Gaya komunikasi berbeda Gaya bermain berbeda Membangun rasa percaya diri Gaya disiplin unik Persiapkan anak untuk dunia nyata

Erik Erikson dalam Verauli, 2012 selaku pelopor dunia psikologi anak juga menegaskan bahwa cinta seorang ayah dan kasih seorang ibu berbeda secara kualitatif. Berikut ini keterlibatan seorang ayah membuat perbedaan positif dalam kehidupan anak:

1. Gaya komunikasi berbeda

Ayah memiliki gaya komunikasi berbeda. Anak akan lebih berpengalaman, lebih luas interaksi relasional.

2. Gaya bermain berbeda

Ayah mengajarkan melempar, menggelitik, menendang, bergulat untuk pengendalian diri.

3. Membangun rasa percaya diri

Meski gaya pengasuhan sendiri dapat membahayakan tubuh, namun ayah mengambil risiko untuk membangun kemandirian dan kepercayaan diri. Sementara anak tetap aman namun memperluas pengalaman dan meningkatkan kepercayaan diri mereka.

4. Gaya disiplin unik

Ayah cenderung mengamati dan menegakkan aturan secara sistematis dan tegas. Mengajar anak-anak konsekuensi dari benar dan salah.

5. Persiapkan anak untuk dunia nyata

Ayah terlibat membantu anak menyikapi perilaku. Misalnya ayah lebih mungkin dibandingkan ibu untuk memberitahu anak-anak tentang persiapan realitas dan kerasnya dunia. Universitas Sumatera Utara Masing-masing orangtua tentu saja memiliki pola asuh tersendiri dalam mengarahkan perilaku anak. Hal ini sangat dipengaruh oleh latar belakang pendidikan orangtua, mata pencaharian hidup, keadaan sosial ekonomi, adat istiadat, dan sebagainya. Dengan kata lain, pola asuh orangtua petani tidak sama dengan pedagang. Demikian pula pola asuh orangtua berpendidikan rendah berbeda dengan pola asuh orangtua yang berpendidikan tinggi. Ada yang menerapkan dengan pola yang keraskejam, kasar, dan tidak berperasaan. Namun, ada pula yang memakai pola lemah lembut, dan kasih sayang. Ada pula yang memakai sistem militer, yang apabila anaknya bersalah akan langsung diberi hukuman dan tindakan tegas yang biasa disebut pola otoriter Clemes, 2001. Kedekatan hubungan ibu dan anak sama pentignya dengan ayah dan anak walaupun secara kodrati akan ada perbedaan. Didalam rumah tangga ayah dapat melibatkan dirinya melakukan peran pengasuhan kepada anaknya. Seorang ayah tidak saja bertanggung jawab dalam memberikan nafkah tetapi dapat pula bekerja sama dengan ibu dalam melakuan perawatan anak. Gaya pengasuhan anak merupakan seluruh interaksi antara subjek dan objek berupa bimbingan, pengarahan dan pengawasan terhadap aktivitas objek sehari-hari yang berlangsung secara rutin sehingga membentuk suatu pola dan merupakan usaha yang diarahkan untuk mengubah tingkah laku sesuai dengan keinginan si pendidik atau pengasuh. Peran ibu adalah sebagai pelindung dan pengasuh. Seorang ibu, tua maupun muda, kaya atau miskin secara naluriah tahu tentang garis-garis besar dan fungsinya sehari-hari dalam keluarga. Ibu adalah pendidik pertama dan utama dalam keluarga, khususnya bagi anak-anak yang berusia dini. Oleh karena itu Universitas Sumatera Utara keterlibatan ibu dalam mengasuh dan membesarkan anak sejak masih bayi dapat membawa pengaruh positif maupun negatif bagi perkembangan anak di masa yang akan datang Berk, 2000. II.D. Perkembangan Pada Masa Anak-anak Akhir Pembentukan kualitas seorang individu dapat dimulai dari masa anak- anak, terutama pada usia dini. Anak-anak adalah generasi penerus bangsa, merekalah para pengganti dan penyempurna generasi sebelumnya. Pada masa ini seorang anak mulai belajar untuk semua hal yang ada di dunia. Masa anak-anak ini terbagi dalam dua bagian yaitu masa anak-anak awal yang berlangsung dari usia 2-6 tahun dan masa kanak-kanak akhir yang berlangsung dari usia 6-13 tahun pada anak perempuan dan 14 tahun pada anak laki-laki Hurlock, 1994. Periode ini dimulai ketika anak mulai memasuki Sekolah Dasar dan berakhir ketika anak mengalami kematangan seksual. Periode ini juga disebut sebagai periode anak usia Sekolah Dasar, karena pada masa ini anak mulai memasuki sekolah formal Hurlock, 1994. Anak usia sekolah telah menginternalisasi rasa malu dan bangga serta dapat memahami dan mengontrol emosi negatif lebih baik. Anak usia sekolah menjadi lebih empati dan lebih condong kepada perilaku prososial, anak prososial cendrung bertindak sesuai dengan situasi sosial, relatif bebas dari emosi negatif dan menghadapi masalah secara konstruktif. Anak usia sekolah lebih sedikit menghabiskan waktunya dengan orangtua, namun hubungannya dengan orangtua tetap sangat penting. Papalia, 2008 Universitas Sumatera Utara II.E. Praktek Pengasuhan Pada Anak-anak Akhir Orangtua dari anak yang berprestasi menciptakan lingkungan untuk belajar. Mereka menyediakan tempat untuk belajar, menyimpan buku serta berbagai peralatan, mereka menentukan waktu makan, tidur, dan pekerjaan rumah, mereka memonitor seberapa banyak acara televisi yang ditonton anak mereka dan apa yang dilakukan anak mereka setelah sekolah dan mereka menunjukkan ketertarikan kepada kehidupan anak mereka dengan berbincang-bincang tentang sekolah dan terlibat dalam aktivitas sekolah Cooper dkk, 1998 dalam Papalia, 2008 . Orangtua memotivasi anaknya dengan cara ekstrinsik maupun intrinsik. Orangtua yang menggunakan cara ekstrinsik yaitu dengan cara memberikan uang atau barang apabila sang anak mendapatkan peringkat yang bagus atau menghukumnya apabila peringkat sang anak buruk. Orangtua yang menggunakan cara intrinsik yaitu dengan cara memuji kemampuan ataukerja keras mereka. Motivasi intrinsik akan lebih efektif untuk pembelajaran sang anak Miserandino, 1996 dalam Papalia, 2008. Gaya pengasuhan akan mempengaruhi motivasi. Dalam sebuah studi penelitian anak kelas lima, hasil menunjukkan bahwa orangtua otoritarian, selalu mengurung anak agar mengerjakan pekerjaan rumah mereka, mengawasi dengan ketat, dan menyandarkan diiri kepada motivasi ekstrinsik cendrung memiliki anak berprestasi rendah. Begitu pula dengan orangtua yang permissive yang lepas tangan tidak tampak peduli dengan yang dilakukan sang anak di sekolah. Orangtua yang autoritative cendrung memiliki anak yang bersikap terbuka pada Universitas Sumatera Utara orangtuanya, orangtua memberikan kesempatan bagi anak-anaknya namun tidak lepas dari pengawasan Bronstein Ginsburg, 1996 dalam Papalia, 2008. II.F. Masyarakat Pesisir II.F.1. Definisi Masyarakat Pesisir Pengertian masyarakat pesisir tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat itu sendiri. Maka dari itu sebelum membicarakan tentang masyarakat pesisir terlebih dahulu kita memahami tentang definisi masyarakat. Masyarakat merupakan sekelompok manusia yang telah hidup lama dan bekerja sama sehingga mereka dapat mengatur diri dan menganggap diri mereka sebagai kesatuan sosial dengan batas tertentu yang diharuskan dengan jelas. Pada hakikatnya pengertian masyarakat mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: a. Adanya sejumlah manusia yang hidup bersama b. Bercampur atau bersama- sama untuk waktu yang cukup lama c. Menyadari bahwa mereka merupakan satu kesatuan d. Menyadari bahwa mereka bersama-sama di ikat oleh perasaan anggota yang satu dengan yang lainnya e. Menghasilkan suatu kebudayaan tertentu Audiyahira, 2011. Masyarakat pesisir dapat didefinisikan sebagai kelompok orang atau suatu komunitas yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir. Mereka terdiri dari nelayan, buruh nelayan, pembudidaya ikan, pedagang ikan, pengolah ikan, sarana produksi perikanan Mudjahirin, 2009. Masyarakat pesisir yang identik dengan nelayan merupakan bagian dari masyarakat terpinggirkan Universitas Sumatera Utara yang masih terus bergulat dengan berbagai persoalan kehidupan, baik ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, maupun budaya. Kondisi kehidupan mereka selalu dalam kondisi yang memprihatinkan, terutama secara ekonomi. Dengan penghasilan yang selalu tergantung pada kondisi alam Winengan, 2007. Masalah kompleks yang dihadapi masyarakat pesisir adalah kemiskinan, keterbatasan pengetahuan serta dunia pendidikan dan teknologi yang berkembang Nikijuluw, 2001. II.F.2.Karakteristik Masyarakat Pesisir Masyarakat di pesisir pantai secara umum mempunyai karakteristik yaitu sebagian besar mrupakan nelayan tradisional dengan penghasilan pas-pasan, dan tergolong keluarga miskin yang disebabkan oleh faktor alamiah, yaitu semata- mata bergantung pada hasil tangkapan dan bersifat musiman, serta faktor non alamiah berupa keterbatasan teknologi alat penangkap ikan, sehingga berpengaruh terhadap pendapatan keluarga. Rendahya pendapatan keluarga berdampak terhadap ketersediaan pangan keluarga, ketersediaan rumah yang layak, pendidikan yang minimal untuk anak-anaknya. Kusnadi 2003. Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang memiliki tempramental dan karakter watak yang keras dan tidak mudah di atur. Realitas pendidikan di masyarakat pesisir adalah pendidikan yang mengalami “Dehumanisasi”, dikatakan demikian karena pendidikan mengalami proses kemundurun dengan terkikisnya nilai-nilai kemanusiaan yang dikandungnya. Dengan pendidikan seperti itu maka Universitas Sumatera Utara anak-anak menjadi putus sekolah dan lebih memilih bekerja sebagai nelayan untuk mencari nafkah Audiyahira, 2011. Lingkungan alam sekitar akan membentuk sifat dan perilaku masyarakat. Lingkungan fisik dan biologi mempengaruhi interaksi sosial, distribusi peran sosial, karakteristik nilai, norma sosial, sikap serta persepsi yang melembaga dalam masyarakat. Perubahan lingkungan dapat merubah konsep keluarga. Nilai- nilai sosial yang berkembang dari hasil penafsiran atas manfaat dan fungsi lingkungan dapat memacu perubahan sosial Usman, 2003. Karateristik sosial ekonomi masyarakat pesisir dapat dilihat dari faktor mata pencaharian dan lingkungan pemukiman. Mata pencaharian sebagian besar penduduk di wilayah pesisir adalah di sektor pemanfaatan sumberdaya kelautan marine resources base, seperti nelayan, petani ikan budidaya tambak dan laut, penambangan pasir, kayu mangrove dan lain-lain. Sebagian besar penduduk wilayah pesisir memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Lingkungan pemukiman masyarakat pesisir, khususnya nelayan masih belum tertata dengan baik dan terkesan kumuh Fakhrudin, 2008. Keterbatasan penghasilan atau kemiskinan menjadi karakteristik utama masyarakat pesisir, mereka tidak jarang membuat sang isteri ikut terlibat mencari nafkah tambahan guna memenuhi kebutuhan keluarga. Bahkan tidak mentup kemungkinan sang anak juga ikut terlibat dalam proses mencari nafkah yaitu dengan cara melaut. Pada umumnya isteri-isteri nelayan menjual hasl tangkapan suaminya. Dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga, peranan isteri sangat cukup dominan, secara hati-hati isteri mengatur sepenuhnya pengeluaran rumah tangga Universitas Sumatera Utara sehari-hari berdasarkan tingkat kebutuhan konsumsi jumlah anggota rumah tangganya. Selain itu gambaran umum yang pertama kali yang bisa dilihat dari kondisi kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi dalam kehidupan masyarakat pesisir adalah fakta-fakta yang bersifat fisik berupa kualitas pemukiman. Kampung-kampung nelayan miskin akan mudah diidentifikasi dari kondisi rumah hunian mereka. Rumah-rumah yang sangat sederhana, berdinding anyaman bamboo, berlantai tanah pasir, beratap daun rimba, dan keterbatasan pemilikan perabotan rumah tangga adalah tempat tinggal para nelayan buruh atau nelayan tradisional Kusnadi, 2003. Selain gambaran fisik tersebut, untuk mengidentifikasi kehidupan nelayan miskin dapat dilihat dari tingkat pendidikan anak-anak, pola konsumsi sehari-hari dan tingkat pendapatan mereka. Karena tingkat pendapatan mereka rendah, maka adalah logis jika tingkat pendidikan anak-anak mereka juga rendah. Banyak anak yang harus berhenti sebelum lulus sekolah dasar atau kalaupun lulus, mereka tidak akan melanjutkan pendidikannya ke sekolah menengah pertama. Disamping itu, kebutuhan hidup yang paling mendasar bagi rumah tangga nelayan miskin adalah pemenuhan kebutuhan pangan. Kebutuhan dasar yang lain, seperti kelayakan perumahan dan sandang dijadikan sebagai kebutuhan sekunder. Kebutuhan akan pangan merupakan prasyarat utama agar rumah tangga nelayan dapat bertahan hidup Kusnadi, 2003. Universitas Sumatera Utara II.G. Gambaran Pola asuh Pada Masyarakat Pesisir Pantai Penduduk komunitas pantai yang disebut dengan masyarakat pesisir hampir sebagian besar bekerja sebagai nelayan tradisional umumnya mempunyai ciri yang sama yaitu kurang berpendidikan. Artinya, karena pekerjaan sebagai nelayan sedikit -banyak merupakan pekerjaan kasar yang lebih banyak mengandalkan otot dan pengalaman, maka setinggi apa pun tingkat pendidikan masyarakat pesisir tersebut tidaklah akan mempengaruhi kecakapan mereka melaut Sudarso, 2005. Masyarakat pesisir sangat tergantung dengan lam, sehingga ada waktu-waktu tertentu mereka memperoleh ikan dan ada waktu- waktu tertentu mereka tidak melaut. Oleh karena itu tidak jarang ditemukan masyarakat pesisir yang berhutang pada penjual atau warung yang bera di sekitar tempat tinggalnya. Hal ini adalah salah satu cara mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup Kusnadi, 2003. Masyarakat pesisir yang identik dengan nelayan merupakan bagian dari masyarakat terpinggirkan yang masih terus bergulat dengan berbagai persoalan kehidupan, baik ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, maupun budaya. Kondisi kehidupan mereka selalu dalam kondisi yang memprihatinkan, terutama secara ekonomi. Dengan penghasilan yang selalu tergantung pada kondisi alam. Kondisi alam tersebut yang membuat sulit bagi mereka untuk merubah kehidupannya menjadi lebih baik. Kondisi yang memprihatinkan tersebut yang menyebabkan rendahnya kemampuan dan ketrampilan masyarakat pesisir sehingga membuat mereka hidup dalam kemiskinan Winengan, 2007. Keterbatasan penghasilan atau kemiskinan yang dialami oleh masyarakat pesisir tidak jarang membuat isteri Universitas Sumatera Utara ikut terlibat mencari nafkah tambahan guna memenuhi kebutuhan keluarga. Bahkan tidak menutup kemungkinan anak-anak mereka juga ikut terlibat dalam proses mencari nafkah seperti anak lelaki yang ikut melaut bersama ayah mereka Kusnadi, 2003. Kemiskinan yang melanda rumah tangga masyarakat pesisir telah mempersulit mereka dalam membentuk kehidupan generasi berikutnya yang lebih baik dari keadaan mereka saat ini Fathul, 2002. Karena mereka selalu hidup dalam kemiskinan, bagi mereka menikah dalam usia yang mungkin belum terlalu matang ini tidaklah menjadi soal. Masalah yang sesungguhnya biasanya baru mulai terasa jika keluarga-keluarga nelayan tradisional miskin itu mulai dikaruniai anak Sudarso, 2005. Orangtua yang hidup dalam rumah kumuh, yang kehilangan pekerjaan, yang susah cari makan, dan yang merasa tidak dapat mengontrol kehidupan cendrung menjadi cemas, tertekan dan lekas marah. Orangtua akan menjadi kurang mengasihi anak-anaknya, kurang responsif, kasar yang berlebihan. Mereka juga cendrung mengabaikan perilaku yang baik dan hanya memperhatikan perilaku yang salah. Dampaknya, sang anak akan tertekan, kesulitan bermain dengan teman sabayanya, kurang percaya diri, memiliki masalah perilaku, dan terlibat dalam tindakan antisosial Brooks-Gunn et al, 1998 dalam Papalia, 2008. Keluarga yang berada dalam kesulitan ekonomi memiliki kecendrungan yang lebih rendah dalam mengontrol aktivitas anak-anak mereka, dan kurangnya memonitor prestasi sekolah dan penyesuaian sosial sang anak Bolger dkk, 1995 dalam Papalia, 2008. Akan tetapi, gambaran suram tersebut tidak baku, ada juga Universitas Sumatera Utara orangtua yang mengalami kemiskinan namun ia merawat anaknya dengan baik, mengasuh anak secara efektif. Maka anak-anaknya akan mudah beradaptasi dengan lingkungan baru, anak-anak mereka juga akan lebih mudah untuk mencapai kesuksesan yang mereka inginkan Ackerman dkk, 1999 dalam Papalia, 2008. Secara sosial-psikologis, kehadiran seorang anak bagi sebuah keluarga memang akan menjadi pelengkap kebahagiaan dan sudah sewajarnya jika disambut dengan gembira. Tetapi, bagi keluarga miskin kehadiran anak adalah sebagai beban mereka, karena mereka harus membiayai hidup dan sekolahnya. Anak-anak mereka harus menerima kenyataan untuk mengenyam tingkat pendidikan yang rendah. Karena ketidakmampuan ekonomi orang tuanya Fathul, 2002. Fenomena keseharian masyarakat pesisir yang terlihat yaitu anak lelaki maupun wanita secara lebih dini terlibat dalam proses pekerjaan nelayan dari mulai persiapan orangtua mereka untuk ke laut sampai dengan menjual hasil tangkapan. Hal ini tentunya berimplikasi kepada kelangsungan pendidikan anak- anaknya Pengemanan, 2002. Pada umumnya rumah tangga nelayan tidak memiliki perencanaan yang matang untuk pendidikan anak-anaknya. Pendidikan bagi sebagian besar rumah tangga masyarakat pesisir masih menjadi kebutuhan nomor sekian dalam rumah tangga. Dapat dikatakan bahwa antusias terhadap pendidikan di masyarakat nelayan relatif masih rendah Anggraini, 2000. Di kalangan keluarga nelayan tradisional, mempekerjakan anak-anak untuk ikut membantu orang tua mencari nafkah dalam usia dini adalah hal yang Universitas Sumatera Utara biasa, sehingga jangan kaget jika anak-anak mereka pun rata-rata tidak sempat menyelesaikan pendidikan hingga jenjang yang setinggi –tingginya Sudarso, 2005. Anak-anak di tuntut untuk ikut mencari nafkah, menanggung beban kehidupan rumah tangga, dan mengurangi beban tanggung jawab orang tuannya Fathul, 2002. Di lingkungan komunitas masyarakat pesisir pantai, peran istri dan anak-anak dalam membantu ekonomi keluarga umumnya besar, dan bahkan tidak jarang menjadi sumber utama pemasukan keluarga Sudarso, 2005. Oleh karenanya, bila budaya yang ada mengandung seperangkat keyakinan yang dapat melindungi perkembangan anak, maka nilai-nilai pengasuhan yang diperoleh orangtua kemungkinan juga akan berdampak positif terhadap perkembangan anak. Sebaliknya, bila ternyata seperangkat keyakinan yang ada dalam budaya masyarakat setempat justru memperbesar munculnya faktor resiko maka nilai-nilai pengasuhan yang diperoleh orangtua pun akan menyebabkan perkembangan yang negatif pada anak Suhartono, 2007. Universitas Sumatera Utara II.H. Paradigma Berfikir Karakteristik masyarakat pesisir: - Memiliki banyak persoalan kehidupan - Status ekonomi yang rendah - Wawasan pengetahuan yang sempit - Tingkat pendidikan yang rendah Faktor yang mempengaruhi pola asuh orangtua: - Pendidikan - Lingkungan - Budaya Pola asuh orangtua : - Authoritarian - Authoritative - Permissive Pola asuh antara ibu dan ayah berbeda Universitas Sumatera Utara

BAB III METODE PENELITIAN