Promosi Demokrasi Kerangka Pemikiran

secara umum maupun melalui perspektif konstruktivisme sebagai landasan kerangka pemikiran dalam penelitian ini.

b. Promosi Demokrasi

Pada sub bab ini penulis memaparkan tentang demokrasi, proses demokratisasi, dan konsep promosi demokrasi. Konsepsi dan definisi demokrasi digunakan untuk memahami terjadinya proses demokratisasi yang kemudian dijadikan sebagai landasan dalam menjelaskan konsep promosi demokrasi. Sejak lama, definisi demokrasi telah banyak didiskusikan, dan definisi demokrasi yang paling berkembang selalu merujuk pada konsep demokrasi liberal. Seperti definisi demokrasi yang diungkapkan oleh Robert Dahl: “Seluruh rezim politik yang menjamin partisipasi nyata dari populasi pria dan wanita secara luas, serta adanya kemungkinan untuk bertentangan dengan pemerintah, dapat diakui sebagai demokrasi ” . 50 Adapun secara umum dan paling sederhana, demokrasi didefinisikan oleh Lavenex dan Schimmelfennig sebagai akuntabilitas otoritas publik kepada rakyat. Mekanisme akuntabilitas terdiri atas akuntabilitas pejabat negara terhadap pemilih melalui pemilihan umum yang bebas dan adil, akuntabilitas pemerintah terhadap parlemen, atau akuntabilitas lembaga negara terhadap pengamatan publik. 51 50 Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997, hlm. 5-6 51 Sandra Lavenex dan Frank Schimmelfennig, “EU democracy promotion in the neighbourhood: from leverage to governance?,” Democratization, Vol. 18, No. 4 2011, hlm. 888 [jurnal on-line]; tersedia di http:dx.doi.org10.108013510347.2011.584730 ; internet; diakses pada 7 Oktober 2014 Adapun demokratisasi, sebagaimana diungkapakan oleh Morlino, adalah proses terbuka dan merupakan hasil interaksi faktor internal dan eksternal. Proses ini dapat diartikan sebagai transisi dari rezim politik non-demokratis yang otoriter menjadi rezim demokratis, dimana rezim telah kehilangan beberapa aspek fundamental sebagai rezim otoriter dan belum memiliki karakter baru akan rezim yang hendak dibangun. Kemudian negara secara perlahan munuju proses pembangunan perluasan dan pemahaman standar demokrasi, konsolidasi pendefinisian dan adaptasi struktur norma dari rezim demokratis yang berbeda, krisis, atau peningkatan kualitas yang demokratis.. 52 Sementara itu, menurut Schmitz dan Sell, demokratisasi dipahami sebagai proses perubahan rezim yang memiliki tujuan spesifik yaitu pembentukan dan stabilisasi demokrasi substantif 53 . Oleh karena itu, hasil akhir demokratisasi adalah perluasan hak-hak yang penting bagi seluruh rakyat. Dalam hal ini, demokratisasi adalah proses yang terus menerus terjadi. 54 Demokratisasi, menurut Kamp, yang mengutip pernyataan beberapa peneliti seperti Grugel dan Nielinger, merupakan hasil dari 52 Leonardo Morlino, Democracy and Democratization Bologna: Il Mulino, 2003, hlm. 12 53 Demokrasi substantif adalah bentuk demokrasi yang menggabungkan konotasi idealistik, termasuk kontrol rakyat terhadap kebijakan, pemerintah yang bertanggung jawab, pertimbangan rasional, dan kebajikan warga negara lainnya. Demokrasi substantif merupakan pembangunan budaya demokrasi dari aspek-aspek teknis yang telah terbangun. 54 Hans Peter Schmitz dan Katrin Sell, International Factors in Processes of Political Democratization: Towards a Theoretical Integration, 2000; Jean Grugel, Democracy without Borders: Transnationalization and Conditionality in New Democracies LondonNew York, 2000 hlm 23- 41, dalam Mathias Kamp, “The EU as External Democracy Promoter in Sub-Saharan Africa- The Role of Conditionality and Positive Measures,” Skripsi, Universities of Münster and Twente, 2007, hlm. 9 berbagai faktor internal dan eksternal. Proses demokratisasi utamanya adalah hasil dari tekanan dan pembangunan internal yang kompleks. Namun, faktor eksternal atau internasional juga memiliki dampak terhadap proses demokratisasi. Faktor-faktor eksternal ini diantaranya tren internasional, kekuatan milter, diplomasi atau bantuan luar negeri. 55 Berdasarkan definisi demokratisasi di atas, dapat disimpulkan bahwa demokratisasi terjadi salah satunya karena ada promosi demokrasi dari aktor eksternal. Menurut Sandschneider, promosi demokrasi oleh aktor eksternal adalah seluruh usaha aktor eksternal dalam merubah pola keteraturan politik dan pembuatan kebijakan dalam negara yang menjadi target, sehingga menghasilkan kriteria minimun akan keteraturan demokratis. 56 Adapun bila merujuk kembali pada definisi demokrasi menurut Lavenex dan Schimmelfennig, promosi demokrasi juga dapat diartikan sebagai segala aktifitas yang dibentuk untuk memperkuat akuntabilitas dan pemahaman pemerintah terhadap masyarakat. 57 Sementara itu dalam perspektif konstruktivisme, promosi demokrasi menurut Risse dapat dijelaskan secara normatif atau dilihat sebagai bentuk transfer norma. Transfer norma ini terjadi karena negara- negara yang sudah demokratis menginginkan penyebaran norma-norma demokrasi kepada negara-negara yang belum demokratis. Sebab, semakin 55 Mathias Kamp, “The EU as External Democracy Promoter in Sub-Saharan Africa-The Role of Conditionality and Positive Measures,” Skripsi, Universities of Münster and Twente, 2007, hlm. 9 56 Janine Reinhard, “EU Democracy Promotion Through Conditionality in Its Neighborhood: The Temptation of Membership Per spective or Flexible Integration?”, Caucasian Review of International Affairs, Vol. 4 3 Summer 2010, hlm. 198 57 Lavenex dan Schimmelfennig, hlm. 888 demokratis negara mitra, maka negara yang telah demokratis akan lebih mudah menghidupkan situasi demokrasi dengan membangun hubungan internasional yang didasarkan pada kerjasama dan saling percaya. 58 Menurut Risse-Kappen, norma tidak dapat berpindah secara bebas kepada satu aktor atau agen sosial, tetapi harus dipromosikan oleh seseorang dan kondisi yang demikian lebih kondusif dalam promosi dan penerimaan norma dibandingkan cara yang lain. 59 Dalam konstruktivisme, proses promosi demokrasi adalah bentuk sosialisasi norma internasional. Adapun Barnes menyebutkan definisi sosialisasi norma sebagai induksi anggota baru ke dalam cara berperilaku yang diharapkan dalam masyarakat. Tujuan dari proses sosialisasi menurut Risse adalah agar mereka yang tersosialisasi dapat mengadopsi dan menginternalisasi seperangkat norma sehingga tekanan eksternal tidak lagi dibutuhkan. 60 Trine Flockhart kemudian membedakan strategi sosialisasi norma menjadi dua: 1. Melalui strategi pengaruh sosial social influence atau penguatan dukungan reinforcement 58 Jonas Wolff dan Iris Wurm, “Towards a Theory of External Democracy Promotion? Approximations from the perspective of International Relations theories,” the 51st Annual Convention of the International Studies Association ISA, New Orleans, 17-20 Februari, 2010, hlm. 7 59 Ibid 60 Flockhart, hlm. 15 Dalam strategi ini, pembentukan perilaku pro-norma dilaksanakan melalui distribusi imbalan dan hukuman rewards and punishments sosial. Strategi ini menggunakan berbagai imbalan, mulai dari imbalan psikologis seperti menaikkan status kemitraan hingga imbalan materi. Strategi ini mengasumsikan bahwa aktor-aktor yang menjadi target diharapkan mampu mencapai tujuan tertentu dalam proses perubahan norma. 61 Menurut Schimmelfennig, strategi ini dapat dilaksanakan melalui kondisionalitas dengan imbalan-imbalan yang didistribusikan ketika kondisi-kondisi yang disyaratkan dapat terpenuhi. Namun demikian, secara negatif strategi ini juga dapat menggunakan hukuman seperti penghinaan di hadapan publik, dikeluarkan dari keanggotaan organisasi, atau pengangguhan imbalan materi yang dijanjikan. 62 2. Melalui strategi persuasi Stretegi ini berusaha mendorong perilaku yang konsisten terhadap norma, dan dilaksanakan melalui proses interaksi sosial yang meliputi perubahan perilaku tanpa menggunakan tekanan materi atau mental. 63 Proses persuasi lebih mendalam daripada strategi pengaruh sosial, dan memiliki efek yang lebih baik dalam merubah perilaku dan keyakinan aktor yang menjadi target dalam kondisi tertentu. 61 Trine Flockhart, “Complex Socialization and the Transfer of Democratic Norms,” Socializing Democratic Norms: The Role of International Organizations for the Construction of Europe, ed. Trine Flockhart, New York: Palgrave Macmillan, 2005, hlm. 48 62 Ibid 63 Ibid Berbeda dengan pengaruh sosial yang hanya dijalankan di area publik, persuasi dapat dijalankan di area privat, seperti forum dialog atau diplomasi, dimana persuasi merupakan proses debat dan mempertahankan argumen. Jeffrey Checkel menyatakan bahwa efektifitas persuasi terjadi bila negara target secara kognitif termotivasi untuk menganalisa informasi baru yang dipersuasikan. Oleh karena itu, persuasi lebih cocok digunakan untuk mempengaruhi level elit atau negara daripada level nasional atau rakyat. 64 Adapun dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan strategi sosialisasi berupa pengaruh sosial atau reinforcement yang diwujudkan dalam konsep kondisionalitas.

c. Kondisionalitas