Asas-asas Perkawinan dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009 bidang hukum perkawinan, hukum kewarisan, hukum perwakafan di samping peraturan perundang-undangan lainnya. 38

E. Asas-asas Perkawinan dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974

1. Asas Sukarela Dalam Pasal 1 Undang-undang No 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang sejahtera, kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Sehubungan dengan hal tersebut di atas agar perkawinan terlaksana dengan baik, maka perkawinan yang dilaksanakan itu haruslah didasarkan dengan persetujuan kedua mempelai. Agar suami isteri dapat membentuk keluarga bahagia, sejahtera dan kekal, maka diwajibkan bagi calon mempelai untuk saling mengenal terlebih dahulu. Perkenalan yang dimaksud dalam hal ini adalah perkenalan atas dasar moral dan tidak menyimpang dari norma agama yang dianutnya. Orang tua dilarang memaksa anak-anaknya untuk dijodohkan dengan pria atau wanita pilihan orangtua, melainkan diharapkan dapat membimbing dan menuntun anak-anaknya untuk memilih pasangan hidup yang serasi bagi mereka yang sesuai dengan anjuran agama. Sesuai dengan prinsip hak asasi manusia, maka kawin paksa sangat dilarang oleh Undang-undang Perkawinan ini. 39 38 Ibid, hlm 255-256. 39 Abdul Manan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006, hlm 6- 7. Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009 Batas umur yang dikehendaki Undang-undang ini adalah minimal 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria. Penyimpangan dari batas umur yang ditentukan dalam Undang-undang ini harus mendapat dispensasi terlebih dahulu dari pengadilan. Pengajuan dispensasi dapat diajukan oleh orang tua atau wali dari calon mempelai yang belum mencapai batas umur minimal yang telah ditentukan tersebut. Antara kedua mempelai harus ada kerelaan yang mutlak untuk melangsungkan perkawinan berdasarkan kesadaran dan keinginan bersama secara ikhlas untuk mengadakan akad sesuai dengan hukum agama dan kepercayaannya. 40 2. Asas Partisipasi Keluarga Meskipun calon mempelai diberi kebebasan untuk memilih pasangan hidupnya berdasarkan asas sukarela, tetapi karena perkawinan itu merupakan suatu peristiwa yang penting dalam kehidupan seseorang, maka partisipasi keluarga sangat diharapkan di dalam pelaksanaan akad perkawinan tersebut. Pihak keluarga masing-masing diharapkan memberikan restu perkawinan kepada kedua mempelai. Hal ini sesuai dengan sifat dan kepribadian bangsa Indonesia yang penuh dengan etika sopan santun dan religius. Sehubungan dengan hal tersebut di atas bagi para mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin terlebih dahulu dari orang tuanya sebelum melaksanakan perkawinannya. Dalam keadaan orang tuanya tidak ada atau tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin tersebut dapat diperoleh dari walinya, atau keluarga dalam garis lurus ke atas. Seandainya pihak-pihak tersebut keberatan, maka izin untuk melangsungkan perkawinan tersebut dapat diperoleh dari Pengadilan Umum bagi orang- 40 Ibid, hlm 7. Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009 orang yang nonmuslim dan Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam Pasal 6 ayat 4 dan 5 Undang-undang No 1 Tahun 1974. 41 Partisipasi keluarga diharapkan dalam peminangan dan dalam hal pelaksanaan perkawinan. Dengan demikian diharapkan dapat terjalin hubungan silaturrahmi antar pihak keluarga mempelai, dan dengan harapan agar dapat membimbing pasangan yang baru menikah itu supaya dapat menciptakan rumah tangga yang baik sesuai dengan norma-norma yang berlaku. 42 Undang-undang No 1 Tahun 1974 berusaha menekan angka perceraian pada titik yang paling rendah. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa perceraian yang dilakukan tanpa kendali dan sewenang-wenang dapat mengakibatkan kehancuran bukan hanya pada pasangan suami isteri tersebut, juga kepada anak-anak mereka yang mestinya harus diasuh dan dipelihara dengan baik. Oleh karena itu, pasangan suami isteri yang telah menikah secara sah harus bertanggung jawab dalam membina keluarga agar perkawinan yang telah dilangsungkan itu dapat utuh sampai maut memisahkan. Banyak sosiolog menyatakan bahwa berhasil atau tidaknya dalam membina masyarakat sangat ditentukan oleh masalah perkawinan yang merupakan salah satu faktor diantara beberapa faktor yang lain. Kegagalan membina rumah tangga bukan hanya membahayakan rumah tangga itu sendiri, tetapi juga berpengaruh bagi kehidupan masyarakat. Sebagian kenakalan remaja yang terjadi di beberapa negara disebabkan oleh keluarga yang berantakan. 3. Perceraian Dipersulit 43 41 Ibid. 42 Ibid, hlm 8. 43 Ibid. Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009 Penggunaan hak cerai dengan sewenang-wenang dengan dalih bahwa perceraian itu adalah hak suami harus segera dihilangkan. Pemikiran yang keliru ini harus segera diperbaiki. Hak cerai tidak dipegang oleh suami saja, tetapi isteri juga dapat menggugat cerai suaminya apabila ada hal-hal yang menurut keyakinannya rumah tangga yang telah dibina tersebut sudah tidak dapat diteruskan. Untuk itu Undang-undang Perkawinan merumuskan bahwa perceraian itu harus dilakukan di depan pengadilan. Perceraian yang dilaksanakan di luar pengadilan dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum, dengan demikian tidak diakui kebenarannya. Pengadilan berusaha semaksimal mungkin untuk mendamaikan kedua belah pihak untuk rukun kembali. Undang-undang Perkawinan tidak melarang perceraian tetapi mempersulit pelaksanaannya, artinya tetap dimungkinkan perceraian jika seandainya memang benar-benar tidak dapat dihindarkan, dan harus dilakukan secara baik-baik di hadapan sidang pengadilan. Perceraian yang demikian merupakan hal yang baru dalam masyarakat Indonesia, yang sebelumnya hak cerai sepenuhnya berada di tangan suami yang pelaksanaannya dapat dilakukan semaunya yang sama sekali tidak memperhatikan hak-hak isteri dan anak-anaknya. 44 4. Poligami Dibatasi dengan Ketat Menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974, perkawinan adalah bersifat monogami, namun demikian mempunyai istri lebih dari satu orang dapat dibenarkan asalkan tidak bertentangan dengan hukum agama yang dianutnya, serta memenuhi alasan dan persyaratan tertentu yang ditetapkan dengan Undang-undang Perkawinan lebih dari satu orang dapat dilaksanakan apabila ada izin dari istrinya dan baru dapat dilaksanakan apabila ada izin dari Pengadilan Agama terlebih dahulu. Dalam Pasal 4 dan 5 Undang- 44 Ibid, hlm 9. Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009 undang No 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa seorang pria yang bermaksud kawin lebih dari satu orang harus dengan alasan bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan istri tidak dapat melahirkan keturunan. Dalam hal ini tidak dijelaskan secara rinci apakah ketentuan tersebut bersifat kumulatif atau alternatif. Oleh karena itu, penggunaan alasan- alasan tersebut diserahkan kepada hakim. 45 Apabila alasan-alasan sebagaimana disebut di atas sudah terpenuhi, maka Pengadilan Agama juga meneliti apakah ada atau tidaknya syarat-ayarat tersebut secara kumulatif yaitu 1 persetujuan dari istri atau istri-istrinya, kalau ada harus diucapkan di muka Majelis Hakim; 2 kemampuan material dari orang yang bermaksud menikah lebih dari satu orang; 3 jaminan berlaku adil terhadap istri-istrinya apabila ia sudah menikah, jaminan berlaku adil ini dibuat di dalam persidangan Majelis Hakim. Apabila syarat- syarat ini sudah dipenuhi secara kumulatif, maka barulah pengadilan memberikan izin kepada pemohon untuk melaksanakan pologami. Apabila perkawinan lebih dari satu orang tidak dilaksanakan sebagaimana ketentuan tersebut di atas, maka perkawinan tersebut tidak berdasarkan hukum dan kepada pelakunya dapat dikenakan sanksi sebagaimana tersebut dalam Pasal 44 dan 45 Undang-undang No 1 Tahun 1974. 46 Poligami atau perkawinan lebih dari satu orang merupakan suatu hal yang sangat ditakuti oleh setiap kaum wanita. Perkawinan lebih dari satu orang atau poligami tanpa dibatasi oleh peraturan secara ketat dapat menimbulkan hal-hal yang bersifat negatif dalam menjalankan rumah tangganya. Biasanya hubungan dengan istri muda menjadi 45 Ibid, hlm 10. 46 Ibid. Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009 tegang, sementara itu anak-anak yang berlainan ibu itu akan menjurus kepada pertentangan yang dapat membahayakan hidup mereka, dan hal ini biasanya terjadi jika ayah mereka telah meninggal dunia. Agar hal-hal yang bersifat negatif tersebut tidak terjadi dalam rumah tangga orang-orang yang melakukan poligami tersebut maka Undang-undang No 1 Tahun 1974 membatasi secara ketat pelaksanaan perkawinan poligami dengan menentukan alasan-alasan dan syarat-syarat tertentu. Undang-undang No 1 Tahun 1974 memberikan suatu harapan bahwa perkawinan yang dilaksanakan itu benar-benar bermanfaat bagi mereka yang melaksanakannya. 47 5. Kematangan Calon Mempelai Undang-undang No 1 Tahun 1974 mempunyai hubungan yang erat dengan masalah kependudukan. Dengan adanya pembatasan usia untuk melakukan perkawinan bagi wanita dan pria, maka diharapkan lajunya angka kelahiran dapat ditekan seminimal mungkin. Dengan demikian program Keluarga Berencana KB Nasional dapat berjalan seiring dengan undang-undang. Sehubungan dengan hal tersebut, perkawinan di bawah umur dilarang keras dan harus dicegah pelaksanaannya. Pencegahan ini semata-mata didasarkan agar kedua mempelai dapat memenuhi tujuan luhur yaitu untuk mewujudkan rumah tangga yang bahagia dan sejahtera dengan mewujudkan suasana rukun dan damai dalam rumah tangga. Agar hal ini dapat terlaksana, maka kematangan calon mempelai sangat diharapkan yaitu dalam hal kematangan usia, kematangan dalam berfikir dan 47 Ibid. Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009 bertindak sehingga tujuan perkawinan sebagaimana tersebut di atas dapat terlaksana dengan baik. 48 Dengan lahirnya Undang-undang No 1 Tahun 1974, maka diharapkan dapat memperbaiki dan meningkatkan derajat kaum wanita, sebab sebelum berlakunya Undang-undang No 1 Tahun 1974, banyak para suami yang memperlakukan istrinya dengan tindakan sewenang-wenang, menceraikan istrinya begitu saja tanpa alasan yang jelas sehingga banyak kaum wanita yang menderita. Para istri harus mencari nafkah hidup untuk membiayai dirinya dan juga anak-anaknya yang seharusnya menjadi tanggung jawab suaminya. Secara lahiriah, wanita adalah makhluk yang paling membutuhkan perlindungan, pengayoman dan kasih sayang. Tindakan seorang suami yang tidak bertanggung jawab kepada istrinya merupakan pukulan moril bagi seorang istri. Dengan kehadiran Undang-undang No 1 Tahun 1974 diharapkan pada masa yang akan datang para suami akan lebih bertanggung jawab sepenuhnya kepada istri dan anak- anaknya. Perceraian tidak boleh dilakukan seorang suami dengan sembarangan, tetapi harus dengan cara yang baik setelah mendapat persetujuan dari pengadilan. Di dalam sidang pengadilan akan ditetapkan kewajiban-kewajiban yang harus dipikul oleh suami baik sebelum dan sesudah perceraian dilakukan. Demikian juga dalam hal poligami, harus dilakukan secara tertib sehingga para isrti dalam keluarga itu mendapatkan perlindungan dan tidak merasa dirugikan sebagai akibat dari perkawinan tersebut. Oleh karena itu, poligami baru dapat dilaksanakan setelah mendapat izin dari pengadilan. 6. Memperbaiki Derajat Kaum Wanita 49 48 Ibid, hlm 11. 49 Ibid, hlm 12. Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009

F. Syarat-syarat Sahnya Suatu Perkawinan

Dokumen yang terkait

Pelaksanaan Perkawinan Terhadap Nikah Mut’ah Berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Hukum Islam

3 111 109

Undang Undang Nomor I Tahun 1974 dan kaitannya dengan perkawinan antar orang yang berlainan agama: studi tentang praktek pelaksanaannya di DKI Jakarta

0 5 91

Anak luar nikah dalam undang-undang perkawinan No.1 Tahun 1974: analisis putusan MK tentang status anak luar nikah

0 3 86

NIKAH TAFWIDH MENURUT HUKUM ISLAM DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM.

1 5 1

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGURUS PANTI ASUHAN SEBAGAI WALI NIKAH TERHADAP PERKAWINAN ANAK ASUHNYA MENURUT HUKUM ISLAM DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KHI.

0 1 1

TINJAUAN HUKUM TERHADAP DISAHKANNYA PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT ALIRAN ISLAM LIBERAL DIKAITKAN DENGAN HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN.

0 0 1

PENERAPAN ITSBAT NIKAH DALAM PERKAWINAN POLIGAMI MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN.

0 0 2

TINJAUAN YURIDIS PERCERAIAN LIAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG N0. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN.

0 0 1

STATUS HUKUM PERKAWINAN TANPA AKTA NIKAH MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN RELEVANSINYA DENGAN HUKUM ISLAM | PURNAMA SARI | Legal Opinion 5669 18695 1 PB

0 1 10

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP PERKAWINAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN HUKUM ISLAM A. Sejarah Hukum Perkawinan di Indonesia - Pelaksanaan Perkawinan Terhadap Nikah Mut’ah Berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang

0 0 35