BAB IV PERAN CENTRE FOR DIALOGUE AND COOPERATION
AMONG CIVILISATIONS CDCC DALAM RANGKA PENGUATAN RUANG PUBLIK YANG BEBAS
A. Latar Belakang Centre for Dialogue and Cooperation amongs
Civilisation CDCC Membangun Dialog
Sebagai bagian dari civil society, Centre for Dialogue and Cooperations among Civilisations selanjutnya CDCC berupaya melakukan peran nya di
Masyarakat dengan membuka ruang publik yang bebas terhadap warga dengan memfasilitasi warga untuk melakukan diskusi dan dialog untuk membahas
masalah yang dianggap relevan. Pada awal nya, diskusi- diskusi yang diadakan oleh beranjak dari tesisnya Samuel Huntington tentang benturan peradaban clash
of civilisation .
44
Apabila kita melihat Sejarah dunia, semenjak awal 1990-an dunia memasuki fase baru yang ditandai dengan munculnya berbagai megatrend, antara
lain berakhirnya perang dingin, hancurnya komunisme, bangkitnya kapitalisme baru di tiga kawasan Amerika Utara, seleruh benua Eropa, dan kawasan Asia
Pasifik sekitar Jepang dan Cina, serta menguatnya dampak globalisasi dalam dimensi kehidupan manusia. Munculnya sejumlah fenomena dunia pasca perang
dingin memerlukan sebuah paradigma berpikir yang berbeda dengan paradigma berpikir selama ini kita pegang dalam menjelaskan fenomena perang dingin.
44
Wawancara Pribadi dengan Ilham Munzir, Jakarta, 21 November 2010.
Sebagaimana diketahui dalam 40 tahun perang dingin 1950-1991 digambarkan terpolarisasi dalam dua blok. Pertama, kelompok masyarakat relatif kaya, sangat
demokratis, dan dipimpin oleh Amerika Serikat. Kedua, kelompok masyaarakat realtif miskin, komunis, dan dipimpin oleh Uni Soviet. Adanya polarisasi dunia
dalam dua blok itu memicu konflik yang bersifat ideologis, politis, ekonomis, dan bahkan militer di antara dua kekuatan dunia tersebut.
Pola poltik yang mempertentangkan secara ideologis antara blok negara kapitalis dengan blok negara komunis membawa pengaruh bagi negara-negara
berkembang. Banyak negara berkembang menjadi negera satelit bagi negara adikuasa. Bahkan sejarah mencatat bahwa sebagian konflik itu terjadi di dunia
ketiga yang biasanya penduduknya miskin, tidak memiliki stabilitas politik, baru memperoleh kemerdekaan, dan mengaku sebagai negara non-blok.
45
Berakhirnya perang dingin telah membawa perubahan dalam cara berfikir kita mengenai hubungan antar negara. Situasi dan kondisi yang berbeda
paska perang dingin memerlukan peta berpikir baru untuk menerapkannya. Akhir perang dingin pun ditandai dengan runtuhnya Uni Soviet pada 1991 setelah
Moskow mengadopsi kebijkan politik luar negeri yang pro-Barat dengan dimodifikasi sesuai dengan tekanan kelompok nasionalis pada pertengahan 1990-
an.
46
Paradigma yang berpikir tepat dalam menjelaskan fenomena dunia pasca perang dingin itu dikenal sebagai paradigma benturan peradaban The Clash of
45
Samuel P. Huntington, Jika Peradaban Apa? Paradigma Dunia Paska Perang Dingin,
Aslinya If Not Civilization, What? Penerj. Saiful Umam, Jakarta: LSAF dan ICMI, No.2 Vol.V. Thn. 1994 h.56.
46
Brian Hocking dan Michael Smith, Politik, An Introduction to Internasional Relations,
London: Prentice Hall, 1995, cet,II h. 230
Civilisation . Dalam perspektif ini, dunia secara sederhana terbagi dalam dua
kelompok. Pertama, negara-negara kaya North atau dikenal dengan negara demokratis. Kedua, negara-negara miskin south atau negara non-demokratis.
Paradigma benturan peradaban ini telah memperlihatkan pergeseran pada level makro maupun mikro. Pada level makro, politik dunia tampaknya terlibat
banyak konflik dan sedang mengubah perimbangan kekuatan sejumlah negara menurut berbagai peradaban yang berbeda. Sementara itu, pada level mikro,
konflik-konflik yang paling kasar, berkepanjangan dan berbahaya karena kemungkinan adanya peningkatan tampaknya akan terjadi diantara negara-negara
dan kelompok-kelompok dari peradaban yang berbeda.
47
Jika peranan agama dan kutur di masa lalu diabaikan, sekarang keduanya dianggap penting. Bahkan sebagian orang meyakini akan terjadinya benturan di
masa mendatang dalam konteks kepentingan internasional. Benturan peradaban ini akan mendominasi politik global pasca perang dingin. Bagi Huntington,
benturan peradaban terjadi ketika politik internasional meninggalkan fase baratnya. Benturan peradaban berjalan dalam bentuk interaksi peradaban Barat
dan peradaban non- Barat serta terjadi di kalangan peradaban non-Barat saat peradaban non-Barat tak lagi menjadi objek sejarah atau sasaran kolonialisme
Barat, namun bersama-sama dengan Barat Menjadi penggerak dan pembentuk sejarah.
48
Peradaban dalam kerangka Huntington dipahami bahwa peradaban adalah entitas kultural atau pengelompokan kultural tertinggi, yang unsur-unsur
47
Samuel P. Huntington, Jika Bukan Peradaban, Apa? h. 53
48
Jhon L. Esposito, Ancaman Islam : Mitos atau Ancaman, Penerj. Alwiyah Abdurahaman, Bandung: Mizan, 1995, cet.II h. 205
objektifnya memiliki kesamaan seperti bahasa, sejarah, agama, adat, dan subjektifitas identitas diri masyarakat. Suatu peradaban bisa saja mencakup
beberapa beberapa negara bangsa atau satu negara saja. Diantara peradaban besar itu adalah peradaban Barat, Islam, Amerika Latin, Cina dan Jepang.
Kini sikap meremehkan agama dan kultur dalam politik global dan masalah internasional masa lalu digantikan dengan sikap menekan kekuatan
persamaan kultural sebagai fondasi kekuatan ekonomi, politik, dan kemampuan untuk membuat persatuan trans-nasional dalam melahirkan aktor-aktor ekonomi
dan politik yang efektif adalah orang-orang Cina, Hongkong, Singapura dan Malaysia. Pendek kata, agama dan etnisitas dalam kontek peradaban selalu
menjadi sumber identifikasi primer bagi banyak orang khususnya bagi elite non moderen.
Paradigma benturan peradaban yang dikembangkan Huntington dinilai oleh Jhon L. Esposito sebagai kecenderungan berfikir yang melebih-lebihkan
perbedaan kultural. Paradigma seperti ini terdistorsi lantaran terlalu menekankan jurang pemisah atau garis batas yang membagi peradaban. Bahkan, lebih jauh
Esposito mengatakan bahwa paradigma benturan peradaban mirip dengan ketakutan yang berbau rasisme kultural yang menjadi sumber sentmen anti-
semitisme maupun anti-Asia. Berangkat dari perspektif ini, tegas Esposito membuat Huntington berkesimpulan bahwa garis pembatas antar peradaban
menggantikan batas-batas politik dan ideologi yang selama perang dingin menjadi titik nyata bagi krisis dan pertumpahan darah.
49
49
Jhon L.Esposito, Ancaman Islam, h.206