Promosi demokrasi Uni Eropa di Maroko dalam kerangka European neighborhood policy 2011-2013.

(1)

1

Skripsi

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

oleh

Tisa Lestari 1110113000013

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

i

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Skripsi yang berjudul:

PROMOSI DEMOKRASI UNI EROPA DI MAROKO DALAM KERANGKA EUROPEAN NEIGHBORHOOD POLICY (2011-2013)

1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 16 Desember 2014


(3)

(4)

(5)

iv

ABSTRAK

Penelitian ini menjelaskan tentang promosi demokrasi yang dilakukan oleh Uni Eropa (UE) di Maroko dalam kerangka European Neighborhood Policy

(ENP) selama tahun 2011-2013. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa cara UE dalam mempromosikan demokrasi di Maroko, setelah terjadinya Revolusi Arab di Timur Tengah dan Afrika Utara pada tahun 2010, serta reformasi konstitusi Maroko pada tahun 2011. Penelitian ini fokus pada tiga aspek dalam reformasi demokrasi Maroko, yaitu dalam aspek pemisahan kekuasaan, penguatan peran parlemen, dan penguatan peran organisasi masyarakat sipil dalam pembangunan demokrasi.

Penulis menggunakan pemahaman konstruktivisme sebagai landasan pemikiran utama dalam penelitian ini. Pemahaman konstruktivisme ini digunakan untuk menjelaskan sosialisasi norma dalam membentuk identitas kolektif. Penulis menggunakan konsep sosialisasi norma yang diungkapkan oleh Thomas Risse dan asumsi identitas kolektif Alexander Wendt. Penulis juga menggunakan konsep promosi demokrasi yang diungkapkan oleh Thomas Risse, bahwa promosi demokrasi dapat dijelaskan secara normatif sebagai bentuk transfer norma. Terakhir, penulis menggunakan konsep strategi promosi demokrasi Trine Flockhart, yaitu strategi pengaruh sosial (social influence) atau penguatan dukungan (reinforcement), dalam wujud kondisionalitas.

Berdasarkan analisis konsep-konsep dan asumsi-asumsi tersebut, penelitian ini menemukan bahwa UE telah melaksanakan konstruksi sosial politik dalam mempromosikan demokrasi di Maroko. Adapun konstruksi tersebut telah menghasilkan capaian penting dalam di tiga aspek reformasi demokrasi Maroko, yaitu adanya komitmen Kerajaan Maroko terhadap pemisahan kekuasaan, penggunaan kerangka kerja UE sebagai kerangka kerja Parlemen Maroko, dan pembangunan Civil Society Facility (CSF) dan Citizen for Dialogue yang menjembatani komunikasi pemerintah dan masyarakat sipil Maroko. Penelitian ini juga menemukan bahwa UE mempromosikan demokrasi di Maroko dengan menggunakan kondisionalitas sebagai instrumen yang diwujudkan dalam program-program ENP. Adapun promosi demokrasi UE di Maroko dalam kerangka ENP ini merupakan bentuk sosialisasi norma demokrasi UE di Maroko untuk membentuk identitas kolektif UE dan Maroko sebagai aktor yang pro demokrasi.


(6)

v

ABSTRACT

This Research explains European Union’s (EU) democracy promotion in Morocco within the framework of European Neighborhood Policy (ENP) during 2011-2013 period. This Research aims to analyze the way used by EU to promotes democracy in Morocco, after Arab Revolution in Middle East and North Africa in 2010, and also Morocco constitutional reform in 2011. This study focuses on three aspects of Moroccan democratic reform, that are the separation of power, strengthening the role of parliament, and strengthening the role of civil society organizations in the development of democracy .

I use constructivism as a basis of main thought in this research. Constructivism is used to explain norm socialization in constructing collective identity. I use norm sosialization concept from Thomas Risse and assumption of collective identity by Alexander Wendt. I also use democracy promotion concept from Thomas Risse, which explain that normatively democracy promotion can be seen as a form of transfer of norms. The Latter, I use democarcy promotion strategy concept by Trine Flockhart, that is social influence or reinforcement strategy, in the form of conditionality.

Based on the analysis of concepts and assumptions , this study found that the EU has implemented social and political construction in promoting democracy in Morocco . The construction has resulted in important achievements in three aspects of democratic reform in Morocco, that are the Kingdom of Morocco 's commitment to the separation of powers, the use of the framework of the EU as a framework for the Moroccan parliament, and the development of the Civil Society Facility (CSF) and Citizen for Dialogue as a bridge for the communication of Moroccan government and Moroccan civil society. This study

also found that the EU promote democracy in Morroco by using conditionality as an instrument in the form of ENP programmes. EU democracy promotion in Morocco within the framework of ENP is a relization of EU’s democratic norm socialization in Morocco that constructs EU and Morocco’s collective identity as pro-democracy actors.


(7)

vi

KATA PENGANTAR

Assalammu‟alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah Rabb al-A’alamin. Segala puji bagi Allah SWT atas semua nikmat dan karunia-Nya yang telah peneliti terima, sholawat serta salam penulis sampaikan kepada Rasulullah Muhammad SAW atas wasilah serta pencerahannya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Promosi Demokrasi Uni Eropa di Maroko Dalam Kerangka European Neighborhood Policy (2011-2013)”ini dengan baik.

Skripsi ini penulis persembahkan untuk yang teristimewa kedua orang tua penulis, Bapak Salamun dan Ibu Astuti. Terima kasih kepada keduanya yang tak pernah lelah memberikan dukungan baik moral, material, dan do‟a untuk penulis. Terima kasih untuk Bapak dan Ibu. Juga kepada adik-adik penulis, Ridwan Dwi Hanggoro dan Assidiq Nurrohman, skripsi ini penulis persembahkan untuk mereka berdua yang selalu memberikan motivasi dan dukungan kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.

Dalam penelitian skripsi ini, penulis juga banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, baik spiritual, moral dan material. Oleh karena itu dalam kesempatan ini peneliti dengan segenap hati dan dengan segala hormat mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ketua Program Studi Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Ibu Debbie Afianty, M.Si, dan sekretaris program studi, Bapak Agus Nilmada Azmi, M.Si.

2. Bapak Faisal Nurdin Idris, MA selaku dosen pembimbing skripsi yang telah mendedikasikan waktu di tengah-tengah kesibukannya untuk membimbing penulis. Terima kasih atas begitu banyak arahan, dorongan, motivasi, dan ilmu yang telah diberikan dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi ini.

3. Bapak M. Adian Firnas, M.Si, selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan, solusi, dukungan, dan motivasi kepada penulis di awal penulisan skripsi ini.


(8)

vii

4. Bapak Budi Satari, M.Sc dan Bapak Irfan Hutagalung, S.H, LLM sebagai dosen penguji sidang DPS; serta Ibu Mutiara Pertiwi, MA dan Bapak Teguh Santosa, MA sebagai dosen penguji sidang skripsi; yang telah memberikan banyak sekali masukan, arahan, dan melatih penulis untuk konsisten berfikir secara ilmiah demi terciptanya sebuah skripsi yang baik.

5. Seluruh jajaran staff dan pengajar di Prodi Hubungan Internasional, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Sahabat-sahabat penulis, Rosa Permata Nurani, Peni Intan Palupi, Istiqamah, Detty Oktavina, El Humairoh Wijaya, dan Siti Maunah sebagai suporter utama yang selalu memberi motivasi, masukan, dan do‟a untuk penulis sejak awal penulisan skripsi hingga melewati sidang skripsi dengan baik.

7. Teman-teman seperjuangan di kelas regular A dan kelas regular B Hubungan Internasional UIN Jakarta, Oya, Rere, Putri, Bagus, Yuri, Zakiah, Dienny, Dian, Anggi, Hana, Lilah, Windy, Siska, dan semua teman-teman, terima kasih atas kebersamaan dan kenangan yang diberikan selama empat tahun penulis menimba ilmu di UIN Jakarta.

8. Untuk guru-guru penulis, Emine hocam dan Lale abla, yang telah memberi banyak ilmu dan pengetahuan baru, serta dukungan dan inspirasi kepada penulis. Juga untuk teman-teman White Pearls Fethullah Gulen Chair UIN Jakarta, Asiah, Tati, dan teman-teman Turkce Kursu semua. Cok Tesekkur Ederim.

Akhirnya penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan serta masih banyak kekuarangan yang menyertai. Untuk itu penulis mengharapkan masukan serta kritikan, agar nantinya skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

Jakarta, 16 Desember 2014


(9)

viii

DAFTAR SINGKATAN

AA : Association Agreements AP : Action Plan

CGEM : General Confederations of Morocco‟s Enterprises CSF : Civil Society Facility

CSO : Civil Society Organization EMP : Euro-Mediterranean Partnership ENP : European Neighborhood Policy

ENPI : European Neighborhood Partnership Instrument GUMW : General Union of Moroccan Workers

NIS : Newly Independent States NGO : Non-Governmental Organization PAM : Party of Authenticity and Modernity PCA : Pre-Accession Assistance

PJD : Justice and Development Party RNI : National Rally of Independents

SPRING : Support for Partnership, Reforms and Inclusive Growth SUPF : Socialist Union of Popular Forces

UE : Uni Eropa

UfM : Union for Mediterranean

WDC : Workers Democratic Confederation WFD : Westminster Foundation for Democracy


(10)

ix

DAFTAR TABEL DAN BAGAN

Tabel

Tabel I.A.1. Morocco‟s National Indicative Programme 2011-2013...10

Tabel II.B.1. Distribusi Kursi Parlemen Maroko...45

Tabel II.B.1. Komponen Utama Action Plan EU-Maroko...60

Tabel III.C.1. Rincian Dana Program SPRING...66

Tabel III.C.2. Rincian Dana Untuk Program Tematik...69

Bagan Bagan IV.1. Operasionalisasi Kerangka Pemikiran...86


(11)

x

DAFTAR ISI

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI... ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI...iii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR SINGKATAN ... viii

DAFTAR TABEL DAN BAGAN ... ix

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Pertanyaan Penelitian ... 11

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 12

D. Tinjauan Pustaka ... 13

E. Kerangka Pemikiran ... 16

1. Konstruktivisme ... 17

2. Promosi Demokrasi ... 21

3. Kondisionalitas ... 26

F. Metode Penelitian...30

G. Sistematika Penulisan...31

BAB II DEMOKRATISASI DI MAROKO ... 32

A. Pemisahan Kekuasaan ... 33

1. Periode Awal Transisi Demokrasi-Reformasi Konstitusi 1996...33


(12)

xi

3. Pasca Reformasi Konstitusi 2011-Desember 2013...38

B. Penguatan Peran Parlemen ... 40

1. Periode Awal Transisi Demokrasi-Reformasi Konstitusi 1996...40

2. Pasca Reformasi Konstitusi 1996-Reformasi Konstitusi 2011...42

3. Pasca Reformasi Konstitusi 2011-Desember 2013...44

C. Penguatan Peran Organisasi Masyarakat Sipil Dalam Pembangunan Demokrasi ... 47

1. Periode Awal Transisi Demokrasi-Reformasi Konstitusi 1996...47

2. Pasca Reformasi Konstitusi 1996-Reformasi Konstitusi 2011...49

3. Pasca Reformasi Konstitusi 2011-Desember 2013...51

BAB III EUROPEAN NEIGHBORHOOD POLICY (KEBIJAKAN EROPA UNTUK NEGARA TETANGGA) DI MAROKO...55

A. Pengertian European Neighborhood Policy (ENP)...56

B. Landasan Kerjasama Uni Eropa-Maroko dalam Kerangka ENP...58

C. Promosi Demokrasi Uni Eropa di Maroko Dalam Kerangka ENP (2011-2013)...61

1. Bidang Pemisahan Kekuasaan...63

2. Bidang Penguatan Peran Parlemen...64

3. Bidang Penguatan Peran Organisasi Masyarakat Sipil Dalam Pembangunan Demokrasi...66

BAB IV ANALISIS PROMOSI DEMOKRASI UNI EROPA DI MAROKO DALAM KERANGKA EUROPEAN NEIGHBORHOOD POLICY (ENP) TAHUN 2011-2013 ... 71

A. Sosialisasi Norma Demokrasi UE di Maroko Untuk Membentuk Identitas Kolektif ...71

B. Promosi Demokrasi UE di Maroko Dalam Kerangka ENP Sebagai Perwujudan Sosialisasi Norma Demokrasi...75


(13)

xii

C. Kondisionalitas Sebagai Instrumen Promosi Demokrasi UE di

Maroko...78

BAB V KESIMPULAN ... 87 DAFTAR PUSTAKA ... 90


(14)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Uni Eropa (UE) adalah salah satu aktor internasional yang paling aktif mempromosikan demokrasi kepada negara-negara tetangganya. Sejak berakhirnya Perang Dunia II, Uni Eropa terus berusaha memperluas nilai-nilai politik dan ekonominya, tidak hanya kepada negara-negara di kawasan Eropa, tetapi juga negara-negara di luar kawasan Eropa.1Uni Eropa sendiri relatif masih dikenal sebagai „young promoter of democracy‟ (promotor muda demokrasi) dalam hubungan eksternalnya,2 karena UE baru benar-benar menjadi lebih aktif dalam mempromosikan demokrasi setelah runtuhnya Uni Soviet, ketika 15 negara tetangganya meraih kemerdekaan dan terjadi perubahan demokratis di negara-negara tersebut.3

Meningkatnya keinginan UE dalam mempromosikan demokrasi kepada negara-negara tetangganya di kawasan Eropa kemudian mendorong UE untuk membentuk beberapa strategi promosi demokrasi kepada negara-negara tetangganya di kawasan ini, salah satunya melalui European

1Megan Leahy, “A New Tool for Democratization within the European Neighborhood Policy: The “Advanced Status” Program in Morocco”, (Paper Akademik, University of North Carolina, North Carolina, 2011), hlm.1

2Günther Guggenberger, “Symbolic actions or effective endeavours? The EU‟s activities to promote democracy in Ukraine, Moldova and Belarus.” European Union and its New

Neighborhood: Addressing Challenges and Opportunities, ed. Jolanta Grigaliunaité and Sarunas Liekis (Vilnius: Demokratiezentrum Wien, 2006), hlm. 87

3Maria Vizdoaga, “The effectiveness of the EU policies in promoting democracy in Moldova,” (Tesis, Leiden University, 2013), hlm. 11


(15)

Neighborhood Policy (ENP).4 ENP adalah strategi politik UE yang secara luas bertujuan untuk memperkuat kesejahteraan, stabilitas, dan keamanan negara-negara tetangga Eropa guna menghindari munculnya garis pembatas antara UE yang diperluas (Enlarged EU) dengan negara-negara tetangga yang berbatasan secara langsung dengan UE. 5 Adapun menurut dokumen

Copenhagen European Council pada Desember 2002, ENP juga bertujuan mempromosikan Nilai-nilai Eropa (European Values), dimana UE harus mempromosikan kerjasama regional dan sub-regional serta integrasi yang dikondisikan untuk stabilitas politik, pembangunan ekonomi, dan penurunan tingkat kemiskinan.6

Sejak tahun 2004, lingkup ENP mencakup 16 negara 7 , dan keanggotaannya didominasi oleh negara-negara Eropa.8 ENP dalam jangka pendek dijalankan melalui Perjanjian Asosiasi (Association Agreement) antara UE dengan negara mitra, sedangkan dalam jangka panjang dilaksanakan melalui Rencana Kerja (Action Plan).9 Adapun dana atau

4

Ibid, hlm. 42 5

European Neighborhood and Partnership Instrument, http://eeas.europa.eu/enp/index_en.htm, diakses pada 17 Maret 2014.

6Florent Parmentier, “The European Neighborhood Policy a

s a Process of Democratic Norms Diffusion in Ukraine, Can The EU Act Beyond Kondisionalitas?”, Les Cahiers europeens de Sciences Po. No. 02 (2006), hlm. 2

7

12 Negara telah menyetujui ENP Action Plans, yaitu Armenia, Azerbaijan, Mesir, Georgia, Israel, Yordania, Lebanon, Moldova, Maroko, Palestina, Tunisia, dan Ukraina; Satu negara dalam proses negosiasi Action Plans, yaitu Aljazair; dan tiga negara berada diluar sebagian besar struktur ENP, yaitu Belarusia, Libya, dan Suriah

8

Richard G. Whitman dan Stefan Wolff, “Much Ado About Nothing? The European Neighborhood Policy in Context,” The European Neighborhood Policy in Perspective: Context, Implementation and Impact, ed. Richard G. Whitman dan Stefan Wolff (New York: Palgrave Macmillan, 2010), hlm. 3

9

Simon Rosenkӧtter, “Assessing The Impact of EU Neighborhood Policies on Democratization in Morocco and Egypt,” (Skripsi, Universiteit Twente, 2011) hlm. 5


(16)

insentif yang diberikan kepada negara anggota diatur dalam European Neighborhood and Partnership Instrument (ENPI).

Pada dasarnya ENP dibentuk untuk membantu negara-negara tetangga di sebelah Timur (Eastern Neighbours) UE, yang tengah berupaya menuju demokrasi dan berjuang untuk menjadi anggota baru UE. Keberhasilan ENP dalam promosi demokrasi di beberapa negara Eastern Neighbours seperti Moldova dan Ukraina, yang keduanya kemudian masuk menjadi anggota UE, kemudian mendorong UE untuk juga melaksanakan promosi demokrasi ke negara-negara tetangga di sebelah Selatan (Southern Neighbours).10

Salah satu negara Southern Neighbours yang menjadi prioritas UE dalam mempromosikan demokrasi melalui ENP adalah Maroko.11Prioritas UE terhadap Maroko didorong oleh beberapa faktor dan kepentingan, diantaranya bahwa secara tradisional Maroko adalah negara yang memiliki hubungan paling dekat Eropa, terutama dengan dua negara anggota UE, Spanyol dan Perancis.12 Karena kedekatan geografis, dua negara Mediteranian UE tersebut fokus pada kontrol imigran dari Afrika, keamanan regional, perdagangan bebas, dan hak perikanan dengan Maroko.13 Selain itu, Maroko juga menjadi mitra utama UE dalam memerangi terorisme, terutama karena Maroko terkena

10Tina Freyburg, et.al., “Democracy promotion through functional cooperation? The Case of The European Neighborhood Policy”, Democratization, Vol. 18, No. 4, (Agustus 2011) [jurnal on-line]; tersedia di http://dx.doi.org/10.1080/13510347.2011.584738; internet; diunduh pada 17 Januari 2014.

11

Ibid, hlm. 3 12

Carl Dawson, EU Intergration With North Africa: Trade Negotiations and Democracy Deficits in Morocco (London: IB Tauris & Co. Ltd, 2009), hlm. 51

13Kristina Kausch, “Morocco,”

Is the European Union Supporting Democracy in its Neighbourhood?, ed. Richard Youngs (Spain: FRIDE, 2008), hlm. 13-14


(17)

imbas kekerasan politik dan terorisme di Aljazair.14 Adapun dalam bidang energi, UE sangat membutuhkan Maroko sebagai alternatif penyuplai energi ke Eropa Barat, seiring dengan meningkatnya harga minyak dunia dan memburuknya hubungan UE-Rusia. Maroko juga diharapkan dapat menjadi negara transit gas dari Aljazair ke Eropa.15

Maroko sendiri sejak Raja Mohammed VI berkuasa, memiliki komitmen yang kuat untuk melaksanakan demokratisasi. Beberapa reformasi dilaksanakan oleh Raja Mohammed VI diantaranya adalah mendirikan Equity and Reconciliation Commission (IER) sebagai komisi HAM, adopsi hukum status liberal personal (Moudwana), dan National Human Development Initiative (INDH).16 Reformasi ini yang kemudian mendorong UE untuk memberikan Advanced Status kepada Maroko sebagai negara dengan progres demokratisasi yang baik pada Oktober 2008. Maroko menjadi negara ENP pertama yang mendapatkan status ini.17 Kepentingan UE, serta komitmen dan reformasi demokrasi Maroko tersebut yang kemudian menjadikan Maroko sebagai prioritas promosi demokrasi UE melalui ENP di kawasan Southern Neighbours.

Maroko bergabung dalam ENP sejak tahun 2004, dan merupakan salah satu negara yang pertama kali menandatangani Action Plan. Pada masa awal

14

Ian O. Lesser, Geoffrey Kemp, Emiliano Alessandri, dan S. Enders Wimbush, “Morocco‟s New Geopolitics: A Wider Atlantic Perspective,” GMF Wider Atlantic Series (Washington DC: The German Marshall Fund of the United States, 2012), hlm. 13

15

Loc.Cit, hlm. 15

16Haim Malka dan Jon B. Alterman, “Arab Reform and Foreign Aid: Lessons from Morocco,”

CSIS Significant Issues Series, Vol. 28, No. 4 (2006), hlm. 47 17

Kristina Kausch, “Morocco‟s „Advanced Status‟: Modelor Muddle?,” FRIDE Policy Brief, No. 43 (Maret 2010), hlm. 3


(18)

ENP di Maroko, yakni dari tahun 2006 sampai sebelum Revolusi Arab, Action Plan hanya meliputi bentuk kondisionalitas positif yang lemah dimana Maroko sebagai negara ENP, tergantung pada progres reformasi politik, ekonomi, dan institusionalnya (yang tidak didefinisikan secara jelas), diberikan akses ke pasar tunggal UE dan hubungan yang lebih erat dengan UE.18

Kebijakan promosi demokrasi UE dalam ENP di Maroko pada periode ini juga banyak dikritik karena dianggap tidak serius dan tidak konsisten dalam pelaksanaannya. Karena terlalu fokus pada keamanan dan perdagangan, beberapa kebijakan dalam aspek politik justru menjadi tidak tepat sasaran dalam pelaksanaannya. 19 Pemberian Advanced Status misalnya, hanya bertujuan ekonomis dimana Maroko dapat masuk ke dalam pasar tunggal UE dengan hanya melaksanakan modernisasi dalam beberapa bidang seperti kebijakan publik, namun tidak melaksanakan reformasi dalam bidang politik, seperti reformasi kekuasaan Raja dan kekuasaan parlemen.20 Maka, dapat dikatakan bahwa pada awalnya UE tidak serius mempromosikan demokrasi di negara ini, ENP dilaksanakan hanya sebagai alat untuk membangun hubungan baik dengan negara-negara Southern Neighbours, demi menjaga stabilitas kawasan.

18Anna Khakee, “Assessing Democracy Assistance: Morocco”,

Fride Project Report (Mei 2010), hlm. 3

19Kausch, “Morocco,”

Is the European Union Supporting Democracy in its Neighbourhood?”, hlm. 16

20


(19)

Adapun pada masa awal bergabung dalam ENP, situasi demokrasi Maroko juga tidak mengalami banyak perubahan, khususnya dalam aspek reformasi politik. Sebagai negara semi otoriter, kehidupan politik Maroko ditandai dengan realitas demokrasi ganda. Secara formal, Maroko memang memiliki struktur dan institusi demokratis, namun secara informal struktur ini dibayangi oleh struktur pemerintahan yang disebut Makhzen, yaitu jaringan kerajaan yang menguasai garis kebijakan utama dan bertindak sebagai penjaga segala bentuk reformasi politik. Sebagai akibatnya, reformasi politik di Maroko berjalan selektif dan superfisial.21

Terkait pembagian kekuasaan misalanya, konsentrasi kekuasaan di tangan Raja sama sekali tidak tersentuh oleh reformasi. Raja Maroko bertindak sebagai penjamin keteraturan politik sebagai dasar legitimasi relijius, kekuasaan absolut dan kekuasaan mempertahankan takhta. 22 Kekuasaan di Maroko memang dibedakan secara hukum dan fungsinya, namun pada praktiknya tidak ada pemisahan kekuasaan, dengan kerajaan memimpin kekuasaan eksekutif dan memiliki pengaruh besar atas kekuasaan legislatif dan yudikatif.23

Oleh karena tidak ada pembagian kekuasaan yang jelas, maka parlemen tidak memiliki kekuatan dan peran yang signifikan dalam pembangunan demokrasi Maroko. Meskipun memiliki sistem multipartai dan rutin melaksanakan pemilu legislatif, kerajaan mengesampingkan peran

21Kausch, “Morocco,”

Is the European Union Supporting Democracy in its Neighbourhood? hlm. 10

22

Dawson, hlm. 75 23


(20)

parlemen. Akibatnya, partai-partai politik menjadi lemah dan parlemen lebih memilih melaksanakan keinginan kerajaan dan Makhzen, daripada keinginan konstituennya. Dalam proses reformasi demokrasi di Maroko, parlemen juga tidak memiliki peran.24

Selain masalah pembagian kekuasaan dan wewenang parlemen, terbatasnya kontrol dan pengaruh masyarakat sipil dalam politik dan pemerintahan Maroko juga menjadi permasalahan lain. Beberapa organisasi masyarakat sipil Maroko yang aktifitasnya terkait dengan isu-isu tabu seperti monarki, pemisahan kekuasaan, atau kemerdekaan Sahara Barat segera dihentikan melalui berbagai langkah hukum oleh pemerintah.25

Kondisi demokrasi Maroko yang demikian, juga tidak didukung dalam prioritas reformasi yang dicanangkan UE dalam program-program ENP pada periode tersebut. Isu-isu reformasi yang secara langsung berkenaan dengan kelemahan-kelemahan demokratis yang spesifik di Maroko, seperti lemahnya parlemen dan pemisahan kekuasaan yang tidak jelas, tidak ada dalam prioritas ENP di Maroko.26 Pada periode 2007-2010 misalnya, dalam National Indicative Programme ENP in Morocco 2007-2010 disebutkan bahwa prioritas ENP di Maroko hanyalah prioritas sosial, seperti dukungan kepada INDH dan kebijakan pendidikan; prioritas HAM, seperti mendukung Ministry of Justice dan impelementasi IER; prioritas ekonomi, seperti promosi investasi

24

Haim Malka dan Jon B. Alterman, hlm. 55 25

Driss Ben Ali, “Civil Society and Economic Reform in Morocco,” ZEF Project Research Paper, Universitat Bonn (Januari 2005), hlm. 3

26Eike Meyer,“Democracy Promotion by The European Union in Morocco within The Framework of The European Neighborhood Policy,” (Tesis, Universitat Potsdam, 2007), hlm. 62


(21)

dan ekspor industri Maroko, pertanian, dan pembangunan infrastruktur; serta prioritas lingkungan, seperti memberikan dana bantuan untuk menanggulangi depolusi. Adapun demokrasi tidak ada dalam proritas program tersebut.27

Pergeseran prioritas UE dalam program-program ENP untuk secara „serius‟ mempromosikan demokrasi baru terjadi setelah Revolusi Arab (Arab Spring) yang melanda negara-negara ENP di Selatan seperti Mesir dan Tunisia pada tahun 2010. UE kemudian merespon Revolusi Arab salah satunya dengan menggeser fokus ENP dari pembangunan ekonomi menjadi pembangunan demokrasi.28 Revolusi Arab menjadi momentum bagi UE untuk memulai promosi demokrasi dalam aspek politik di Southern Neighbours melalui ENP.

Di Maroko sendiri, respon masyarakat dan oposisi Maroko terhadap gelombang protes anti-rezim ini berbeda dengan negara-negara lain di kawasan yang terdampak Revolusi Arab. Gerakan 20 Februari, muncul sebagai reaksi terhadap gelombang revolusi ini. Gerakan ini memobilisasi masyarakat Maroko secara nasional untuk menuntut perubahan sosial ekonomi, dan juga secara eksplisit menuntut perubahan politik, yaitu:

“The realization of profound and radical constitutional and political changes to

consolidate a democratic state built on strong institutions; the construction of a state based on the rule of law and a free and independent legal system with the aim of

endowing the country with a political system of parliamentary monarchy.”

“Realisasi perubahan konstitusional dan politik yang mendalam dan mendalam untuk mengkonsolidasikan sebuah negara demokratis yang dibangun dengan institusi yang

27

European Commission, ENPI Morocco: 2007-2010 National Indicative Programme. 28Maâti Monjib, “The “Democratization” Process in Morocco: Progress, Obstacles, and the Impact of the Islamist-Secularist Divide”, Working Paper, The Saban Center for Middle East Policy at The Brookings Institution, No. 5, Agustus 2011, hlm. 5


(22)

kat; konstruksi negara didasarkan pada penegakan hukum serta sistem legal yang bebas dan independen dengan tujuan terbentuknya negara dengan sistem politik monarki parlementer.”29

Pemerintah Maroko kemudian merespon Gerakan 20 Februari dengan melaksanakan referendum publik untuk menetapkan konstitusi baru pada September 2011 yang memuat beberapa poin reformasi demokrasi dalam aspek politik, seperti pemberian kekuasaan dan independensi yang lebih luas kepada Perdana Menteri, badan legislatif, dan lembaga peradilan Maroko, serta pengakuan kesetaraan hak-hak wanita.30

Situasi Maroko yang „aman‟ dari Revolusi Arab dan kesadaran pemerintah Maroko untuk memulai perwujudan demokrasi dengan melaksanakan reformasi keonstitusi 2011, mendorong UE untuk „melindungi‟ Maroko dengan mendukung reformasi demokrasi yang sudah dimulai di Maroko melalui kerjasama di bidang demokrasi yang lebih aktif dalam ENP.31 Dalam dokumen National Indicative Programme untuk tahun 2011-2013, terlihat jelas peningkatan dukungan UE untuk reformasi demokrasi Maroko, sebagaimana dirinci dalam tabel berikut:

29Irene Fernandez Molina, “The Monarchy vs The 20 February Movement: Who Holds the Reins of Political Change in Morocco?” Mediterranean Politicsi, Vol. 16, No. 3 (Oktober 2011), hal. 436-437 [jurnal on-line]; tersedia di http://dx.doi.org/10.1080/13629395.2011.614120; internet; diakses pada 16 Agustus 2014

30Alexis Arieff, “Morocco: Current Issues”

CRS Report for Congress, Congressional Research Service (20 Juni 2012) hlm. 1

31Eike Meyer,“Democracy Promotion by The European Union in Morocco within The Framework of The European Neighborhood Policy,” (Tesis, Universitat Potsdam, 2007), hlm. 2


(23)

Tabel I.A.1. Morocco’s National Indicative Programme 2011-2013

Strategic axes

2007-2010 (updated)

2011-2013 (indicative)

M€ % M€ %

Development of social policies 296 45.3 116.1 20

Economic modernization 235 35.9 58.05 10

Institutional support 65 9.9 232.2 40

Good governance and human rights 8 1.2 87.07 15

Environment protection 50 7.6 87.07 15

Total 654* 580.5

Sumber:

http://ec.europa.eu/europeaid/where/neighbourhood/countrycooperation/morocco/morocco_e n.htm, di akses pada 17 Maret 2014

Dalam poin-poin prioritas di atas, bantuan untuk demokratisasi Maroko masuk kedalam poin good governance and human rights. Dalam tabel di atas, bantuan dalam poin tersebut meningkat dari 1,2 persen dana ENP menjadi 15 persen dana ENP. Secara spesifik, UE juga sudah melaksanakan program-program untuk proses demokratisasi Maroko melalui ENP, diantaranya dengan mengalokasikan dana sebesar tiga juta Euro untuk mendukung parlemen Maroko melalui program SPRING.32

Penelitian ini berupaya menjelaskan proses promosi demokrasi Uni Eropa di Maroko melalui ENP pada tahun 2011-2013. Penelitian ini juga lebih fokus pada strategi yang digunakan UE daripada motivasi UE dalam melaksanakan promosi demokrasi di Maroko. Proses promosi ini akan dijelaskan dengan menggunakan pendekatan Konstruktivisme, dengan melihat promosi demokrasi sebagai bentuk transfer norma-norma demokrasi

32

European Commission, Joint Staff Working Document: Implementation of the European Neighbourhood Policy Statistical Annex (27 Maret 2014), hlm. 65


(24)

Uni Eropa ke Maroko. Penulis juga akan menggunakan konsep kondisionalitas sebagai instrumen UE dalam melaksanakan transfer norma demokrasi ini. Penulis melihat bahwa bantuan dana (funding) dan bantuan teknis yang diberikan UE dalam program ENP di bidang demokrasi untuk Maroko sebagai bentuk kondisionalitas UE.

B. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan besar yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah:

“Bagaimana Uni Eropa Mempromosikan Demokrasi di Maroko dalam Kerangka European Neighborhood Policy tahun 2011-2013?”

Penelitian ini akan fokus pada proses promosi demokrasi UE di tiga area dalam level politik Maroko, yaitu reformasi bidang pemisahan kekuasaan, penguatan peran parlemen, dan penguatan peran organisasi masyarakat sipil Maroko dalam pembangunan demokrasi. Dalam tiga area ini, aktor domestik yang akan diteliti adalah aktor negara (kerajaan dan parlemen Maroko) dan aktor non negara (organisasi masyarakat sipil Maroko). Adapun aktor internasional yang menjadi objek penelitian penulis adalah Komisi Eropa (European Commission) sebagai pelaksana dan pembuat ENP, organisasi internasional lain di Eropa yang bekerjasama dalam ENP, yaitu Council of Europe, dan perwakilan UE untuk negara-negara ENP di kawasan Mediterania, Union for the Mediterranean (UfM).


(25)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menjelaskan proses promosi demokrasi Uni Eropa di Maroko pada tahun 2011-2013.

2. Mengetahui bentuk kerjasama UE-Maroko dalam kerangka European Neighborhood Policy (ENP).

3. Mengetahui dinamika dan progres demokratisasi Maroko pada tahun 2011-2013

4. Mengaplikasikan teori konstruktivisme, konsep promosi demokrasi, dan konsep kondisionalitas untuk menjelaskan proses promosi demokrasi Uni Eropa di Maroko dalam kerangka ENP tahun 2011-2013.

Dengan adanya penelitian ini, peneliti mengharapkan penelitian ini dapat memberikan kegunaan sebagai berikut:

1. Menguji teori terkait tentang promosi demokrasi Uni Eropa di Maroko dalam kerangka ENP tahun 2011-2013.

2. Menambah wawasan tentang promosi demokrasi Uni Eropa di Maroko dalam kerangka ENP tahun 2011-2013.

3. Dapat dijadikan bahan informasi bagi pihak-pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti serta bagi masyarakat yang membutuhkan informasi mengenai promosi demokrasi Uni Eropa di Maroko dalam kerangka ENP.


(26)

D. Tinjauan Pustaka

Telah terdapat beberapa penelitian yang berkaitan dengan promosi demokrasi UE melalui kerangka ENP. Seperti dalam studi yang dikemukakan oleh Parmentier (2006), dalam artikel jurnal yang berjudul The European Neighbourhood Policy as a Process of Democratic Norms Diffusion in Ukraine, Can the EU Act Beyond Conditionality?. Dalam penelitian tersebut, Parmentier berusaha menjelaskan bagaimana proses difusi norma UE ke Ukraina melalui ENP dan menggunakan kondisonalitas sebagai alat UE dalam melaksanakan difusi norma demokrasi ini.

Penelitian Parmentier ini juga melihat proses difusi norma demokrasi tersebut dalam perspektif perluasan UE di Eastern Neighbours. Adapun penelitian ini kemudian menemukan bahwa promosi demokrasi UE di Ukraina mendorong Revolusi Oranye (Orange Revolution) yang memulai reformasi demokrasi di Ukraina pada tahun 2004. Namun, penelitian ini menemukan bahwa bukan hanya kondisionalitas yang dterapkan oleh UE yang mendorong difusi norma dan terjadinya revolusi ini, akan tetapi ada faktor lain, yaitu dukungan UE kepada masyarakat sipil Ukraina dan keinginan masyarakat Ukraina sendiri untuk melaksanakan reformasi demokrasi. 33

Dari penelitian Parmentier, penulis juga menjelaskan proses transfer norma demokrasi UE melalui ENP dengan menggunakan konsep kondisionalitas. Namun penulis melihat proses ini di Southern Neighbours,

dengan memfokuskan penelitian di Maroko pada tahun 2011-2013. Karena

33Florent Parmentier, “The European Neighborhood Policy as a Process of Democratic Norms Diffusion in Ukraine, Can The EU Act Beyond Kondisionalitas?”, Les Cahiers europeens de Sciences Po. (no. 02/2006)


(27)

fokus pada transfer norma demokrasi UE di Maroko yang termasuk dalam

Southern Neighbours, maka proses ini tidak dilihat dari perspektif perluasan EU, melainkan dlihat dengan perspektif konstruktivisme. Dalam penelitian ini, penulis juga menjelaskan bahwa reformasi demokrasi di Maroko yang mendorong UE untuk melaksanakan promosi demokrasi di bidang politik Maroko, dan bukan sebaliknya.

Sementara itu, dalam studi yang dikemukakan oleh Freyburg, Lavenex, Schimmelfennig, Skripka, dan Wetzel (2011) dalam artikel jurnal yang berjudul Democracy promotion through functional cooperation? The case of the European Neighbourhood Policy. Studi tersebut membahas tentang sejauh mana dan dalam kondisi apa UE efektif dalam mentransfer norma-norma pemerintahan demokratis kepada negara-negara ENP. Penelitian ini melihat relevansi variabel-variabel negara dengan sektor kebijakan publik untuk efektifitas promosi pemerintahan demokratis UE di empat negara ENP, yaitu Moldova, Ukraina, Yordania, dan Maroko selama tahun 2004-2011.

Penelitian Freyburg, Lavenex, Schimmelfennig, Skripka, dan Wetzel ini berusaha menjelaskan demokrasi di level sektoral seperti sektor kebijakan publik, dan bukan di level politik. Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa transfer demokrasi lebih efektif di negara dengan aspirasi anggota dan liberalisasi politik yang lebih besar. Disebutkan juga bahwa negara-negara ENP Timur lebih efektif dalam transfer norma dibandingkan negara-negara


(28)

ENP Selatan sebab negara ENP Timur memiliki aspirasi anggota dan liberalisasi politik yang lebih tinggi.34

Sama seperti penelitian Freyburg, Lavenex, Schimmelfennig, Skripka, dan Wetzel tersebut, penulis juga menjelaskan kondisi yang mendorong UE untuk melaksanakan proses reformasi demokrasi melalui ENP di Maroko, yaitu adanya Revolusi Arab dan Reformasi Konstitusi 2011. Adapun analisis penelitian ini difokuskan dalam aspek politik (pemisahan kekuasaan, penguatan peran parlemen, dan penguatan peran organisasi masyarakat sipil).

Selain dua penelitian di atas, ada beberapa tesis yang berkaitan dengan penelitian ini, di antaranya tesis yang ditulis oleh Eike Meyer, dari Potsdam University, Jerman, tahun 2007 dengan judul Democracy Promotion by The European Union in Morocco within The Framework of The European Neighborhood Policy. Dalam penelitian ini, Meyer membandingkan promosi demokrasi UE melalui EMP (Euro-Meditterranean Partnership) dan ENP (European Neighborhood Policy) dengan menganalisa berbagai instrumen untuk promosi demokrasi seperti kondisionalitas, dialog politik (diplomasi), dan instrumen positif. Tesis Meyer tersebut menggunakan perbandingan pendekatan struktural (structural approach) dengan pendekatan aktor-sentris (actor-centric approach), yang digunakan EU dalam ENP, dengan tahun penelitian dari 2004-2007.

34Tina Freyburg, et.al., “Democracy promotion through functional cooperation? The Case of The European Neighborhood Policy”, Democratization, Vol. 18, No. 4, Agustus 2011 [jurnal on-line]; tersedia di http://dx.doi.org/10.1080/13510347.2011.584738; internet; diunduh pada 17 Januari 2014.


(29)

Adapun penelitian Meyer tersebut menemukan bahwa promosi demokrasi UE dalam ENP, menggunakan pendekatan yang lebih aktif, dibandingkan dengan pendekatan promosi demokrasi UE dalam EMP. Meskipun perubahan yang dihasilkan tidak signifikan dan tidak beorientasi secara aktif untuk mereformasi kebebasan politis dan kekuasaan rezim kerajaan Maroko, akan tetapi di dalam ENP hubungan UE-Maroko lebih baik daripada di dalam EMP karena berhasil mendorong beberapa modernisasi di Maroko.35

Berdasarkan tesis di atas, penelitian ini juga akan menjelaskan promosi demokrasi UE di Maroko melalui ENP. Namun, penelitian akan difokuskan pada penjelasan proses dan strategi promosi demokrasi UE secara normatif yang dilihat melalui perspektif konstruktivisme dan hanya menggunakan kondisionalitas sebagai instrumen promosi demokrasi UE. Adapun penelitian ini melihat bahwa promosi demokrasi yang dilaksanakan UE di Maroko berhasil menciptakan beberapa capaian penting dalam proses demokratisasi Maroko, yaitu reformasi di bidang pemisahan kekuasaan, penguatan peran parlemen, dan penguatan peran organisasi Masyarakat Sipil dalam pembangunan demokrasi.

E. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan pertanyaan penelitian mengenai promosi demokrasi UE di Maroko dalam kerangka ENP tahun 2011-2013, studi ini mengacu pada

35Eike Meyer,“Democracy Promotion by The European Union in Morocco within

The Framework of The European Neighborhood Policy,” (Tesis, Universitat Potsdam, 2007)


(30)

pemahaman konstruktivisme, konsep promosi demokrasi, dan konsep kondisionalitas. Penulis akan mengaplikasikan teori konstruktivisme sebagai perspektif dalam menjelaskan proses transfer norma demokrasi dari UE ke Maroko melalui ENP. Adapun konsep promosi demokrasi digunakan untuk menjelaskan proses promosi demokrasi di Maroko. Kemudian, konsep kondisionalitas digunakan sebagai instrumen strategi promosi demokrasi UE ke Maroko.

a. Konstruktivisme

Pemahaman konstruktivisme dalam penelitian ini penulis gunakan untuk menjelaskan sosialisasi norma dalam membentuk identitas kolektif. Penjelasan mengenai hal ini diawali dengan pemaparan konsep identitas dan norma dalam konstruktivisme yang menjadi landasan terbentuknya konsep sosialisasi norma.

Konstruktivisme secara umum menekankan pada struktur normatif atau ideasional dalam mendefinisikan identitas setiap orang.36 Menurut konstruktivisme, keyakinan atau norma bersama membentuk identitas yang bersifat relatif dan relasional.37 Oleh sebab itu, menurut Wendt negara sangat mungkin untuk menciptakan identitas baru dan

36Alexander Wendt, “Anarchy is what states make of it”

, The MIT Press, Vol. 46, No. 2, (Spring 1992), hlm. 380.

37Nilüfer Karacasulu dan Elif Uzgören, “Explaining Social

Constructivist Contributions To Security Studies,” Perceptions Journal, (Summer-Autumn 2007) hlm. 29


(31)

mentransformasi peran internasional mereka, melalui interaksi yang terjadi dengan aktor lain.38

Terkait identitas, Wendt menyatakan bahwa kepentingan dan preferensi ditentukan oleh identitas aktor, karena pada dasarnya seorang aktor tidak bisa mengetahui keinginan aktor lain tanpa mengetahui siapa aktor tersebut. Pada bentuk yang paling sederhana, identitas berkaitan dengan bagaimana kita berpikir tentang diri kita sebagai seseorang, bagaimana kita berpikir tentang orang lain di sekitar kita, dan bagaimana mereka berpikir tentang kita.39

Dengan demikian, menurut Wendt identitas pada dasarnya berakar dari pemahaman diri seorang individu dengan kualifikasi bahwa identitas tersebut harus dipahami orang lain dengan cara yang sama.40 Wendt juga menyatakan bahwa tindakan seseorang terhadap suatu objek atau aktor lain didasarkan pada nilai dan norma yang dianut objek tersebut.41 Oleh karena itu, identitas menurut Wendt dapat dilihat secara kolektif bergantung pada bagaimana kepentingan aktor didefinisikan. Dalam bukunya, Social Theory, Wendt menjelaskan identitas kolektif sebagai identifikasi hubungan diri (self) dengan orang lain (others), dimana perbedaan antara diri dan orang lain menjadi kabur dan melewati seluruh

38

Maja Zehfuss, Constructivism in International Relations: The Politics of Reality (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), hlm. 40

39

Trine Flockhart, “Socialization and Democratization: a Tenuous but Intriguing Link,”

Socializing Democratic Norms: The Role of International Organizations for the Construction of Europe, ed. Trine Flockhart, (New York: Palgrave Macmillan, 2005), hlm.12-13

40

Ibid, hlm. 13

41Ganjar Nugroho, “Constructivism and International Relations,”

Global & Strategis, Th. II, No. 1, ( Januari-Juni 2008), hlm. 89


(32)

batas yang ada antara keduanya. Diri kemudian „dikategorikan‟ sebagai orang lain.42

Selain identitas, konstruktivisme juga berpegang pada konsep norma. Menurut Farrell, norma dilihat sebagai kepercayaan intersubjektif tentang dunia sosial, yang memiliki konsekuensi behavioral. Norma mendefinisikan standar kolektif atas apa yang menyusun perilaku (behaviour) aktor yang tepat dengan identitas yang dimilikinya.43 Namun, meskipun norma membedakan benar dan salah, tetapi tidak menetapkan klaim perilaku individu. Norma juga berbeda dengan rule of law, karena norma dipatuhi bukan karena dipaksakan, tetapi karena norma dilihat sebagai apa yang menyusun perilaku dengan tepat.44

Terkait dengan konstruktivisme sebagai perspektif dalam melihat transfer norma demokrasi, Risse berpendapat bahwa peran sosialisasi norma-norma spesifik, sangat dibutuhkan untuk meningkatkan frekuensi perubahan identitas individu sehingga identitas kolektif yang terbentuk dapat didasarkan pada norma tertentu.45 Hal ini diperkuat oleh pendapat Sedelmeier, bahwa norma-norma yang menjadi karakter identitas UE seringkali berdifusi dan tersosialisasi ke aktor lain, sehingga terbentuk identitas kolektif antara UE dan aktor tersebut.46

42

Zehfuss, hlm. 56 43

Flockhart, hlm. 13-14 44

Ibid, hlm. 14 45

Ibid, hlm. 13

46Ulrich Sedelmeier, “Collective Identity,”

Contemporary European Foreign Policy, ed. Walter Carlsnaes, Helene Sjursen, dan Brian White (London: SAGE Publication Ltd, 2004), hlm. 124


(33)

Selain untuk membentuk identitas kolektif yang didasarkan pada norma tertentu, konstruktivisme juga melihat bahwa sosialisasi norma spesifik dapat mengasumsikan karakter struktur dalam institusi internasional, dimana kemudian norma yang disosialisasikan dapat membentuk perilaku negara dan bahkan membentuk identitas dan kepentingan aktor.47 Lebih lanjut, Risse juga menyatakan bahwa salah satu cara terpenting dalam mengenalkan norma baru adalah tekanan eksternal yang secara perlahan membentuk reformasi negara dan diperkuat oleh perubahan kepercayaan aktor domestik yang mendukung dan berusaha mengatur transformasi negara.48

Asumsi bahwa sosialisasi norma spesifik oleh aktor internasional dapat merubah perilaku norma aktor domestik juga sesuai dengan pendapat Koslowski dan Kratochwil, bahwa perubahan praktik-praktik politik aktor domestik terjadi karena aktor eksternal merubah aturan dan norma yang membangun interaksi internasional. Perubahan tersebut terjadi ketika kepercayaan dan identitas aktor domestik berubah, sehingga kemudian merubah perilaku aktor domestik tersebut.49

Dalam penelitian ini, norma spesifik yang disosialisasikan adalah norma demokrasi. Oleh karena itu, penjelasan mengenai sosialisasi norma ini penulis kaitkan dengan konsep promosi demokrasi, yang dilihat baik

47

Ibid

48Jean Grugel, “The „International‟ in Democratization: Norms and the Middle Ground,”

Socializing Democratic Norms: The Role of International Organizations for the Construction of Europe, ed. Trine Flockhart, (New York: Palgrave Macmillan, 2005), hlm. 3

49


(34)

secara umum maupun melalui perspektif konstruktivisme sebagai landasan kerangka pemikiran dalam penelitian ini.

b. Promosi Demokrasi

Pada sub bab ini penulis memaparkan tentang demokrasi, proses demokratisasi, dan konsep promosi demokrasi. Konsepsi dan definisi demokrasi digunakan untuk memahami terjadinya proses demokratisasi yang kemudian dijadikan sebagai landasan dalam menjelaskan konsep promosi demokrasi.

Sejak lama, definisi demokrasi telah banyak didiskusikan, dan definisi demokrasi yang paling berkembang selalu merujuk pada konsep demokrasi liberal. Seperti definisi demokrasi yang diungkapkan oleh Robert Dahl:

“Seluruh rezim politik yang menjamin partisipasi nyata dari populasi pria dan wanita secara luas, serta adanya kemungkinan untuk bertentangan dengan pemerintah, dapat diakui sebagai demokrasi”. 50

Adapun secara umum dan paling sederhana, demokrasi didefinisikan oleh Lavenex dan Schimmelfennig sebagai akuntabilitas otoritas publik kepada rakyat. Mekanisme akuntabilitas terdiri atas akuntabilitas pejabat negara terhadap pemilih melalui pemilihan umum yang bebas dan adil, akuntabilitas pemerintah terhadap parlemen, atau akuntabilitas lembaga negara terhadap pengamatan publik.51

50

Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997), hlm. 5-6

51

Sandra Lavenex dan Frank Schimmelfennig, “EU democracy promotion in the neighbourhood: from leverage to governance?,” Democratization, Vol. 18, No. 4 (2011), hlm. 888 [jurnal on-line]; tersedia di http://dx.doi.org/10.1080/13510347.2011.584730; internet; diakses pada 7 Oktober 2014


(35)

Adapun demokratisasi, sebagaimana diungkapakan oleh Morlino, adalah proses terbuka dan merupakan hasil interaksi faktor internal dan eksternal. Proses ini dapat diartikan sebagai transisi dari rezim politik non-demokratis yang otoriter menjadi rezim demokratis, dimana rezim telah kehilangan beberapa aspek fundamental sebagai rezim otoriter dan belum memiliki karakter baru akan rezim yang hendak dibangun. Kemudian negara secara perlahan munuju proses pembangunan (perluasan dan pemahaman standar demokrasi), konsolidasi (pendefinisian dan adaptasi struktur norma dari rezim demokratis yang berbeda), krisis, atau peningkatan kualitas yang demokratis..52

Sementara itu, menurut Schmitz dan Sell, demokratisasi dipahami sebagai proses perubahan rezim yang memiliki tujuan spesifik yaitu pembentukan dan stabilisasi demokrasi substantif53. Oleh karena itu, hasil akhir demokratisasi adalah perluasan hak-hak yang penting bagi seluruh rakyat. Dalam hal ini, demokratisasi adalah proses yang terus menerus terjadi.54

Demokratisasi, menurut Kamp, yang mengutip pernyataan beberapa peneliti seperti Grugel dan Nielinger, merupakan hasil dari

52

Leonardo Morlino, Democracy and Democratization (Bologna: Il Mulino, 2003), hlm. 12 53

Demokrasi substantif adalah bentuk demokrasi yang menggabungkan konotasi idealistik, termasuk kontrol rakyat terhadap kebijakan, pemerintah yang bertanggung jawab, pertimbangan rasional, dan kebajikan warga negara lainnya. Demokrasi substantif merupakan pembangunan budaya demokrasi dari aspek-aspek teknis yang telah terbangun.

54

Hans Peter Schmitz dan Katrin Sell, International Factors in Processes of Political

Democratization: Towards a Theoretical Integration, (2000); Jean Grugel, Democracy without Borders: Transnationalization and Conditionality in New Democracies (London/New York, 2000) hlm 23-41, dalam Mathias Kamp, “The EU as External Democracy Promoter in Sub-Saharan Africa-The Role of Conditionality and Positive Measures,” (Skripsi, Universities of Münster and Twente, 2007), hlm. 9


(36)

berbagai faktor internal dan eksternal. Proses demokratisasi utamanya adalah hasil dari tekanan dan pembangunan internal yang kompleks. Namun, faktor eksternal atau internasional juga memiliki dampak terhadap proses demokratisasi. Faktor-faktor eksternal ini diantaranya tren internasional, kekuatan milter, diplomasi atau bantuan luar negeri.55

Berdasarkan definisi demokratisasi di atas, dapat disimpulkan bahwa demokratisasi terjadi salah satunya karena ada promosi demokrasi dari aktor eksternal. Menurut Sandschneider, promosi demokrasi oleh aktor eksternal adalah seluruh usaha aktor eksternal dalam merubah pola keteraturan politik dan pembuatan kebijakan dalam negara yang menjadi target, sehingga menghasilkan kriteria minimun akan keteraturan demokratis.56 Adapun bila merujuk kembali pada definisi demokrasi

menurut Lavenex dan Schimmelfennig, promosi demokrasi juga dapat diartikan sebagai segala aktifitas yang dibentuk untuk memperkuat akuntabilitas dan pemahaman pemerintah terhadap masyarakat.57

Sementara itu dalam perspektif konstruktivisme, promosi demokrasi menurut Risse dapat dijelaskan secara normatif atau dilihat sebagai bentuk transfer norma. Transfer norma ini terjadi karena negara-negara yang sudah demokratis menginginkan penyebaran norma-norma demokrasi kepada negara-negara yang belum demokratis. Sebab, semakin

55Mathias Kamp, “The EU as External Democracy Promo

ter in Sub-Saharan Africa-The Role of Conditionality and Positive Measures,” (Skripsi, Universities of Münster and Twente, 2007), hlm. 9

56Janine Reinhard, “EU Democracy Promotion Through Conditionality in Its Neighborhood: The Temptation of Membership Perspective or Flexible Integration?”, Caucasian Review of

International Affairs, Vol. 4 (3) (Summer 2010), hlm. 198 57


(37)

demokratis negara mitra, maka negara yang telah demokratis akan lebih mudah menghidupkan situasi demokrasi dengan membangun hubungan internasional yang didasarkan pada kerjasama dan saling percaya.58Menurut Risse-Kappen, norma tidak dapat berpindah secara bebas kepada satu aktor atau agen sosial, tetapi harus dipromosikan oleh seseorang dan kondisi yang demikian lebih kondusif dalam promosi dan penerimaan norma dibandingkan cara yang lain.59

Dalam konstruktivisme, proses promosi demokrasi adalah bentuk sosialisasi norma internasional. Adapun Barnes menyebutkan definisi sosialisasi norma sebagai induksi anggota baru ke dalam cara berperilaku yang diharapkan dalam masyarakat. Tujuan dari proses sosialisasi menurut Risse adalah agar mereka yang tersosialisasi dapat mengadopsi dan menginternalisasi seperangkat norma sehingga tekanan eksternal tidak lagi dibutuhkan.60

Trine Flockhart kemudian membedakan strategi sosialisasi norma menjadi dua:

1. Melalui strategi pengaruh sosial (social influence) atau penguatan dukungan (reinforcement)

58Jonas Wolff dan Iris Wurm, “Towards a Theory of External Democracy Promotion? Approximations from the perspective of International Relations theories,” (the 51st Annual Convention of the International Studies Association (ISA), New Orleans, 17-20 Februari, 2010), hlm. 7

59

Ibid

60


(38)

Dalam strategi ini, pembentukan perilaku pro-norma dilaksanakan melalui distribusi imbalan dan hukuman (rewards and punishments) sosial. Strategi ini menggunakan berbagai imbalan, mulai dari imbalan psikologis seperti menaikkan status kemitraan hingga imbalan materi. Strategi ini mengasumsikan bahwa aktor-aktor yang menjadi target diharapkan mampu mencapai tujuan tertentu dalam proses perubahan norma.61

Menurut Schimmelfennig, strategi ini dapat dilaksanakan melalui kondisionalitas dengan imbalan-imbalan yang didistribusikan ketika kondisi-kondisi yang disyaratkan dapat terpenuhi. Namun demikian, secara negatif strategi ini juga dapat menggunakan hukuman seperti penghinaan di hadapan publik, dikeluarkan dari keanggotaan organisasi, atau pengangguhan imbalan materi yang dijanjikan.62

2. Melalui strategi persuasi

Stretegi ini berusaha mendorong perilaku yang konsisten terhadap norma, dan dilaksanakan melalui proses interaksi sosial yang meliputi perubahan perilaku tanpa menggunakan tekanan materi atau mental.63 Proses persuasi lebih mendalam daripada strategi pengaruh sosial, dan memiliki efek yang lebih baik dalam merubah perilaku dan keyakinan aktor yang menjadi target dalam kondisi tertentu.

61Trine Flockhart, “Complex Socialization and the Transferof Democratic Norms,”

Socializing Democratic Norms: The Role of International Organizations for the Construction of Europe, ed. Trine Flockhart, (New York: Palgrave Macmillan, 2005), hlm. 48

62

Ibid

63


(39)

Berbeda dengan pengaruh sosial yang hanya dijalankan di area publik, persuasi dapat dijalankan di area privat, seperti forum dialog atau diplomasi, dimana persuasi merupakan proses debat dan mempertahankan argumen. Jeffrey Checkel menyatakan bahwa efektifitas persuasi terjadi bila negara target secara kognitif termotivasi untuk menganalisa informasi baru yang dipersuasikan. Oleh karena itu, persuasi lebih cocok digunakan untuk mempengaruhi level elit atau negara daripada level nasional atau rakyat.64

Adapun dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan strategi sosialisasi berupa pengaruh sosial atau reinforcement yang diwujudkan dalam konsep kondisionalitas.

c. Kondisionalitas

Secara umum, kondisionalitas dilihat sebagai metode yang menjelaskan hubungan logis antara dua aktor atau lebih. Kondisionalitas juga dapat didefinisikan sebagai persetujuan antara dua aktor, dimana aktor pertama menawarkan imbalan kepada aktor kedua, bila aktor kedua memenuhi kondisi tertentu.65 Kondisionalitas juga dipahami sebagai norma dalam persetujuan internasional. Menurut Killick, kondisionalitas adalah, “seperangkat peraturan yang saling mengatur, yang diambil oleh satu pemerintahan, baik melalui janji-janji maupun kebijakan yang nyata,

64

Ibid, hlm. 49 65


(40)

dalam rangka mendukung institusi keuangan internasional atau agensi lain yang menyediakan bantuan keuangan dalam jumlah tertentu”.66

Kondisionalitas didasarkan pada asumsi bahwa bantuan akan menghasilkan progres dan pertumbuhan kumulatif yang dapat mendorong terwujudnya reformsi dan menciptakan dukungan politik. Adapun dukungan politik akan memudahkan pelaksanaan reformasi.67

Sebagai sebuah konsep, kondisionalitas dapat dibedakan berdasarkan tiga aspek utama:

1. Berdasarkan waktu pemenuhan kondisi yang disyaratkan

Kondisionalitas dibedakan menjadi dua, yatiu Ex Post Conditionality dan Ex Ante Conditionality. Ex Post Conditionality

memiliki bentuk seperti hukum internasional, dimana kondisi yang diharapkan dalam perjanjian dapat terwujud setelah ratifikasi perjanjian. Sedangkan Ex Ante Conditionality mengharuskan kondisi yang diinginkan dalam perjanjian dapat dipenuhi atau sedang dalam proses perwujudan sebelum perjanjian ditandatangani.68

2. Berdasarkan jumlah negara yang melaksanakan kondisionalitas

Kondisionalitas dapat bersifat unilateral, yaitu dilakukan oleh satu negara, seperti AS dan Uni Soviet pada masa Perang Dingin di negara-negara sekutunya masing-masing, maupun multilateral, seperti

66

Viljar Veebel, “European Union‟s Positive Conditionality Model in Pre-accession Process”,

TRAMES, Vol. 13 (63/58), No. 3 (2009), hlm. 208 67

Ibid, hlm. 208-209 68


(41)

yang dilaksanakan oleh UE, NATO, atau OSCE, sebagai satu komunitas atau organisasi multinegara di negara-negara anggotanya maupun negara-negara tetangganya.69

3. Berdasarkan sifatnya

Kondionalitas pada hakikatnya dapat bersifat negatif maupun positif. Kondisionalitas negatif bertujuan mempengaruhi situasi yang ada (rezim perdagangan, ekonomi, politik), yang dijanjikan atau ditekan untuk dirubah, bila negara target tidak memenuhi persyaratan atu kriteria tertentu. Kondisionalitas negatif meliputi sanksi berupa pengurangan, penundaan, atau pemberhentian imbalan jika negara target tidak memenuhi kondisi yang disyaratkan.70

Sebaliknya, kondisionalitas positif memiliki sifat ex ante. Oleh sebab itu, kondisionalitas positif tidak hanya memuaskan satu pihak saja (penekan) tetapi juga memotivasi pihak lain untuk merubah situasi yang ada. Pengaruh yang diberikan biasanya didasarkan pada janji aktor penekan untuk memberikan insentif tertentu, ketika negara target mampu memenuhi kondisi yang diinginkan. Menurut Fierro, Kondisionalitas positif dapat efektif apabila keuntungan yang

69

Ibid

70Karen E. Smith, “Engagement and conditionality: incompatible or mutually reinforcing?,”

Global Europe Report 2: New Terms of Engagement, ed. Richard Youngs (London: The Foreign Policy Centre and The British Council, 2005) hlm. 23


(42)

dijanjikan jauh lebih besar daripada biaya yang harus dikeluarkan negara target untuk memenuhi kondisi yang disyaratkan.71

Sementara itu, dalam perspektif konstruktivisme kondisionalitas yang dilakukan oleh UE dapat dipahami sebagai bentuk norma UE sendiri. Hal ini sesuai dengan pendapat Karen Smith bahwa cara UE melaksanakan kondisionalitas membuktikan signifikansi norma atau keyakinan bersama dalam kebijakan luar negeri. Kondisionalitas itu sendiri adalah norma, sikap standar, yang „berkompetisi‟ dengan kepentingan yang lain.72 Adapun dalam perspektif konstruktivisme, kondisionalitas merupakan instrumen promosi demokrasi yang merupakan perwujudan dari strategi pengaruh sosial (social influence) atau penguatan dukungan (reinforcement). Dalam mengaplikasikan kondisionalitas, aktor sosial mengunakan mekanisme pengaruh sosial atau penguatan dukungan untuk merubah perilaku aktor lain.73

Pengaruh sosial atau penguatan dukungan adalah bentuk dari kontrol sosial dimana aktor yang pro perilaku sosial akan diberi imbalan dan yang anti-perilaku sosial akan dihukum. Diharapkan setelah masa tertentu, aktor yang ditargetkan oleh strategi tersebut akan tunduk pada perilaku sosial yang sesuai sehingga tidak akan dihukum dan akan terus

71

Ibid

72Karen E. Smith, “The Use of Political Conditionality in the EU‟s Relations with Third

Countries: How Effective?”,(ECSA International Conference, Seattle, 29 Mei-1 Juni, 1997) hlm. 3 73Frank Schimmelfennig, “The EU: Promoting Liberal

-Democracy through Membership Conditionality,” Socializing Democratic Norms: The Role of International Organizations for the Construction of Europe, ed. Trine Flockhart, (New York: Palgrave Macmillan, 2005), hlm. 107


(43)

diberi imbalan. Pada akhirnya, pengaruh sosial atau penguatan dukungan yang sukses akan menjadikan negara target terus mengikuti norma.74

F. Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif analitis. Dalam menyusun penelitian ini, penulis mengumpulkan data dengan menggunakan teknik studi kepustakaan (Library Research) atau dokumentasi, dimana penulis melakukan penelaahan literatur dan referensi dari berbagai data sekunder yang bersumber dari buku-buku dan jurnal yang penulis dapatkan dari beberapa lokasi, yaitu: Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Perpustakaan Utama Universitas Indonesia.

Selain dari perpustakaan, penulis juga mengakses buku-buku dan jurnal elektronik dari beberapa website, seperti Taylor and Francis, Jstor, dan Pro Quest. Penulis juga menelaah dokumen dan laporan ENP yang diakses dari website resmi European Commission, EU External Action Service serta website Kementerian Luar Negeri dan Parlemen Maroko. Setelah melakukan penelaahan literatur, penulis melakukan analisa penelitian dengan mengklasifikasi data dan referensi yang didapat untuk kemudian difokuskan pada proses promosi demokrasi ENP di Maroko, dengan menganalisa tiga aspek politik di Maroko yaitu pembagian kekuasaan, penguatan peran parlemen dan penguatan peran organisasi masyarakat sipil Maroko.

74


(44)

G. Sistematika Penulisan

BAB I Pendahuluan

A. Latar Belakang Penelitian B. Pertanyaan Penelitian

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian D. Tinjauan Pustaka

E. Kerangka Teori F. Metode Penelitian G. Sistematika Penulisan

BAB II Demokratisasi di Maroko

A. Pemisahan Kekuasaan B. Penguatan Peran Parlemen

C. Penguatan Peran Organisasi Masyarakat sipil Dalam Pembangunan Demokrasi

BAB III European Neighborhood Policy (Kebijakan Eropa Untuk Negara Tetangga) Di Maroko

A. Pengertian European Neighborhood Policy (ENP) B. Landasan Kerjasama UE-Maroko Dalam Kerangka ENP

2011-2013

C. Promosi Demokrasi Uni Eropa di Maroko Dalam Kerangka ENP (2011-2013)

1. Bidang Pemisahan Kekuasaan 2. Bidang Penguatan Peran Parlemen

3. Bidang Penguatan Peran Organisasi Masyarakat Sipil Dalam Pembangunan Demokrasi

BAB IV Analisis Promosi Demokrasi Uni Eropa di Maroko Dalam Kerangka European Neighborhood Policy Tahun 2011-2013

A. Sosialisasi Norma Demokrasi UE di Maroko Untuk Membentuk Identitas Kolektif UE

B. Promosi Demokrasi UE di Maroko dalam Kerangka ENP sebagai Perwujudan Sosialisasi Norma Demokrasi

C. Kondisionalitas Sebagai Instrumen Promosi Demokrasi UE di Maroko


(45)

32

BAB II

DEMOKRATISASI DI MAROKO

Sebagai negara monarki di kawasan Timur Tengah dengan kultur otoritarian yang sangat kuat, proses demokratisasi di Maroko mengalami pasang surut sejak negara ini merdeka pada tahun 1956. Sejak meraih kemerdekaan Maroko sesungguhnya telah mengadopsi sistem pemerintahan demokratis dengan bentuk negara monarki konstitusional, sistem multipartai, dan pemilu parlemen yang rutin dilaksanakan. Akan tetapi, perebutan kekuasaan politik antara partai-partai politik dengan kerajaan kemudian menghambat keterbukaan sistem politik di Maroko. Tercatat Maroko telah melaksanakan amandemen konstitusi sebanyak enam kali sejak tahun 1956. 75 Namun demikian, faktor eksternal seperti penyebaran norma demokrasi oleh aktor internasional seperti Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat, serta faktor internal seperti tuntutan masyarakat sipil Maroko akan proses demokratisasi dalam pemerintahan Maroko, kemudian mendorong Maroko untuk memulai proses demokratisasi yang lebih nyata dalam aspek politik.

Dalam bab ini penulis akan memaparkan proses demokratisasi di Maroko dalam aspek-aspek politik yang penting bagi demokrasi Maroko, yaitu pemisahan kekuasaan, penguatan peran parlemen, dan penguatan peran organisasi masyarakat sipil dalam pembangunan demokrasi. Pemisahan kekuasaan yang jelas, dengan tidak adanya dominasi kekuasaan oleh eksekutif, legislatif, atau

75

Lise Storm, Democratization in Morocco: The Political Elites and Struggles for Power in The Post-Independence State (New York: Routledge, 2007), hlm. 34


(46)

yudikatif akan memudahkan berjalannya reformasi demokrasi. Hal ini kemudian akan mendorong penguatan peran parlemen, dimana reformasi demokrasi yang dijalankan bisa mendapatkan kontrol yang jelas dari legislatif. Sementara itu, bila negara menginginkan proses reformasi demokrasi yang transparan dan inklusif harus juga memberdayakan rakyatnya. Masyarakat sipil menjadi forum bagi rakyat yang memiliki kepentingan bersama, serta dapat menjadi pemicu demokratisasi yang potensial. Sebab, pergerakan masyarakat sipil dapat membentuk kebijakan pemerintah dan perilaku sosial, sehingga dapat bermuara pada demokrasi.76

Demokratisasi adalah landasan bagi promosi demokrasi. Oleh karena itu, dengan melihat proses demokratisasi dalam tiga aspek politik dalam demokrasi Maroko tersebut, proses promosi demokrasi yang dianalisa dalam penelitian ini akan memiliki landasan yang jelas. Adapun dalam penjelasan mengenai reformasi dan proses demoratisasi di tiga aspek tersebut, penulis akan membagi uraian dalam tiga periode, yaitu periode awal transisi demokrasi – reformasi konstitusi 1996, pasca reformasi konstitusi 1996- reformasi konstitusi 2011, dan periode pasca reformasi konstitusi 2011-Desember 2013.

A. Pemisahan Kekuasaan

1. Periode awal transisi demokrasi – Reformasi Konstitusi 1996

Proses demokratisasi secara nyata di Maroko baru dilaksanakan pada awal tahun 1990-an, yang disebut sebagai „periode transisi

76Tasniem Anwar, Anne van Groningen, Rosa Hendriks Awuy, dan Tim Stork, “The State and Capacity of Civil Society,” Zeytun Research Paper, Morocco Program 2012-2013, University of Amsterdam (2013), hlm. 43


(47)

demokrasi‟, dimana rezim Maroko melaksanakan reformasi politik untuk pertama kali sejak tahun 1960-an.77 Periode transisi demokrasi di tahun 1990-an kemudian menjadi periode perubahan politik yang paling besar dalam sejarah Maroko pasca kemerdekaan. Periode ini ditandai dengan adanya dua perubahan konstitusional dan referendum rakyat pada tahun 1992 dan 1996, juga dua pemilihan legislatif pada tahun 1993 dan 1997.78 Perubahan ini pada akhirnya mempengaruhi kerangka politik Maroko menjadi lebih demokratis sekaligus lebih otoriter di saat yang bersamaan.79 Raja Hasan II yang berkuasa pada periode ini, berusaha melakukan rekonsiliasi dengan oposisi tradisionalnya, sekaligus tetap mempertahankan dominasi kerajaan. Hal ini dipicu oleh situasi yang tidak menguntungkan kerajaan, dimana terjadi protes besar-besara karena keterlbatan Maroko dalam Perang Teluk, sekaligus meningkatnya kekuataan oposisi utama, Partai Istiqlal dan USFP. Akibatnya, beberapa reformasi yang dilakukan pemerintah Maroko sejak „periode transisi demokrasi‟ pada tahun 1990-an, nyatanya tidak pernah menyentuh kekuasaan penuh yang dipegang Kerajaan.80

Sebenarnya, reformasi konstitusi 1992 memberi dasar bagi pemerintahan Maroko yang lebih akuntabel, diantaranya dengan memberi hak bagi Perdana Menteri untuk memilih menteri dan membentuk

77Maati Monjib, “The „Democratization‟ Process in M

orocco: Progress, Obstacles, and The Impact of The Islamist-Secularist Divide,” Working Paper The Saban Center for Middle East Policy at The Brookings Institution, No. 5 (Agustus 2011), hlm. 4

78

James Nadim Sater, Civil Society and Political Change in Morocco (New York: Routledge, 2007) hlm. 84

79

Ibid

80


(48)

kabinet, yang sebelumnya menjadi hak penuh Raja.81 Reformasi ini sesungguhnya hanya memberi kekuasaan semu bagi Perdana Menteri dan Partai Politik, karena di saat yang sama Raja memperkuat posisi Kerajaan dengan mempengaruhi partai politik agar tunduk kepada jaringan kerajaan (Makhzen), sehingga secara keseluruhan, pemerintahan tetap berada dalam kontrol Kerajaan.

Salah satu capaian penting di awal periode transisi demokrasi ini adalah Raja Hassan II berupaya membentuk sistem perwakilan (alternance) dalam pemerintahan Maroko guna memulai proses demokratisasi. Salah satu caranya adalah dengan mempersatukan oposisi tradisional, yaitu blok demokratis Koutla ke dalam pemerintahannya. Pada awalnya reformasi ini diharapkan mampu mewujudkan pemisahan kekuasaan dalam pemerintahan Maroko, karena selama ini hubungan Kerajaan dengan Koutla tidak berjalan dengan baik.82

Namun demikian, hubungan baik yang berusaha dijalin ini berakhir pada Januari 1995, ketika Raja Hassan II dianggap tidak konsisten untuk mempertahankan sistem perwakilan ini dengan menunjuk seorang teknokrat tanpa afiliasi politik sebagai Perdana Menteri. Kerajaan berusaha melanjutkan negosiasi dengan Koutla sebagai usaha agar oposisi tetap mendukung suksesi takhta Kerajaan dari Raja Hassan II kepada putranya,

81Martina Warning, “Neighborhood and Enlargement Policy: Comparing the Democratization Impact of the European Union in Morocco and Turkey,” CIRES Working Paper Series, WP4

(2006), hlm. 18

82Sami Zemni dan Koenraad Bogaert, “Morocco and the Mirages of Democracy and Good Governance,” UNISCI Discussion Papers, No. 12 (Oktober 2006), hlm. 105


(49)

Mohammed VI. Negosiasi ini berakhir dengan kesepakatan untuk melakukan referendum konstitusi pada 13 September 1996. Koutla pun menerima konstitusi baru 1996, dengan harapan suasana politis yang terlegitimasi dan berdasarkan konsensus dapat terwujud.83

2. Pasca Reformasi Konstitusi 1996 – Reformasi Konstitusi 2011

Konstitusi 1996 memang mendefinisikan Maroko sebagai „Kerajaan demokratis, sosial dan konstitusional‟, namun karakteristik kekuataan eksekutif yang dipegang oleh Kerajaan menunjukkan bahwa pemisahan kekuasaan dalam pemerintahan tidak berjalan dengan baik. Struktur dan institusi demokrasi formal Maroko sebenarnya dibayangi oleh struktur pemerintahan informal yang disebut Makhzen, yaitu jaringan Kerajaan yang menguasai garis kebijakan utama dan bertindak sebagai penjaga segala bentuk reformasi politik.84

Menurut aturan konstitusi 1996, Raja Maroko memiliki supremasi secara politik dan religius sehingga ia memiliki kekuasaan eksekutif yang luas dengan justufikasi religius yang tidak terbantahkan. Kekuasaan di Maroko memang dibedakan secara hukum dan fungsinya, namun pada praktiknya tidak ada pemisahan kekuasaan (separation of power), dengan

83

Ibid, hlm. 106

84Kristina Kausch, “How serious is the EU about supporting democracy and human rights in Morocco?,” ECFR/FRIDE Working Paper, No.01 (Mei 2008), hlm. 2


(50)

Kerajaan memimpin kekuasaan eksekutif dan memiliki pengaruh besar atas kekuasaan legislatif dan yudikatif.85

Pada masa Raja Hassan II, Kerajaan sempat memperbolehkan pemerintahan oposisi berkuasa pada Maret 1998, dengan menunjuk Abdurrahman Youseffi, dari partai oposisi sosialis, merujuk pada aturan baru konstitusi 1996.86 Namun, hal ini tidak terlalu berpengaruh sebab seluruh menteri dalam pemerintahan oposisi adalah elit pendukung kerajaan.87 Adapun di bawah pemerintahan Mohammed VI berdasarkan aturan Konstitusi 1996, kerajaan tetap menjadi pemegang kontrol sistem politik Maroko, serta berusaha mengendalikan kekuasaan legislatif. Selain itu, sistem pemilu nasional Maroko, yang didasarkan pada perwakilan tertentu, selalu menghasilkan parlemen yang terfragmentasi, sehingga dengan mudah dapat diatur oleh Kerajaan.88

Menurunnya tingkat kepercayaan rakyat serta dinamika politik di Maroko yang berubah pasca Revolusi Arab tahun 2010, menjadi momentum dimulainya proses demokratisasi di bidang politik Maroko. Komitmen menuju reformasi politik dimulai ketika Raja Mohammed VI melalui pidatonya pada tanggal 9 Maret 2011 mengumumkan rencana

85

Ibid

86Marvine Howe, “Morocco's Democratic Experience,”

World Policy Journal, Vol. 17, No. 1 (Spring, 2000), hlm. 66, [jurnal on-line], tersedia di http://www.jstor.org/stable/40209678 ;internet; diakses pada 9 Oktober 2014

87Tom Pierre Najem, “State power and democratization in North Africa: Developments in Morocco, Algeria, Tunisia, and Libya,” Democratization in the Middle East: Experiences, struggles,challenges, ed. Amin Saikal dan Albrecht Schnabel (New York: United Nation University Press, 2003), hlm. 188

88


(1)

Lampiran 2

Press Release resmi dari European Commission untuk program-program ENP di Southern Neighbours pasca Revolusi Arab

Catatan: data ini hanyalah bagian pembukaan dan bagian khusus Maroko dari keseluruhan dokumen yang berjumlah 12 halaman.

EUROPEAN COMMISSION

MEMO

MEMO/11/918 Brussels, 16 December 2011

The EU's response to the 'Arab Spring'

Since the first demonstrations in Tunisia in December 2010, a wave of popular discontent has shaken the Arab world, with people calling for dignity, democracy, and social justice. Despite the unexpected magnitude of these uprisings, the EU has been quick to recognise the challenges of the political and economic transition faced by the region as a whole. It has also recognised the need to adopt a new approach to relations with its Southern neighbours.

The EU has engaged politically with a wide range of government, opposition, parliamentary and civil society interlocutors in the region through visits from the President of the Commission, the President of Parliament, the HR/VP and several Commissioners.

The EU's strategic response to the Arab Spring came as early as 8 March 2011, with the joint communication of the High Representative/Vice President (HR/VP) Catherine Ashton and the Commission proposing "A partnership for democracy and shared prosperity with the Southern Mediterranean". This communication stresses


(2)

the need for the EU to support wholeheartedly the demand for political participation, dignity, freedom and employment opportunities, and sets out an approach based on the respect of universal values and shared interests. It also proposes the "more for more" principle, under which increased support in terms of financial assistance, enhanced mobility, and access to the EU Single Market is to be made available, on the basis of mutual accountability, to those partner countries most advanced in the consolidation of reforms. This approach was further elaborated in another joint communication on 25 May which initiated the launch of "a new response to a changing Neighbourhood".

The EU is committed both in the short and long term to help its partners address in particular two main challenges:

- First, to build “deep democracy”, i.e. not only writing democratic constitutions and conducting free and fair elections, but creating and sustaining an independent judiciary, a thriving free press, a dynamic civil society and all other characteristics of a mature functioning democracy.

- Second, to ensure inclusive and sustainable economic growth and development, without which democracy will not take root. A particular challenge is to ensure strong job creation.

The EU's response in Morocco

On 2 July 2011, HR/VP Catherine Ashton and Commissioner for the ENP Stefan Füle welcomed the positive outcome of the referendum on the new Constitution which endorsed the reforms proposed by King Mohammed VI. They also reiterated the EU's support for Morocco's efforts to implement these far-reaching reforms. The EU sent an expert mission to assess the parliamentary elections of 25 November. The setting up of the Mobility Partnership with Morocco was launched in Rabat in October and the EU gave a new impetus to the negotiations for the new Action Plan of the Advanced Status, which resumed in December. Moreover, the preparatory process for the future negotiations for a Deep and Comprehensive Free Trade Area (DCFTA) with Morocco will be launched in early 2012.

As regards financial support, the five priority areas for cooperation remain the same: development of social policies, economic modernisation, institutional support, good governance and human rights, and environmental protection. The indicative budget for 2011-2013 is €580.5 million, which represents a 20% increase in comparison with the budget of 2007-2010. Morocco also benefits from other thematic and regional programmes and will get further support under the Civil Society Facility and Erasmus Mundus.


(3)

Lampiran 3

Press Release resmi dari European Commission untuk program SPRING

EUROPEAN COMMISSION

MEMO

MEMO/11/636 Brussels, 27 September 2011

EU response to the Arab Spring: the SPRING Programme

The Support to Partnership, Reform and Inclusive Growth – the SPRING Programme, adopted today - directly responds to the events of the Arab Spring. Initiatives supported by SPRING will focus specifically on two of the renewed EU policies in the region. 180.

Aims

The main aim is to respond to the pressing socio-economic challenges that partner countries of the southern Mediterranean region are facing and to support them in their transition to democracy.

Support provided through the SPRING programme will be tailored to the needs of each country, based on an assessment of the country's progress in building democracy and applying the 'more for more' principle. 'More for more' means that the more a country progresses in its democratic reforms and institutional building, the more support it can expect from the SPRING programme.

180


(4)

Implementation

Initiatives supported through the SPRING programme will complement already- ongoing activities in partner countries, supported at EU level or bilaterally by EU Member States, as well as by other donors.

Initiatives will be identified by EU Delegations working closely with partner governments, EU Member States and international stakeholders.

All Southern Neighbourhood partners' countries will benefit from the programme. Depending on conditions in each individual country, it is expected that initial support in 2011 may go to Tunisia, Egypt, Jordan and Morocco.

Expected results Democratic Transition

Depending on the rhythm of reform in each country, concrete results are expected in the field of human rights and fundamental freedoms, democratic governance, freedom of association, expression and assembly and free press and media. Improvements in public administration, rule of law and fight against corruption –– are also anticipated.

Sustainable and inclusive growth and economic development

Results are expected in a number of areas including a better regulatory framework for business, increased numbers of Small and Medium Enterprises (SMEs); as well as a reduction in internal social and economic disparities.

Funds

Amount : €350 million

- €65 million will be committed in 2011

- €285 million will be committed in 2012 (subject to the approval of the Budgetary Authority)

Budget Source: European Neighbourhood and Partnership Instrument (ENPI) Duration: 2011 - 2012


(5)

Lampiran 4

Press Release resmi dari European Commission untuk program Civil Society Facility

EUROPEAN COMMISSION

MEMO

MEMO/11/638 Brussels, 27 September 2011

EU response to the Arab Spring: the Civil Society Facility

The Communication on “A new response to a changing Neighbourhood” - the culmination of a comprehensive review of the European Neighbourhood Policy

launched in 2010, outlines a new approach towards the EU‟s neighbours to the East

and South, based on mutual accountability and a shared commitment to respecting universal values, international human rights standards, democracy and the rule of law.

Acknowledging civil society‟s role to contribute to policy-making and hold governments to account, the Communication commits to supporting a greater role for them through a partnership with societies, helping non-state actors develop their advocacy capacity the ability to monitor reform and their role in implementing, monitoring and evaluating EU programmes.

It also paves the way for more intensive engagement with all those stakeholders who are already involved in the implementation of the Eastern Partnership. Most importantly, it proposes the establishment of a Civil Society Facility to provide funding for non-state actors.


(6)

The Facility is also referenced in the Communication on “A Partnership for

Democracy and Shared Prosperity with the Southern Mediterranean”181

, outlining

the EU‟s response to recent events in the Neighbourhood South.

The Components of the Civil Society Facility 2011-2013

The Neighbourhood Civil Society Facility is made up of three components, to be funded over 2011-2013:

Component 1: Strengthening capacity of civil society, through exchanges of good practice and training, to promote national reform and increase public accountability, to enable them to become stronger actors in driving reform at national level and stronger partners in the implementation of ENP objectives.

Component 2: Strengthening non-state actors through support to regional and country projects, by supplementing the funding available through thematic programmes and instruments.

Component 3: Promoting an inclusive approach to reforms by increasing the involvement of non-state actors in national policy dialogue and in the implementation of bilateral programmes.

Funds

Amount: €22M

Budget Source: European neighbourhood and partnership instrument (ENPI) Duration: 2011-2013

181