Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.
USU Repository © 2009
dengan senang hati, maka gunakanlah makanlah pemberian itu dengan sedap dan nikmat”.
Pada QS an-Nisa’: 24, Allah SWT berfirman; yang artinya: ”Dihalalkan bagimu mengawini perempuan-perempuan dengan hartamu
mahar, serta beristri dengan dia, bukan berbuat jahat. Jika kamu telah menikmati bersetubuh dengan perempuan itu, hendaklah kamu memberikan kepadanya mas
kawin ujur, faridah yang telah kamu tetapkan”. Sementara berkaitan dengan masalah wali, menurut Imam Hanafi wali bukanlah
syarat dalam perkawinan, oleh karena itu wanita yang sudah dewasa dan berakal sehat boleh mengawinkan dirinya asalkan perkawinannya dihadiri oleh dua orang saksi.
Sedangkan menurut Imam Syafi’i dan Imam Hambali bahwa perkawinan yang dilakukan tanpa wali adalah tidak sah. Selanjutnya syarat-syarat bagi dua orang saksi dalam akad
nikah adalah harus orang yang beragama islam, dewasa baligh, berakal sehat, dapat melihat, mendengar dan memahami tentang akad nikah. Tidak ada ketentuan yang
menjadi saksi apakah orang yang masih mempunyai hubungan darah atau tidak dengan kedua mempelai.
60
3. Syarat-syarat sahnya perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam.
Di dalam Kompilasi Hukum Islam juga diatur mengenai rukun dan syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam Pasal 14 KHI yaitu untuk melaksanakan perkawinan harus
ada: 1
Calon suami 2
Calon istri 3
Wali nikah
60
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama.,Manndar Maju, Bandung, 1990, hlm 28-30.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.
USU Repository © 2009
4 Dua orang saksi; dan
5 Ijab dan Kabul
Mengenai calon mempelai baik calon suami dan calon istri diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, sebagai berikut:
Pasal 15 KHI yaitu: 1
Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan
dalam pasal 7 Undang-undang No 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang- kurangnya berumur 19 tahun dan istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.
2 Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat
izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat 2, 3, 4 dan 5 Undang- undang No 1 Tahun 1974.
Pasal 16 KHI yaitu : 1
Perkawinan didasarkan persetujuan calon memelai 2
Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam
arti selama tidak ada penolakan tegas.
Pasal 17 KHI yaitu :
1 Sebelum berlangsungnya perkawinan, Pegawai Pencatat Nikah menanyakan
lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua orang saksi nikah. 2
Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan.
3 Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan
dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti. Pasal 18 KHI yaitu:
”Bagi calon suami dan calon istri yang akan melangsungkan pernikahan tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam Bab VI”.
Mengenai Wali Nikah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut : Pasal 19 KHI yaitu:
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.
USU Repository © 2009
”Wali Nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya”.
Pasal 20 KHI yaitu: 1
Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum islam yakni muslim, akil dan baligh.
2 Wali nikah terdiri dari:
a. Wali Nasab
b. Wali Hakim.
Pasal 21 KHI yaitu: 1
Wali Nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan
kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Pertama: kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yaitu ayah, kakek dari
pihak ayah dan seterusnya. Kedua : kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki
seayah dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga : kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah,
saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka. Keempat: kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah
kakek dan keturunan laki-laki mereka. 2
Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama- sama berhak menjadi wali nikah, maka yang paling berhak menjadi wali
adalah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
3 Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya, maka yang paling
berhak menjadi wali nikah adalah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.
4 Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya, sama yakni sama-sama
derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan
memenuhi syarat-syarat wali.
Pasal 22 KHI yaitu: ”Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat
sebagai wali nikah atau karena wali itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.
USU Repository © 2009
sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya”.
Pasal 23 KHI yaitu: 1
Wali Hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirinya atau tidak diketahui tempat tinggalnya
atau ghaib atau adlal atau enggan.
2 Dalam hal wali adlal atau enggan, maka wali hakim baru dapat bertindak
sebagai wali nikah setelah ada Putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.
Mengenai Saksi Nikah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut : Pasal 24 KHI yaitu:
1 Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.
2 Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi.
Pasal 25 KHI yaitu: ”Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah adalah seorang laki-laki
muslim, adil, akil, baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli”. Pasal 26 KHI yaitu:
”Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akad Nikah pada waktu dan tempat akad nikah dilangsungkan”.
Mengenai Ijab Kabul diatur dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut: Pasal 27 KHI yaitu:
”Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu”.
Pasal 28 KHI yaitu:
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.
USU Repository © 2009
”Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan kepada orang lain”.
Pasal 29 KHI yaitu: 1
Yang berhak mengucapkan kabul adalah calon mempelai pria secara pribadi. 2
Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberikan kuasa yang tegas secara
tertulis.
3 Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai
diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.
BAB III KETENTUAN UMUM TERHADAP PERKAWINAN TANPA AKTA NIKAH