Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.
USU Repository © 2009
”Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan kepada orang lain”.
Pasal 29 KHI yaitu: 1
Yang berhak mengucapkan kabul adalah calon mempelai pria secara pribadi. 2
Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberikan kuasa yang tegas secara
tertulis.
3 Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai
diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.
BAB III KETENTUAN UMUM TERHADAP PERKAWINAN TANPA AKTA NIKAH
F. Pengertian Perkawinan dan Akta Nikah
a. Pengertian perkawinan
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.
USU Repository © 2009
Kata pernikahan berasal dari bahasa Arab: nikah, yang berarti ”pengumpulan” atau ”berjalinnya sesuatu dengan sesuatu yang lain”. Adapun dalam istilah hukum
syariat, nikah adalah akad yang menghalalkan pergaulan sebagai suami-istri termasuk hubungan seksual antara seorang laki-laki dan seorang perempuan bukan mahram yang
memenuhi persyaratan tertentu, dan menetapkan hak dan kewajiban masing-masing demi membangun keluarga yang sehat secara lahir dan bathin. Kata lain yang biasa digunakan
untuk nikah adalah zawaj yang berarti perkawinan.
61
Sementara menurut KHI, perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholidzan
Menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorag pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
kelurga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Pasal 1.
62
Sedangkan Hazairin, dalam bukunya Hukum Kekeluargaan Nasional mengatakan bahwa inti perkawinan itu adalah hubungan seksual. Menurut beliau tidak ada nikah
perkawinan bilamana tidak ada hubungan seksual. Beliau mengambil tamsil bahwa bila tidak ada hubungan seksual antara suami istri, maka tidak perlu ada tenggang waktu
menunggu iddah untuk menikahi lagi mantan istri tersebut dengan laki-laki lain. untuk mentaati perintah Allah
dan melaksanakannya merupakan ibadah Pasal 2.
63
61
Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Pendapat Para Ulama, Penerbit Mizan, Bandung, 2002, hlm 3-4.
62
Kata Miitsaqan Ghalidan ditarik dari firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ ayat 21 yang artinya: “Bagaimana kamu akan mengambil mahar yang telah kamu berikan pada istrimu, padahal sebagian kamu
telah bergaul bercampur dengan yang lain sebagai suami istri. Dan mereka istri-istrimu telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat Miitsaqan Ghalidhan
63
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 2004, hlm 2.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.
USU Repository © 2009
Rumusan pengertian perkawinan dalam Pasal 1 Undang-undang No 1 Tahun 1974 bukan saja memuat pengertian atau arti perkawinan itu sendiri, tetapi juga mencantumkan
tujuan dan dasar perkawinan. Pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, sedangkan tujuannya adalah
untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal yang didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa atau jika dihubungkan dengan Pasal 2 ayat 1 Undang-
undang No 1 Tahun 1974 adalah didasarkan kepada hukum agamanya atau kepercayaan agamanya masing-masing.
64
Berbeda dengan Kompilasi Hukum Islam yang secara spesifik meletakkan perkawinan itu sebagai salah satu ibadah yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah Pasal 2 dan 3. Dengan demikian, bila dibandingkan dengan pengertian dan tujuan perkawinan yang dirumuskan dalam
Pasal 1 Undang-undang No 1 Tahun 1974, pengertian dan tujuan perkawinan yang dirumuskan dalam Kompilasi Huku m Islam ini lebih lengkap.
65
Dengan ikatan lahir batin dimaksudkan bahwa perkawinan tidak hanya cukup dengan adanya ikatan lahir atau ikatan batin saja, tetapi harus kedua-duanya. Sebagai
ikatan lahir, perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Ikatan lahir ini merupakan hubungan
formal yang sifatnya nyata yang terjadi dengan adanya upacara perkawinan, yaitu dengan mengucapkan akad nikah bagi yang beragama Islam. Sedangkan ikatan batin merupakan
hubungan yang tidak formal, yaitu suatu ikatan yang tidak dapat dilihat yang merupakan
64
Rachmadi Usman, Op. Cit., hlm 268.
65
Ibid, hlm 268.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.
USU Repository © 2009
pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri, yang pada tahap
permulaan ikatan batin ini diawali dan ditandai dengan adanya persetujuan dari calon mempelai untuk melangsungkan perkawinan. Selanjutnya dalam hidup bersama ikatan
batin ini tercermin dengan adanya kerukunan suami istri yang bersangkutan. Terjalinnya ikatan lahir dan ikatan batin merupakan dasar utama dalam membentuk dan membina
keluarga bahagia dan kekal.
66
b. Pengertian akta nikah
Sesaat setelah dilangsungkan perkawinan menurut masing-masing hukum agama dan kepercayaan, maka kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah
disiapkan oleh Pegawai Pencatat Nikah berdasarkan ketentuan yang berlaku. Akta nikah itu juga ditandatangani oleh kedua orang saksi dan Pegawai Pencatat Nikah yang
menghadiri perkawinan, dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya. Dengan
penandatanganan akta perkawinan tersebut maka perkawinan itu telah tercatat secara resmi.
67
66
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1975, hlm 14.
67
Prof. H. Hilman Hadikusuma, Op. Cit., hlm 92.
Menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974, perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut Pasal 2 ayat 1 yaitu perkawinan yang dilakukan
menurut agama dan kepercayaannya masing-masing dan Pasal 2 ayat 2 yaitu dilakukan pencatatan sesuai dengan peraturan Perundang-undangan yang berlaku yang disebut
dengan ” Surat Akta ”.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.
USU Repository © 2009
Surat akta adalah suatu tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan sesuatu hal atau peristiwa, karenanya suatu akta harus selalu ditandatangani. Adapun
syarat-syarat yang harus dipenuhi supaya suatu surat akta dapat disebut sebagai akta adalah:
a. Surat itu harus ditandatangani;
b. Surat itu harus memuat peristiwa yang menjadi dasar dari suatu hak atau
perikatan; c.
Surat itu diperuntukkan sebagai alat bukti.
68
Surat akta dapat dibagi dua, yaitu: 1.
Akta resmi Autentik adalah suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum menurut undang-undang ditegaskan untuk membuat surat akta
tersebut. 2.
Akta di bawah tangan adalah tiap akta yang tidak dibuat oleh atau dengan perantaraan seorang pejabat umum.
Suatu akta resmi Autentik menurut undang-undang mempunyai suatu kekuatan pembuktian yang sempurna, artinya apabila suatu pihak menerimanya dan menganggap
apa yang telah dituliskan dalam akta itu sungguh-sungguh telah terjadi, sehingga hakim itu tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian lagi.
69
1. sebagai satu-satunya alat bukti yang mempunyai arti mutlak.
Sebagai alat bukti, maka akta perkawinan mempunyai tiga sifat, yaitu:
2. sebagai alat bukti penuh, artinya disamping akta perkawinan itu, tidak dapat
dimintakan alat-alat bukt i lain.
68
Viktor M Situmorang dan Cormentya Sitanggang, Aspek Hukum Catatan Sipil di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1991, hlm. 52.
69
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Inter Masa, Jakarta, 1980, hlm 178.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.
USU Repository © 2009
3. sebagai alat bukti yang bersifat memaksa, sehingga bukti perlawanannya tidak
dapat melemahkan akta perkawinan itu.
70
Menurut Masjfuk Zuhdi akta nikah itu adalah: ”sebagai bukti autentik sahnya suatu perkawinan seseorang, adalah sangat
bermanfaat dan mashlahat bagi diri dan keluarganya istri dan anak-anaknya untuk menolak kemungkinan di kemudian hari adanya pengingkaran atas
perkawinannya dan akibat hukum dari perkawinan itu harta bersama dalam perkawinan dan hak-hak perkawinan dan juga untuk melindungi dari fitnah dan
tuduhan zina, maka jelaslah bahwa pencatatan nikah untuk mendapatkan akta tersebut sangat penting”.
71
1. Nama, tempat dan tanggal lahir, agamakepercayaan, pekerjaan dan tempat
kediaman dari suami dan istri, dan apabila salah seorang atau kedua-duanya pernah kawin , disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu, orang tua
mereka; Dari pengertian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa akta itu merupakan surat keterangan tanda bukti kebenaran sesuatu yang ditandatangani oleh pihak yang berkepentingan dan disahkan oleh pejabat yang
berwenang terhadap akta tersebut. Berdasarkan Pasal 12 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975, tentang
Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan, Lembaran Negara Tahun 1975 Nomor 12, disebutkan bahwa akta perkawinan adalah sebuah daftar besar yang memuat antara lain
sebagai berikut:
2. Nama, agamakepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman orang tua mereka;
3. Izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat 2, 3, 4, dan 5 Undang-
Undang; 4.
Dispensasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat 2 Undang-Undang; 5.
Izin Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 Undang-Undang; 6.
Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat 1 Undang-Undang; 7.
Izin dari pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HankamPangab bagi anggota angkatan bersenjata;
8. Perjanjian perkawinan bila ada;
70
Soetojo Prawiro Hamidjojo dan Azis Sofiodin, Hukum Orang dan Keluarga, Alumni, Bandung, 1979, hlm 59.
71
Mimbar Hukum, No. 62 Tahun XIV 2003, hlm 68.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.
USU Repository © 2009
9. Nama, umur agamakepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman para saksi dan
wali nikah bagi yang beragama Islam; 10.
Nama, umur, agamakepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.
Akta perkawinan itu oleh Pejabat Pencatat Nikah dibuat dalam rangkap 2 dua. Helai pertama disimpan di kantor pencatatan Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan
Sipil, sedangkan helai kedua dikirim ke pengadilan yang daerah hukumnya mewilayahi Kantor Pencatatan tersebut. Hal ini untuk memudahkan pemeriksaan oleh pengadilan bila
dikemudian hari terjadi talak atau gugatan perceraian. Sebab undang-undang menentukan bahwa cerai hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, sedang cerai gugatan
harus dengan putusan pengadilan. Sedangkan kepada suami istri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan yang disebut dengan Buku Nikah dengan isi yang
sama. Dalam kutipan ini tentu saja tidak dimuat semua catatan yang terdapat dalam Akta Nikah itu sendiri, melainkan hanya beberapa catatan umum yang dipandang perlu, yaitu
bagi seorang laki-laki dimuat tentang nama lengkap dan aliasnya, bin, tanggal lahir umur, tempat lahir, agama, pekerjaan, tempat tinggal, tanda-tanda istimewa, jejaka,
duda atau beristri. Sedangkan bagi seorang perempuan kutipan tersebut hanya memuat tentang nama lengkap dan aliasnya, binti, tanggal lahir umur, tempat lahir, agama,
pekerjaan, tempat tinggal, tanda-tanda istimewa, perawan atau janda. Dan yang menjadi wali nikah hanya memuat nama lengkap dan aliasnya, bin, tanggal lahir umur,
pekerjaan, agama, tempat tinggal, dan apa hubungannya wali apa.
72
Perlu diketahui bahwa pemerintah melarang adanya akta perkawinan yang tidak sah, misalnya surat kawin khusus yang dikeluarkan oleh ”aliran kepercayaan”.
72
Mohd. Idris Ramulyo, Op. Cit., hlm 182.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.
USU Repository © 2009
Sebagaimana dinyatakan dalam Surat Menteri Agama tanggal 18 Oktober 1978 nomor B. IV112151978 kepada para GubernurKepala Daerah Tingkat I di seluruh Indonesia,
antara lain menyebutkan: ” Ketetapan MPR RI No. IVMPR1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara
GBHN telah menegaskan bahwa kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak merupakan agama dan pembinaannya tidak menggarah kepada pembentukan
agama baru”...”. Berdasarkan hal-hal yang tersebut di atas dan mengingat pula masalah penyebutan agama, perkawinan, sumpah, penguburan zenazah adalah
menyangkut keyakinan agama, maka dalam Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila tidak mengenal adanya tata cara perkawinan, sumpah dan
penguburan jenazah menurut aliran kepercayaan dan tidak dikenal pula adanya penyebutan ”Aliran Kepercayaan” sebagai ”Agama” baik dalam Kartu Tanda
Penduduk KTP dan lain-lain”... . Kemudian dalam Surat Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor Kep-
089J.A91978 tentang larangan pengedaranpenggunaan Surat kawin yang dikeluarkan oleh Yayasan Pusat Srati Dharma Yogyakarta, antara lain dikatakan:
”Bahwa aliran Sapto Darmo sebagai salah satu aliran kepercayaan telah membuat dan menggunakan surat kawin khusus yang dikeluarkan oleh Yayasan Pusat Srati
Darma Yogyakarta bagi para penganutnya. Bahwa penggunaan surat kawin tersebut telah mengakibatkan keresahan dari umat beragama yang akhirnya akan
menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban”... .
G. Pengertian Perkawinan Tanpa Akta Nikah