Realitas HAM di Dalam Masyarakat Barat dan Islam

masehi, sebagaimana yang telah terjadi pada masa Rasulullah SAW dengan dibentuknya sebuah deklarasi Piagam Madinah yang merupakan deklarasi yang pertama kali memuat akan HAM. Konsep HAM dalam Islam lahir pada tahun pertama bulan hijriyah atau abad ke-7 masehi, jauh sebelum semua bentuk deklarasi Barat disahkan. Sebenarnya, agama-agama yang dibawa para Nabi dan Rasul tidak kurang perhatiannya dan upayanya dalam menegakkan HAM. Dalam ajaran agama, HAM merupakan karunia Allah SWT yang diberikan kepada umat manusia begitu manusia itu dilahirkan, dengan kata lain sudah menjadi kodrat dan bawaan manusia. Sebagaimana yang terjadi pada masa Rasulullah SAW dengan dibentuknya sebuah deklarasi pertama Piagam Madinah yang pertama kali memuat segala hak-hak manusia.

C. Realitas HAM di Dalam Masyarakat Barat dan Islam

Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa sosiologis perlindungan hak asasi manusia disetiap negara atau masyarakat tidak dapat dinilai dari pernyataan- pernyataan politis atau diplomatis suatu negara. Dengan demikian kita akan melihat bahwa negara yang paling vokal sekali pun bisa jadi tidak menerapkan sepenuhnya perlindungan hak asasi manusia atau tidak bebas sama sekali dari diskriminasi. Oleh karena itu melihat fakta bahwa pelanggaran hak asasi manusia tidak hanya terjadi di negara-negara Dunia Ketiga, akan tetapi bisa juga ditemukan di negara Barat yang paling liberal. Kita mengetahui insiden Los Angeles di Amerika Serikat beberapa tahun yang lalu atau diskriminasi terhadap penduduk pribumi Aborigin di Australia, atau berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia lainnya di negara-negara Barat. Dengan adanya politik luar negeri beberapa negara Barat, seperti Amerika Serikat, yang menerapkan standar ganda dan jelas-jelas melakukan pelanggaran HAM di Dunia Ketiga. Namun, kita harus mengakui bahwa berbagai pelanggaran tersebut lebih sering terjadi di negara-nagara Dunia Ketiga, termasuk di negara-negar Islam, baik dilakukan oleh negara maupun masyarakat. Cukup disesali bahwa masih banyak negara Islam dan negara yang berpenduduk mayoritas Muslim yang belum mengakui dan meratifikasi berbagai konvensi, seperti Universal Deklaration of Human Right , Konvensi atas hak-hak sipil dan politik atau atas hak-hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat. 22 Sehingga dapat diketahui bahwa HAM yang dijunjung tinggi oleh Barat ternyata bertolak belakang dengan apa yang selama ini diorasikan, pandangan Barat mengenai HAM yang ingin berusaha menjunjung tinggi nilai-nilai HAM ternyata dilanggar sendiri oleh Barat dengan melihat adanya Diskriminasi ras, Ekonomi dengan standar gandanya, dan dengan adanya terorisme yang mengatas namakan agama. dengan demikian negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Islam, 22 Elza Peldi Taher. Agama dan Dialog Antar Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1996, Cet. I h. 113. berusaha untuk menolak gagasan HAM yang berakarkan Barat salah satunya yaitu dengan belum mengakui dan meratifikasi berbagai konvensi. Gambaran realitas ini menjadi sesuatu yang menakutkan ketika tindakan-tindakan terorisme mulai muncul, khususnya selama dekade 70-an dan 80-an yang mengklaim bertindak atas nama atau sekurang-kurangnya berkaitan dengan gerakan Islam tertentu di Timur Tengah, terlepas dari latar belakang atau sebab apa yang mendasarinya. Sehingga hal itu menciptakan gambaran di mata Barat bahwa masyarakat Islam bersifat eksklusif dan menakutkan, dan dipandang sebagai “anti HAM”. Ini disebabkan karena Sarjana-sarjana politik, seperti Hunington dan sebagian pengamat lainnya dengan pengetahuan yang dangkal mengenai Islam dan keaneka-ragaman masyarakat Islam, melihat Islam sebagai “sebuah realitas yang eksklusif dan menakutkan” dan pada saat bersamaan memandangnya sebagai suatu potensi “ancaman” bagi Barat. Dengan demikian perlu kiranya kita melihat realitas HAM yang ada di Indonesia, ada tiga perbedaan tajam dan kontroversial di dalam Majelis Konstituante pada tahun 1950-an. Pertama, tentang pemisahan antara negara dan agama. Kedua, tentang larangan propaganda anti-agama. dan ketiga, Tentang kebebasan seseorang untuk berganti agama. Harus diakui bahwa pemikiran tentang hak asasi manusia di Indonesia dalam empat puluh lima tahun terakhir mengalami kemunduran. 23 Di Negara-Negara berkembang, usaha untuk meluaskan penerimaan akan ide-ide tentang hak asasi manusia sering mengalami hambatan. Salah satu hambatan itu datang dari argumen bahwa konsep hak asai manusia itu adalah buatan Barat, dengan konotasi sebagai sumber kejahatan kolonialisme dan imperialisme. Dalam retorika yang menyangkut masalah pandangan hidup, hak asai manusia yang merupakan konsep Barat itu adalah sama dengan sekulerisme, jika bukan ateisme sekalian. Maksudnya ialah adanya usaha untuk menegakkan hak asasi manusia dalam wacana budaya dan agama. dimana pandangan Barat mengenai HAM lebih berorientasi kepada Nilai-nilai kemanusian Antroposentris, bukan Nilai-nilai Ketuhanan teosentris. Mendengar tanggapan semacam itu, biasanya kita langsung menolaknya, dan mencapnya sebagai keterbelakangan, konservatisme, atau bahkan mungkin kebiadaban. Kita mungkin akan segera mengasosiasikannya dengan kelompok tertentu, baik dalam kategori kedaerahan, kebangsaan, atau kesukuan, maupun dalam kategori keagamaan. Pengasosiasian itu disertai dengan penilaian langsung, bahwa kelompok tertentu memang pada dasarnya tidak dapat menerima ide 23 Ibid,h.116 tentang hak asasi, karena pandangan hidup mereka yang secara inherent tidak mendukung. 24 Jika kita ingat bahwa kenangan pahit dari kolonialisme dan imperialisme belum terlewatkan lebih dari dua generasi sekitar 50 tahun, maka prasangka yang keras kepada Barat, yang ikut mengaburkan kepada hal-hal yang sebenarnya tidak murni Barat semata, seperti ide tentang hak asasi manusia, dapat sedikit banyak kita pahami. Persoalannya mungkin bukanlah bagaimana menghilangkan kenangan pahit atau negatif kepada Barat akibat pengalaman kolonialisme dan imperialisme, yang memang masih banyak tersisa dan belum seluruhnya terhapus. 25 Karena yang menjadi sasaran penjajahan dan imperialisme Barat ialah negara-negara Islam, maka kenangan yang pahit dan kekalahan oleh Barat itu menjadi sebab banyaknya kecenderungan pada kaum muslim untuk mendefinisikan dirinya berhadapan dengan Barat. Serta menegaskan keunikan mereka dalam sejarah, bahwa orang-orang Islam banyak mempunyai kompleks membedakan diri dari Barat, dan menolak sesuatu yang datang dari Barat. Bagaimanapun juga, kedamaian yang ditawarkan oleh Islam adalah pesan yang 24 Nurcholish Madjid. Hak Asasi Manusia “dalam perspektif Budaya Indonesia”. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 1997 Cet. Ke-1. 25 Ibid.h. 43. paling berkedamaian di antara semua agama. diluar itu Islam datang menentang kita, kitalah yang lebih dahulu mengundangnya ke Iran. 26 Secara lebih khusus lagi berkenaan dengan usaha-usaha pengakuan hak asasi manusia Chandra Muzaffar menunjuk kepada beberapa ironi dan sikap-sikap tidak konsisten dari para sponsor hak asasi itu di Barat. Sehingga perlu kiranya kita mengutif apa yang dikatakannya tentang hal ini ia katakan demikian: “Sementara kebanyakan kelompok hak asasi manusia menaruh perhatian kepada otoritarianisme pada peringkat nasional, mereka jarang bereaksi terhadap penguasaan dan dominasi politik oleh suatu klik dari utara. Padahal otoritarianisme pada peringkat internasional, sebagaimana telah kita tunjukkan, memperlihatkan kesamaan yang mencolok dengan otoritarianisme pada peringkat nasional. Pada kedua peringkat itu misalnya, terdapat manipulasi media dan penyalahgunaan lembaga-lembaga politik dan proses-proses hukum untuk melayani kepentingan mereka yang memegang kekuasaan. Pada politik peringkat nasional dan internasional, penguasaan dan dominasi kaum elite telah mengakibatkan kemerosotan dan pengingkaran hak-hak asasi manusia. Karena itu orang pun bertanya-tanya, mengapa otoritarianisme pada peringkat internasional dapat luput dari sensor kelompok-kelompok hak-hak asasi konvensional di Utara maupun Selatan”? 27 26 Ibid.44. 27 Ibid. h. 45. dari kutifan diatas dapat kita ketahui bahwa adanya pertentangan yang terjadi dalam hal Realitas HAM di Barat, salah satunya ialah tidak konsistennya para Sponsor hak asasi di Barat mengenai sistem yang ada pada tingkat Internasional dan sistem yang ada pada tingkat Nasional sehingga terjadi manipulasi dan penyalahgunaan lembaga politik dan proses hukum, yang merupakan sumber hukum HAM itu sendiri.

BAB III BERAGAMA