Gambaran Pola Asuh Orangtua Pada Masyarakat Pesisir Pantai

(1)

GAMBARAN POLA ASUH ORANGTUA

PADA MASYARAKAT PESISIR PANTAI

Guna Memenuhi Persyaratan Skripsi Bidang Psikologi Perkembangan

Oleh:

PUTRI LIA RAHMAN

071301033

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GENAP 2012


(2)

GAMBARAN POLA ASUH ORANGTUA PADA

MASYARAKAT PESISIR PANTAI

Dipersiapkan dan disusun oleh: PUTRI LIA RAHMAN

071301033

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 02 Agustus 2012

Mengesahkan Dekan Fakultas Psikologi

Prof. Dr. Irmawati, psikolog NIP. 195301311980032001

Tim Penguji

1. Elvi Andriani, M.Si., psikolog Penguji I NIP. 196405232000032001 Merangkap pembimbing

2. Debby Anggraini Daulay, M.Psi., psikolog

NIP. 198101222008122002 Penguji II

3. Meutia Nauly, M.Si., psikolog


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :

Gambaran Pola Asuh Orangtua Pada Masyarakat Pesisir Pantai

Adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah di ajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalanm penulisan skripsi ini yang saya kutip dari hasil karya orang lain telah di tulis sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari di temukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Medan, Agustus 2012

Putri Lia Rahman NIM : 071301033


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya skripsi ini dapat diselesaikan sebagaimana yang diharapkan.

Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasullulah SAW, pribadi tangguh, pengukir peradaban, pembawa kebenaran, dan syafaatnya sangat diharapkan kelak di yaumilakhir.

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu persyaratan untuk mencapai derajat Sarjana S-1 pada program studi psikologi bidang psikologi perkembangan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Dalam proses penyelesaian skripsi ini Peneliti banyak memperoleh dukungan, bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak yang sangat bermanfaat. Untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku dekan Fakultas Psikologi USU.

2. Ibu Elvi Andriani, M.Psi selaku dosen pembimbing penulisan skripsi ini yang telah sepenuh hati, sabar dan iklas membimbing, memberikan saran, perhatian, bantuan serta dukungan kasih sayang sehingga penulis lebih bersemangat dan pantang menyerah dalam mengerjakan skripsinya.

3. Seluruh Dosen di departemen Psikologi Perkembangan. Terima kasih untuk segala ilmu, saran serta kemudahan yang diberikan dalam mengerjakan skripsi


(5)

4. Kedua orang tua, Putri mengucapkan terima kasih dan bersyukur karena selalu berada dalam bimbingannya. Terima kasih Putri ucapkan untuk setiap perjuangan, didikan, cinta dan kasih sayang, pengertian, perhatian, doa, dan semua hal yang telah kalian berikan untuk Putri. Semoga Allah membalas semua kebaikan Ummi dan Abi ku tersayang, love u so much...

5. Kepala Desa di desa Medang Deras. Terima kasih untuk kemudahan memberikan informasi yang telah diberikan dalam mengerjakan skripsi ini. 6. Kepada responden Putri yaitu pak M, pak S, ibu SH, dan ibu A terimakasih

banyak sudah bersedia untuk membantu jalannya skripsi ini. Semoga ibu dan bapak diberi kemudahan dalam menjalani kehidupan.

7. Ahmad Junaedi yang selalu menemaniku dalam susah dan senang, yang selalu setia memberikan saran. Pengorbanan mu yang selalu membantu ku dengan setia mendengarkan repetan-repetanku, dan dengan senantiasa membimbing penulisan skripsi ini dan juga yang selalu membuatku tertawa saat aku lagi sedih. Bantet ku, thank you so much...

8. Sahabat-sahabatku “Param-pampam” yang telah membantuku, menghiburku di kala aku lagi “galau”, menemani ku saat-saat aku lagi sedih, shooping bareng kalian, jalan-jalan bareng kalian gak akan terlupakan buat Putri.

9. Adik-adik ku semua yaitu ana, dara, dan icha yang selalu membuat ku terhibur ketika sampai dirumah. Dan selalu mengingatkanku untuk mengerjakan skripsi saat mbak mu ini asik nonton TV saja.


(6)

10.Bantet, chum-chum, grey, eng-ong, dan itam makasih banyak ya sudah mau nemeni Putri selama lagi masa skripsi. Tingkah kalian tidur, bermain selalu membuat Putri tertawa.

Semoga skripsi ini memberikan manfaat kepada pembaca dan dunia psikologi perkembangan untuk pengembangan ilmu di kemudian hari.

Medan, Agustus 2012 Peneliti


(7)

Pola Asuh Orangtua Pada Masyarakat Pesisir Pantai Putri Lia Rahman dan Elvi Andriani Yusuf

ABSTRAK

Pola asuh orangtua merupakan segala bentuk dan proses interaksi yang terjadi antara orangtua dan anak yang merupakan pola pengasuhan tertentu dalam keluarga yang akan memberi pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak (Baumrind, 1978). Orangtua bebas memberikan bentuk pola asuh kepada anak-anaknya yang menurut mereka terbaik. Namun ada juga hal-hal yang turut mempengaruhi pola asuh orangtua tersebut seperti pendidikan, lingkungan, dan budaya (Edwards, 2006). Hal tersebut memiliki peranan yang penting dalam pola asuh yang diberikan oleh orangtua. Pola asuh orangtua tersebut yaitu Authoritarian, Authoritative, dan Permissive (Baumrind, 1971).

Penelitian ini yaitu kualitatif deskriptif yang bertujuan untuk memberikan gambaran pola asuh orangtua pada masyarakat pesisir pantai melalui metode wawancara mendalam yang di dukung dengan observasi dengan jumlah responden empat orang. Teknik pengambilan responden dilakukan dengan operational construct sampling. Penelitian dilakukan di desa Medang Deras.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi pola asuh orangtua pada masyarakat pesisir pantai yaitu pendidikan, lingkungan, budaya. Selain itu ditemukan faktor lain yang mempengaruhi yaitu agama yang dianut, serta pola asuh yang diturunkan oleh orangtua terdahulu. Pola asuh yang terlihat dari hasil penelitian ini yaitu orangtua tidak mempunyai kecendrungan untuk menggunakan salah satu jenis pola asuh saja, orangtua menggunakan kombinasi bentuk pola asuh seperti authoritarian dengan permissive, authoritative dengan permissive, dan ada yang mengkombinasikan ketiganya yaitu authoritarian, authoritative dan permissive. Pola asuh authoritarian ditunjukkan dengan adanya hukuman secara fisik jika anak tidak mematuhi orangtuanya seperti tidak mau belajar Al-Qur’an atau pergi melaut. Sedangkan permissive ditunjukkan melalui ketidakpedulian orangtua akan hal pendidikan sekolah anak-anaknya, jika anak sudah tidak ingin sekolah maka anak pun akan dibiarkan saja, orangtua lebih menganggap pendidikan sekolah itu tidak penting, karena percuma disekolahin tinggi-tinggi pada akhirnya akan melaut juga. Sedangkan pola asuh authoritative terlihat dari orangtua yang tidak pernah memberi hukuman secara fisik ketika anaknya melakukan kesalahan tapi orangtua memberikan arahan pada anak-anaknya, orangtua dekat dengan anak-anak-anaknya, komunikasi yang terjalin sering karena anak dan orangtua selalu bercanda serta anak juga banyak cerita tentang masalahnya pada orangtuanya.

Kata kunci : Pola Asuh Orangtua, Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh, Masyarakat Pesisir Pantai.


(8)

Parenting In Coastal Communities Putri Lia Rahman dan Elvi Andriani Yusuf

ABSTRACT

Parenting are all forms and processes of interaction that occurs between parents and children who are certain parenting in families that will give effect to the child's personality development (Baumrind, 1978). Parents are free to shape parenting to their children that they think best. But there are also things that influence parenting such as parental education, environment, and culture (Edwards, 2006). It has an important role in the pattern of care provided by parents. Parenting is the Authoritarian, Authoritative, and Permissive (Baumrind, 1971).

This is a qualitative descriptive study that aims to provide an overview of parenting parents on the coastal communities through in-depth interviews, supported by the observation by the number of respondents of four people. Technical decision made by the respondent operational construct sampling. The study was conducted in the village Medang Deras.

The results showed that the factors that influence parents' upbringing in coastal communities: education, environment, culture. Besides other factors found to influence the religious affiliation, as well as parenting handed down by parents earlier. Parenting can be seen from the results of this study is parents do not have the tendency to use one type of parenting course, parents use a combination of shapes such as authoritarian parenting with permissive, authoritative with permissive, and there are three that combine authoritarian, authoritative and permissive. Authoritarian parenting is indicated by the existence of physical punishment if the child does not obey his parents as unwilling to learn the Quran or go to the sea. While permissive parents would disregard shown by the children's school education, if the child is not like school so your child will be left alone, more parents think that school education is not important, because it's useless high school will eventually go to sea as well. While the authoritative parenting style look of the parents who never gave physical punishment when their children make mistakes, but parents provide guidance to their children, parents close to her children, communication is established for children and parents are always joking and children are also many story about the problem to his parents.

Keywords: Parents Parenting, Parenting Factors Affecting, Coastal Communities.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR...i

ABSTRAK………... iv

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL... x

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

I.A. Latar Belakang Masalah ... 1

I.B. Perumusan Masalah. ... 11

I.C. Tujuan Penelitian ... 11

I.D. Manfaat Penelitian ... 11

I.E. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II. LANDASAN TEORI ... 14

II.A. Pengasuhan ... 14

II.B. Pola Asuh Orangtua... 15

II.B.1. Definisi Pola Asuh Orangtua ... 15

II.B.2. Dimensi Pola Asuh Orangtua ... 17

II.B.3. Gaya Pola Asuh Orangtua ... 19

II.B.4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh ... 24

II.C. Pengasuhan Ibu Dan Ayah Berbeda ... 26

II.D. Perkembangan Pada Masa Kanak-kanak Akhir ... 30


(10)

II.F.1. Definisi Masyarakat Pesisir ... 32

II.F.2. Karakteristik Masyarakat Pesisir ... 33

II.G. Gambaran Pola Asuh Orangtua Pada Masyarakat Pesisir Pantai ... 36

II.H. Paradigma Berfikir ... 40

BAB III. METODE PENELITIAN ... 41

III.A. Pendekatan Kualitatif ...41

III.B. Teknik Pengumpulan Data... 42

III.C. Responden Penelitian... 43

III.C.1. Karakteristik Responden... 43

III.C.2. Jumlah Responden... 43

III.C.3. Prosedur Pengambilan Responden... 44

III.C.4. Lokasi Penelitian... 44

III.D. Alat Bantu Pengumpulan Data... 44

III.E. Prosedur Penelitian... 45

III.F. Prosedur Analisa Data... 49

III.G. Kredibilitas Penelitian... 51

BAB IV. HASIL ANALISA DATA... 56

IV.A.1. Hasil Observasi Dan Rangkuman Wawancara Responden I... 56

IV.A.2. Latar Belakang Keluarga Responden I... 59

IV.A.3. Analisa Data Responden I... 61


(11)

IV.A.3.b. Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh

Orangtua... 66

IV.A.3.c. Gambaran Pola Asuh Orangtua Pada Masyarakat Pesisir Pantai... 71

IV.A.4. Skema Hasil Responden I... 76

IV.B.1. Hasil Observasi Dan Rangkuman Wawancara Responden II... 77

IV.B.2. Latar Belakang Keluarga Responden II... 81

IV.B.3. Analisa Data Responden II... 84

IV.B.3.a. Gambaran Kebudayaan Masyarakat Pesisir...84

IV.B.3.b. Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh Orangtua... 90

IV.B.3.c. Gambaran Pola Asuh Orangtua Pada Masyarakat Pesisir Pantai... 99

IV.B.4. Skema Hasil Responden II... 107

IV.C.1. Hasil Observasi Dan Rangkuman Wawancara Responden III... 108

IV.C.2. Latar Belakang Keluarga Responden III... 112

IV.C.3. Analisa Data Responden III... 115

IV.C.3.a. Gambaran Kebudayaan Masyarakat Pesisir...115

IV.C.3.b. Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh Orangtua... 121

IV.C.3.c. Gambaran Pola Asuh Orangtua Pada Masyarakat Pesisir Pantai... 127


(12)

IV.D.1. Hasil Observasi Dan Rangkuman Wawancara Responden IV... 138

IV.D.2. Latar Belakang Keluarga Responden IV... 141

IV.D.3. Analisa Data Responden IV... 146

IV.D.3.a. Gambaran Kebudayaan Masyarakat Pesisir... 146

IV.D.3.b. Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh Orangtua... 153

IV.D.3.c. Gambaran Pola Asuh Orangtua Pada Masyarakat Pesisir Pantai ... 160

IV.D.4. Skema Hasil Responden IV ... 167

IV.E. Tabel analisa Pola Asuh Antar Subjek ...168

IV.F. Pembahasan Responden I dan II ... 178

IV.G. Pembahasan Responden III dan IV ………...186

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 190

V.A. Kesimpulan ...190

V.B.Saran ... 196


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel.1. Identitas Diri Responden ...………55 Tabel.2. Jadwal Pelaksanaan Wawancara ... ….55 Tabel.3. Analisa Pola Asuh Antar Subjek ...168


(14)

Pola Asuh Orangtua Pada Masyarakat Pesisir Pantai Putri Lia Rahman dan Elvi Andriani Yusuf

ABSTRAK

Pola asuh orangtua merupakan segala bentuk dan proses interaksi yang terjadi antara orangtua dan anak yang merupakan pola pengasuhan tertentu dalam keluarga yang akan memberi pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak (Baumrind, 1978). Orangtua bebas memberikan bentuk pola asuh kepada anak-anaknya yang menurut mereka terbaik. Namun ada juga hal-hal yang turut mempengaruhi pola asuh orangtua tersebut seperti pendidikan, lingkungan, dan budaya (Edwards, 2006). Hal tersebut memiliki peranan yang penting dalam pola asuh yang diberikan oleh orangtua. Pola asuh orangtua tersebut yaitu Authoritarian, Authoritative, dan Permissive (Baumrind, 1971).

Penelitian ini yaitu kualitatif deskriptif yang bertujuan untuk memberikan gambaran pola asuh orangtua pada masyarakat pesisir pantai melalui metode wawancara mendalam yang di dukung dengan observasi dengan jumlah responden empat orang. Teknik pengambilan responden dilakukan dengan operational construct sampling. Penelitian dilakukan di desa Medang Deras.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi pola asuh orangtua pada masyarakat pesisir pantai yaitu pendidikan, lingkungan, budaya. Selain itu ditemukan faktor lain yang mempengaruhi yaitu agama yang dianut, serta pola asuh yang diturunkan oleh orangtua terdahulu. Pola asuh yang terlihat dari hasil penelitian ini yaitu orangtua tidak mempunyai kecendrungan untuk menggunakan salah satu jenis pola asuh saja, orangtua menggunakan kombinasi bentuk pola asuh seperti authoritarian dengan permissive, authoritative dengan permissive, dan ada yang mengkombinasikan ketiganya yaitu authoritarian, authoritative dan permissive. Pola asuh authoritarian ditunjukkan dengan adanya hukuman secara fisik jika anak tidak mematuhi orangtuanya seperti tidak mau belajar Al-Qur’an atau pergi melaut. Sedangkan permissive ditunjukkan melalui ketidakpedulian orangtua akan hal pendidikan sekolah anak-anaknya, jika anak sudah tidak ingin sekolah maka anak pun akan dibiarkan saja, orangtua lebih menganggap pendidikan sekolah itu tidak penting, karena percuma disekolahin tinggi-tinggi pada akhirnya akan melaut juga. Sedangkan pola asuh authoritative terlihat dari orangtua yang tidak pernah memberi hukuman secara fisik ketika anaknya melakukan kesalahan tapi orangtua memberikan arahan pada anak-anaknya, orangtua dekat dengan anak-anak-anaknya, komunikasi yang terjalin sering karena anak dan orangtua selalu bercanda serta anak juga banyak cerita tentang masalahnya pada orangtuanya.

Kata kunci : Pola Asuh Orangtua, Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh, Masyarakat Pesisir Pantai.


(15)

Parenting In Coastal Communities Putri Lia Rahman dan Elvi Andriani Yusuf

ABSTRACT

Parenting are all forms and processes of interaction that occurs between parents and children who are certain parenting in families that will give effect to the child's personality development (Baumrind, 1978). Parents are free to shape parenting to their children that they think best. But there are also things that influence parenting such as parental education, environment, and culture (Edwards, 2006). It has an important role in the pattern of care provided by parents. Parenting is the Authoritarian, Authoritative, and Permissive (Baumrind, 1971).

This is a qualitative descriptive study that aims to provide an overview of parenting parents on the coastal communities through in-depth interviews, supported by the observation by the number of respondents of four people. Technical decision made by the respondent operational construct sampling. The study was conducted in the village Medang Deras.

The results showed that the factors that influence parents' upbringing in coastal communities: education, environment, culture. Besides other factors found to influence the religious affiliation, as well as parenting handed down by parents earlier. Parenting can be seen from the results of this study is parents do not have the tendency to use one type of parenting course, parents use a combination of shapes such as authoritarian parenting with permissive, authoritative with permissive, and there are three that combine authoritarian, authoritative and permissive. Authoritarian parenting is indicated by the existence of physical punishment if the child does not obey his parents as unwilling to learn the Quran or go to the sea. While permissive parents would disregard shown by the children's school education, if the child is not like school so your child will be left alone, more parents think that school education is not important, because it's useless high school will eventually go to sea as well. While the authoritative parenting style look of the parents who never gave physical punishment when their children make mistakes, but parents provide guidance to their children, parents close to her children, communication is established for children and parents are always joking and children are also many story about the problem to his parents.

Keywords: Parents Parenting, Parenting Factors Affecting, Coastal Communities.


(16)

BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah

Secara geografis, Indonesia terdiri dari beribu pulau yang sebagian besar wilayahnya 62% merupakan perairan laut, selat dan teluk, sedangkan 38% lainnya adalah daratan yang didalamnya juga memuat kandungan air tawar dalam bentuk sungai, danau, rawa, dan waduk. Demikian luasnya wilayah laut di Indonesia sehingga mendorong masyarakat yang hidup di sekitar wilayah laut memanfaatkan sumber kelautan sebagai tumpuan hidupnya. Ketergantungan masyarakat terhadap sektor kelautan ini memberikan identitas tersendiri sebagai masyarakat pesisir dengan pola hidup yang dikenal sebagai kebudayaan pesisir (Geertz, 2000).

Kebudayaan adalah hasil dari cipta, karya, dan karsa bersama. Salah satu faktor yang mempengaruhi terbentuknya kebudayaan itu adalah lingkungan alam fisik seperti situasi dan kondisi yang secara tidak langsung akan membentuk watak kepribadian serta budaya masyarakat yang tinggal di lingkungan itu (Syarief, 2008). Ralph Linton (2002) yang mendefenisikan kebudayaan yaitu seluruh cara kehidupan dari masyarakat dan tidak hanya mengenai sebagian tata cara hidup saja yang dianggap lebih tinggi dan lebih diinginkan. Jadi, kebudayaan menunjuk pada berbagai aspek kehidupan. Istilah ini meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap, dan juga hasil dari kegiatan manusia. Kebudayaan pesisir dapat diartikan sebagai keseluruhan pengetahuan yang


(17)

perangkat model pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan yang dihadapi, untuk mendorong, dan untuk menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukannya. Dalam pengertian ini, kebudayaan adalah suatu kumpulan pedoman atau pegangan yang kegunaan untuk menghadapi lingkungan-lingkungan sekitarnya (fisik, alam, dan sosial) agar masyarakat pesisir itu dapat melangsungkan kehidupannya, yaitu memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, dan untuk dapat hidup secara lebih baik (Mudjahirin, 2009).

Masyarakat yang tinggal dipesisir pantai, yang jauh dari kata layak secara kehidupan & harus bergantung pula semuanya dari alam. Termasuk masalah supply makanan & minuman, yang sangat susah dicari & didapat untuk bahan konsumsi mereka sehari – hari. Itulah resiko tinggal didaerah pesisir, yang jauh dari keramaian & gemerlap kota yang senantiasi bergejolak setiap detiknya. Segala keterbatasan silih berganti datang menghampiri mereka secara langsung maupun tidak langsung tanpa pernah ditebak kapan datang & perginya. Walaupun dengan banyak kendala yang datang kepada mereka, seolah mereka tetap memilih pesisir pantai sebagai tempat tinggal mereka sekarang & nanti dibanding harus tinggal didaerah kota besar yang terjangkau dari akses pendidikan, kesehatan & pembangunan. Itu semua mereka, lakukan demi menjaga tradisi & budaya leluhur yang masih mereka junjung tinggi sampai generasi selanjutnya sesudah mereka. Walaupun, tak semua dari mereka yang mau secara terus menerus ingin tinggal didaerah pesisir sampai selamanya karena ada juga segelintir orang yang ingin mencoba peruntungan nasibnya dengan mengadu nasibnya dikota besar yang


(18)

kelihatan menjanjikan. Tak ada yang pernah tahu termasuk mereka sendiri, kapan kehidupan dipesisir akan berakhir tapi mereka selalu yakin & akan yakin tentang sebuah nilai leluhur yang akan mereka jaga & lestarikan sampai kapan pun (Arsavin, 2012). Bagi masyarakat nelayan atau sering disebut masyarakat pesisir, kebudayaan merupakan sistem gagasan atau sistem kognitif yang berfungsi sebagai ”pedoman kehidupan”, referensi pola-pola kelakuan sosial, serta sebagai sarana untuk menginterpretasi dan memaknai berbagai peristiwa yang terjadi di lingkungannya (Keesing, 1989).

Masyarakat pesisir dapat didefinisikan sebagai kelompok orang atau suatu komunitas yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir. Mereka terdiri dari nelayan, buruh nelayan, pembudidaya ikan, pedagang ikan, pengolah ikan, sarana produksi perikanan (Mudjahirin, 2009). Masyarakat pesisir yang identik dengan nelayan merupakan bagian dari masyarakat terpinggirkan yang masih terus bergulat dengan berbagai persoalan kehidupan, baik ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, maupun budaya. Kondisi kehidupan mereka selalu dalam kondisi yang memprihatinkan, terutama secara ekonomi. Dengan penghasilan yang selalu tergantung pada kondisi alam (Winengan, 2007). Masalah kompleks yang dihadapi masyarakat pesisir adalah kemiskinan, keterbatasan pengetahuan serta dunia pendidikan dan teknologi yang berkembang (Nikijuluw, 2001). Hal ini di dukung dengan hasil wawancara dengan salah satu nelayan Bapak X.


(19)

kan jalanya perlu di perbaiki juga. Trus dua puluh harinya tu gak tentu juga bisa melaut atau gak. Liat cuaca atau ombak lautnya lah nak, kayak tadi malam gak bisa melaut karena ombak besar, yah gak dapat lah pemasukan nak..”

(Komunikasi Personal, 11 Desember 2011) Kondisi alam tersebut yang membuat sulit bagi mereka untuk merubah kehidupannya menjadi lebih baik. Kondisi yang memprihatinkan tersebut yang menyebabkan rendahnya kemampuan dan ketrampilan masyarakat pesisir (Winengan, 2007). Kemiskinan yang melanda rumah tangga masyarakat pesisir telah mempersulit mereka dalam hal menyekolahkan anak-anaknya. Anak-anak mereka harus menerima kenyataan untuk mengenyam tingkat pendidikan yang rendah, karena ketidakmampuan ekonomi orangtuanya. Apabila para orangtua nelayan mampu untuk menyekolahkan anak-anaknya, mereka berusaha menyekolahkan anaknya setinggi mungkin, sehingga tidak harus menjadi nelayan seperti orangtuanya, tetapi biasanya orangtua nelayan tidak mampu membebaskan diri dari profesi nelayan, turun-temurun adalah nelayan (Mubyarto, 1989). Anak-anak dituntut untuk ikut mencari nafkah, menanggung beban kehidupan rumah tangga, dan mengurangi beban tanggung jawab orangtuannya (Fathul, 2002). Oleh karena itu, sebagian besar anak nelayan masih ingin bekerja di bidang kenelayanan untuk menambah pendapatan keluarga daripada bersekolah (Mulyadi, 2005). Hasil wawancara yang mendukung dengan salah satu nelayan Bapak X.

“anak yang besar kelas 2 SMP ja, itu yang kecil sampe kelas 6 SD.. habis tu gak sanggup Bapak lagi membiayai nya nak.. uang bukunya lah, trus baju seragamnya lah, uang jajannya lah, uang sekolahnya lah.. aduh banyak kali biayanya nak, Bapak kan cuman nelayan, dapat uangnya pun gak tentu.. jadi orang ni kerjanya cari ‘Kepah’ di pinggir-pinggir pante itu,


(20)

trus di jual lah… lumayan juga hasilnya dapat lima belas ribu sampe dua puluh ribulah nak..”

(Komunikasi Personal, 11 Desember 2011) Keterbatasan penghasilan atau kemiskinan yang dialami oleh masyarakat pesisir tidak jarang membuat isteri maupun anak-anak mereka ikut terlibat mencari nafkah tambahan guna memenuhi kebutuhan keluarga (Kusnadi, 2003). Fenomena keseharian masyarakat pesisir yang terlihat yaitu anak lelaki maupun wanita secara lebih dini terlibat dalam proses pekerjaan nelayan dari mulai persiapan orangtua mereka untuk ke laut sampai dengan menjual hasil tangkapan. Hal ini tentunya berimplikasi kepada kelangsungan pendidikan anak-anaknya (Pengemanan, 2002). Pada umumnya rumah tangga nelayan tidak memiliki perencanaan yang matang untuk pendidikan anak-anaknya. Pendidikan bagi sebagian besar rumah tangga masyarakat pesisir masih menjadi kebutuhan nomor sekian dalam rumah tangga. Dapat dikatakan bahwa antusias terhadap pendidikan di masyarakat nelayan relatif masih rendah (Anggraini, 2000). Hal ini tentunya berimplikasi kepada kelangsungan pendidikan anak-anaknya (Pengemanan, 2002). Hal ini didukung oleh hasil wawancara dengan kepala desa Medang Deras Batu Bara.

“untuk pendidikan anaknya kalo masyarakat sini kurang lah, anak-anaknya gak sekolah yah gak papa bagi mereka. Kalo anak-anak mereka dah putus sekolah yaudah dibawa melaut lah mereka supaya bantu-bantu keluarga.. bagi mereka pendidikan belum dianggap penting, karena ujung-ujungnya juga cari kerja trus sekarang cari kerja susah nti ujung-ujung-ujungnya jadi nalayan juga…”

(Komunikasi personal, 3 November 2011) Dalam hal pengasuhan anak, masyarakat pesisir memiliki pola pengasuhan


(21)

budaya setempat tentang peran yang harus dilakukan dalam mengasuh anak. (Winengan, 2007). Pengasuhan dapat dipengaruhi oleh budaya, etnis, dan status sosioekonomi, (Bronfenbreener dalam Santrock, 2007). Budaya dalam masyarakat nelayan dalam hal pengasuhan anak cukup bervariasi namun secara garis besarnya mereka memandang bahwa anak adalah aset dalam membantu pekerjaaan orangtua di rumah dan membantu mencari nafkah. Sebagian orangtua merasa senang bila memiliki anak laki-laki sebab bisa membantu ayahnya mencari nafkah dan bisa meneruskan pekerjaan ayahnya, sedangkan anak perempuan dapat membantu ibunya dalam pekerjaan rumah tangga. Kebanyakan orangtua pesisir juga mempelajari pengasuhan anak dari orangtua mereka sebelumnya, mereka sering menganggap praktek pengasuhan yang diberikan orangtua mereka adalah pengasuhan yang membawa anak-anak mereka menjadi positif (Kusnadi, 2003).

Orang tua tentu saja memiliki pola asuh tersendiri dalam mengarahkan perilaku anak. Hal ini sangat dipengaruh oleh latar belakang pendidikan orang tua, mata pencaharian hidup, keadaan sosial ekonomi, adat istiadat, dan sebagainya. Dengan kata lain, pola asuh orangtua petani tidak sama dengan pedagang. Demikian pula pola asuh orangtua berpendidikan rendah berbeda dengan pola asuh orang tua yang berpendidikan tinggi. Ada yang menerapkan dengan pola yang keras/kejam, kasar, dan tidak berperasaan. Namun, ada pula yang memakai pola lemah lembut, dan kasih sayang. Ada pula yang memakai sistem militer, yang apabila anaknya bersalah akan langsung diberi hukuman dan tindakan tegas yang biasa disebut pola otoriter (Clemes, 2001).


(22)

Kebanyakan orangtua mempelajari praktek pengasuhan dari orangtua mereka sendiri. Sebagian praktek tersebut mereka terima, namun sebagian lagi mereka tinggalkan. Suami dan istri mungkin saja membawa pandangan yang berbeda mengenai pengasuhan ke dalam pernikahan. Sayangnya, ketika metode orangtua diteruskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya, praktek yang baik maupun yang buruk diteruskan (Santrock, 2007). Seperti yang terjadi di desa Medang Deras yaitu anak-anak yang sudah pandai mencari nafkah dari hasil laut maka akan di ijinkan untuk menikah tanpa menghiraukan pendidikan anaknya, karena hal tersebut akan membantu mengurangi jumlah tanggungan orangtua. Seperti penuturan seorang Ibu Z yaitu ibu rumah tangga di masyarakat setempat.

“.... enaknya kan Anak-anakku ni bisa cepat-cepat pintar cari duet, kalo’ dah bisanya dia cari duet kan jadi enak bisa bantu-bantu ibuk... atau gak kawin lah biar gak tanggungan lagi.. ibu tamat SD ja dah kawin karena dulu ibu cepat-cepat di kawinkan sama orangtua ibuk, biar gak nyusahin lagi, gak tanggungan lagi lah...”

(Komunikasi personal, 3 November 2011) Hal tersebut mengindikasikan bahwa budaya membentuk perilaku pengasuhan yang beragam dengan berbagai nilai yang dimilikinya. Hal tersebut dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor diantaranya adalah latar belakang pendidikan orangtua, informasi yang didapat oleh orangtua tentang cara mengasuh anak, kultur budaya, kondisi lingkungan sosial, ekonomi (Winengan, 2007). Proses pengasuhan bukanlah sebuah hubungan satu arah yang mana orangtua mempengaruhi anak namun lebih dari itu, pengasuhan merupakan proses interaksi antara orangtua dan anak yang dipengaruhi oleh budaya dan kelembagaan sosial


(23)

(Zevalkinki, 2007). Hal ini didukung oleh hasil wawancara dengan kepala desa Medang Deras Batu Bara.

“... disini yang khasnya yaitu anak-anak disini dari kecil sudah diajarin ngaji baca Qur’an secara keras sama orang-orang tuanya, itu lah yang menjadi suatu yang positif dari masyarakat ini. Karena kan disini kan masyarakatnya suku melayu, kalo’ melayu kan identik dengan islam jadi mereka mengajarin anak-anaknya agar pande baca Qur’an, sholat, bacaan sholat.. tapi klo pendidikan secara akademis mereka sangat kurang sekali…”

(Komunikasi personal, 3 November 2011) Oleh karenanya, bila budaya yang ada mengandung seperangkat keyakinan yang dapat melindungi perkembangan anak, maka nilai-nilai pengasuhan yang diperoleh orangtua kemungkinan juga akan berdampak positif terhadap perkembangan anak. Sebaliknya, bila ternyata seperangkat keyakinan yang ada dalam budaya masyarakat setempat justru memperbesar munculnya faktor resiko maka nilai-nilai pengasuhan yang diperoleh orangtua pun akan menyebabkan perkembangan yang negatif pada anak (Suhartono, 2007). Anak tumbuh dan berkembang di bawah asuhan orangtua. Melalui orangtua, anak beradaptasi dengan lingkungannya dan mengenal dunia sekitarnya serta pola pergaulan hidup yang berlaku di lingkungannya. Ini disebabkan oleh orang tua merupakan dasar pertama bagi pembentukan pribadi anak (Clemes, 2001). Wawancara pada seorang nelayan Bapak Y.

“anak-anak Bapak ni, Bapak suruh sekolah ngaji biar pande lah dia mengaji kan. Masa’ kita orang islam gak tau baca Qur’an kan malu lah.. sekolah ngaji nya bayarnya gak mahal nak, makanya Bapak masih mampu sekolahin ngajinya.. nanti kalo’ dia gak mau ngaji, tah main ja kerjanya mau lah Bapak pukul dia pake lidi sawit tu Bapak libas kan.. Pokoknya dia mesti sekolah ngaji lah nak, sampe dia pande ngaji dan sholat..”


(24)

Hal tersebut menunjukkan pola pengasuhan yang otoriter penuh pembatasan dan hukuman (kekerasan) dengan cara orangtua memaksakan kehendaknya, sehingga orangtua dengan pola asuh authoritarian memegang kendali penuh dalam mengontrol anak-anaknya (Baumrind, 1971). Hurlock (1994) mengatakan bahwa di dalam pengasuhan anak para orangtua mempunyai tujuan untuk membentuk anak menjadi yang terbaik sesuai dengan apa yang dianggap ideal oleh para orangtua dan dalam pengasuhan anak diberikan istilah disiplin sebagai pelatihan dalam mengendalikan dan mengontrol diri.

Pola asuh orangtua merupakan pola interaksi antara anak dengan orangtua bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum, dan lain-lain) dan kebutuhan psikologis (seperti rasa aman, kasih sayang), tetapi juga mengajarkan norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan (Santrock, 2002). Perlakuan orangtua terhadap seorang anak akan mempengaruhi bagaimana anak itu memandang, menilai, dan juga mempengaruhi sikap anak tersebut terhadap orangtua serta mempengaruhi kualitas hubungan yang berkembang di antara mereka (Santrock, 2007).

Orangtua punya peran yang penting dalam perkembangan. Ada berbagai gaya pengasuhan orangtua yang bisa amat berbeda-beda. Baumrind (1971) dalam David (2000) mengidentifikasi tiga pola utama pengasuhan orangtua. Pertama, orangtua yang otoriter mengharapkan kepatuhan mutlak dan melihat bahwa anak butuh untuk di kontrol. Kedua, orangtua yang permisif membolehkan anak untuk mengatur hidup mereka sendiri dan menyediakan haya sedikit panduan baku.


(25)

ini di pandang akan membentuk anak-anak secara psikologis sehat, kompeten, dan mandiri, yang bersifat kooperatif dan nyaman menghadapi situasi-situasi sosial. Masing-masing orangtua tentu saja memiliki pola asuh tersendiri dalam mengarahkan perilaku anak. Hal ini sangat dipengaruh oleh latar belakang pendidikan orangtua, mata pencaharian hidup, keadaan sosial ekonomi, adat istiadat atau budaya setempat, dan sebagainya (Shochib, 1998).

Keluarga pesisir yaitu nelayan seringkali dihadapkan pada persoalan-persoalan ekonomi dan ketidakpastian penghasilan walaupun hamparan laut dihadapaya menjanjikan ikan yang banyak, namun kenyataannya nelayan masih tetap dalam kemiskinan. Penghasilan yang mereka peroleh tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari, sehingga menuntut isteri dan anak untuk ikut serta mencari nafkah tambahan aga kebutuhan keluarga dapat terpenuhi. Beban kerja isteri selain mengasuh anak juga ikut membantu suami mencari nafkah, dengan demikian akan berimpliasi terhadap pola interaksi antara anak dan orangtua di dalam keluarga (Kusnadi, 2003).

Berdasarkan karakteristik masyarakat pesisir yang identik dengan nelayan yang merupakan bagian dari masyarakat terpinggirkan yang masih terus bergulat dengan berbagai persoalan kehidupan, baik ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, maupun budaya. Kondisi kehidupan mereka selalu dalam kondisi yang memprihatinkan, terutama secara ekonomi dan pendidikan, maka peneliti tertarik melihat seperti apa gambaran pola asuh yang terjadi pada masyarakat pesisir pantai.


(26)

I.B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, masalah dalam penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaan penelitian yaitu:

1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pola asuh orangtua pada masyarakat pesisir pantai?

2. Bagaimanakah gambaran pola asuh orangtua pada masyarakat pesisir pantai?

I.C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah melihat gambaran pola asuh orangtua pada masyarakat pesisir pantai

I.D. MANFAAT PENELITIAN I.D.1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat serta wawasan pengetahuan dalam pengembangan ilmu psikologi, khususnya bidang Psikologi Perkembangan terutama dalam hal pola asuh orangtua. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi peneliti-peneliti lain yang ingin meneliti mengenai pola asuh orangtua pada masyarakat pesisir pantai.


(27)

I.D.2. Manfaat Praktis

a. Bagi orangtua khususnya pada masyarakat pesisir pantai dapat menjadi bahan informasi kepada mereka dalam bersikap tepat dalam memberikan pola asuh kepada anaknya.

b. Bagi pemerintah, diharapkan dapat menjadi tambahan informasi untuk nantinya dijadikan referensi dalam sosialisasi pentingnya

memberikan pengasuhan yang tepat bagi anak, terutama untuk masyarakat yang berada jauh dari pusat kota.

I.E. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab I Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II Landasan Teori

Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian. Memuat landasan teori tentang pola asuh orangtua, termasuk di dalamnya definisi pola asuh orangtua, dimensi pola asuh orangtua, gaya pola asuh orangtua, dan faktor yang mempengaruhi pola asuh orangtua. Serta teori tentang masyarakat pesisir pantai, termasuk di dalamnya definisi masyarakat pesisir, karakteristik masyarakat pesisir.


(28)

Bab III : Metode Penelitian

Bab ini berisi penjelasan mengenai alasan digunakannya pendekatan kualitatif, responden penelitian, teknik pengambilan responden, teknik pengumpulan data, alat pengumpulan data, prosedur penelitian, kredibilitas (validitas penelitian), dan pengolahan data.

Bab IV : Analisa Data dan Pembahasan

Bab ini berisi deskripsi data, interpretasi data dari hasil wawancara yang dilakukan, dan membahas data-data penelitian tersebut dengan teori yang relevan untuk menjawab pertanyaan penelitian.

Bab V : Kesimpulan dan Saran

Bab ini berisi kesimpulan yang berisikan hasil dari penelitian yang telah dilaksanakan dan saran yang berisi saran praktis dan saran untuk penelitian lanjutan dengan mempertimbangkan hasil penelitian yang diperoleh, keterbatasan, dan kelebihan penelitian.


(29)

BAB II

LANDASAN TEORI II.A. Pengasuhan

Pengasuhan erat kaitannya dengan kemampuan suatu keluarga atau rumah tangga dan komunitas dalam hal memberikan perhatian, waktu dan dukungan untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental, dan sosial anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan serta bagi anggota keluarga lainnya (Engel, 1997). Orangtua dalam pengasuhan memiliki beberapa definisi yaitu ibu, ayah, atau seseorang yang akan membimbing dalam kehidupan baru, seorang penjaga, maupun seorang pelindung. Orangtua adalah seseorang yang mendampingi dan membimbing semua tahapan pertumbuhan anak, yang merawat, melindungi, mengarahkan kehidupan baru anak dalam setiap tahapan perkembangannya (Brooks, 2001).

Brooks (2001) juga mendefinisikan pengasuhan sebagai sebuah proses yang merujuk pada serangkaian aksi dan interaksi yang dilakukan orangtua untuk mendukung perkembangan anak. Proses pengasuhan bukanlah sebuah hubungan satu arah yang mana orangtua mempengaruhi anak namun lebih dari itu, pengasuhan merupakan proses interaksi antara orangtua dan anak yang dipengaruhi oleh budaya dan kelembagaan sosial dimana anak dibesarkan. Pengasuhan merupakan proses yang panjang, maka proses pengasuhan akan mencakup 1) interaksi antara anak, orang tua, dan masyarakat lingkungannya, 2) penyesuaian kebutuhan hidup dan temperamen anak dengan orang tuanya, 3) pemenuhan tanggung jawab untuk membesarkan dan memenuhi kebutuhan anak,


(30)

4) proses mendukung dan menolak keberadaan anak dan orang tua, serta 5) proses mengurangi resiko dan perlindungan tehadap individu dan lingkungan sosialnya (Berns 1997).

Hoghughi (2004) menyebutkan bahwa pengasuhan mencakup beragam aktifitas yang bertujuan agar anak dapat berkembang secara optimal dan dapat bertahan hidup dengan baik. Prinsip pengasuhan menurut Hoghughi tidak menekankan pada siapa (pelaku) namun lebih menekankan pada aktifitas dari perkembangan dan pendidikan anak. Oleh karenanya pengasuhan meliputi pengasuhan fisik, pengasuhan emosi dan pengasuhan sosial.

Beberapa definisi tentang pengasuhan tersebut menunjukkan bahwa pengasuhan merupakan sebuah proses interaksi yang terus menerus antara orangtua dengan anak yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal, baik secara fisik, mental maupun sosial, sebagai sebuah proses interaksi dan sosialisasi yang tidak bisa dilepaskan dari sosial budaya dimana anak dibesarkan.

II.B. Pola Asuh Orangtua

II.B.1.Definisi Pola Asuh Orangtua

Pola asuh orangtua merupakan segala bentuk dan proses interaksi yang terjadi antara orangtua dan anak yang merupakan pola pengasuhan tertentu dalam keluarga yang akan memberi pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak (Baumrind dalam Irmawati, 2002). Menurut Darling, (1999), pola asuh adalah


(31)

aktivitas kompleks yang melibatkan banyak perilaku spesifik yang bekerja secara individual dan bersama-sama untuk mempengaruhi anak.

Hubungan baik yang tercipta antara anak dan orangtua akan menimbulkan perasaan aman dan kebahagiaan dalam diri anak. Sebaliknya hubungan yang buruk akan mendatangkan akibat yang sangat buruk pula, perasaan aman dan kebahagiaan yang seharusnya dirasakan anak tidak lagi dapat terbentuk, anak akan mengalami trauma emosional yang kemudian dapat ditampilkan anak dalam berbagai bentuk tingkah laku seperti menarik diri dari lingkungan, bersedih hati, pemurung, dan sebagainya. Pola asuh orangtua merupakan pola interaksi antara anak dengan orangtua bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum, dan lain-lain) dan kebutuhan psikologis (seperti rasa aman, kasih sayang, dan lain-lain), tetapi juga mengajarkan norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan (Hurlock, 1994). Pola asuh adalah suatu cara orangtua menjalankan peranan yang penting bagi perkembangan anak selanjutnya, dengan memberi bimbingan dan pengalaman serta memberikan pengawasan agar anak dapat menghadapi kehidupan yang akan datang dengan sukses, sebab di dalam keluarga yang merupakan kelompok sosial dalam kehidupan individu, anak akan belajar dan menyatakan dirinya sebagai manusia sosial dalam hubungan dan interaksi dengan kelompok (Meuler, 1987 dalam Iswantini, 2002).

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pola asuh orangtua adalah cara yang dipakai oleh orangtua dalam mendidik dan memberi bimbingan dan pengalaman serta memberikan pengawasan kepada anak-anaknya


(32)

agar kelak menjadi orang yang berguna, serta tidak hanya memenuhi kebutuhan fisik dan psikis melainkan juga menanamkan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat yang akan menjadi faktor penentu bagi anak-anaknya dalam menginterpretasikan, menilai dan mendeskripsikan kemudian memberikan tanggapan dan menentukan sikap maupun berperilaku.

II.B.2. Dimensi pola asuh

Menurut (Baumrind, 1983) ada dua dimensi besar pola asuh yang menjadi dasar dari kecenderungan jenis kegiatan pengasuhan anak, yaitu :

a. Responsiveness atau Responsifitas

Dimensi ini berkenaan dengan sikap orangtua yang penuh kasih sayang, memahami dan berorientasi pada kebutuhan anak. Sikap hangat yang ditunjukkan orangtua pada anak sangat berperan penting dalam proses sosialisasi antara orangtua dengan anak. Diskusi sering terjadi pada keluarga yang orangtuanya responsif terhadap anak – anak mereka, selain itu juga sering terjadi proses memberi dan menerima secara verbal diantara kedua belah pihak. Namun pada orangtua yang tidak responsif terhadap anak – anaknya, orangtua bersikap membenci, menolak atau mengabaikan anak. Orangtua dengan sikap tersebut sering menjadi penyebab timbulnya berbagai masalah yang dihadapi anak seperti kesulitan akademis, ketidakseimbangan hubungan dengan orang dewasa dan teman sebaya sampai dengan masalah delikuensi.


(33)

Menurut (Baumrind, 1983 dalam Berk, 2000) responsiveness atau responsifitas terdiri atas :

1) Clarity of communication (menuntut anak berkomunikasi secara jelas), yaitu orangtua meminta pendapat anak yang disertai alasan yang jelas ketika anak menuntut pemenuhan kebutuhannya, menunjukkan kesadaran orangtua untuk medengarkan atau menampung pendapat, keinginan atau keluhan anak, dan juga kesadaran orangtua dalam memberikan hukuman kepada anak bila diperlukan. 2) Nurturance (upaya pengasuhan), yaitu orangtua menunjukkan ekspresi kehangatan dan kasih sayang serta keterlibatan orangtua terhadap kesejahteraan dan kebahagiaan anak dan menunjukkan rasa bangga akan prestasi yang diperoleh anak. Orangtua mampu mengekspresikan cinta dan kasih sayang melalui tindakan dan sikap yang mengekspresikan kebanggaan dan rasa senang atas keberhasilan yang dicapai anak-anaknya.

b. Demandingness atau tuntutan

Untuk mengarahkan perkembangan sosial anak secara positif, kasih sayang dari orangtua belumlah cukup. Kontrol dari orangtua dibutuhkan untuk mengembangkan anak agar anak menjadi individu yang kompeten baik secara intelektual maupun sosial.

Menurut (Baumrind, 1983 dalam Berk, 2000) demandingness atau tuntutan terdiri atas :

1) Demand for maturity (menuntut anak bersikap dewasa), yaitu orangtua menekankan pada anak untuk mengoptimalkan kemampuannya agar menjadi


(34)

lebih dewasa dalam segala hal. Orangtua memberikan tekanan terhadap anak untuk dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam aspek sosial, intelektual dan emosional. Orangtua pun menuntut kemandirian yang meliputi pemberian kesempatan kepada anak-anaknya untuk membuat keputusannya sendiri.

2) Control (kontrol), yaitu menunjukkan upaya orangtua dalam menerapkan kedisiplinan pada anak sesuai dengan patokan orangtua yang kaku yang sudah di buat sebelumnya. Orangtua juga terlihat berusaha untuk membatasi kebebasan, inisiatif dan tingkah laku anaknya. Orangtua memiliki kemampuan untuk menahan tekanan dari anak, dan konsisten dalam menjalankan aturan. Mengontrol tindakan didefinisikan sebagai upaya orangtua untuk memodifikasi ekspresi ketergantungan anak, agresivitas atau perilaku bermain di samping untuk meningkatkan internalisasi anak terhadap standar yang dimiliki orangtua terhadap anak.

II.B.3.Gaya Pola Asuh Orangtua

Gaya pola asuh adalah kumpulan dari sikap, praktek dan ekspresi nonverbal orangtua yang bercirikan kealamian dari interaksi orangtua kepada anak sepanjang situasi yang berkembang (Darling & Steinberg, 1999). Gaya konseptual pola asuh Baumrind didasarkan pada pendekatan tipologis pada studi praktek sosialisasi keluarga. Pendekatan ini berfokus pada konfigurasi dari praktek pola asuh yang berbeda dan asumsi bahwa akibat dari salah satu praktek tersebut tergantung sebagian pada pengaturan kesemuanya. Variasi dari konfigurasi


(35)

dan supervisi) menghasilkan variasi dalam bagaimana seorang anak merespon pengaruh orangtua. Dari perspektif ini, gaya pola asuh dipandang sebagai karakteristik orangtua yang membedakan keefektifan dari praktek sosialisasi keluarga dan penerimaan anak pada praktek tersebut (Darling & Steinberg, 1999).

Tipologi gaya pola asuh Baumrind (1971) mengidentifikasi tiga pola yang berbeda secara kualitatif pada otoritas orangtua, yaitu authoritarian parenting, authoritative parenting dan permissive parenting. Menurut (Baumrind, 1971 dalam Berk, 2000), ada tiga tipe pola asuh orangtua:

a. Pola asuh authoritarian, yaitu pola asuh yang penuh pembatasan dan hukuman (kekerasan) dengan cara orangtua memaksakan kehendaknya, sehingga orangtua dengan pola asuh authoritarian memegang kendali penuh dalam mengontrol anak-anaknya. Authoritarian mengandung demanding dan unresponsive. Yang dicirikan dengan orangtua yang selalu menuntut anak tanpa memberi kesempatan pada anak untuk mengemukakan pendapatnya, tanpa disertai dengan komunikasi terbuka antara orangtua dan anak juga kehangatan dari orangtua. Pola asuh authoritarian ditandai dengan ciri-ciri sikap orangtua yang kaku dan keras dalam menerapkan peraturan-peraturan maupun disiplin. Orangtua bersikap memaksa dengan selalu menuntut kepatuhan anak, agar bertingkah laku seperti yang dikehendaki oleh orangtuanya. Karena orangtua tidak mempunyai pegangan mengenai cara bagaimana mereka harus mendidik, maka timbul berbagai sikap orangtua yang mendidik menurut apa yang dinggap terbaik oleh mereka sendiri, diantaranya


(36)

adalah dengan hukuman dan sikap acuh tak acuh, sikap ini dapat menimbulkan ketegangan dan ketidak nyamanan, sehingga memungkinkan kericuhan di dalam rumah (Baumrind, 1971 dalam Berk, 2000). Menurut Stewart dan Koch (1983), orangtua yang menerapkan pola asuh otoriter mempunyai ciri sebagai berikut:

1) Kaku 2) Tegas

3) Suka menghukum

4) Kurang ada kasih sayang serta simpatik

5) Orangtua memaksa anak-anak untuk patuh pada nilai-nilai mereka, serta mencoba membentuk lingkah laku sesuai dengan yang orangtua inginkan serta cenderung mengekang keinginan anak

6) Orangtua tidak mendorong serta memberi kesempatan kepada anak untuk mandiri dan jarang memberi pujian

7) Hak anak dibatasi tetapi dituntut tanggung jawab seperti anak dewasa. b. Pola asuh authoritative, yaitu pola asuh yang memberikan dorongan pada

anak untuk mandiri namun tetap menerapkan berbagai batasan yang akan mengontrol perilaku mereka. Adanya saling memberi dan saling menerima, mendengarkan dan didengarkan. Pola ini lebih memusatkan perhatian pada aspek pendidikan daripada aspek hukuman, orangtua memberikan peraturan yang luas serta memberikan penjelasan tentang sebab diberikannya hukuman serta imbalan tersebut. Authoritative


(37)

dari orang tua yang disertai dengan komunikasi terbuka antara orangtua dan anak, mengharapkan kematangan perilaku pada anak disertai dengan adanya kehangatan dari orangtua. Jadi penerapan pola asuh authoritatif dapat memberikan keleluasaan anak untuk menyampaikan segala persoalan yang dialaminya tanpa ada perasaan takut, keleluasaan yang diberikan orangtua tidak bersifat mutlak akan tetapi adanya kontrol dan pembatasan berdasarkan norma-norma yang ada (Baumrind, 1971 dalam Berk, 2000). Menurut Stewart dan Koch (1983) menyatakan ciri-cirinya adalah:

1) Bahwa orangtua yang demokratis memandang sama kewajiban dan hak antara orangtua dan anak.

2) Secara bertahap orangtua memberikan tanggung jawab bagi anak-anaknya terhadap segala sesuatu yang diperbuatnya sampai mereka menjadi dewasa.

3) Mereka selalu berdialog dengan anak-anaknya, saling memberi dan menerima, selalu mendengarkan keluhan-keluhan dan pendapat anak-anaknya.

4) Dalam bertindak, mereka selalu memberikan alasannya kepada anak, mendorong anak saling membantu dan bertindak secara obyektif, tegas tetapi hangat dan penuh pengertian.

c. Pola asuh permissive, yaitu pola asuh yang menekankan pada ekspresi diri dan regulasi diri anak. Mengizinkan anak untuk memonitor aktivitas mereka sendiri sebanyak mungkin tanapa adanya batasan dari orangtua


(38)

(Baumrind, 1989 dalam Papalia, 2008). Maccoby dan Martin (dalam Santrock, 2002) membagi pola asuh ini menjadi dua: neglectful parenting dan indulgent parenting. Pola asuh yang neglectful yaitu bila orangtua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak (tidak peduli). Pola asuh ini menghasilkan anak-anak yang kurang memiliki kompetensi sosial terutama karena adanya kecenderungan kontrol diri yang kurang. Pola asuh yang indulgent yaitu bila orangtua sangat terlibat dalam kehidupan anak, namun hanya memberikan kontrol dan tuntutan yang sangat minim (selalu menuruti atau terlalu membebaskan) sehingga dapat mengakibatkan kompetensi sosial yang tidak adekuat karena umumnya anak kurang mampu untuk melakukan kontrol diri dan menggunakan kebebasannya tanpa rasa tanggung jawab serta memaksakan kehendaknya. Permissive mengandung undemanding dan unresponsive (Baumrind, 1971 dalam Berk, 2000). Dicirikan dengan orangtua yang bersikap mengabaikan dan lebih mengutamakan kebutuhan dan keinginan orangtua daripada kebutuhan dan keinginan anak, tidak adanya tuntutan larangan ataupun komunikasi terbuka antara orangtua dan anak. Hurlock (1994) mengatakan bahwa pola asuhan permisif bercirikan :

1) Adanya kontrol yang kurang

2) Orangtua bersikap longgar atau bebas 3) Bimbingan terhadap anak kurang.


(39)

II.B.4.Faktor–faktor yang mempengaruhi pola asuh orangtua

Adapun faktor yang mempengaruhi pola asuh anak adalah (Edwards, 2006):

a.Pendidikan orangtua

Pendidikan dan pengalaman orangtua dalam perawatan anak akan mempengaruhi persiapan mereka menjalankan pengasuhan. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menjadi lebih siap dalam menjalankan peran pengasuhan antara lain: terlibat aktif dalam setiap pendidikan anak, mengamati segala sesuatu dengan berorientasi pada masalah anak, selalu berupaya menyediakan waktu untuk anak-anak dan menilai perkembangan fungsi keluarga dan kepercayaan anak (Edwards, 2006). Latar belakang pendidikan orangtua, informasi yang didapat oleh orangtua tentang cara mengasuh anak, kultur budaya, kondisi lingkungan sosial, ekonomi akan mempengaruhi bagaimana orangtua memberikan pengasuhan pada anak-anak mereka (Winengan, 2007). Orangtua yang sudah mempunyai pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak akan lebih siap menjalankan peran asuh, selain itu orangtua akan lebih mampu mengamati tanda-tanda pertumbuhan dan perkembangan yang normal (Supartini, 2004).

b. Lingkungan

Faktor sosial, ekonomi, lingkungan, budaya dan pendidikan memberikan kontribusi pada kualitas pengasuhan orangtua (Zevalkinki, 2007). Pengasuhan merupakan proses yang panjang, maka proses pengasuhan akan mencakup 1) interaksi antara anak, orang tua, dan masyarakat lingkungannya, 2) penyesuaian


(40)

kebutuhan hidup dan temperamen anak dengan orang tuanya, 3) pemenuhan tanggung jawab untuk membesarkan dan memenuhi kebutuhan anak, 4) proses mendukung dan menolak keberadaan anak dan orang tua, serta 5) proses mengurangi resiko dan perlindungan tehadap individu dan lingkungan sosialnya (Berns 1997). Lingkungan banyak mempengaruhi perkembangan anak, maka tidak mustahil jika lingkungan juga ikut serta mewarnai pola-pola pengasuhan yang diberikan orangtua terhadap anaknya (Edwards, 2006).

c. Budaya

Sering kali orangtua mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengasuh anak, kebiasaan-kebiasaan masyarakat disekitarnya dalam mengasuh anak, karena pola-pola tersebut dianggap berhasil dalam mendidik anak kearah kematangan (Edwards, 2006). Orangtua mengharapkan kelak anaknya dapat diterima dimasyarakat dengan baik, oleh karena itu kebudayaan atau kebiasaan masyarakat dalam mengasuh anak juga mempengaruhi setiap orangtua dalam memberikan pola asuh terhadap anaknya (Anwar,2000).

Budaya yang ada di dalam suatu komunitas menyediakan seperangkat keyakinan, yang mencakup (a) pentingnya pengasuhan; (b) peran anggota keluarga (c) tujuan pengasuhan; (d) metode yang digunakan dalam penerapan disiplin kepada anak; dan (e) peran anak di dalam masyarakat(Brooks, 2001). Oleh karenanya, bila budaya yang ada mengandung seperangkat keyakinan yang dapat melindungi perkembangan anak, maka nilai-nilai pengasuhan yang diperoleh orangtua kemungkinan juga akan berdampak positif terhadap


(41)

dalam budaya masyarakat setempat justru memperbesar munculnya faktor resiko maka nilai-nilai pengasuhan yang diperoleh orangtua pun akan menyebabkan perkembangan yang negatif pada anak (Suhartono, 2007).

II.C.Gaya Pengasuhan Ibu dan Ayah Berbeda

Orangtua mungkin tidak menyadari, sebenarnya gaya pengasuhan antara ayah dan ibu berbeda. Hal ini dikarenakan, pada dasarnya gender laki-laki dan perempuan berbeda, baik dalam pola kehidupan, latar belakang maupun pekerjaannya. Perbedaan pada gaya ayah dan ibu sangat wajar, mengingat pada bapak-bapak, secara fisik memang lebih kuat dari ibu-ibu. Selain itu, secara umum bapak-bapak adalah breadwinners (pencari nafkah, Red.) dalam keluarga. Namun begitu, keduanya tetap harus sinergis dalam membangun kehidupan anak. ayah dan ibu tetap memiliki peranan yang sama besarnya dalam membangun anak. Kalau ayah lebih kepada membangun visi dan misi, dan menumuhkan kompetensi dan percaya diri. Ibu lebih kepada memberikan kasih sayang, sentuhan, memeluk, memberikan contoh kasih sayang, ataupun mengajak anak ngobrol (Verauli, 2012). Secara umum, ayah dan ibu memiliki peran yang sama dalam pengasuhan anak-anaknya. Namun ada sedikit perbedaan sentuhan dari apa yang ditampilkan oleh ayah dan ibu (Verauli, 2009).

a. Peran ibu

1. Menumbuhkan perasaan mencintai dan mengasihi pada anak melalui interaksi yang jauh melibatkan sentuhan fisik dan kasih sayang.


(42)

2. Menumbuhkan kemampuan berbahasa pada anak melalui kegiatan-kegiatan bercerita dan mendongeng, serta melalui kegiatan yang lebih dekat dengan anak, yakni berbicara dari hati ke hati kepada anak.

3. Mengajarkan tentang peran jenis kelamin perempuan, tentang bagaimana harus bertindak sebagai perempuan, dan apa yang diharapkan oleh lingkungan sosial dari seorang perempuan.

b. Peran ayah

1. Menumbuhkan rasa percaya diri dan kompeten pada anak melalui kegiatan bermain yang lebih kasar dan melibatkan fisik baik di dalam maupun di luar ruang.

2. Menumbuhkan kebutuhan akan hasrat berprestasi pada anak melalui kegiatan mengenalkan anak tentang berbagai kisah tentang cita-cita.

3. Mengajarkan tentang peran jenis kelamin laki-laki, tentang bagaimana harus bertindak sebagai laki-laki, dan apa yang diharapkan oleh lingkungan sosial dari laki-laki.

Peran orangtua dalam pengasuhan anak berubah seiring pertumbuhan dan perkembangan anak. Karenanya, diharapkan orangtua bisa memahami fase-fase perkembangan anak dan mengimbanginya. Menurut pakar psikologi perkembangan Jean Piaget, anak perlu melakukan aksi tertentu atas lingkungannya untuk dapat mengembangkan cara pandang yang kompleks dan cerdas atas setiap pengalamannya. Sudah menjadi tugas orangtua untuk memberi anak pengalaman yang dibutuhkan anak agar kecerdasannya berkembang


(43)

Erik Erikson (dalam Verauli, 2012) selaku pelopor dunia psikologi anak juga menegaskan bahwa cinta seorang ayah dan kasih seorang ibu berbeda secara kualitatif. Berikut ini keterlibatan seorang ayah membuat perbedaan positif dalam kehidupan anak:

1. Gaya komunikasi berbeda

Ayah memiliki gaya komunikasi berbeda. Anak akan lebih berpengalaman, lebih luas interaksi relasional.

2. Gaya bermain berbeda

Ayah mengajarkan melempar, menggelitik, menendang, bergulat untuk

pengendalian diri. 3. Membangun rasa percaya diri

Meski gaya pengasuhan sendiri dapat membahayakan tubuh, namun ayah mengambil risiko untuk membangun kemandirian dan kepercayaan diri. Sementara anak tetap aman namun memperluas pengalaman dan meningkatkan kepercayaan diri mereka.

4. Gaya disiplin unik

Ayah cenderung mengamati dan menegakkan aturan secara sistematis dan tegas. Mengajar

anak-anak konsekuensi dari benar dan salah. 5. Persiapkan anak untuk dunia nyata

Ayah terlibat membantu anak menyikapi perilaku. Misalnya ayah lebih mungkin dibandingkan ibu untuk memberitahu anak-anak tentang persiapan realitas dan kerasnya dunia.


(44)

Masing-masing orangtua tentu saja memiliki pola asuh tersendiri dalam mengarahkan perilaku anak. Hal ini sangat dipengaruh oleh latar belakang pendidikan orangtua, mata pencaharian hidup, keadaan sosial ekonomi, adat istiadat, dan sebagainya. Dengan kata lain, pola asuh orangtua petani tidak sama dengan pedagang. Demikian pula pola asuh orangtua berpendidikan rendah berbeda dengan pola asuh orangtua yang berpendidikan tinggi. Ada yang menerapkan dengan pola yang keras/kejam, kasar, dan tidak berperasaan. Namun, ada pula yang memakai pola lemah lembut, dan kasih sayang. Ada pula yang memakai sistem militer, yang apabila anaknya bersalah akan langsung diberi hukuman dan tindakan tegas yang biasa disebut pola otoriter (Clemes, 2001).

Kedekatan hubungan ibu dan anak sama pentignya dengan ayah dan anak walaupun secara kodrati akan ada perbedaan. Didalam rumah tangga ayah dapat melibatkan dirinya melakukan peran pengasuhan kepada anaknya. Seorang ayah tidak saja bertanggung jawab dalam memberikan nafkah tetapi dapat pula bekerja sama dengan ibu dalam melakuan perawatan anak. Gaya pengasuhan anak merupakan seluruh interaksi antara subjek dan objek berupa bimbingan, pengarahan dan pengawasan terhadap aktivitas objek sehari-hari yang berlangsung secara rutin sehingga membentuk suatu pola dan merupakan usaha yang diarahkan untuk mengubah tingkah laku sesuai dengan keinginan si pendidik atau pengasuh. Peran ibu adalah sebagai pelindung dan pengasuh. Seorang ibu, tua maupun muda, kaya atau miskin secara naluriah tahu tentang garis-garis besar dan fungsinya sehari-hari dalam keluarga. Ibu adalah pendidik pertama dan utama


(45)

keterlibatan ibu dalam mengasuh dan membesarkan anak sejak masih bayi dapat membawa pengaruh positif maupun negatif bagi perkembangan anak di masa yang akan datang (Berk, 2000).

II.D. Perkembangan Pada Masa Anak-anak Akhir

Pembentukan kualitas seorang individu dapat dimulai dari masa anak- anak, terutama pada usia dini. Anak-anak adalah generasi penerus bangsa, merekalah para pengganti dan penyempurna generasi sebelumnya. Pada masa ini seorang anak mulai belajar untuk semua hal yang ada di dunia. Masa anak-anak ini terbagi dalam dua bagian yaitu masa anak-anak awal yang berlangsung dari usia 2-6 tahun dan masa kanak-kanak akhir yang berlangsung dari usia 6-13 tahun pada anak perempuan dan 14 tahun pada anak laki-laki (Hurlock, 1994). Periode ini dimulai ketika anak mulai memasuki Sekolah Dasar dan berakhir ketika anak mengalami kematangan seksual. Periode ini juga disebut sebagai periode anak usia Sekolah Dasar, karena pada masa ini anak mulai memasuki sekolah formal (Hurlock, 1994).

Anak usia sekolah telah menginternalisasi rasa malu dan bangga serta dapat memahami dan mengontrol emosi negatif lebih baik. Anak usia sekolah menjadi lebih empati dan lebih condong kepada perilaku prososial, anak prososial cendrung bertindak sesuai dengan situasi sosial, relatif bebas dari emosi negatif dan menghadapi masalah secara konstruktif. Anak usia sekolah lebih sedikit menghabiskan waktunya dengan orangtua, namun hubungannya dengan orangtua tetap sangat penting. (Papalia, 2008)


(46)

II.E. Praktek Pengasuhan Pada Anak-anak Akhir

Orangtua dari anak yang berprestasi menciptakan lingkungan untuk belajar. Mereka menyediakan tempat untuk belajar, menyimpan buku serta berbagai peralatan, mereka menentukan waktu makan, tidur, dan pekerjaan rumah, mereka memonitor seberapa banyak acara televisi yang ditonton anak mereka dan apa yang dilakukan anak mereka setelah sekolah dan mereka menunjukkan ketertarikan kepada kehidupan anak mereka dengan berbincang-bincang tentang sekolah dan terlibat dalam aktivitas sekolah (Cooper dkk, 1998 dalam Papalia, 2008) .

Orangtua memotivasi anaknya dengan cara ekstrinsik maupun intrinsik. Orangtua yang menggunakan cara ekstrinsik yaitu dengan cara memberikan uang atau barang apabila sang anak mendapatkan peringkat yang bagus atau menghukumnya apabila peringkat sang anak buruk. Orangtua yang menggunakan cara intrinsik yaitu dengan cara memuji kemampuan ataukerja keras mereka. Motivasi intrinsik akan lebih efektif untuk pembelajaran sang anak (Miserandino, 1996 dalam Papalia, 2008).

Gaya pengasuhan akan mempengaruhi motivasi. Dalam sebuah studi penelitian anak kelas lima, hasil menunjukkan bahwa orangtua otoritarian, selalu mengurung anak agar mengerjakan pekerjaan rumah mereka, mengawasi dengan ketat, dan menyandarkan diiri kepada motivasi ekstrinsik cendrung memiliki anak berprestasi rendah. Begitu pula dengan orangtua yang permissive yang lepas tangan tidak tampak peduli dengan yang dilakukan sang anak di sekolah.


(47)

orangtuanya, orangtua memberikan kesempatan bagi anak-anaknya namun tidak lepas dari pengawasan (Bronstein & Ginsburg, 1996 dalam Papalia, 2008).

II.F. Masyarakat Pesisir

II.F.1. Definisi Masyarakat Pesisir

Pengertian masyarakat pesisir tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat itu sendiri. Maka dari itu sebelum membicarakan tentang masyarakat pesisir terlebih dahulu kita memahami tentang definisi masyarakat. Masyarakat merupakan sekelompok manusia yang telah hidup lama dan bekerja sama sehingga mereka dapat mengatur diri dan menganggap diri mereka sebagai kesatuan sosial dengan batas tertentu yang diharuskan dengan jelas. Pada hakikatnya pengertian masyarakat mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: (a). Adanya sejumlah manusia yang hidup bersama (b). Bercampur atau bersama-sama untuk waktu yang cukup lama (c). Menyadari bahwa mereka merupakan satu kesatuan (d). Menyadari bahwa mereka bersama-sama di ikat oleh perasaan anggota yang satu dengan yang lainnya (e). Menghasilkan suatu kebudayaan tertentu (Audiyahira, 2011).

Masyarakat pesisir dapat didefinisikan sebagai kelompok orang atau suatu komunitas yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir. Mereka terdiri dari nelayan, buruh nelayan, pembudidaya ikan, pedagang ikan, pengolah ikan, sarana produksi perikanan (Mudjahirin, 2009). Masyarakat pesisir yang identik dengan nelayan merupakan bagian dari masyarakat terpinggirkan


(48)

yang masih terus bergulat dengan berbagai persoalan kehidupan, baik ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, maupun budaya. Kondisi kehidupan mereka selalu dalam kondisi yang memprihatinkan, terutama secara ekonomi. Dengan penghasilan yang selalu tergantung pada kondisi alam (Winengan, 2007). Masalah kompleks yang dihadapi masyarakat pesisir adalah kemiskinan, keterbatasan pengetahuan serta dunia pendidikan dan teknologi yang berkembang (Nikijuluw, 2001).

II.F.2.Karakteristik Masyarakat Pesisir

Masyarakat di pesisir pantai secara umum mempunyai karakteristik yaitu sebagian besar mrupakan nelayan tradisional dengan penghasilan pas-pasan, dan tergolong keluarga miskin yang disebabkan oleh faktor alamiah, yaitu semata-mata bergantung pada hasil tangkapan dan bersifat musiman, serta faktor non alamiah berupa keterbatasan teknologi alat penangkap ikan, sehingga berpengaruh terhadap pendapatan keluarga. Rendahya pendapatan keluarga berdampak terhadap ketersediaan pangan keluarga, ketersediaan rumah yang layak, pendidikan yang minimal untuk anak-anaknya. (Kusnadi 2003).

Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang memiliki tempramental dan karakter watak yang keras dan tidak mudah di atur. Realitas pendidikan di masyarakat pesisir adalah pendidikan yang mengalami “Dehumanisasi”, dikatakan demikian karena pendidikan mengalami proses kemundurun dengan terkikisnya nilai-nilai kemanusiaan yang dikandungnya. Dengan pendidikan seperti itu maka


(49)

anak-anak menjadi putus sekolah dan lebih memilih bekerja sebagai nelayan untuk mencari nafkah (Audiyahira, 2011).

Lingkungan alam sekitar akan membentuk sifat dan perilaku masyarakat. Lingkungan fisik dan biologi mempengaruhi interaksi sosial, distribusi peran sosial, karakteristik nilai, norma sosial, sikap serta persepsi yang melembaga dalam masyarakat. Perubahan lingkungan dapat merubah konsep keluarga. Nilai-nilai sosial yang berkembang dari hasil penafsiran atas manfaat dan fungsi lingkungan dapat memacu perubahan sosial (Usman, 2003).

Karateristik sosial ekonomi masyarakat pesisir dapat dilihat dari faktor mata pencaharian dan lingkungan pemukiman. Mata pencaharian sebagian besar penduduk di wilayah pesisir adalah di sektor pemanfaatan sumberdaya kelautan (marine resources base), seperti nelayan, petani ikan (budidaya tambak dan laut), penambangan pasir, kayu mangrove dan lain-lain. Sebagian besar penduduk wilayah pesisir memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Lingkungan pemukiman masyarakat pesisir, khususnya nelayan masih belum tertata dengan baik dan terkesan kumuh (Fakhrudin, 2008).

Keterbatasan penghasilan atau kemiskinan menjadi karakteristik utama masyarakat pesisir, mereka tidak jarang membuat sang isteri ikut terlibat mencari nafkah tambahan guna memenuhi kebutuhan keluarga. Bahkan tidak mentup kemungkinan sang anak juga ikut terlibat dalam proses mencari nafkah yaitu dengan cara melaut. Pada umumnya isteri-isteri nelayan menjual hasl tangkapan suaminya. Dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga, peranan isteri sangat cukup dominan, secara hati-hati isteri mengatur sepenuhnya pengeluaran rumah tangga


(50)

sehari-hari berdasarkan tingkat kebutuhan konsumsi jumlah anggota rumah tangganya. Selain itu gambaran umum yang pertama kali yang bisa dilihat dari kondisi kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi dalam kehidupan masyarakat pesisir adalah fakta-fakta yang bersifat fisik berupa kualitas pemukiman. Kampung-kampung nelayan miskin akan mudah diidentifikasi dari kondisi rumah hunian mereka. Rumah-rumah yang sangat sederhana, berdinding anyaman bamboo, berlantai tanah pasir, beratap daun rimba, dan keterbatasan pemilikan perabotan rumah tangga adalah tempat tinggal para nelayan buruh atau nelayan tradisional (Kusnadi, 2003).

Selain gambaran fisik tersebut, untuk mengidentifikasi kehidupan nelayan miskin dapat dilihat dari tingkat pendidikan anak-anak, pola konsumsi sehari-hari dan tingkat pendapatan mereka. Karena tingkat pendapatan mereka rendah, maka adalah logis jika tingkat pendidikan anak-anak mereka juga rendah. Banyak anak yang harus berhenti sebelum lulus sekolah dasar atau kalaupun lulus, mereka tidak akan melanjutkan pendidikannya ke sekolah menengah pertama. Disamping itu, kebutuhan hidup yang paling mendasar bagi rumah tangga nelayan miskin adalah pemenuhan kebutuhan pangan. Kebutuhan dasar yang lain, seperti kelayakan perumahan dan sandang dijadikan sebagai kebutuhan sekunder. Kebutuhan akan pangan merupakan prasyarat utama agar rumah tangga nelayan dapat bertahan hidup (Kusnadi, 2003).


(51)

II.G. Gambaran Pola asuh Pada Masyarakat Pesisir Pantai

Penduduk komunitas pantai yang disebut dengan masyarakat pesisir hampir sebagian besar bekerja sebagai nelayan tradisional umumnya mempunyai ciri yang sama yaitu kurang berpendidikan. Artinya, karena pekerjaan sebagai nelayan sedikit -banyak merupakan pekerjaan kasar yang lebih banyak mengandalkan otot dan pengalaman, maka setinggi apa pun tingkat pendidikan masyarakat pesisir tersebut tidaklah akan mempengaruhi kecakapan mereka melaut (Sudarso, 2005). Masyarakat pesisir sangat tergantung dengan lam, sehingga ada waktu tertentu mereka memperoleh ikan dan ada waktu-waktu tertentu mereka tidak melaut. Oleh karena itu tidak jarang ditemukan masyarakat pesisir yang berhutang pada penjual atau warung yang bera di sekitar tempat tinggalnya. Hal ini adalah salah satu cara mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup (Kusnadi, 2003).

Masyarakat pesisir yang identik dengan nelayan merupakan bagian dari masyarakat terpinggirkan yang masih terus bergulat dengan berbagai persoalan kehidupan, baik ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, maupun budaya. Kondisi kehidupan mereka selalu dalam kondisi yang memprihatinkan, terutama secara ekonomi. Dengan penghasilan yang selalu tergantung pada kondisi alam. Kondisi alam tersebut yang membuat sulit bagi mereka untuk merubah kehidupannya menjadi lebih baik. Kondisi yang memprihatinkan tersebut yang menyebabkan rendahnya kemampuan dan ketrampilan masyarakat pesisir sehingga membuat mereka hidup dalam kemiskinan (Winengan, 2007). Keterbatasan penghasilan atau kemiskinan yang dialami oleh masyarakat pesisir tidak jarang membuat isteri


(52)

ikut terlibat mencari nafkah tambahan guna memenuhi kebutuhan keluarga. Bahkan tidak menutup kemungkinan anak-anak mereka juga ikut terlibat dalam proses mencari nafkah seperti anak lelaki yang ikut melaut bersama ayah mereka (Kusnadi, 2003).

Kemiskinan yang melanda rumah tangga masyarakat pesisir telah mempersulit mereka dalam membentuk kehidupan generasi berikutnya yang lebih baik dari keadaan mereka saat ini (Fathul, 2002). Karena mereka selalu hidup dalam kemiskinan, bagi mereka menikah dalam usia yang mungkin belum terlalu matang ini tidaklah menjadi soal. Masalah yang sesungguhnya biasanya baru mulai terasa jika keluarga-keluarga nelayan tradisional miskin itu mulai dikaruniai anak (Sudarso, 2005). Orangtua yang hidup dalam rumah kumuh, yang kehilangan pekerjaan, yang susah cari makan, dan yang merasa tidak dapat mengontrol kehidupan cendrung menjadi cemas, tertekan dan lekas marah. Orangtua akan menjadi kurang mengasihi anak-anaknya, kurang responsif, kasar yang berlebihan. Mereka juga cendrung mengabaikan perilaku yang baik dan hanya memperhatikan perilaku yang salah. Dampaknya, sang anak akan tertekan, kesulitan bermain dengan teman sabayanya, kurang percaya diri, memiliki masalah perilaku, dan terlibat dalam tindakan antisosial (Brooks-Gunn et al, 1998 dalam Papalia, 2008).

Keluarga yang berada dalam kesulitan ekonomi memiliki kecendrungan yang lebih rendah dalam mengontrol aktivitas anak-anak mereka, dan kurangnya memonitor prestasi sekolah dan penyesuaian sosial sang anak (Bolger dkk, 1995


(53)

orangtua yang mengalami kemiskinan namun ia merawat anaknya dengan baik, mengasuh anak secara efektif. Maka anak-anaknya akan mudah beradaptasi dengan lingkungan baru, anak-anak mereka juga akan lebih mudah untuk mencapai kesuksesan yang mereka inginkan (Ackerman dkk, 1999 dalam Papalia, 2008).

Secara sosial-psikologis, kehadiran seorang anak bagi sebuah keluarga memang akan menjadi pelengkap kebahagiaan dan sudah sewajarnya jika disambut dengan gembira. Tetapi, bagi keluarga miskin kehadiran anak adalah sebagai beban mereka, karena mereka harus membiayai hidup dan sekolahnya. Anak-anak mereka harus menerima kenyataan untuk mengenyam tingkat pendidikan yang rendah. Karena ketidakmampuan ekonomi orang tuanya (Fathul, 2002).

Fenomena keseharian masyarakat pesisir yang terlihat yaitu anak lelaki maupun wanita secara lebih dini terlibat dalam proses pekerjaan nelayan dari mulai persiapan orangtua mereka untuk ke laut sampai dengan menjual hasil tangkapan. Hal ini tentunya berimplikasi kepada kelangsungan pendidikan anak-anaknya (Pengemanan, 2002). Pada umumnya rumah tangga nelayan tidak memiliki perencanaan yang matang untuk pendidikan anak-anaknya. Pendidikan bagi sebagian besar rumah tangga masyarakat pesisir masih menjadi kebutuhan nomor sekian dalam rumah tangga. Dapat dikatakan bahwa antusias terhadap pendidikan di masyarakat nelayan relatif masih rendah (Anggraini, 2000).

Di kalangan keluarga nelayan tradisional, mempekerjakan anak-anak untuk ikut membantu orang tua mencari nafkah dalam usia dini adalah hal yang


(54)

biasa, sehingga jangan kaget jika anak-anak mereka pun rata-rata tidak sempat menyelesaikan pendidikan hingga jenjang yang setinggi –tingginya (Sudarso, 2005). Anak-anak di tuntut untuk ikut mencari nafkah, menanggung beban kehidupan rumah tangga, dan mengurangi beban tanggung jawab orang tuannya (Fathul, 2002). Di lingkungan komunitas masyarakat pesisir pantai, peran istri dan anak-anak dalam membantu ekonomi keluarga umumnya besar, dan bahkan tidak jarang menjadi sumber utama pemasukan keluarga (Sudarso, 2005).

Oleh karenanya, bila budaya yang ada mengandung seperangkat keyakinan yang dapat melindungi perkembangan anak, maka nilai-nilai pengasuhan yang diperoleh orangtua kemungkinan juga akan berdampak positif terhadap perkembangan anak. Sebaliknya, bila ternyata seperangkat keyakinan yang ada dalam budaya masyarakat setempat justru memperbesar munculnya faktor resiko maka nilai-nilai pengasuhan yang diperoleh orangtua pun akan menyebabkan perkembangan yang negatif pada anak (Suhartono, 2007).


(55)

II.H. Paradigma Berfikir

Karakteristik masyarakat pesisir:

- Memiliki banyak

persoalan kehidupan - Status ekonomi yang

rendah - Wawasan

pengetahuan yang sempit

- Tingkat pendidikan yang rendah

Faktor yang mempengaruhi pola asuh orangtua:

- Pendidikan - Lingkungan - Budaya

Pola asuh orangtua : - Authoritarian - Authoritative - Permissive Pola asuh antara ibu dan


(56)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan unsur penting di dalam penelitian ilmiah, karena metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan apakah penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Mengingat tujuan dari penelitian ini adalah melihat gambaran pola asuh orangtua pada masyarakat pesisir pantai, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif memungkinkan individu memfokuskan atensi dan mengungkapkan variasi pengalaman yang dijalaninya (Patton dalam Poerwandari, 2007).

III. A. Pendekatan Kualitatif

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitiatif untuk mengetahui bagaimana gambaran pola asuh orangtua pada masyarakat pesisir pantai. Hal ini disebabkan karena sebagian perilaku manusia, yang penghayatannya melibatkan berbagai pengalaman pribadi, sulit dikuantifikasikan sehingga mustahil diukur dan dibakukan, apalagi dituangkan dalam satuan numerik (Poerwandari, 2007). Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 1989) metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.

Metode kualitatif berusaha memahami suatu gejala sebagaimana pemahaman responden yang diteliti, dengan penekanan pada aspek subjektif dari


(57)

kompleksitas perilaku dan penghayatan manusia sabagai mahluk yang memiliki pemahaman tentang hidupnya (Poerwandari, 2007).

III.B. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (in-depth interview). Wawancara mendalam dilakukan dengan maksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, satu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain (Banister dkk dalam Poerwandari, 2007).

Penelitian ini menggunakan pedoman wawancara yang di buat berdasarkan karakteristik masyarakat pesisir, faktor yang mempengaruhi pola asuh orangtua serta gaya pola asuh orangtua pada masyaraka pesisir pantai. Pedoman wawancara tersebut terlebih dahulu telah di standarisari oleh profesional judgment. Kegunaan pedoman wawancara tersebut adalah untuk mengingatkan peneliti mengenai hal-hal yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah faktor serta dimenasi tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Pada saat proses wawancara juga akan disertai dengan proses observasi terhadap perilaku responden penelitian (Poerwandari, 2007).


(58)

III.C. Responden Penelitian III.C.1. Karakteristik Responden

Sesuai dengan tujuan penelitian ini, karakteristik responden penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah salah satu dari pasangan suami istri yang sudah memiliki anak, dengan karakteristik sebagai berikut :

Responden dalam penelitian ini adalah:

1. Orangtua yang tinggal satu rumah dengan anak-anaknya 2. Orangtua yang memiliki anak dengan usia 6-13 tahun 3. Orangtua yang tinggal di pesisir pantai

III.C.2. Jumlah Responden

Prosedur penentuan jumlah responden penelitian dalam penelitian kualitatif menurut Sarankatos (dalam Poerwandari, 2007) memiliki karakteristik berikut ini: (1) tidak ditentukan secara kaku sejak awal tetapi dapat berubah, baik dalam hal jumlah maupun karakteristik responden, sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian; (2) tidak diarahkan pada keterwakilan (dalam arti jumlah maupun peristiwa random) melainkan pada kecocokan konteks; (3) responden tidak diarahkan pada jumlah yang besar, melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian. Banister dkk. (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa dengan fokusnya pada kedalaman proses, penelitian kualitatif cenderung dilakukan dengan jumlah kasus sedikit. Suatu kasus tunggal pun dapat dipakai, bila secara potensial memang sangat sulit bagi peneliti untuk memperoleh kasus lebih banyak, dan bila dari kasus tunggal tersebut memang


(59)

tetapi kemudian responden dalam penelitian ini bertambah karena peneliti bertanya kepada orang-orang terdekat responden utama dengan tujuan memperkaya data penelitian. Dengan jumlah responden tersebut diharapkan akan dapat memberikan deskripsi tentang pola asuh orangtua pada masyarakat pesisir pantai.

III.C.3. Prosedur Pengambilan Responden

Prosedur pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah pengambilan sampel berdasarkan teori, atau berdasarkan konstruk operasional (theory-based/ operational construct sampling). Sampel dipilih dengan kriteria tertentu, berdasarkan teori atau konstruk operasional sesuai studi-studi sebelumnya atau sesuai dengan tujuan penelitian. Hal ini dilakukan agar sample sungguh-sungguh mewakili (bersifat presentative terhadap) fenomena yang dipelajari.

III.C.4. Lokasi Penelitian

Lokasi pengambilan data dilakukan di daerah pesisir pantai Medang Deras, alasan pengambilan tempat penelitian dikarenakan fenomena yang sedang diteliti berada di daerah tersebut.

III.D. Alat Bantu Pengumpulan Data

Menurut Poerwandari (2007) penulis sangat berperan dalam seluruh proses penelitian, mulai dari memilih topik, mendeteksi topik tersebut, mengumpulkan data, hingga analisis, menginterprestasikan dan menyimpulkan hasil penelitian. Dalam mengumpulkan data-data penulis membutuhkan alat Bantu. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan tiga alat bantu, yaitu :

1. Pedoman wawancara

Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman ini disusun tidak hanya berdasarkan


(1)

V.B. Saran

1. Penelitian ini juga menemukan bahwa faktor agama yang dianut oleh masyarakat pesisir sangat membentuk bagaimana mereka mendidik anak-anaknya yaitu secara Islam. Bagi mereka orang Islam haruslah mengerti ajaran Islam sesungguhnya. Penelitian selanjutnya dapat meneliti pengaruh agama yang dianut terhadap pola asuh orangtua.

2. Berdasarkan penelitian ini ditemukan bahwa ada responden yang sudah menyetujui jika anaknya tidak ingin sekolah lagi maka penelitian selanjutnya diharapkan meneliti tentang pengaruhnya pola asuh orangtua terhadap motivasi belajar anak.

3. Ditemukan bahwa responden mengikuti cara pola asuh yang diberikan oleh orangtuanya terdahulu. Responden mengikuti cara tersebut karena menurut responden itu adalah cara yang benar. Maka dari itu penelitian selanjutnya sebaikanya meneliti pengaruh pola asuh orangtua yang mewarisi pola asuh orangtuanya terdahulu.

4. Karena ditemukan dari penelitian ini yaitu orangtua yang menyuruh anak-anaknya untuk bekerja menghasilkan uang untuk kebutuhan hidup keluarga. Maka, penelitian selanjutnya dapat meneliti tentang bagaimana motivasi belajar anak-anak pesisir yang sudah bisa menghasilkan uang. 5. Karena ditemukan dari penelitian ini ada anak yang mengalami putus

sekolah karena tidak ingin sekolah lagi dikarenakan di lingkungannya yang banyak terdapat anak-anak yang putus sekolah atau tidak sekolah lagi dan ada juga anak yang ingin melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang


(2)

lebih tinggi maka penelitian selanjutnya dapat melihat tentang gambaran resiliensi pendidikan sekolah pada anak-anak pesisir pantai.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, E. (2000). Menyelamatkan Generasi Nelayan. [online]. www.SuaraKaryaOnline.com. Tanggal akses 25 Agustus 2011.

Audiyahira, J. (2010). 13 Juta Anak Terancam Putus Sekolah. [online].

Anwar. (2000). Permasalahan dan Isu Pengelolaan dan Pemanfaatan Pesisir Di Daerah.[online]

Arsavin. (2012). Romansa Kehidupan Pesisir.[online].

Berns, R.M. (1997). Child, Family, School, Community: Socialization And Support. USA (US): Rinehart and Winston, Inc.

Baumrind, D. (197l). Current patterns of parental authority. Developmental Psychology Monograph, 4 (1, Pt. 2).

Baumrind, D. (1978). Parental disciplinary patterns and sosial competence in children. Youth and Society, 9, 239-276.

Berk, L.E. (2000). Child Development (5th ed). USA : A Pearson Education Comp.

Brooks, Jane B. (2001). The Process of Parenting. 6th Ed. New York: McGraw-Hill.

Clemes, Harris. 2001. Mengajarkan Disiplin Kepada Anak. Jakarta. Mitra Utama. Darling, N., & Steinberg, L. (1999). Parenting style as context: An integrative

model. Psychological Bulletin, 113(3), 487-496. [online]. http://ericeece.org. Tanggal akses 25 Agustus 2011.

Engel, P.H. (1997). Perkembangan dan kepribadian Anak. Jakarta : Arcan

Edward, A. L. (2006). Techniques Of Attitude Scale Construction. New York Appleton-Century-Crofts. Ing. Beffer And Simong International University Edition.


(4)

Fathul. (2002). Peran Komunitas dalam Pengasuhan. [online].

September 2011.

Fahrudin, A. (2008). Karakteristik sosial ekonomi masyarakat. pesisir . [online] .

Geertz, D. E. (2000). Wajiran dalam Masyarakat Pesisir. [online].

Hurlock, E. B. (1994). Psikologi Perkembangan (Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan). Edisi 5. Jakarta: Erlangga.

Hoghughi, M. (2004). Parenting-An Introduction. Journal Of Cross Cultural Psychology, Western Washington University.

Irmawati. (2002). Motivasi Berprestasi & Pola Pengasuhan Pada Suku Bangsa Batak Toba & Suku Bangsa Melayu (tesis). Jakarta : Fakultas Pasca UI. Kusnadi. (2003). Akar Kemiskinan Nelayan, LkiS, Yogyakarta.

Keesing, Roger M. 1989. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer. Jakarta:Erlangga.

Maccoby, E. E., & Martin, J. A. (1983). Sosialization in the context of the family: Parent–child interaction. In P. H. Mussen (Ed.) & E. M. Hetherington (Vol. Ed.), Handbook of child psychology: Vol. 4. Sosialization, personality, and sosial development (4th ed.). New York: Wiley.

Muhadjirin. (2009). Sosiologi Pedesaan Masyarakat Pesisiran. [online]. Tanggal akses 25 Agustus 2011.

Meuler, H.R. (1987). Hubungan Antara Gaya Pengasuhan Orangtua dengan Tingkah Laku Prososial Anak. Jurnal Psikologi. Vol. 11. No.1.

Mubyarto. (1989). Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: LP3S. Mulyadi, S. (2005). Ekonomi Kelautan. Jakarta: Rajawali Pers.

Nikijuluw, V.P.H. (2001). Krisis Sumberdaya Manusia Nelayan (Memperingati Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2006). [online]. http://ocean.iuplog.com. Tanggal akses 14 November 2011.


(5)

Papalia, E. Diane (2008). Human Development (Psikologi Perkembangan). Jakarta: Kencana.

Pangemanan, A. P. (2002). Sumberdaya Manusia Masyarakat Nelayan. [online] http://W\NW rudict tripod.com. Tanggal akses 25 Agustus 2011.

Poerwandari, E. Kristi (2009). Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Jakarta: FP Universitas Indonesia.

Ralph linton, V. (2001) Pengelolaan Wilayah Pesisir Yang Berkelanjutan.[online] Tanggal akses 25 Agustus 2011.

Santrock, J.W. (1997). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang

Rentang Kehidupan (terjemahan oleh Istiwidayanti, dkk). Jakarta:

Erlangga.

Santrock, J.W. (2002). Live Span Development, Perkembangan Masa Hidup. Edisi Kelima Jilid 2. (terjemahan Chusaeri dan Damanik) Jakarta : Erlangga.

Santrock, J.W. (2007). Perkembangan Anak. Edisi. Ketujuh Jilid 2. (Mila Rachmawati, S.Psi dan Anna Kuswanti) Jakarta : Erlangga

Shochib. (1998). Pola Asuh Orangtua : Untuk Membantu Anak Mengembangkan Disiplin Diri. Jakarta : PT Rineka Cipta.

Stewart, A.C., dan Koch, J.B., (1983). Children Development Trough Adolescence. John Wiley & Sons, Canada.

Sudarso. (2005). Tekanan Kemiskinan Struktural Komunitas Nelayan Tradisonal di Perkotaan. Universitas Airlangga

Suhartono. (2007). Kehidupan Masyarakat Pesisir. [online].

Syarief (2008). Karakteristik Sosial Ekonomi Pesisir. [online].

Turmudji, T. (2003). Pola Asuh Orangtua dengan Agresivitas Remaja. [online]. Http


(6)

Verauli, Rosalina (2012). Gaya Pengasuhan Ayah Dan Ibu Memang Beda.[online]. Verauli, Rosalina (2009). Peran Ayah dan Ibu Berbeda Untuk Pengasuhan

Anak.[online]

Winengan. (2007).[online]. Tanggal akses 14 November 2011

Zevalkinki, D. (2007). Budaya Masyarakat Pesisir Kabupaten Indramayu.

[online].

November 2011.