, Jurnal Ilmiah

Muladi, “Jenis-Jenis Pidana Pokok dalam KUHP Baru”, Majalah Hukum Nasional, BPHN, No. 2 Tahun 1989

Suryobroto, Bahrudin, “Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan”, Majalah Lembaga

Pembinaan Hukum Nasional, No.16 Tahun V, April, Mei, Juni, 1972

3. Perundang-undangan

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional 2005 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan


Dokumen yang terkait

Respon Narapidana Terhadap Program Pembinaan Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai

7 100 143

Akuntabilitas Tim Pengamat Pemasyarakatan (Tpp) Pada Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Dalam Prespektif Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan

2 75 143

Pola Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Wanita Tanjung Gusta Medan

5 92 134

Pembinaan Narapidana di Lembaga :Pemasyarakatan Menurut Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor.12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan,(Studi Kasus Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tanjung Gusta Medan)

0 32 344

PENDAHULUAN PELAKSANAAN PEMBINAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLATEN DITINJAU DARI UNDANG – UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995.

0 4 12

PENUTUP PELAKSANAAN PEMBINAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLATEN DITINJAU DARI UNDANG – UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995.

0 4 6

ANALISIS YURIDIS TERHADAP BENTUK PEMBINAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN (Studi Kasus Di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Sidoarjo).

0 0 91

SISTEM PEMIDANAAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIB KABUPATEN TUBAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN.

0 1 90

SISTEM PEMIDANAAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIB KABUPATEN TUBAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN SKRIPSI

0 0 40

ANALISIS YURIDIS TERHADAP BENTUK PEMBINAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN (Studi Kasus Di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Sidoarjo) SKRIPSI

0 0 53