Analisis Moralitas Kesetiaan Tokoh Utama Novel “Uesugi Kenshin” Karya Eiji Yoshikawa

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin, 2000. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Aglesindo.

Atmaja, Jiwa 1986. Notasi Tentang Nonel dan Semiotika sastra. Jakarta : Nusa Indah.

Benedict, Ruth. 1982. Pedang Samurai dan Bunga Serunai: Pola-Pola

Kebudayaan Jepang. Jakarta: Sinar Harapan.

Erlina. 2011. Metodologi Penelitian. Medan: USU Press.

Halliday, M,A,K dan Ruqaiya Hasan.1992. Bahasa, Konteks, dan Teks.

Yogyayakarta: Gajah Mada University Press

Hazlitt, Henry.2003. Dasar-Dasar Moralits. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Luxemberg, Jan Van dkk.1992. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Luxemburg, Weststeijn dan Mieke Bal. 1984. Pengantar Ilmu Sastra ( edisi terjemahan oleh Dick Hartoko ). Jakarta : Gramedia.

Nazir, moh. 1999. Metode Penelitian. Jakarta:Ghalila Indonesia

Nurgiyanto, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press


(2)

Pradopo, Rahmat Djoko.2003. Metopel Sastra. Yogyakarta Hinindita

Ratna, Nyoman kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan

Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Semi, M.Atar. 1988. Anatomi sastra. Padang: Angkasa Raya

Simanjuntak, Reminisere. 2011. Skipsi: Analisis Pesan Moral Dalam Dogeng

Momotaro Karya Yei Theodora Ozaki. Medan: Fakultas Ilmu Budaya

USU.

Situmorang, Hamzon. 1995. Perubahan Kesetian Bushi dari Tuan Kepada

Keshogunan dalam Feodalisme Zaman Edo di Jepang ( 1603-1868 ).

Medan: USU Press.

Sumardjo, djacob. 1997. Konteks Sosial Novel Indonesia. Badan alumni bandung.

Suryohadjiprodjo, Sayidiman. 1981. Manusia dan Masyarakat Jepang dalam

Perjuangan Hidup. Jakarta : UI Press.

Suroto. 1989. Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta : Erlangga.

Syafitri, muhammad. 2012. Analisis Pesan Moral dalam Komik One Piece Karya

Eiiciro Oda. Medan : Fakultas Ilmu Budaya USU.

Suseno, Franz Magnis. 2010 . Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat


(3)

Pujiono, Muhammad. 2002. Analisis Nilai-nilai Religius dalam Cerpen Karya

Miyazawa Kenji. Medan. STIBA Swadaya.

Wellek&Warren. 1995. Teori kesusastraan, terj. Budianto. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Yoshikawa, eiji. 2012. UESUGI KENSHIN.Jakarta:Penerbit Khansa Books

Zainuddin.1992. Materi Pokok Bahasa Dan Sastra Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta

Zulfahnur, firdaus.1996. Materi Pokok Analisis Dan Rangkuman Bacaan Sastra. Jakarta: Universitas terbuka Depdikbud.


(4)

BAB III

ANALISIS MORALITAS KESETIAAN BERTINGKAT YANG DIUNGKAPKAN DALAM NOVEL UESUGI KENSHIN

3.1 Sinopsis Cerita Uesugi Kenshin

Pada awal cerita terdapat salah seorang daimyo yang gagah berani yang bernama Uesugi Kenshin. Pada zaman Muromachi (1136-1637M) ada seorang pemimpin yang menjunjung tinggi moralitas. Sebagai seorang pemimpin Uesugi mampu membimbing moral para pengikutnya agar tetap bersikap tenang dan sabar dalam menghadapi suatu tugas dari Shogun.

Sebagai seorang daimyo dan samurai sejati, Kenshin tentu tak dapat mengelak untuk mengabdi sepenuh hati. Apalagi ketika dia telah mendapat mandat dari Kaisar untuk mengatasi kerusuhan dan menaklukkan negeri-negeri yang mengacaukan Jepang. Karena itu, demi menjunjung tinggi kehormatan Kaisar, Kenshin berikrar untuk berjuang hingga napas terakhir. Maka tak ada pilihan lain, waktu klan Hojo menyerang negeri-negeri kecil, Kenshin memanggul senjata dan mengerahkan pasukan mengepung Hojo.

Tapi, saat Kenshin memanggul tugas berat dari Kaisar itu, Takeda Shingen yang menjadi musuh Kenshin justru menyerang dan membumi hanguskan Kastel Warigadake kastel milik Uesugi Kenshin. Padahal, antara Echigo dan Kai telah terikat perjanjian damai. Ulah Singen itu pun dianggap sebagai sebuah pengkhianat dan pasukan Echigo pun geram. Tetapi, Kenshin dengan tenang menarik pasukan Echigo pulang dari ekspedisi lantas masuk ke kastel


(5)

Kasugayama sebagai pertanda mengalah. Para punggawa Kenshin menelan kekecewaan. Apalagi Kenshin setelah itu mengutus Saito Shimotsuke pergi ke Kofu untuk melakukan perundingan (damai).

Uesugi Kenshin memang dikenal sebagai seorang daimyo yang brilian, cerdik dan berjiwa besar. Sebagian besar orang, tak memungkiri jika permusuhan antara Kenshin dan Shingen itu dipicu dari kedatangan Yoshikiyo, keturunan Minamoto Yoriyoshi yang datang minta perlindungan setelah negerinya dihancurkan Shingen dan seluruh keluarganya mati. Tahun demi tahun berlalu, peperangan antara klan Uesugi (Kenshin) dan Klan Takeda (Shingen) terjadi di beberapa tempat dan seakan tanpa henti.

Akibat perang itu, negeri Echigo dan Kai dipenuhi istri tanpa suami juga anak tanpa ayah semuanya dilakukan sebagai rasa bentuk kesetiaan bawahan pada atasan. Itulah harga mahal dari sebuah perang yang harus dibayar demi sebuah kekuasaan.

Tetapi, bagi pemimpin seperti Kenshin, di balik kenestapaan peperangan itu termaktum "impian dan tujuan besar" demi memberantas kejahatan, membangun masa depan, dan mewujudkan perubahan yang memang tak dapat dihindari dan hal itu hanya bisa diwujudkan lewat perang. Meski, dalam peperangan itu darah ditumpahkan, prajurit dikuburkan, tapi semua itu demi tugas mulia memberantas kejahatan, membangun masa depan Jepang, dan bentuk rasa kesetianaan pada atasan.


(6)

3.2 Analisis Cerita Uesugi Kenshin

Sebagaimana yang telah penulis jabarkan pada bab-bab sebelumnya, maka untuk selanjutnya penulis akan menjelaskan satu persatu prinsip moral bushido yang meliputi kejujuran, keberanian, kebajikan atau murah hati, kesopanan atau hormat, keadilan/kesungguhan atau integritas, kehormatan atau martabat, dan kesetiaan bertingkat yang terdapat dalam komik “Uesugi Kenshin”.

Teori-teori tersebut akan dianalisis pada cuplikan-cuplikan dari cerita komik “Uesugi Kenshin” sebagai berikut:

3.2.1 Moral Kesetiaan Shogun Kepada Kaisar

Cuplikan hal ( 5-6 )

“Bagaimana, anak buah saya sangat polos, kan ? Itulah alasannya saya sangat menyayangi mereka.” Kenshin berbicara kepada orang yang duduk di sebelah kanannya. Uesugi Norimasa sang Kanto Kenrei* berkata sambil mengangguk,

benar sekali,” lalu sambil tersenyum bicara kepada bangsawan yang duduk di sebelah kanannya.

“Samurai Echigo memang terkenal dengan keberanian dan ketabahan mereka, tetapi saya baru tahu kalau mereka juga polos dan sangat terampil.”


(7)

Analisis

Dari cuplikan di atas dapat kita lihat indeksikal kesetian samurai pada atasan nya, rasa kasih sayang Kenshin kepada anak buahnya tergambar dari cuplikan cerita di atas, kita bisa melihat bagaimana komunikasi antara atasan dan bawahan yang berlangsung begitu akrab. Sikap seorang samurai tergambar jelas dari cuplikan di atas, tanggung jawab sebagai seorang samurai adalah mengabdi pada atasan.

Menurut analisis penulis Kenshin memiliki sikap tegas dan lemah lembut baik itu kepada bawahan dan atasannya yaitu Kaisar, bentuk kesetian terhadap kaisar Kenshin tetap patuh dan setia terhadap perintah kaisar baik secara langsung maupun tidak langsung.

Cuplikan hal (8-10)

Uesugi Norimasa mengisikan cangkir sake Kenshin sambil berkata dengan air muka yang meminta maaf.

“Saya mohon maaf, sebagai wakil Shogun yang bertugas menyatukan daerah Kanto, saya tidak mampu melakukannya, malah meminta bantuan tuan yang

sangat sibuk.”

Memahami maksud lawan bicara, Kenshin berkata untuk menenangkan, “Saya berkata begitu bukan karena ingin mendengarkan kata-kata seperti itu dari Tuan.

Jangan terlalu dipikirkan.” ...

Setelah dari Ecchu, Kenshin kembali ke kastelnya di Gunung Kasuga. Namun sebelum sempat membuka baju zirah dan bersantai, ia mendapat pesan


(8)

dari Deputi Uesugi di Umayabashi, Joshu. “Mohon segera kirimkan bala bantuan ke Kanto,”

Analisis

Dari cuplikan cerita di atas terlihat jelas bagaimana indeksikal kesetian dan kesopanan terhadap atasannya meskipun tugas yang di emban itu adalah perintah dari kaisar namun wakil shogun merasa segan dan takut meminta bantuan kepada Kenshin. Meskipun secara struktur kepemimpinan Kenshin lebih rendah, tapi wakil Shogun meminta bantuan pada Kenshin untuk melaksanakan tugas dari Kaisar yang di sampaikankan pada Shogun, namun secara tidak langsung perintah itu merupakan kewajiban yang harus di patuhi dan di taati.

Menurut analisis penulis dari cuplikan cerita diatas dapat kita lihat bagaimana kesetian yang diperlihatkan, jiwa bushido tergambar dari cuplikan diatas, kesetian pada atasan yang memberi perintah untuk di laksanakan. Karena perintah itu datangnya dari Kaisar. Kita dapat melihat bagaimana Kenshin berupaya menenangkan wakil shogun.


(9)

Cuplikan hal (13-15)

Merasa bimbang, Saito Shimotsuke maju ke hadapan majikannnya. Konoe Sakitsugu menatap lekat-lekat. Air mukanya menunjukkan keheranan. Sepertinya di kaget ada orang seperti Shimotsuke berada di antara pasukan Echigo. Pendek

kata, Saito Shimotsuke adalah lelaki bertubuh kecil, jauh dari rupawan. Bukan hanya itu, mata krirnya hancur, kakinya pincang.

...

“Kemari,mendekatlah.” Dia memebrikan secangkir sake kepada Shimotsuke, lalu berkata, “Kau suka minum sake, „kan? Ke mana saja kau sejak tadi pagi, padahal hari ini kesempatan bagus untuk minum sepuasnya? Ternyata kau cukup ceroboh, tidak sesuai dengan ucapanmu sendiri.” Kenshi berpura-pura

mengomeli sambil tertawa. Analisis

Cuplikan cerita di atas kita dapat melihat bagaimana indeksikal keakraban antara atasan dan bawahan, Kenshin memanggil Saito untuk minum sake bersama dengan utusan dari shogun, terlihat jelas bahwa kepatuhan seorang bawahan terhadap atasan meskipun dalam hati ada perasaan malu, namun karena itu perintah atasan harus di turuti. Kita juga dapat melihat bagaimana sikap sayang dan cinta pada bawahannya.

Menurut analisis penulis Saito mau tidak mau harus menuruti perintah atasannya, meskipun di hadapannya ada utusan dari shogun dan duduk sejajar dengan utusan tersebut. Meskipun secara struktur Saito hanyalah prajurit rendahan. Di sini kita dapat melihat bagaimana sikap seorang samurai.


(10)

Cuplikan hal (16-18)

Kenshin pantang menyerah dalam mewujudkan impian, untuk meninggalkan jejak langkah besar. Sikapnya yang terpuji adalah dia tidak pernah

melalaikan kewajiban untuk datang ke ibukota dan memberi hormat sebagai seorang abdi kepada istana.

...

Tentu saja sikap setianya sangat menyentuh hati Kaisar, namun Wakil Kaisar Konoe Sakitsugu malah mencemaskan keadaan negeri Kenshin dan bertanya kepadanya. “ Anda sering datang demi menghormati Istana. Tidakkah Anda mengkhawatirkan keadaan negeri Anda selama ditinggal? Apakah pertahanan

negeri Anda cukup baik?”

“Datang ke ibukota demi mewujudkan rasa hormat kepada Istana adalah segalanya. Sama sekali bukan masalah jika negeri hamba dibiarkan begitu saja,”

jawab Kenshin.

Analisis

Cuplikan di atas mengabil tempat di Kyoto. Dari cuplikan di atas, terlihat jelas indeksikal penyampaian pesan moral kesetian bawahan kepada atasan. Terlihat bahwa Uesugi Kenshin memiliki sikap patuh dan setia pada shogun. Bentuk kesetiannya langsung di aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari baik itu dalam keadaan suka maupun duka tetap menunaikan keawajiban dan kesetian kepada kaisar.

Dalam analisis penulis, Kenshin memiliki sikap taat, patuh dan setia terhadap perintah atasan, dia rela meninggalkan kastelnya hanya untuk memenuhi


(11)

perintah shogun. Merupakan contoh nyata kesetian bawahan terhadap atasan meskipun dalam keadaan genting tetap menunaikan kewajiban terhadap kaisar. Cuplikan hal (20-22)

Ditanya secara langsung oleh Sakitsugu, Shimotsuke merasa terlalu takut dan bingung untuk menjawab. Melihat itu, Kenshin menenangkan, “Kau boleh

menjawab.”

Shimotsuke melirik sang tamu agung dengan satu mata, lantas menjawab. “ Terima kasih atas pertanyaan Tuan. Leluhur saya, Saito Kurando, bukan siapa-siapa, namun sejak Tuan Nitta Yoshisada mulai menggerakkan pasukan, sebagai anak buah Tuan Wakiya dari klan Nitta, dia turut menyerbu Kamakura. Kemudian

dia gugur dalam pertempuran di Babuai Gawara. Ada kabar bahwa kepalanya dikubur di kampung halamannya, maka saya dan lima atau enam orang keberadaannya. Di mana-mana sudah menjadi sawah atau padang rumput. Bahkan

para petani di daerah itu pun tidak tahu apa-apa.” ...

Shimotsuke semakin segan dan seolah menciut di tempatnya. Lantaran dirinya hanyalah kepala pasukan dari empat atau lima puluh prajurit, dia tidak tahu

bagaimana sepantasnya besikap. “Terimalah.”

Setelah diperbolehkan pergi oleh majikannya, Shimotsuke pun lega dan mengangkat kepala lantas berkata, “Padahal saya belum melakukan sesuatu yang berarti, tapi sudah diberi sake. Saya anggap ini karena kesetian leluhur saya. Bagi saya, ini kehormatan yang berlebihan. Saya mohon Tuan memberikan cangkir itu


(12)

pulang ke negeri kami, kawan-kawan dari klan kami yang lain juga dapat dibagi sake dari cangkir ini. Jika Tuan tidak keberatan, sudilah kiranya memeberi cangkir

itu kepada kami.” “Baiklah.”

Sakitsugu mengeluarkan secarik kertas dari lipatan kimono di bagian dadanya, membungkus cangkir dengan kertas tersebut, lantas memberikan kepada

shimotsuke.

Analisis

Dari cuplikan di atas terlihat jelas indeksikal penyampaiaan pesan moral kesetian daimyo terhadap Shogun bagaimana Shimotsuke merasa terhormat karena hanya di beri secangkir sake karena rasa taat dan patuh terhadap Sakitsugu. Dari cuplikan di atas bagaimana seorang bawahan meminta izin dengan sopan terhadap atasannya apabila telah di beri izin barulah dia pergi melaksanakan tugas. Terlihat jelas ada rasa malu dan minder dari Saito, dia hanyalah seorang prajurit rendahan, jadi harus bisa menjaga sikapnya.

Menurut analisis penulis, perlakuan yang dilakukan oleh Shimotsuke terhadap Sakitsugu, menujukkan sikap kesetian sorang dimyo terhadap Shogun meminta izin dengan sopan santun, merupan sikap seorang samurai dan menjaga reputasi seorang Shogun yang telah dibagun bertahun-tahun.


(13)

3.2.2 Moral Kesetiaan Daimyo Kepada Shogun Cuplikan hal (26-29)

Hari ini pasukan terpilih dari Koshu bertolak menuju utara. Sesekali mereka berkelompok, sesekali berpencar. Jika ada pasukan besar bergerak bersamaan, tentu negeri-negeri sekitar akan menjadi waspada sehingga merekapun

bergerak terpisah-pisah bagaikan awan bearak. ...

“Apa? Warigadake diserang?”

Uesugi Kenshin sangat terkejut, sama seperti para prajurit saat mendengar berita tersebut dalam perjalanan eskpedisi. Dia tidak menyangka akan terjadi perang lagi karena sudah ada perjanjian damai. Juga karena pikiran lazimnya

sebagai manusia. Analisis

Dari cuplikan cerita di atas terlihat jelas bagai mana indeksikal penyampaian pesan moral yang di tunjukkan oleh dimyo terhadap Shogun, bagaimana sikap seorang samurai menyikapi perintah yang di berikan shogun kepada dimyo untuk menaklukkan dan memperluas daerah kekuasan serta mempertahan daerah kekuasaanya sendiri. Dalam menjalankan eskpedisi kastel Uesugi diserang oleh klan Takeda, mendegar kabar kastelnya diserang membuat Kenshin terkejut.

Menurut analisis penulis tampak bahwa Kenshin melakukan perintah Shogun, meskipun dia tau kastelnya diserang oleh pihak musuh, tapi kenshin adalah seorang daimyo yang memiliki sikap samurai yang kuat tertanam dalam


(14)

dirinya. Kenshin yakin tugas lebih penting dari pada harus kembali ke kastel dan berperang, sementara kastelnya pun telah hangus oleh pihak musuh.

Cuplikan hal (31-32)

Memahami kemarahan dan kesedihan Kenshin, para komandan yang mengawal kuda tunggangannya, Gubernur Yamato Naoe, Gubernur Totomi Nagao, Ayukawa settsu, Murakami Yoshikiyo, Takanashi Masayori, Gubernur

Izumi Kakikazi dan yang lainnya tidak lagi mengeluarkan sumpah serapah. ...

Mulai dari komandan sampai prajurit rendahan yang mengangkut barang berbisik, “Apakah kita akan pulang ke Echigo begitu saja?”

Ada yang berseru, “Kita tidak bisa pulang tanpa bertindak!” dengan mengepulkan semangat yang menyala-nyala dari kepala yang bersimbah keringat.

Analisis

Para pengawal Kenshin merasa geram dan emosi terhadap tindakan yang dilakukan oleh Takeda Shingen, dari cerita diatas dapat diliahat bagaimana indeksikal dari etika bushido bagaimana sikap kepahlawanan dan bentuk rasa setia pada Shogun, kita dapat melihat bagaimana para pengawal Kenshin tetap taat kepada Kenshin meskipun dalam hati mereka merasa emosi karena kastel yang di tinggalkan telah hangus. Namun karena sikap kesetian yang tinggi perintah atasanlah yang lebih penting.

Menurut analisis penulis, bentuk rasa kecewa dan emosi tergarmbar jelas dari para pengawal kenshin baik pasukan elit maupun pasukan kelas bawah


(15)

sekalipun mereka mengucapkan sumpah serapah, dan merasa ini tidak adil karena shingen telah melanggar perjanjian damai.

Cuplikan hal (35-37)

Mereka telah melanggar perjanjian damai, apalagi menyerang saat pasukan utama Echigo sedang berada di tempat jauh. Si botak shingen benar-benar licik, tak pantas menyebut dirinya samurai. Dia itu pemberontak yang tak memedulikan

kaum jelata.

...

Para prajurit rendahan serta rakyat jelata semakin marah. Kemurkaan tertibun di atas kemurkaan, lagi pula mereka tak tahu kepada siapa kemarahan

seharusnya ditujukan. Yang bisa mereka lakukan hanyalah menangis sambil menghadap langit.

Analisis

Dari cuplikan diatas kita dapat melihat bagaimana indeksikal moral kebaikan yang di soroti dalam cuplikan ceritanya, bagaimana seorang samurai tertinggi mengingkari perjanjian damai yang sudah terikat, maka pantas lah anak buah Uesugi merasa geram atas ulah Shingen ini, kita dapat melihat bagaimana para prajurit atusias dan bersemangat untuk berperang menghadapi klan Takeda Shingen. Tampak jelas sekali bagaimana kemarahan yang terpancar dari raut wajah dari pengikut Kenshin.

Menurut analisis penulis kita dapat melihat bagaimana pengkhianatan yang dilakukan oleh Shingen terhadap perjanjian damai yang telah disepakati, sikap diktator dan semena-mena dalam mengambil keputusan, tidak menunjukkan sikap seorang samurai yang patut di jadikan teladan dan contoh.


(16)

Cuplikan hal (38-40)

“Dia memang tidak di sini. Dia sedang ke Koshu sebagai utusan perdamaian.”

Mereka yang berkumpul adalah prajurit berpengalaman yang tidak mudah terkejut, namun mulut mereka menganga lebar saat mendengar berita itu.

...

“Beitulah. Diam-diam Shimotsuke telah di tunjuk sebagai utusan utama, dan Kurokawa Osumi sebagai wakilnya. Mereka sudah berangkat sepuluh hari

yang lalu.” ...

Saking terkejutnya, mereka tak mampu berkata-kata. Namun darah mereka tidak mudah didinginkan. Sejenak kemudian kebisuan diakhiri dengan ledakan,

dan lepaslah semangat yang tak terlihat dalam beberapa bulan terakhir. Analisis

Dari cuplikan cerita di atas kita dapat melihat indeksikal penyampaian pesan yang di ungkapkan di atas bagaimana kesetian seorang bawahan terhadap atasan, Shimotsuke di tunjuk sebagai utusan untuk datang dan menghadap Shingen untuk menanyakan kontrak perdamaian yang telah di langgar oleh Shingen. Dari cuplikan di atas kita di ajarkan untuk selalu bersabar dan tidak gegabah dalam mengabil suatu tindakan. Dan tidak melawan kemarahan dengan amarah, tapi di bicarakan dengan cara mengirim utusan perdamaian.

Dari analisis penulis pada cuplikan cerita di atas kita sadar bagaimana pola pikir seorang samurai yang gagah berani dalam mengambil suatu tindakan dan keputusan, meskipun kadang keputusan yang di ambil kadan tidak masuk akal


(17)

kaum awam, sikap dan tindakan yang di ambil oleh Kenshin memberikan kita pelajaran agar tetap sabar dan tidak panik dalam menghadapi suatu masalah. Tidak ada artinya apabila kemarahan di lawan dengan kemarahan juga pasti tidak akan ada akhirnya.

Cuplikan hal ( 41-46 ) “Akuikut!” “Ayo,berangkat!”

Lebih dari sepuluh orang yang kebetulan berada di tempat itu serempak bangkit dan keluar ke koridor utama. Hanya satu orang yang tak mau berdiri, tetap duduk bersandar pada tiang besar di sudut ruangan sambil memejamkan mata. Salah seorang kawannya menyadari lantas menegur, “Yataro, kenpa tidak ikut? Cepat!”

Seakan-akan masih mengantuk, Onikojima Yataro mendongkakkan wajahnya yang berbekas cacar berwarna di sana sini. Dia dengan malas-malasan mengelengkan kepala, hanya berujar, “Aku tidak ikut,” dan tetap tidak bangkit.

“Apa!”

“Maksudmu, kita tidak perlu pergi?”

Yataro menjawab dengan tegas, “Ya.” Dan tanpa menegakkan tubuh, dia menjawab, “Lebih baik jangan ribut-ribut begitu. Kalian seperti anak kecil yang

merengek kepada orang tuanya.” ...

“Dengarkan dengan kepala dingin. Kita takkan mengetahui apa yang di putuskan dalam rapat selama beberapa hari ini. Kita hanyalah prajurit rendahan.


(18)

...

“Seorang samurai melayani majikannya dengan menyerahkan jiwa dan raga. Kalian tidak mengerti apa yang dianggap penting oleh majikan kita, seperti

apa sifatnya. Tanpa mengetahui hal-hal seperti itu, bagaimana kalian bisa melayani beliau dengan baik? Bagaimana kalian bisa menyerahkan nyawa kalian

kepada beliau? ...

Kalau kita ribut-ribut tanpa berfikir panjang, itu akan mengacaukan keputusan Tuanku, meragukan kemampuan belian. Kalau kalian benar-benar setia,

lebih baik kalian bersantai saja, pura-pura enggan pergi perang karena kita baru saja kembali dari ekspedisi di wilayah Kanto”.

Analisis

Pada cuplikan cerita di atas dapat di lihat bagaimana kesetian Yataro yang hanya rakyat biasa, seorang prajurit rendahan mampu membimbing

teman-temannya untuk patuh dan setia terhadap atasan, karna itu sudah menjadi filosofi masyarakat jepang khususnya kaum samurai. Bentuk kesetiannya adalah rela mati demi membela tuanya. Bahwasannya seorang bawahan harus mengabdi terhadap atasanya.

Menurut analisis penulis, perlakuan dan sikap Yataro terhadap teman-temannya menggambarkan bagaimana dia meyakinkan kalau tuannya Kenshin mempunya taktik dan strategi untuk menyerang musuh. Yataro mempunya prinsip tidak gegabah dalam bertindak dan selalu taat pada atasan. Di dalam masyarakat


(19)

Jepang sendiri mereka menganut etika Bushido yang telah menjadi lambang dan bentuk kesetian bawahan kepada tuannya meskipun nyawa harus jadi taruhannya.

3.2.3 Moral Kesetiaan Rakyat biasa Kepada Daimyo Cuplikan hal (59-60)

Menyerbu Shinano

Hanya mendengar kata-kata itu pasukan Uesugi di Echigo merasakan jiwa mereka bergejolak, otot-otot mereka menegang, gelisah karena tak sabar.

...

Secepat kilat para prajurit mengenakan baju zirah, mengeluarkan kuda dari kandang, menumpuk barang kebutuhan perang, lalu berkumpul di alun-alun depan

kastel.

Analisis

Pada cupilkan cerita di atas terdapat indeksikal kesetian masyarakat jepang terhadap kaisar yang mana semua prajurit mulai dari yang rendahan sampai panglima tertinggi, ikut serta dan ambil bagian dalam memperluas daerah

kekuasaan. Terlihat jelas pada cuplikan di atas bagaimana semangat samurai yang berkobar dalam setiap masyarat jepang terhadap kaisar. Meskipun secara tidak langsung kaisar yang memberi perintah terhadap rakyatnya.

Menurut analisis penulis, bentuk kesetian masyarakat Jepang di gambarkan di cerita di atas bagaimana seluruh masyarat Jepang ikut ambil bagian dalam peperangan untuk membantu dan membela klannya masing-masing. Karena


(20)

merupakan tuntutan dan merupakan suatu bentuk etika Bushido dan samurai rela mati demi membela dan mempertahankan harkat dan martabab tuannya.

Cuplikan hal (85-87)

“Apa? Mati dalam pertarungan? Jangan bodoh. Betapa pun sengit kita bertarung, takkan, bisa merebut Kofu. Sia-sia saja.”

Saito Shimotsuke menggosok mata kirinya yang tak bisa melihat dengan jemari seolah-olah silau. Selama belasan hari dalam kesuliatan, apa lagi tadi

malam tidak sempat tidur, matanya terasa penuh kotoran. ...

“Biarkan mereka menangkap kita. Selama berada di gunung ini, kita pasti akan tertangkap. Biarkan mereka menyeret kita kemana pun mereka mau.”

“Lalu?”

“Kita bertahan hidup selama mungkin. Mengenai kesetian, kukira tindakan ini lebih setia.”

...

Wakil utusan Korokawa Osumi yang terkenal pemberani menyumpah seakan-akan meludahinya, “Kesetiaan? Menjadi tawanan musuh dan hidup memalukan? Shimotsuke, kata-katamu seperti bukan diucapkan olehmu. Apakah

ada yang tidak beres dengan otakmu?” ...

“Kurokawa. Leluhurmu, begitu juga leluhurku, berasal dari salah satu satu cabang klan Nitta, keturunan Wakiya Yoshisuke. Di dalam darah kita ini pasti masih mengalir darah tuan Nitta Yoshisada, kakak Yoshisuke. Itulah azas jalan


(21)

sumpah di depan dewa setiap kali sebelum kita maju ke medan perang, tidakkah kau sudah memahami hal itu?”

Analisis

Dalam keadaan terkepung Saito mengambil tindakan lebih baik mereka di tangkap dari pada harus melawan musuh, utusan Korokawa Osume menyumpah-nyumpah karena sikap yang di tunjukkan oleh Saito.

Dari cuplikan cerita di atas dapat kita lihat bagaiamana indeksikal dari etika bushido bagaiman dia mengatakan ini lah jalan samurai rela mati demi Tuannya bentuk kesetian yang digambarkan di atas dapat kita lihat kegigihan seorang bawahan terhadap tuannya meskipun nyawa harus jadi taruhannya.

Menurut analisis penulis, bentuk kesetiaan yang diperlihatkan dari cuplikan di atas bagaimana sikap rela berkorban dari seorang bawahan terhadap atasan, Saito lebih mau menyerahkan dirinya dari pada harus berperang menghadapi musuh.

Cuplikan hal (99-103)

Pasukan yang terdiri dari dua puluh ribu orang lebih melewati jalan itu. Pemandangan hari seperti itu pasti menghebohkan. Pada pagi hari kesembilan

belas bulan delapan, aliran dahsyat para samurai dan kuda tunggangan yang terpilih sudah meluncur melalui kaki Gunung Yatsugatake menuju puncak Omon.

...

Tenkyu menjawab dengan patuh, “Ya,” lalu dengan wajah malu melirik Taro Yoshinobu yang berkuda di sampingnya.

Kemudian Taro Yoshinobu bertanya kepada ayahnya, “mengapa Ayahanda tidak menyembelih Saito Shiotsuke.


(22)

...

Pasukan tersebut terdiri dari tiga ratus orang dibawah pimpinan Koshiba Keishun, Kurita Eijuken dan lain-lain yang menguasai daerah sekitar Zenkoji. Bergabungnya pasukan cabang pada pasukan cabang pada pasukan utama dalam perjalanan disebut “penyambutan”. Di suatu tempat ada pasukan yang terdiri dari

ratusan prajurit bergabung, lalu pasukan lain yang terdiri dari lima ratus ribu orang bergabung di tempat lain. Dengan demikian jumlah umbul-umbul pasukan

kian bertambah. Semakin mendekati medan perang, semakin besar jumlah pasukan mereka.

Analisis

Dari cuplikan cerita di atas kita bisa melihat bagaimana indeksikal moral yang terlihat dari setiap cuplikan bagaimana prajurit begitu setia dan patuh dalam batin mereka tidak sabar untuk menunaikan kewajiban yang telah di bebankan kepada mereka, bagaimana pasukan yang begitu banyak siap untuk berperang menunjukkan rasa kesetian samurai yang sesungguhnya di perlihatkan pada cuplikan cerita diatas. Bagaimana pasukan dari kelas bawah sampai pasukan elit siap bertempur dan siap menyerahkan jiwa raganya demi tuannya.

Menurut analisis penulis, kita melihat bagaimana kesetian yang diperlihatkan oleh anak buah dan pasukan terhadap tuannya, bahkan jiwa dan raga mereka pertaruhkan demi menjunjung tinggi harkat dan martabat tuannya, baik pasukan kelas bawah hingga yang elit siap tempur untuk menghadapi musuh, tak ada rasa gentar darah mereka mendidih dan tak sabar untuk berperang demi mewujudkan cita-cita seorang samurai.


(23)

Cuplikan hal (114-116)

Seluruh pasukan Takeda Shingen berbondong-bondong menuruni Gunung Chausu sejak siang kemarin sudah melewati Fuse Gomyo dan Desa Shinonoi, dan tiba di penyebrangan Amemiya malam itu juga. Pagi ini pasukan utama berposisi

di tengah-tengah, dua belas pasukan berformasi lima baris. ...

Sekelompok pasukan mengambil jalan memutar dan keluar di sekitar Yashiro yang terletak di timur laut markas musuh, pasukan lain menghadang jalan

yang bersambungan dengan Jalan Raya Hokkoku, satu pasukan lagi maju untuk memutus jalan di antara markas musuh dan kastel Asahi, satu-satunya kastel yang

memihak Uesugi di daerah itu. Analisis

Dari cuplikan cerita di atas kita dapat melihat indeksikal penyampaian pesan moral yang ingin di sampaikan, pasukan Takeda Shingen pun mulai bergerak juga, kita bisa melihat meskipun pemimpin berlawanan dengan sikap seorang samurai, ini lah bentuk kesetian terhadap Shingen, meskipun sebenarnya Shingen adalah seorang diktator dan sesukanya membuat keputusan, tetapi di kalangan para pasukan Shingen tetap lah seorang samurai yang memiliki kekuataan gaib. Karena Shingen beraliran zen yang cukup kuat sehingga aura magis yang ada dalam diri Shingen menghantui setiap daerah yang ditaklukannya.

Menurut analisis penulis, sikap yang ditunjukkan oleh pasukan dan anak buah kenshin menunjukkan rasa utang budi terhadap atasan, bentuk rasa terima kasih yang mereka lakukan adalah tetap patuh dan setia terhadap Shingen yang telah banyak memberikan kepercayaan kepada pasukannya.


(24)

Cuplikan hal (129-131)

Karena prinsipnya itulah sehingga dia dijuluki Tatewaki Si Pembuang Kepala. Lantaran namanya tidak dicatat dalam buku catatan hasil perang , dia tetap komandan rendahan pada pasukan kecil yang terdiri dari kurang lebih lima

puluh prajurit. ...

Semua anggota pasukan Echigo tahu bahwa kakak kandung Yamamoto Tatewaki adalah Yamamoto Kansuke yang kini dipanggil pendeta Doki, salah

seorang komandan pasukan Kai. Analisis

Tatewaki si pembuang kepala. Nama ini di berikan karena pada saat perang berlangsung dia hanya bertugas membuang kepala yang sudah di pancung, dari cuplikan cerita di atas kita dapat melihat bagaimana indeksikal penyampaian pesan moral yang di sampaikan, dapat kita lihat bagaimana seorang Tatewaki yang hanya memimpin pasukan yang beranggotakan lima puluh pasukan, tapi tetap menjunjung tinggi jiwa samurai. Meskipun hanya kelompok kecil bentuk kesetiaan itu tergambar dari cerita diatas bagaimana bentuk kesetiaan terhadap atasan meskipun pasukan kecil tapi semangat samurai tertanam dalam dirinya dan anggotanya.

Cuplikan hal (145-148)

Takkan mundur. Denuemon mengumumkan sumpahnya dengan lambang “Kyosha” di depan helmnya. Orang seperti itu tidak mungkin membiarkan kepalanya dipukul gara-gara takut pada seorang pendeta. Semua orang mengerti


(25)

...

“Tuan Utusan. Kami hanya bisa mengantar sampai di sini. Setelah ini silakan mengikuti penyambutan utusan. Yang terlihat disana itu adalah tempat

Tuan Kenshin.”

Setelah menyerahkan tugas kepada sang penyambut utusan, Yataro dan lain-lain turun ke kaki gunung. Denuemon dengan didampingi Wada Kihee

menyusuri jalan setapak yang dikelilingi tirai. ...

Denuemon sekali lagi menunduk dalam-dalam. Tak perlu tergesa-gesa menjawab. Sambil mengingatkan diri sendiri, Denuemon mengatur napas dibawah perut, menengadah dan menatap lekat-lekat lawannya sehingga sosok

orang yang bernama Fushikian Kenshin tertanam dalam matanya.

Analisis

Denuemon adalah utusan yang dikirim Shingen untuk menemui Kenshin, Denuemon begitu lemah dan tak berdaya saat berada di daerah kekuasaan Kenshin, bahkah dia harus patuh dan taat terhadap pendeta, dari cuplikan cerita di atas kita dapat melihat indeksikal penyampaian pesan moral yang di sampaikan, kita dapat melihat bagaimana sikap Denuemon sikap sopan dan patuh terhadap aturan yang ada di daerah Kenshin. Meskipun sesungguhnya Denuemon adalah orang yang pantang menyerah dan selalu ada di baris terdepan dalam peperangan. Menurut analisis penulis, kita dapat melihat bagaimana sikap seorang samurai saat berkunjung atau mendapat utusan dari atasan untuk datang ke klan musuh, Denuemon menjaga sikap agar tetap sopan dan taat terhadap aturan.


(26)

Karena Denuemon hanyalah seorang utusan nyawanya kapanpun bisa melayang andaikan dia membangkan dan tidak mentaati aturan yang sudah dibuat.

Cuplikan hal (191-200)

“Maafkan saya.” Gubernur Yamato menunduk, tapi tetap melanjutkan kata-katanya seolah-olah tak ingin melewatkan kesempatan dimana majikan dan

semua komandan utama berkumpul.

“Kami sudah besumpah untuk mempersembahkan nyawa kami kepada Tuan, maka bagaimana mungkin kami tidak memahami isi hati Tuan. Tetapi musuh kita, Shingen, telah memasuki Kastel Kaizu sejak hari kedua puluh empat

bulan lalu.

...

Dua puluh ribu prajurit, tanpa tersisa seorang pun, bersiap sampai ujung kaki dan berbaris di alun-alun di dalam Kastel. Mereka terbagi dua:

Bagian Keanehan besar, Bagian Kelaziman besar.

Semua prajurit sudah makan hingga kenyang. Bekal pun sudah dibawa. Pasukan senapan masing-masing menyiapkan sumbu sepanjang 75 senti. Sumbu –

sumbu itu diikat dan dilipat dua untuk digantung di pinggang. ...

Pasukan Kai telah memutuskan untuk menggunakan taktik Burung Pelatuk, bagian yang satu menyerang musuh, dan pasukan di sisi lainnya akan kan


(27)

Analisis

Gubernur Yamato menunduk dan menyatakan bahwa semuanya rela mati demi mempertahankan klan Uesugi, semuanya akan kami berikan untuk tuan jadi kami tidak mungkin ragu kepada tuan itu lah yang di ucapkan Yamato, dari cuplikan cerita di atas kita bisa melihat bagaimana indeksikal penyampaiaan pesan moral bagaimana sikap kesetiaan bertingkat yang terlihat pada cuplikan di atas bagai mana bentuk kesetian Gubernur secara tidak langsung kesetiaan itu turun temurun dari atas sampai kebawah. Menunjukkan sikap kepedulian dan rela berkorban demi tuannya.

Menurut analisis penulis, dapat terlihat bagaimana seorang gubernur menyampaikan sikap kesetiaan tanpa batas, dan seluruh pasukan bergerak untuk berperang demi mempertahankan harkat dan martabat tuannya. Untuk menjadi seorang samurai sejati harus taat, patuh dan membayar kepercayaan yang telah di berikan.

3.2.4 Moral Kesetiaan Seluruh Masyarakat Jepang Kepada Kaisar Cuplikan hal ( 234-236)

Pendeta Muroga adalah mantan petani. Dia mengenal baik daerah itu. Segera dia melompat naik ke kuda, berpacu meninggalkan markas. Setelah itu Shingen memanggil Hara Hayato, lalu Pendeta Doki Yamamto Kansuke. Dengan

tergesa-gesa mereka saling berbisik. ...

“Seluruh pasukan Echigo melihat kita di sebelah kanan mereka, berbaris panjang berlapis-lapis, menuju sunagi sai dan tampak seperti meninggalkan kita.


(28)

Tetapi sebenarnya mereka berbentuk pusar raksasa bagaikan angin puyuh, mengendap-endap mendekati pasukan kita”.

Analisis

Pendeta Muroga yang dulunya seorang petani memperlihatkan sikap kesetiaan terhadap samurai, bagaimana seluruh masyarat taat dan tunduk terhadap aturan dan perintah dari atas, dari cuplikan cerita di atas kita dapat melihat indeksikal penyampaian pesan moral dari cuplikan di atas bagaimana sikap seorang pendeta yang dulunya petani menjunjung tinggi kesetiaan terhadap pimpinan.

Menurut analisis penulis, sikap yang di perlihatkan oleh pendeta tersebut membuktikan sikap kesetiaan yang tergambar bagaimana dia melaksanakan tugas yang di berikan untuk memantau di sanggupi oleh pendeta tersebut, menunjukkan bentuk kesetiaan yang berpusat dari atas ke bawah.

Cuplikan hal ( 258-265)

Saat itu yang bergerak paling cepat adalah pasukan Gubernur Izumi Kakizaki. Baik sang komandan maupun prajurit rendahan, maupun prajurit tingkat

tinggi, dengan merundukkan kepala yang dilindungi helm perang, berlari membabi buta sambil berteriak kencang seiring derap langkah, tanpa peduli

peluru atau pun panah. Lalu, tabrak! ...

Dengan cepat, bagaikan air yang melimpaah menghancurkan dasar kapal, dalam sekejap mata seluruh markas dikacaukan oleh prajurit Uesugi. Dari sela-sela kabut, matahari pagi menyengat terlihat merah darah mayat-mayat prajurit


(29)

...

Tenkyu menyaksikannya pergi dengan pandangan penuh perasaan iba. Di tubuh Doki sudah terlihat beberapa luka tusukan tombak dan bekas peluru. Meski begitu, dia sama sekali tidak ragu, segera melepaskan seruan parau, meneriakkan

sesuatu ke dalam debu peperangan. Analisis

Dari cuplikan cerita di atas kita dapat melihat indeksikal penyampaiaan pesan moral kesetiaan dan pengabdiaan terlihat bagaimana seluruh pasukan bergerak kemedan perang baik dari pasukan elit sampai dengan pasukan kelas bawah pergi bertempur melaksanakan kewajiban menunjukkan rasa kesetiaan yang ditunjukkan dalam bentuk maju kemedan perang dan mengorbankan segala jiwa raga sesuai dengan falsafah samurai.

Menurut analisis penulis, dari cuplikan cerita diatas kita bisa melihat bagaimana semangat samurai yang terlihat, semua pasukan bergerak ke medan perang demi mewujudkan impian dan melaksanakan kewajiban sebagai bentuk kesetian bawahan terhadap atasanya. Kita dapat melihat banyak yang terluka bahkah tewas dalam pertempuran, tapi inilah impian para samurai mati saat perang dan membela tuan adalah suatau kebangaan yang tak ternilai.

Cuplikan hal (276-278)

Hajikano Gengoro, samurai pemberani dari Kai, dan samurai yang termasyhur keberanianya gugur satu demi satu. Tenkyu Shigenobu, adik shingen

dan para komandan seperti Bungo Morozumi, Yamamoto Kensuke, Naito Shuri dan lainnya juga terbunuh.


(30)

Chisaka Naizen, Icikawa Shuzen, Okuni Heima dan lain-lain, saat itu tersisa tujuh atau delapan orang. Mungkin yang lain terluka atau terbunuh

sehingga tidak terlihat di sekeliling Kenshin. “Ayo! Ikuti Tuanku!

“Memang Tuanku rupanya bertekad mewujudkan keinginannya yang sudah lama.”

Seketika para pasukan yang lain mengikutinya. Tetapi tentu saja, baik Kenshin maupun para pengikutnya yang tidak berlari tidak melaju di padang tanpa

orang. Dihadang di depan, di serang dari samping. Di kepung dari belakang. Mereka terus melaju sambil menendang, menusuk, dan menginjak tanpa akhir.

Analisis

Para samurai termasyhur mulai gugur satu demi satu pasukan elit dan rendahan banyak yang gugur di medan perang, kita bisa melihat indeksikal penyampai pesan moral kesetiaan seluruh masyarakat jepang kita bisa melihat banyak yang gugur dimedan perang, kita melihat bentuk kesetiaan yang tak terbatas. Kita dapat melihat meskipun telah banyak yang gugur, tapi itu tidak membuat mereka gentar dan takut untuk melawan musuh.

menurut analisis penulis, bentuk kesetian seluruh masyarakat Jepang terlihat jelas semua pasukan bergerak tanpa lelah ke medan perang, bentuk kesetiaannya mereka terlihat jelas banyak pasukan yang gugur dan luka-luka tapi mereka tetap menjunjung tinggi etika bushido.


(31)

Cuplikan hal (361)

Tentu saja Yoshikiyo juga hadir dalam upacara peringatan besar-besaran hari ini.

Dia menyaksikan begitu banyak orang yang kehilangan anggota keluarga dalam perang Kawanakajima.

Ayah dan ibu, anak kecil yang ditinggal mati ayah, istri berwajah pucat yang menggendong bayi, keponakan laki-laki, paman, keponakan perempuan dan

seterusnya, banyak sekali anggota keluarga orang yang tewas berkumpul untuk upacara hari ini.

Selama kepala pendeta Tenshitsu, Soken dan pendeta lain membacakan kitab Hokke dan memanjatkan doa untuk orang-orang yang gugur dalam

peperangan, Yoshikiyo tidak dapat menengadah dan melihat mimbar. Analisis

Dari cuplikan cerita di atas kita bisa melihat bagaimana penyampaian indeksikal moral kesetian yang tinggi, kita dapat melihat banyak pasukan yang gugur di medan perang, banyak ibu-ibu dan anak-anak kehilangan kepala rumah tangganya yang gugur di medan perang. Sebagai bentuk rasa hormat diadakan upacara penghormatan bagi para samurai yang gugur dimedan perang.

Menurut analisis penulis, kita dapat melihat banyak pasukan yang gugur, kita dapat melihat pengorbanan yang tak terbatas dari para samurai terhadap Kaisar, bentuk kesetiaan kita dapat melihat banyak pasukan yang gugur dalam medan pertempuran. Sebagai bentuk rasa terima kasih Kaisar diadakan upacara penghormatan terakhir terdapa pasukan yang gugur.


(32)

Cuplikan hal (365)

“Pikirkanlah. Sejak zaman Onin, semua penguasa sadar akan kegelapan zaman di seluruh Jepang. Di daerah pesisir timur telah muncul klan Tokugawa dan Oda. Di perairan barat ada klan Mori dan klan Ouchi. Di Koshu ada Shingen, di sini Kenshin, di Sagami ada Hojo, kemudian klan Imagawa mendadak musnah

di perbatasan Suruga dan Totomi. Seperti itulah keadaan Jepang yang sedang berubah pesat dan akan mewujudkan pembaruan drastis.

Analisis

Pada cupilkan cerita di atas terdapat indeksikal kesetian masyarakat jepang bagaimana telah di ceritakan di atas begitu banyak korban berjatuhan dalam perang tersebut, dari cuplikan di atas kita dapat melihat bagaimana bentuk kesetian yang sesungguhnya ada dalam masyarakat jepang dan telah menjadi suatu budaya dari bangsa Jepang meskipun nyawa harus jadi taruhannya mereka puas karena mati dalam keadaan terhormat.

Menurut analisis penulis, pada cerita di atas kita dapat melihat begitu banyak kerugian yang di sebabkan oleh perang tidak hanya materi tapi juga nyawa juga jadi taruhannya. Tapi menurut masyarakat jepang apabila mati dalam medan perang merupakan suatu kebanggan tersendiri karena dalam etika Bushido mati seperti itu merupakan mati terhormat dan merupan seoranag kesatria sejati.


(33)

Cuplikan hal (380-385)

Petani Koshu dapat bernapas lega. Penduduk kota bergerak. Para pedagang berkeliling membagi-bagikan garam. Orang yang melihat garam lalu

menggenggam benda putih itu dengan berlinang air mata.

...

Selama dua tiga tahun ini Echigo dan Koshu masih tetap mempertahankan perbatasannya sebagai saingan yang sudah di takdirkan, namun untuk sementara

keduanya bergerak kearah yang berlawanan.

“Inilah kesempatan terbaik. Para komandan di Kofu sedang berduka dan sedih bagaikan kehilangan penerangan dalam kegelapan. Bila kita serbu, seluruh

negeri mereka dapat di taklukkan dengan mudah.”

“Jangan, jangan. Kita hanya akan menjadi bahan tertawaan. Tetapi mungkin saja dalam tiga tahun mendatang pertahanan Kofu malah semakin kuat

daripada dulu.

Setelah itu Kenshin mengirim anak buah tingkat tinggi ke Kastel Kaizu untuk mengucapkan belasungkawa atas kematian Shingen.

Analisis

Dari cuplikan cerita di atas kita dapat melihat indeksikal penyampaian pesan moral bentuk kesetian dan menjaga harga diri, kita dapat melihat bagaimana pasukan membagikan garam karena pasokan garam di daerah lain mulai menipis, padahal kekurangan garam itu terjadi di wilayah musuh. Dari cuplikan diatas kita


(34)

juga dapat melihat bagaimana kesempatan dapat menyerang klan Takeda karena pada saat itu Shingen wafat, sehingga sebagian para komandan mengatakan untuk menyerang klan Takeda yang sedang berduka, karena akan lebih mudah untuk menaklukannya.

Menurut analisis penulis, kita dapat melihat bentuk kesetian yang tergambar dari pasukan mereka membagikan garam ke wilayah musuh, kita juga dapat melihat bagaimana Kenshin mencegah para komandannya untuk tidak menyerang klan Takeda yang sedang berduka, tetapi sebaliknya Kenshin mengirim utusan ke klan Takeda untuk menyampaikan rasa belasungkawa atas wafatnya Shingen.


(35)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Setelah data dari berbagai referensi di analisa, maka pada akhir penulisan skripsi ini penulis mencoba untuk membuat kesimpulan dari keseluruhan skripsi ini sebagai berikut :

1. Yang membentuk moral pada masyarakat Jepang sejak masa lampau yaitu tiga agama utama di Jepang, seperti; Shinto, Buddha, dan Confusianisme, serta spirit Samurai dan Bushido, memberi landasan bagi pembentukan moral bangsa Jepang.

2. Moral-moral yang terkandung dalam novel Uesugi Kenshin ini sesuai dengan yang dimiliki bangsa Jepang, yaitu: On, Giri, Gimu dan Ninjo. 3. Kesetiaan bertingkat masyarakat jepang terhadap atasan berdasarkan

On, Giri, Gimu, Ninjo.

4. On merupakan salah satu penggambaran moral bangsa jepang yang

begitu dalam. Rasa berhutang ini harus di pikul dengan sebaik mungkin sehingga orang yang menerima on akan terbebani dengan on yang telah diterimanya. Oleh karena itu diantara nilai-nilai yang mengatur tatanan sosial orang jepang on menduduki tempat yang utama dan secara moral hal itu merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan. Jika seseorang berbuat baik kepada kita, maka kita merasa harus membalas kebaikannya tersebut.


(36)

5. Giri, adalah kebaikan. Jika kita mempunya teman dekat dan dia butuh

pertolongan, maka kita akan membantunya dengan cara apapun. Tetapi giri terkadang dapat menimbulkan beban yang sangat besar, sehingga membuat si penerima merasa terbebani dan harus membayarnya tepat sama dengan apa yang di terimanya dan memiliki tenggang waktu masa pembayarannya. Giri akan muncul jika seseorang menerima on atau budi baik seseorang yang kita terima.

6. Gimu adalah pembayaran kembali yang maksimal pun dari kewajiban

(on) ini dianggap masih belum cukup dan tidak ada batas waktu pembayarannya. Dengan kata lain pelunasan kewajiban (on) ini tidak akan pernah dapat dilakukan sepenuhnya dan tidak pernah berakhir selama masa hidupnya.

7. Ninjo merupakan rasa kasih sayang. Prinsip ini mengajarkan rasa

empati terhadap sesama dan lingkungannya. Yang berarti setiap orang merasa sama, saling menyayangi dan berkewajiban sama pula untuk menjaga lingkungan. Kemudian Ninjo merupakan suatu perbuatan yang tidak menuntut balas, atau benar-benar tulus dari dalam hati dan tidak melibatkan menjadi on. Karena jika on terlibat dalam berinteraksi maka yang akan timbul bukanlah ninjo melainkan giri.

8. Manusia sebagai mahluk sosial akan menjadi manusia yang lebih sempurna ketika ia mau untuk memberi kebaikan kepada sesamanya. Membuat manusia merasa bahagia ketika ia memberikan kebaikan kepada sesamanya adalah salah satu wujud kebajikan.


(37)

4.1Saran

Skripsi ini masih benyak memiliki kekurangan, baik dalam segi isi, penulisan, analisa serta pemahaman. Setelah membaca dan memahami isi dari skripsi ini, diharapkan kepada pembaca agar dapat mengambil manfaat, yaitu:

1. Ada baiknya jika mahasiswa Sastra Jepang menambah pengetahuan mereka tentang Jepang, karena pada umumnya dalam hasil karya sastra Jepang, isinya selalu disangkut pautkan dengan unsur kebudayaan Jepang. 2. Bagi para pembaca yang juga ingin meneliti tentang pesan moral Jepang

yang ada dalam karya sastra, maka disarankan agar dapat memahami konsep-konsep moral yang dimiliki bangsa Jepang dengan baik dan benar, serta melakukan peninjauan terhadap data-data yang akurat agar dapat menghasilkan penelitian yang lebih baik lagi nantinya.

3. Penulis berharap melalui karya sastra ini, menjadi lebih banyak orang yang mengerti pentingnya nilai-nilai kepribadian moral, sehingga ketika kita telah memahaminya, akan menjadikan kita sebagai manusia yang dapat bertindak lebih baik dan bijaksana dalam menjalani hidup.


(38)

4.2 Saran

Setelah membaca dan memahami isi dari skripsi ini, diharapkan kepada pembaca agar dapat mengambil manfaat, yaitu:

1. sikap bushido dari samurai yang diaplikasikan dalam kehidupan sosial oleh rakyat biasa dalam novel Uesugi Kenshin, seperti kesetiaan, keberanian, keteguhan hati, kehormatan atau harga diri serta pengendalian diri.

2. Ada baiknya jika mahasiswa Sastra Jepang menambah pengetahuan mereka tentang Jepang, karena pada umumnya dalam hasil karya sastra Jepang, isinya selalu disangkut pautkan dengan unsur kebudayaan Jepang. 3. Penulis berharap melalui karya sastra ini, menjadi lebih banyak orang yang

mengerti pentingnya nilai-nilai kepribadian moral, sehingga ketika kita telah memahaminya, akan menjadikan kita sebagai manusia yang dapat bertindak lebih baik dan bijaksana dalam menjalani hidup.


(39)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP MORAL, MORAL BUSHIDO

DAN NOVEL

2.1 Defenisi Moral

Kata moral berasal dari bahasa latin Mores. Mores berasal dari kata mos yang berarti kesusilaan, tabiat atau kelakuan. Moral dengan demikian dapat diartikan ajaran kesusilaan. Moralitas berarti hal mengenai kesusilaan.

Moralitas adalah sistem nilai tentang bagaimana kita harus hidup secara baik sebagai manusia. Sistem nilai ini terkandung dalam ajaran berbentuk petuah-petuah, nasihat, wejangan, peraturan, dan semacamnya, yang diwariskan secara turun-temurun melalui agama atau kebudayaan tertentu tentang bagaimana manusia harus hidup secara baik, agar ia benar-benar menjadi manusia yang baik.

Ada perkataan lain yang mengungkapkan kesusilaan, yaitu etika. Perkataan etika berasal dari bahasa yunani: ethos dan ethikos yang berarti kesusilaan, perasaan batin, kecenderungan untuk melakukan suatu perbuatan.

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dari Salam dalam Simanjuntak (2011:18), terdapat keterangan bahwa moral adalah ajaran tentang baik-buruk perbuatan dan kelakuan, sedangkan etika adalah ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak.

Dari beberapa keterangan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa moral mempunyai pengertian yang sama dengan kesusilaan, yaitu memuat ajaran


(40)

tentang baik-buruknya perbuatan. Jadi, perbuatan itu dinilai sebagai perbuatan yang baik atau perbuatan yang buruk. Penilaian itu menyangkut perbuatan yang dilakukan dengan sengaja. Memberikan penilaian atas perbuatan dapat disebut memberikan penilaian etis atau moral.

Sasaran dari moral adalah keselarasan dari perbuatan manusia dengan aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan manusia.

2.2 Prinsip-Prinsip Dasar Moral

1. Prinsip Sikap Baik

Sikap yang dituntut dari kita sebagai dasar dalam hubungan dengan siapa saja adalah sikap positif dan baik. Seperti halnya dalam prinsip utilitarisme, bahwa kita harus mengusahakan akibat-akibat baik sebanyak mungkin dan mengusahakan untuk sedapat-dapatnya mencegah akibat-akibat buruk dari tindakan kita, kecuali ada alasan khusus, tentunya kita harus bersikap baik terhadap orang lain.

Prinsip moral dasar pertama disebut prinsip sikap baik. Prinsip ini mendahului dan mendasari semua prinsip moral lain. Prinsip ini mempunyai arti yang amat besar bagi kehidupan manusia.

Sebagai prinsip dasar etika, prinsip sikap baik menyangkut sikap dasar manusia yang harus memahami segala sifat konkret, tindakan dan kelakuannya. Prinsip ini mengatakan bahwa pada dasarnya, kecuali ada alasan khusus, kita harus mendekati siapa saja dan apa saja yang positif, dengan menghendaki yang baik baginya. Artinya, bukan semata-mata perbuatan baik dalam arti sempit,


(41)

melainkan sikap hati positif terhadap orang lain, kemauan baik terhadapnya. Bersikap baik berarti, memandang seseorang dan sesuatu tidak hanya sejauh berguna bagi dirinya, melainkan menghendaki, menyetujui, membenarkan, mendukung, membela, membiarkan, dan menunjang perkembangannya (Suseno, 1989:131).

Bagaimana sifat baik itu harus dinyatakan secara konkret, tergantung pada apa yang baik dalam situasi konkret itu. Maka prinsip ini menuntut suatu pengetahuan tepat tentang realitas, supaya dapat diketahui apa yang masing-masing baik bagi yang bersangkutan.

2. Prinsip Keadilan

Prinsip keadilan hanya menegaskan agar kita bersikap baik terhadap siapa saja. Tetapi kemampuan manusia untuk bersikap baik secara hakiki terbatas, tidak hanya berlaku bagi benda-benda materiil, melainkan juga dalam hal perhatian dan cinta kasih. Kemampuan untuk memberi hati kita juga terbatas. Maka secara logis dibutuhkan prinsip tambahan yang menentukan bagaimana kebaikan itu harus dibagi.

Adil, pada hakikinya berarti bahwa kita memberikan kepada siapa saja dan apa yang menjadi haknya. Karena pada hakekatnya semua orang sama nilainya sebagai manusia, maka tuntunan paling dasariah keadilan adalah perlakuan yang sama terhadap semua orang, tentu dalam situasi yang sama (Suseno, 1989:132).

Jadi prinsip keadilan mengungkapkan kewajiban untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap semua orang lain yang berada dalam situasi yang


(42)

Secara singkat, keadilan menuntut agar kita jangan mau mencapai tujuan, termasuk hal yang baik, dengan tidak melanggar hak seseorang.

3. Prinsip Hormat Terhadap Diri Sendiri

Prinsip ini menyatakan bahwa manusia wajib untuk selalu memperlakukan diri sebagai sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri. Prinsip ini berdasarkan paham bahwa manusia adalah person, pusat pengertian dan berkehendak, yang memiliki kebebasan dan suara hati, mahluk yang berakal budi (Suseno, 1989:133)

Prinsip ini mempunyai dua arah. Pertama, dituntut agar kita tidak membiarkan diri diperas, diperalat, atau diperbudak. Perlakuan tersebut tidak wajar untuk kedua belah pihak, maka yang diperlukan demikian jangan membiarkannya berlangsung begitu saja apabila ia melawan, sebab kita mempunyai harga diri. Dipaksa untuk melakukan atau menyerahkan sesuatu tidak pernah wajar. Kedua, kita jangan sampai membiarkan diri terlantar.

Manusia juga mempunyai kewajiban terhadap dirinya sendiri, berarti bahwa kewajibannya terhadap orang lain di imbangi oleh perhatian yang wajar terhadap dirinya sendiri.

Sebagai kesimpulan, kebaikan dan keadilan yang kita tunjukkan kepada orang lain, perlu di imbangi dengan sikap yang menghormati diri sebagai mahluk yang bernilai. Kita berbaik hati dan bersikap baik terhadap orang lain, dengan tetap memperhatikan diri sendiri.


(43)

2.3 Moral Jepang

Kepribadian dan karakter moral rakyat Jepang dibentuk sedari mereka kecil. Prinsip moral yang mereka anut berasal dari kebudayaan samurai Jepang yang terdiri dari empat elemen moral, yaitu On, Gimu, Giri dan Ninjo. Menurut

Hashimoto Ayumi dalam http://www.terindikasi.com/2012/05/prinsip-moral-jepang.html#ixzz2APOzq6AW, keempat unsur ini tidak diajarkan di bangku sekolah. Namun, secara otomatis didapat dari orang tua maupun masyarakat sekitar.

2.3.1 ON

On berarti rasa hutang budi. Dengan prinsip on, seseorang akan merasa

berutang setiap kali orang lain berbuat baik padanya. Dalam semua pemakaiannya

on mengandung arti suatu beban, suatu hutang, sesuatu yang harus dipikul

seseorang dengan sebaik mungkin mencakup hutang seseorang dari yang paling besar sampai yang paling terkecil sekalipun yang harus dibayar (Benedict, 1982:105).

2.3.2 GIMU

Gimu berarti kewajiban. Jika seseorang menerima on, maka orang tersebut

akan berkewajiban untuk membayarnya yang disebut gimu. Gimu menurut

Benedict (1982:122) adalah pembayaran-pembayaran tanpa batas atau tanpa

syarat atas hutang yang telah diterima dari si pemberi on. On yang diterima dengan pembayaran kembali secara gimu sama sekali tidak bisa dihindari oleh setiap orang Jepang. Namun karena tidak ada ketentuan mengenai bentuk, cara dan waktu pembayarannya, maka seseorang merasa keberatan menerima on


(44)

dengan resiko gimu ini. Artinya ada rasa terpaksa dan keengganan dalam melakukan pembayaran terhadap on yang diterima, karena gimu adalah suatu kewajiban moral yang mengikat.

2.3.3 GIRI

Giri adalah kebaikan. Dengan prinsip giri, seseorang akan membantu

temannya atau keluarganya semampunya. Sedangkan giri menurut benedict (1982:125) adalah kebaikan yang diberikan kepada orang lain, tetapi terkadang

giri menimbulkan beban yang sangat besar kepada penerimanya, merupakan

kewajiban yang dibayar dengan tepat sama dengan kebaikkan yang diterima, yang memiliki batas waktu pembayarannya. Giri akan muncul jika seseorang menerima

on atau budi baik seseorang yang kita terima.

2.3.4 NINJO

Ninjo adalah rasa kasih sayang. Dan prinsip ninjo, mengajarkan rasa

empati terhadap sesama dan lingkungannya. Dengan prinsip ini, seseorang akan merasa semua manusia adalah satu dan sama, di bawah perbedaan yang telah diatur oleh karma dan berkewajiban untuk menjaga kelestarian lingkunagan. Kemudian Ninjo merupakan suatu perbuatan yang tidak menuntut balas, atau benar-benar tulus dari dalam hati dan tidak melibatkan menjadi on. Ninjo merupakan perasaan kemanusiaan dan semua orang jepang mempercayai bahwa perasaan cinta, kasih sayang, belas kasihan dan simpati merupakan perasaan yang paling penting dalam menjaga hubungan dengan sesama manusia, yang merupakan perasaan dari hati terdalam dan tidak dibuat-buat karena adanya


(45)

kebaikan. Orang jepang selalu mengukur sesuatu atau berusaha mempertimbangkan segala sesuatu berdasarkan perasaan manusiawi.

2.4 Sikap-Sikap Kepribadian Moral

1. Kejujuran

Dasar setiap usaha untuk menjadi orang kuat secara moral adalah kejujuran. Tanpa kejujuran, kita sebagai manusia tidak dapat maju karena kita belum berani menjadi diri kita sendiri. Tidak jujur berarti tidak se-iya sekata dan itu berarti bahwa kita belum sanggup untuk mengambil sikap lurus. Orang yang tidak lurus, tidak memgambil dirinya sendiri sebagai titik tolak, melainkan apa yang diperkirakan akan diharapkan oleh orang lain.

Tanpa kejujuran, keutamaan moral lainnya akan kehilangan nilai. Bersikap baik terhadap orang lain, tetapi tanpa kejujuran, adalah kemunafikan.

Menurut Suseno (2010:142-143), bersikap jujur terhadap orang lain berarti dua: sikap terbuka dan juga sikap fair (wajar). Dengan terbuka, tidak dimaksud bahwa segala pertanyaan orang lain harus kita jawab dengan selengkapnya, atau bahwa orang lain berhak untuk mengetahui segala perasaan dan pikiran kita, melainkan yang dimaksud ialah bahwa kita selalu muncul sebagai diri kita sendiri, sesuai dengan keyakinan kita.

Selanjutnya, orang yang jujur harus bersikap fair (wajar) terhadap orang lain. Ia memperlakukannya menurut standart-standart yang diharapkannya akan dipergunakan orang lain terhadap dirinya. Ia menghormati hak orang lain, ia selalu akan memenuhi janji yang diberikan atau dikatakan, juga terhadap orang


(46)

yang tidak dalam posisi untuk menuntutnya. Ia tidak pernah akan bertindak bertentangan dengan suara hati atau keyakinannya.

2. Nilai-Nilai Otentik

Otentik berarti, kita menjadi diri kita sendiri. “Otentik” berarti asli.

Manusia otentik adalah manusia yang menghayati dan menunjukkan diri sesuai dengan keasliannya, dengan kepribadian yang sebenarnya.

3. Kesediaan Untuk Bertanggung Jawab

Kejujuran sebagai kualitas dasar kepribadian moral menjadi dasar dalam kesediaan untuk bertanggung jawab. Bertanggung jawab berarti suatu sikap terhadap tugas yang membebani kita, kita merasa terikat untuk menyelesaikannya.

Kita akan melaksanakannya dengan sebaik mungkin, meskipun dituntut pengorbanan atau kurang menguntungkan atau ditentang oleh orang lain. Tugas itu bukan sekedar masalah dimana kita berusaha untuk menyelamatkan diri tanpa menimbulkan kesan yang buruk, melainkan tugas itu kita rasakan sebagai sesuatu yang dimulai sekarang harus kita pelihara, kita selesaikan dengan baik. Merasa bertanggung jawab berarti, bahwa meskipun orang lain tidak melihat, kita tidak merasa puas sampai pekerjaan itu selesai.

Wawasan orang yang bersedia untuk bertanggung jawab secara prinsipal, tidak terbatas. Ia tidak membatasi perhatiannya pada apa yang menjadi urusan dan kewajibannya, melainkan merasa bertanggung jawab dimana saja ia berada. Ia bersedia untuk mengarahkan tenaga dan kemampuan ketika ia ditentang untuk


(47)

menyelamatkan sesuatu. Ia bersikap positif, kreatif, kritis dan objektif (Suseno, 2010:146).

Dan lagi, kesediaan untuk bertanggung jawab termasuk kesediaan untuk diminta dan untuk memberikan, pertanggung jawaban atas tindakan, atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya. Kalau ia ternyata lalai atau melakukan kesalahan, ia bersedia untuk dipersalahkan. Ia tidak pernah akan melempar tanggung jawab atas suatu kesalahan yang dilakukannya terhadap orang lain.

Kesediaan untuk bertanggung jawab adalah tanda kekuatan batin yang sudah matang.

4. Kemandirian Moral

Kemandirian moral berarti bahwa kita tidak tentu harus ikut dengan berbagai pandangan moral yang dimiliki oleh lingkungan kita, melainkan selalu membentuk penilaian atau pendirian sendiri dan bertindak sesuai dengan moral yang kita yakini.

Menurut Suseno (2010:147), kemandirian moral adalah kekuatan batin untuk mengambil sikap moral sendiri dan untuk bertindak sesuai dengannya. Mandiri secara moral berarti, bahwa kita tidak dapat dibeli oleh mayoritas, bahwa kita tidak akan pernah rukun hanya demi kebersamaan kalau kerukunan itu melanggar keadilan.

Sikap mandiri pada hakikatnya merupakan kemampuan untuk selalu membentuk penilaian sendiri terhadap suatu masalah moral.


(48)

5. Keberanian Moral

Keberanian moral menunjukkan diri dalam tekad tetap mempertahankan sikap yang telah diyakini sebagai kewajiban, sekalipun tidak disetujui atau secara aktif dilawan oleh lingkungan. Orang yang memiliki keutamaan itu tidak mundur dari tugas dan tanggung jawab, juga kalu ia mengisolasi diri, merasa malu, dicela, ditentang atau di ancam oleh banyak orang.

Keberanian moral adalah kesetiaan terhadap suara hati yang menyatakan diri dalam kesediaan untuk mengambil resiko konflik (Suseno, 2010:147)

Keberanian moral berarti, berpihak pada yang lemah dan melawan yang kuat, yang memperlakukan silemah dengan tidak adil. Orang yang berani secara moral akan membuat pengalaman yang menarik. Setiap kali ia berani mempertahankan sikap yang diyakini, ia merasa lebih kuat dan lebih berani, dalam arti ia semakin dapat mengatasi perasaan takut dan malu.

6. Kerendahan Hati

Keutamaan terakhir yang hakiki bagi kepribadian yang matang adalah kerendahan hati. Kerendahan hati tidak berarti bahwa kita merendahkan diri, melainkan bahwa kita melihat diri kita seadanya. Kerendahan hati adalah kekuatan batin untuk melihat diri sesuai dengan kenyataannya (Suseno, 2010:148). Orang yang rendah hati tidak hanya melihat kelemahannya, melainkan juga melihat kekuatannya.

Dalam bidang moral, kerendahan hati tidak hanya berarti bahwa kita sadar


(49)

kita untuk memberikan penilaian moral itu terbatas. Dengan rendah hati, kita benar-benar bersedia untuk memperhatikan dan menanggapi setiap pendapat lawan, bahkan untuk seperlunya, kita harus mengubah pendapat kita sendiri.

Kerendahan hati tidak bertentangan dengan keberanian moral. Tanpa kerendahan hati, keberanian moral mudah menjadi kesombongan, kita tidak rela memperhatikan orang lain, atau bahkan sebenarnya kita takut dan tidak berani membuka diri.

Orang yang rendah hati sering menunjukkan daya tahan yang paling besar, apabila benar-benar diberikan perlawanan. Orang yang rendah hati tidak merasa bahwa dirinya terlalu penting, karena keberanian akan datang apabila ia sudah yakin bahwa sikapnya telah memiliki nilai moral.

2.5 Definisi Novel

Abrams dalam Nurgiyantoro (1995:9), menyatakan bahwa novel berasal dari bahasa Italia yaitu Novella yang secara harifiah yang berarti sebuah barang baru yang kecil yang kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa.

Novel merupakan jenis dan genre prosa dalam karya sastra. Prosa dalam pengertian kesusastraan juga disebut fiksi. Karya fiksi menyarankan pada suatu karya sastra yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan terjadi sungguh-sungguh sehingga tidak perlu dicari kebenarannya pada dunia nyata (Nugiyantoro, 1995:2). Dan menurut Takeo dalam Pujiono (2002:3), novel merupakan sesuatu yang menggambarkan


(50)

Di antara genre utama karya sastra, yaitu puisi, prosa dan drama, genre prosalah, khususnya novel yang dianggap paling dominan dalam menampilkan unsur-unsur sosial. Alasan yang dapat ditemukan diantaranya:

1. Novel menampilkan unsur-unsur cerita paling lengkap, memiliki media yang paling luas, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan yang paling luas.

2. Bahasa novel cenderung merupakan bahasa sehari-hari, bahasa yang paling umum digunakan dalam masyarakat.

Karya-karya modern klasik dalam kesusastraan, kebanyakan berisi karya-karya novel. Novel merupakan bentuk karya-karya sastra yang paling populer di dunia. Bentuk sastra ini paling banyak beredar, lantaran daya komunikasinya yang luas pada masyarakat. Novel yang baik adalah novel yang isinya dapat memanusiakan para pembacanya. Banyak sastrawan yang memberikan batasan atau defenisi novel. Batasan atau definisi yang mereka berikan berbeda-beda karena sudut pandang yang mereka pergunakan juga berbeda-beda.

Beberapa pandangan yang berupaya menjabarkan definisi novel antara lain sebagai berikut:

1. Fielding dalam Atmaja (1986:44) mengatakan bahwa novel merupakan modifikasi dunia modern paling logis, dan merupakan kelanjutan dari dunia epik. Pernyataan ini tidak saja terbukti kebenarannya namun relevan untuk situasi kini, suatu masa dimana novelis tidak lagi menampilkan tokoh-tokoh hero di dalam karya sastra mereka, tetapi lebih banyak menampilkan segi-segi sosial dan psikologis di dalam permasalahan masyarakat biasa.


(51)

2. Wellek dan Warren (1995:282) novel adalah gambaran dari kehidupan dan perilaku yang nyata, dari zaman pada saat novel itu ditulis yang bersifat realistis dan mengacu pada realitas yang lebih tinggi dan psikologi yang lebih mendalam.

3. Jacob Sumardjo (1999:11-12) novel adalah genre sastra yang berupa cerita, mudah dibaca dan dicernakan, juga kebanyakan mengandung unsur suspense dalam alur ceritanya yang mudah menimbulkan sikap penasaran bagi pembacanya.

Setiap karya sastra fiksi (novel) mempunyai unsur-unsur yang mendukung, baik unsur dari dalam sastra itu sendiri (unsur intrinsik) ataupun unsur dari luar (unsur ekstrinsik) yang secara tidak langsung mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra.

2.5 Unsur-Unsur Pembangun Novel

Novel merupakan sebuah totalitas, suatu panduan bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai bagian-bagian atau unsur yang berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling menguntungkan. Sehingga dengan unsur-unsur tersebut keterpaduan sebuah novel akan terwujud. Unsur-unsur-unsur yang terkandung dalam novel adalah unsur instrinsik dan unsur ekstrinsik.

2.5.1 Unsur Instrinsik

Unsur instrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri atau dapat juga dikatakan unsur-unsur yang secara langsung membangun cerita. Adapun unsur pembentuk yang dibangun oleh unsur instrinsik sebagai berikut:


(52)

a. Tema

Tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi ciptaan karya sastra. Karena sastra merupakan refleksi kehidupan masyarakat, maka tema yang diungkapkan dalam karya sastra sangat beragam. Tema bisa berupa persoalan moral, etika, agama, sosial, budaya, teknologi, tradisi yang terkait erat dengan masalah kehidupan. Namun, tema bisa berupa pandangan pengarang, ide, atau keinginan pengarang yang mensiasati persoalan yang muncul.

Istilah tema menurut (Scharbach dalam Aminuddin, 2000:91) berasal dari bahasa latin yang berarti tempat meletakkan suatu perangkat. Disebut demikian karena tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya. Sebab itulah penyikapan terhadap tema yang diberikan pengarangnya dengan pembaca umumnya terbalik. Seorang pengarang hatus memahami tema cerita yang akan dipaparkan sebelum melaksanakan proses kreatif penciptaan, sementara pembaca baru dapat memahami tema bila mereka telah selesai memahami unsur-unsur signifikan yang menjadi media pemapar tema tersebut.

Sedangkan Brooks dalam Aminuddin (2000:92) mengungkapakan bahwa dalam mengapresiasikan tema suatu cerita, apresiator harus memahami ilmu-ilmu humanitas karena tema sebenarnya merupakan pendalaman dan hasil kontemplasi pengarang yang berkaitan dengan masalah kemanusiaan serta masalah lain yang bersifat universal. Tema dalam hal ini tidaklah berada di luar cerita, tetapi inklusif di dalamnya. Akan tetapi, keberadaan tema meskipun inklusif di dalam cerita


(53)

tidaklah terumus dalam satu dua kalimat secara tersurat, tetapi tersebar di balik keseluruhan unsur-unsur signifikan atau media pemapar prosa fiksi. Dalam upaya memahami tema, pembaca perlu memperhatikan langkah berikut secara cermat: 1. Memahami setting dalam prosa fiksi yang dibaca.

2. Memahami penokohan dan perwatakan para pelaku dalam prosa fiksi yang dibaca.

3. Memahami satuan peristiwa, pokok pikiran serta tahapan peristiwa dalam prosa fiksi yang dibaca.

4. Memhami plot atau alur cerita dalam prosa fiksi yang dibaca.

5. Menghubungkan pokok-pokok pikiran yang satu dengan lainnya yang disimpulkan dari satuan-satuan peristiwa yang tepapar dalam suatu cerita. 6. Menentukan sikap penyair terhadap pokok-pokok pikiran yang

ditampilkannya.

7. Mengidentifikasi tujuan pengarang memaparkan ceritanya dengan bertolak dari satuan pokok pikiran serta sikap penyair terhadap pokok pikiran yang ditampilkannya.

8. Menafsirkan tema dalam cerita yang dibaca serta menyimpulkannya dalam satu dua kalimat yang diharapkan merupakan ide dasar cerita yang dipaparkan pengarangnya.


(54)

b. Plot/ Alur Cerita

Salah satu elemen terpenting dalam membentuk karya fiksi adalah plot. Dalam analisis cerita plot sering juga deisebut dengan alur. Alur atau plot pada karya sastra pada umumnya adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihardirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Tahapan peristiwa yang menjalin suatu cerita bisa terbentuk dalam rangkaian peristiwa yang berbagai macam (Aminuddin, 2000:83).

Menurut Suroto (1989:89), alur atu plot ialah jalan cerita yang berupa peristiwa-peristiwa yang disusun satu persatu dan saling berkaitan menurut sebab akibat dari awal sampai akhir ceritaa. Dari pengertian tersebut jelah bahwa setiap cerita tidak berdiri sendiri.

Dalam cerita fiksi atau cerpen urutan peristiwa dapat beraneka ragam. Montage dan Henshaw dalam Aminuddin (2000:84) menjelaskan bahwa tahapan peristiwa dalam plot suatu cerita dapat tersusun dalam tahapan-tahapan sebagai berikut:

- Exposition : yakni tahap awal yang berisi penjelasan tentang tempat terjadinya peristiwa serta perkenalan dari setiap pelaku yang mendukung cerita.

- Inciting force: yakni tahap ketika timbul kekuatan, kehendak maupun perilaku yang bertentangan dari pelaku.

- Rising action : yakni situasi panas karena pelaku-pelaku dalm cerita mulai berkonflik.

- Crisis: yakni situasi semakin panas dan para pelaku sudah diberi gambaran nasib oleh pengarangnya.


(55)

- Climax: yakni situasi puncak ketika konflik berada dalam kadar yang paling tinggi hingga para pelaku itu mendapatkan kadar nasibnya sendiri-sendiri.

- Falling action: yakni kadar konflik sudah menurun sehingga ketegangan dalam cerita sudah mulai mereda sampai menuju conclusion atau penyelesaian cerita.

Dalam pengertiannya elemen plot hanyalah didasarkan pada paparan mulai peristiwa, berkembangnya peristiwa yang mengarah pada konflik yang memuncak, dan penyelesaian terhadap konflik.

Berdasarkan fungsi plot dalam membangun nila estetik cerita, makan identifikasi dan penilaian terhadap keberadaan plot menjadi sangat beraneka ragam. Keberagaman tersebut paling tidak dapat dilihat dari tiga prinsip utama analisis plot yang meliputi:

1. Plots of action, analisis proses perubahan peristiwa secara lengkap, baik

muncul secara bertahap maupun tiba-tiba pada situasi yang dihadapi tokoh utama, dan sejauh mana urutan peristiwa yang dianggap sudah tertulis itu, berpengaruh terhadap perilaku dan pemikiran tokoh ytang bersangkutan dalam menghadapi situasi tersebut.

2. Plots of character, proses perubahan perilaku atau moralitas secara lengkap

dari tokoh utama kaitannya dengan tindakan emosi dan perasaan.

3. Plots of thought, proses perubahan secara lengkap kaitannya dengan

perubahan pemikiran tokoh utama dengan segala konsukuensinya berdasarkan kondisi yang secara langsung dihadapi.


(56)

Perubahan perilaku, moral, pemikiran atau pandangan, dan konflik-konflik yang dialami oleh tokoh cerita serta peristiwa-peristiwa yang muncul memang seharusnya dijalani oleh para tokohnya. Dalam plots of action terjadi pada perilau yang ingin mengabdi dan membela klannya dari musuh. Plots of character fokus utama terjadinaya perubahan moral, karakter atau emosi tokoh cerita. untuk mengetahui jalinan plots of character adalah dengan menganalisis setiap perubahan perilaku atau emosi dari tokoh. Pada plot of thought, penekanan utama yang menyebabkan perubahan emosi atau perasaan tokoh didasari pada situasi yang dihadapi secara langsung.

c. Tokoh

Tokoh dalam karya fiksi tidak hanya berfungsi untuk memainkan cerita, tetapi juga berperan untuk menyampaikan ide, motif, plot, dan tema, dan menempati posisi strategis sebagai pembawa dan menyampaikan pesan, amanat, moral atau sesuatu yang sengaja aingin disampaikan kepada pembaca (Fananie,

2001: 86). Istilah “tokoh‟ menunjukkan pada orangnya, pelaku cerita. penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. tokoh cerita (character), menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (1995:165), adalah orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama, yang oleh pembaca ditafssirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

Boultoun dalam Aminuddin (2000:79) mengungkapkan bahwa cara pengarang menggambarkan atau memunculkan tokoh sebagai pelaku yang hidup


(57)

di alam mimpi, pelaku yang memiliki semangat perjuangan dalam mempertahankan hidupnya. Pelaku yang memiliki cara sesuai dengan kehidupan manusia yang sebenarnya maupun pelaku egois, kacau, dan mementingkan diri sendiri. Dalam cerita fiksi pelaku itu dapat berupa manusia atau tokoh makhluk lain yang diberi sifat seperti manusia. Dalam menentukan tokoh utama dan tokoh pembantu, yang pada umunya merupakan tokoh yang sering dibicarakan oleh pengarang, sedangkan tokoh tambahan hanya dibicarakan alakadarnya.

Tokoh peristiwa dan tempat yang disebut-sebut dalam fiksi adalah tokoh, peristiwa, dan tempat yang bersifat imajiner. Walau bersifat imajiner namun ada juga karya fiksi atau novel yang berdasarkan diri pada fakta. Karya fiksi yang demikian oleh Abrams dalam Nurgiyantoro (1995:4) digolongkan sebagai fiksi nonfiksi (nonfiction fiction), yang terbagi atas (1) fiksi historial (historical fiction) atau novel historis, jika yang menjadi dasar penulisan fakta sejarah; (2) fiksi biografis (biographical fiction) atau novel biografis; jika yang menjadi dasar penulisan fakta biografis dan; (3) fiksi sains (science fiction) atau novel sains; jika yang menjadi dasar penulisannya fakta ilmu pengetahuan. dilihat dari penggolongannya, maka penulis memasukkan novel “Uesugi Kenshin, yang

merupakan objek penelitian ini, ke dalam novel historis karena terikat oleh fakta-fakta yang dikumpulkan melalui penelitian dari berbagi sumber.

d. Sudut pandang

Menurut Aminuddin (2000:90) sudut pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkanya. Cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan,


(58)

latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk sebuah cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.

Dengan demikian sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, Teknik, siasat yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan ceritanya.

e. Gaya bahasa

Gaya bahasa merupakan tingkah laku pengarang dalam menggunakan bahasa dalam membuat karyanya. Gaya bahasa yang digunakan pengarang berbeda satu sama lain. hal ini dapat menjadi sebuah ciri khas seorang pengarang.

f. Amanat

Amanat merupakan pesan moral atau hikmah yang ingin disampaikan pengarang pada pembacanya. Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran dan hal itulah yang ingin disampaikan pada pembacanya.

2.5.2 Unsur Ekstrinsik

Unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar karya sastra itu sendiri. Unsur ekstrinsik adalah unsur luar sastra yang ikut mempengaruhi penciptaan kaarya sastra. Unsur tersebut meliputi latar belakang pengarang, keyakinan dan pandangan hidup pengarang, adat istiadat yang berlaku, situasi politik, persoalan sejarah, ekonomi dan pengetahuan agama. Unsur ekstrinsik untuk tiap karya sastra sama, unsur ini mencakup berbagai aspek kehidupan sosial yang tampaknya menjadi latar belakang penyampaian amanat cerita dan tema. Selain unsur-unsur


(59)

kehidupan pengarang pun cukup besar pengaruhnya terhadaap terciptanya suatu karya sastra.

2.6 Setting Cerita

Menurut Brook dalam Simanjuntak (2011:34), latar adalah latar belakang fisik, unsur tempat dan ruang di dalam cerita. Wellek dan Werren dalam Syafitri (2012:35) juga mengemukakan bahwa latar adalah lingkungan alam sekitar, terutama lingkungan dalam yang dipandang sebagai pengekspresian watak secara metominik dan metafori.

Hudson dalam Syafitri (2012:36) membagi setting/latar cerita atas latar fisik (material) dan latar sosial. Yang termasuk latar fisik adalah latar yang berupa benda-benda fisik seperti bangunan rumah, kamar, perabotan, daerah, dan sebagainya. Latar sosial meliputi pelukisan keadaan sosial budaya, sosial masyarakat; seperti adat istiasat, cara hidup, bahasa kelompok sosial, dan sikap hidupnya yang melewati cerita.

Tentu latar membantu kejelasan jalan cerita, sehingga dalam membahas setting/latar cerita dalam novel ini, penulis akan menjelasankan latar tempat dan latar waktu sebagai berikut:

1. Latar Tempat

Latar tempat menjelaskan pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya sastra. Unsur-unsur yang digunakan berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, ataupun lokasi tanpa nama yang jelas.

Dalam novel Uesugi Kenshin, mengangkat tema daimyo, sebagian besar mengambil setting di wilayah dataran tinggi, desa dan sebagainya. Adapun


(60)

beberapa latar tempat terjadinya peristiwa dalam novel Uesugi Kenshin adalah sebagai berikut;

1. Kastel Umayabashi

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: “Mereka sedang berada di Kastel Umayabashi” ( Halaman 6 )

2. Kastel Toyama

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: “Pada tahun lalu Kenshin mengarahkan pasukan ke Ecchu untuk menghancurkan klan Jimbo di Kastel Toyama” ( Halaman 9 )

3. Dusun Ikushina

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut : “Sejak datang ke Joshu, Kenshi sudah dua kali ke Ikushina untuk mengadakan upacara peringatan Nitta Yoshida ( Halaman 14 )

4. Kyoto

Hal ini terlihat jelas pada kalimat: “Kenshi sudah berkunjung ke Kyoto saat dia masih berusia muda pada tahun kedua puluh dua era Tenbun (1554 M )” ( Halaman 17 )

5. Kastel Odawara

Hal ini dapat terlihat jelas pada kalimat berikut: “Setelah semuanya siap, pasukan Kanto kenrei yang merupakan gabungan pasukan Jomo dan Boso dibawah pimpinan Kenshin bergerak menuju Kastel Odawara dengan tuduhan atas kesalahan Hojo Ujiyasu” ( Halaman 23 ) 6. Kastel Warigadake


(1)

ANALISIS MORALITAS KESETIAAN TOKOH UTAMA

NOVEL UESUGI KENSHIN KARYA EIJI YOSHIKAWA

Eiji Yoshikawa no Sakuhin Uesugi Kenshin To Iu Shousetsu No

Shujinkou No Chuusei No Doutoku No Bunseki

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi persyaratan

mengikuti ujian sarjana dalam bidang ilmu Sastra Jepang

Disusun Oleh: DASRIL 090708001

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(2)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil „Alamin, puji dan syukur penulis ucapkan

kehadiran Allah SWT yang telah memberikan rahmat beserta karunianya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Moralitas Kesetiaan Tokoh Utama Novel “Uesugi Kenshin” Karya Eiji Yoshikawa”, disusun untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar kesarjanaan Fakultas Ilmu Budaya

Departemen Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penyelesaian study dan juga penyelesaian skripsi ini, mulai dari pengajuan proposal penelitian, pelaksanaan, sampai penyusunan skripsi ini, antara lain kepada:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum, selaku Ketua Departemen Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Muhammad Pujiono, S.S, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I, yang telah banyak memberikan bimbingan dan saran-saran kepada penulis sejak awal sampai dengan selesainya penulisan skripsi ini.

4. Bapak Prof. Hamzon Situmorang, M.S,Ph.D, selaku Dosen Pembimbing Akademik, dan juga selaku Dosen Pembimbing II, yang telah banyak menyisihkan waktu, pikiran, dan masukan-masukan selama dalam penulisan skripsi ini.


(3)

5. Seluruh staff pengajar Departemen Sastra Jepang, yang telah banyak memberikan penulis banyak masukan dan ilmu. Mulai dari tahun pertama hingga akhirnya dapat menyelesaikan perkuliahan dengan baik. Semoga semua ilmu yang diberikan bermanfaat bagi banyak orang.

6. Dosen Penguji Ujian Seminar Proposal dan Penguji Ujian Skripsi, yang telah menyediakan waktu untuk membaca dan menguji skripsi ini.

7. Teristimewa sekali, penulis sampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada ayah, Amril, dan ibu, Yusminar, yang sangat penulis sayangi, untuk semua kasih sayang, doa, kesabaran, moril, dukungan semangat, keringat, air mata, serta dukungan materil yang tidak terhingga, demi kebahagiaan, pendidikan, serta keberhasilan anak-anaknya. Semoga Allah senantiasa memberikan kesehatan, rezeki, dan umur panjang sehingga senantiasa penulis akan dapat membahagiakan dan membalas semua kebaikan ayah dan ibu. Juga kepada abang dan kakak penulis, yang telah banyak memberikan moral, serta dukungan semangat. Juga nenek penulis yang selalu memberi dukungan moril dan materil. Buat seseorang yang selalu mendukung, memberikan dorongan moral dan semangat, serta materil. Terimakasih atas semua dukungannya.

8. Teman-teman : Doni, Marko, Naufal, Ody, Fauzan, Riko dan Nugraha, yang selalu menemani penulis dalam suka dan duka selama dalam perkuliahan. Juga rekan-rekan Mahasiswa Sastra Jepang 2009, Mitta, Ica, Cristina, Tirta, Ella dan yang lainnya, terimakasih dukungan semangat, dan masukannya. Semoga persahabatan kita tidak akan pernah putus.


(4)

9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, penulis ucapkan terimakasih banyak.

Penulis berupaya semaksimal mungkin dalam penyelesaian skripsi ini. Namun masih banyak kesalahan, baik dari segi isi maupun tata bahasa, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi peraikan dan penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca.

Medan, 2013

Penulis,


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI iv

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1

1.2 Perumusan Masalah 9

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan 11

1.4 Tinjauan Pustata dan Kerangka Teori 12

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 18

1.6 Metode Penelitian 19

BAB II. TINJAUAN UMUM TERHADAP MORAL, MORAL BUSHIDO DAN KOMIK 2.1 Defenisi Moral 21

2.2 Prinsip-Prinsip Dasar Moral 22

2.3 Moral jepang 25

2.4 Sikap-sikap Kepribadian Moral 27

2.5 Definisi Novel 31

2.6 Setting Cerita Uesugi Kenshin 41


(6)

BAB III. ANALISIS MORALITAS KESETIAAN BERTINGKAT YANG DIUNGKAPKAN DALAM NOVEL UESUGI KENSHIN

3.1 Sinopsis Cerita Uesugi Kenshin 48

3.2 Analisis Cerita Uesugi Kenshin 50

3.2.1 Moral Kesetiaan Shogun Kepada Kaisar 50

3.2.2 Moral Kesetian Daimyo kepada Shogun 57

3.2.3 Moral Kesetian Rakyat Biasa Kepada Daimyo 63

3.2.4 Moral Kesetian Seluruh Masyarakat Jepang Kepada Kaisar 71

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan 59

4.2 Saran 61

DAFTAR PUSTAKA ABSTRAK