Tinjauan Hukum Jaminan di Indonesia Terhadap Pernyataan

BAB IV TINJAUAN YURIDIS OBLIGASI SEBAGAI OBJEK DALAM PERNYATAAN PENJAMINAN NEGATIF NEGATIVE PLEDGE

A. Tinjauan Hukum Jaminan di Indonesia Terhadap Pernyataan

Penjaminan Negatif Negative Pledge Hukum jaminan di Indonesia saat ini hanya mengatur lembaga jaminan melalui gadai, fidusia, hak tanggungan dan hipotek. Aturan tentang lembaga jaminan tersebut diatur melalui undang-undang tersendiri yaitu fidusia melalui undang-undang nomor 42 tahun 1999, hak tanggungan melalui undang- undang nomor 4 tahun 1996, dan gadai serta hipotek diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Gadai diatur dalam pasal 1150 hingga 1160 sedangkan hipotek pasal 1162 hingga1232. Namun terkait hipotek setelah adanya undang-undang terkait hak tanggungan, objek dari hipotek saat ini hanya kapal-kapal bervolume lebih dari 20 m 3 tidak termasuk tanah. Sebagai bentuk pemberian kredit dalam dunia perbankan, saat ini negative pledge belum diatur dalam perundang-undangan di Indonesia karena memang negative pledge merupakan adopsi dari kebiasaan perbankan di luar negeri. Sebagai bagian dari perjanjian maka pengaturan negative pledge mengacu pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Menurut KUH Perdata perikatan diatur dalam buku III, yang terdiri atas 18 bab dan 631 pasal. Hal-hal yang diatur dalam KUH Perdata diantaranya adalah tentang syarat sah perjanjian, asas-asas perjanjian, dan pembatalan perjanjian. Perjanjian dengan klausul negative pledge muncul dari perjanjian yang bersumber hukum kebendaan, dimana dalam negative pledge debitur dilarang menjaminkan benda miliknya kepada pihak lain. Ditinjau dari syarat sahnya perjanjian, perjanjian dengan klausul negative pledge telah memenuhi syarat yaitu adanya kesepakatan para pihak, cakap berbuat hukum, adanya objek serta kausa yang halal. Bila ditinjau dari perspektif hukum jaminan di Indonesia terdapat perbedaan dan persamaan dengan lembaga jaminan seperti gadai, fidusia, hak tanggungan dan hipotek. Karakteristik dari negative pledge ini adalah mengisyaratkan hanya ada satu kreditur atau kreditur tunggal. Hal ini terlihat jelas dari pengertian negative pledge yaitu klausul yang menyatakan debitur tidak boleh menjaminkan seluruh atau sebagian asetnya kepada pihak lain tanpa sepengetahuan kreditur. Ini membuat kreditur memiliki garansi atas aset atau benda yang menjadi objek dari negative pledge ini apabila debitur wanprestasi. Jadi, ketika debitur wanprestasi aset debitur masih ada dalam penguasaan debitur sehingga kreditur dapat menggunakan aset tadi sebagai jaminan pelunasan utang. Kemudian membuat kesepakatan baru tentang penjaminan aset tersebut. Karakteristik negative pledge yang hanya ada satu kreditur atau kreditur tunggal dan memiliki privelege terhadap benda yang menjadi objek bila debitur wanprestasi sama dengan gadai dan hipotek. Benda yang digadaikan mensyaratkan benda dipegang oleh penerima gadai dan penerima gadai memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari kreditur lain bila debitur wanprestasi begitupun hipotek. Hal inilah menjadi persamaan antara gadai dan hipotek dengan negative pledge. Namun, berbeda dengan gadai dan hipotek, fidusia dan hak tanggungan tidak memiliki persamaan dengan negative pledge dalam hal jumlah kreditur, karena dalam fidusia dan hak tanggungan bisa menjaminkan ke lebih dari satu kreditur sedangkan negative pledge tidak. Seperti diatur dalam pasal 8 undang-undang nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang berbunyi “Jaminan Fidusia dapat diberikan kepada lebih dari satu Penerima Fidusia atau kepada kuasa atauwakil dari Penerima Fidusia tersebut.” Dalam hal objek atau benda yang dijaminkan, negative pledge berlaku untuk semua jenis benda. Hal ini terlihat dari pengetian negative pledge dimana debitur tidak boleh menjaminkan semua atau sebagian hartanya kepada pihak lain, ini berarti semua benda bisa menjadi objek negative pledge. Sedangkan benda yang tergolong benda bergerak dijaminkan melalui gadai dan hipotek. Benda yang tergolong benda tidak bergerak dijaminkan melalui fidusia dan hak tanggungan. Penjaminan dengan menggunakan negative pledge tidak bisa dilakukan eksekusi ketika debitur wanprestasi karena bukan lembaga penjaminan yang diberi wewenang eksekusi layaknya gadai, fidusia, hak tanggungan dan hipotek. Efek dari tidak bisa dilakukan eksekusi membuat posisi kreditur menjadi lemah saat terjadi wanprestasi oleh debitur. Hal terpenting dari negative pledge adalah kepercayaan kreditur kepada debitur karena tidak ada pemberian benda objek negative pledge kepada kreditur. Sebagai kebiasaan perbankan di luar negeri negative pledge kurang cocok diterapkan di Indonesia. Tingkat kesadaran hukum masyarakat di luar negeri yang lebih baik dari Indonesia menjadi dasar kepercayaan bank dalam memberikan kredit dengan cara penjaminan negative pledge. Sedangkan di Indonesia masyarakatnya masih banyak yang tidak tahu hukum membuat tingkat kesadaran hukumnya rendah. Kesadaran hukum adalah satu-satunya sumber dan kekuatan mengikat dari hukum 58 . Akibat dari rendahnya kesadaran hukum masyarakat, penggunaan negative pledge oleh bank perlu disesuaikan dengan kebiasaan masyarakat Indonesia agar negative pledge tetap bisa dilakukan. Dengan pemberian syarat-syarat yang lebih ketat serta adanya jaminan tambahan ataupun hal lainnya, membuat negative pledge bisa sesuai dengan kebiasaan masyarakat Indonesia. Sehingga muncul model negative pledge baru sesuai dengan ciri khas Indonesia yang berbeda dengan negative pledge di luar negeri. 58 Nur Rohim Yunus. Restorasi Budaya Hukum Masyarakat Indonesia. Jakarta : Jurisprudence Press, 2012 h. 9.

B. Asas Proporsionalitas dalam Perjanjian dengan Klausul Pernyataan