Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.
USU Repository © 2009
1 Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, maka setiap perkawinan itu harus dicatat.
2 Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat 1, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam Undang-undang No 22 Tahun 1946
jo Undang-undang No 32 Tahun 1954 . Dan dalam Pasal 6 KHI, disebutkan bahwa:
1 Untuk memenuhi ketentuan Pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di
hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah 2
Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Jika dilihat dalam ketentuan Pasal 5 dan Pasal 6 KHI, ternyata unsur sah dan unsur tata cara pencatatan diberlakukan secara kumulatif, bahkan dalam Pasal 7 ayat 1
KHI dikatakan bahwa perkawinan bagi orang yang menikah menurut hukum Islam hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah PPN,
dengan berdasarkan ketentuan-ketentuan Pasal-pasal di atas, maka sudah jelas KHI menyatakan bahwa unsur pencatatan menjadi syarat sahnya suatu perkawinan.
93
B. Akibat Hukum Perkawinan Tanpa Akta Nikah Ditinjau dari Undang-undang
No 1 Tahun 1974.
Sebelum melihat bagaimana akibat hukum dari suatu perkawinan tanpa akta nikah menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974, maka ada baiknya jika terlebih dahulu
mengetahui akibat hukum dari suatu perkawinan yang sah menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974, yang dapat dijadikan sebagai perbandingan, yaitu antara lain:
93
Mimbar Hukum No 62 Tahun XIV 2003, hlm 67.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.
USU Repository © 2009
1. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat Pasal 31 ayat 1.
2. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum Pasal 31 ayat 2.
3. Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga Pasal 31 ayat 3.
4. Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap, rumah tempat kediaman
yang dimaksud ditentukan oleh suami istri bersama Pasal 32. 5.
Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya Pasal 34 ayat 1
6. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan
gugatan ke pengadilan Pasal 34 ayat 3. 7.
Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama Pasal 35 ayat 1.
8. Mengenai harta bersama, suami istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah
pihak Pasal 36 ayat 1. 9.
Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu menjadi anak yang sah Pasal 42 10.
Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebail-baiknya Pasal 45 ayat 1.
Suatu perbuatan nikah atau kawin baru dapat dikatakan perbuatan hukum menurut hukum apabila dilakukan menurut ketentuan hukum positif. Ketentuan hukum
yang mengatur mengenai tata cara perkawinan yang dibenarkan oleh hukum adalah seperti yang diatur dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat 1 yaitu
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.
USU Repository © 2009
kepercayaannya itu, dan pada Pasal 2 ayat 2 yang menyebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Apabila dilihat dari teori hukum, suatu tindakan yang dilakukan menurut hukum baru dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum, dan oleh karena itu maka berakibat
hukum yaitu akibat dari perbuatan itu mendapat pengakuan dan perlindungan hukum. Sebaliknya suatu tindakan yang dilakukan tidak menurut aturan hukum, maka tidak dapat
dikatakan sebagai perbuatan hukum sekalipun tindakan itu tidak melawan hukum, dan karenanya sama sekali belum mempunyai akibat hukum yang diakui dan dilindungi oleh
hukum.
94
1. Makna historik Undang-undang No 1 Tahun 1974 akan tidak efektif sehingga tujuan
dari lahirnya Undang-undang Perkawinan tersebut tidak akan tercapai. Maka dengan demikian pengorbanan bangsa dan negara untuk lahirnya Undang-Undang
Perkawinan akan menjadi sia-sia. Oleh karena perkawinan di bawah tangan dianggap sebagai perkawinan yang
tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan seperti yang diatur dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974, maka perkawinan di bawah tangan tersebut belum dapat dikatakan sebagai
perbuatan hukum, sehingga perkawinan tersebut tidak mempunyai akibat hukum yang dapat diakui dan dilindungi oleh hukum. Namun, walaupun demikian penulis akan
memaparkan dampak dari perkawinan tanpa akta nikah, yaitu sebagai berikut:
2. Tujuan normatif dari pencatatan perkawinan tidak terpenuhi seperti yang dikehendaki
oleh Undang-undang No 1 Tahun 1974 Pasal 2, sehingga akan menciptakan kondisi ketidakteraturan di dalam mekanisme kependudukan.
94
Mimbar Hukum, No 23 Tahun VI 1995, hlm 47-48.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.
USU Repository © 2009
3. Naik turunnya jumlah penduduk dan pengaturan umur kawin atau angka kelahiran
tidak akan dapat terkendali dan pada akhirnya akan berulang kembali ketimpangan antara pertumbuhan jumlah penduduk dengan mekanisme konsumsi nasional.
4. Masyarakat pada umumnya terutama masyarakat Islam dipandang tidak lagi
memperdulikan kehidupan bangsa dan kenegaraan dalam bidang hukum yang pada akhirnya akan sampai pada anggapan bahwa pelaksanaan ajaran agama Islam tidak
memerlukan keterlibatan negara. 5.
Dampak no 4 di atas akan berpengaruh pada kalangan elite agama Islam sehingga mudah dijumpai perkawinan di bawah tangan yang hanya memperdulikan unsur
agama dibandingkan dengan unsur tata cara pencatatan nikah seperti yang diatur dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974.
6. Apabila terjadi wanprestasi terhadap perkawinan maka peluang untuk putusnya
perkawinan akan terbuka secara bebas. Kondisi seperti ini akan berakhir tanpa keterlibatan prosedur hukum sebagai akibat langsung dari pemenuhan pelaksanaan
unsur tata cara pelaksanaan perkawinan. 7.
Apabila perkawinan di bawah tangan terjadi maka secara hukum hanya dapat diikuti dengan perceraian di bawah tangan juga.
95
Apabila dampak perkawinan di bawah tangan ditinjau dari para pelaku perkawinan tersebut, maka dampak yang akan terjadi dari perkawinan tersebut adalah
sebagai berikut: 1.
Terhadap Istri
95
Ibid, hlm 50.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.
USU Repository © 2009
Secara hukum, istri dari perkawinan di bawah tangan dianggap tidak sah, sebab perkawinan yang mereka lakukan tidak sah menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974,
istri juga tidak berhak atas nafkah dan warisan dari si suami jika ia meninggal dunia dan tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perceraian, karena secara hukum perkawinan
mereka dianggap tidak pernah terjadi. 2.
Terhadap Suami Hampir tidak ada dampak yang mengkhawatirkan dan merugikan bagi si suami yang
melakukan perkawinan di bawah tangan. Yang terjadi justru menguntungkannya, karena suami bebas menikah lagi, sebab perkawinan sebelumnya yang di bawah tangan dianggap
tidak sah menurut hukum, sehingga ia bisa berkelit dan menghindar dari kewajibannya untuk memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya.
3. Terhadap Anak
Tidak sahnya perkawinan di bawah tangan menurut hukum, memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan, yaitu anak tersebut dianggap sebagai anak tidak sah,
seperti yang dijelaskan dalam Pasal 42 Undang-undang No 1 Tahun 1974 bahwa: ” Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah”. Begitu juga dalam Pasal 99 KHI yang menyebutkan hal yang sama dengan Pasal 42
Undang-undang No 1 Tahun 1974 tersebut, sehingga anak tersebut hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya Pasal 43 ayat 1 Undang-undang No
1 Tahun 1974. Artinya si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya.
96
96
www.gtzggpas.or.idnewsmcart280306.htm.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.
USU Repository © 2009
Di dalam akte kelahirannya pun statusnya dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga yang dicantumkan hanya nama ibu yang melahirkannya. Keterangan berupa
status sebagai anak luar nikah dan tidak dicantumkannya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam terhadap psikologis si anak. Ketidakjelasan status anak menurut
hukum, mengakibatkan hubungan anak dengan si ayah tidak kuat, sehingga suatu waktu si ayah dapat menyangkal bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya.
C. Akibat Hukum Perkawinan Tanpa Akta Nikah Ditinjau dari Ketentuan Hukum