PENDAHULUAN Gambaran Pola Asuh Orangtua Pada Masyarakat Pesisir Pantai

BAB I PENDAHULUAN

I.A. Latar Belakang Masalah Secara geografis, Indonesia terdiri dari beribu pulau yang sebagian besar wilayahnya 62 merupakan perairan laut, selat dan teluk, sedangkan 38 lainnya adalah daratan yang didalamnya juga memuat kandungan air tawar dalam bentuk sungai, danau, rawa, dan waduk. Demikian luasnya wilayah laut di Indonesia sehingga mendorong masyarakat yang hidup di sekitar wilayah laut memanfaatkan sumber kelautan sebagai tumpuan hidupnya. Ketergantungan masyarakat terhadap sektor kelautan ini memberikan identitas tersendiri sebagai masyarakat pesisir dengan pola hidup yang dikenal sebagai kebudayaan pesisir Geertz, 2000. Kebudayaan adalah hasil dari cipta, karya, dan karsa bersama. Salah satu faktor yang mempengaruhi terbentuknya kebudayaan itu adalah lingkungan alam fisik seperti situasi dan kondisi yang secara tidak langsung akan membentuk watak kepribadian serta budaya masyarakat yang tinggal di lingkungan itu Syarief, 2008. Ralph Linton 2002 yang mendefenisikan kebudayaan yaitu seluruh cara kehidupan dari masyarakat dan tidak hanya mengenai sebagian tata cara hidup saja yang dianggap lebih tinggi dan lebih diinginkan. Jadi, kebudayaan menunjuk pada berbagai aspek kehidupan. Istilah ini meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap, dan juga hasil dari kegiatan manusia. Kebudayaan pesisir dapat diartikan sebagai keseluruhan pengetahuan yang dipunyai dan terjiwai oleh masyarakat pesisir, yang isinya adalah perangkat- Universitas Sumatera Utara perangkat model pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan yang dihadapi, untuk mendorong, dan untuk menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukannya. Dalam pengertian ini, kebudayaan adalah suatu kumpulan pedoman atau pegangan yang kegunaan untuk menghadapi lingkungan-lingkungan sekitarnya fisik, alam, dan sosial agar masyarakat pesisir itu dapat melangsungkan kehidupannya, yaitu memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, dan untuk dapat hidup secara lebih baik Mudjahirin, 2009. Masyarakat yang tinggal dipesisir pantai, yang jauh dari kata layak secara kehidupan harus bergantung pula semuanya dari alam. Termasuk masalah supply makanan minuman, yang sangat susah dicari didapat untuk bahan konsumsi mereka sehari – hari. Itulah resiko tinggal didaerah pesisir, yang jauh dari keramaian gemerlap kota yang senantiasi bergejolak setiap detiknya. Segala keterbatasan silih berganti datang menghampiri mereka secara langsung maupun tidak langsung tanpa pernah ditebak kapan datang perginya. Walaupun dengan banyak kendala yang datang kepada mereka, seolah mereka tetap memilih pesisir pantai sebagai tempat tinggal mereka sekarang nanti dibanding harus tinggal didaerah kota besar yang terjangkau dari akses pendidikan, kesehatan pembangunan. Itu semua mereka, lakukan demi menjaga tradisi budaya leluhur yang masih mereka junjung tinggi sampai generasi selanjutnya sesudah mereka. Walaupun, tak semua dari mereka yang mau secara terus menerus ingin tinggal didaerah pesisir sampai selamanya karena ada juga segelintir orang yang ingin mencoba peruntungan nasibnya dengan mengadu nasibnya dikota besar yang Universitas Sumatera Utara kelihatan menjanjikan. Tak ada yang pernah tahu termasuk mereka sendiri, kapan kehidupan dipesisir akan berakhir tapi mereka selalu yakin akan yakin tentang sebuah nilai leluhur yang akan mereka jaga lestarikan sampai kapan pun Arsavin, 2012. Bagi masyarakat nelayan atau sering disebut masyarakat pesisir, kebudayaan merupakan sistem gagasan atau sistem kognitif yang berfungsi sebagai ”pedoman kehidupan”, referensi pola-pola kelakuan sosial, serta sebagai sarana untuk menginterpretasi dan memaknai berbagai peristiwa yang terjadi di lingkungannya Keesing, 1989. Masyarakat pesisir dapat didefinisikan sebagai kelompok orang atau suatu komunitas yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir. Mereka terdiri dari nelayan, buruh nelayan, pembudidaya ikan, pedagang ikan, pengolah ikan, sarana produksi perikanan Mudjahirin, 2009. Masyarakat pesisir yang identik dengan nelayan merupakan bagian dari masyarakat terpinggirkan yang masih terus bergulat dengan berbagai persoalan kehidupan, baik ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, maupun budaya. Kondisi kehidupan mereka selalu dalam kondisi yang memprihatinkan, terutama secara ekonomi. Dengan penghasilan yang selalu tergantung pada kondisi alam Winengan, 2007. Masalah kompleks yang dihadapi masyarakat pesisir adalah kemiskinan, keterbatasan pengetahuan serta dunia pendidikan dan teknologi yang berkembang Nikijuluw, 2001. Hal ini di dukung dengan hasil wawancara dengan salah satu nelayan Bapak X. “…kami disini nak, gak tentu melautnya. Dalam sebulan tu, 10 harinya gak melaut karena sepuluh harinya itu ntuk betulin jala ikan lah, karena Universitas Sumatera Utara kan jalanya perlu di perbaiki juga. Trus dua puluh harinya tu gak tentu juga bisa melaut atau gak. Liat cuaca atau ombak lautnya lah nak, kayak tadi malam gak bisa melaut karena ombak besar, yah gak dapat lah pemasukan nak..” Komunikasi Personal, 11 Desember 2011 Kondisi alam tersebut yang membuat sulit bagi mereka untuk merubah kehidupannya menjadi lebih baik. Kondisi yang memprihatinkan tersebut yang menyebabkan rendahnya kemampuan dan ketrampilan masyarakat pesisir Winengan, 2007. Kemiskinan yang melanda rumah tangga masyarakat pesisir telah mempersulit mereka dalam hal menyekolahkan anak-anaknya. Anak-anak mereka harus menerima kenyataan untuk mengenyam tingkat pendidikan yang rendah, karena ketidakmampuan ekonomi orangtuanya. Apabila para orangtua nelayan mampu untuk menyekolahkan anak-anaknya, mereka berusaha menyekolahkan anaknya setinggi mungkin, sehingga tidak harus menjadi nelayan seperti orangtuanya, tetapi biasanya orangtua nelayan tidak mampu membebaskan diri dari profesi nelayan, turun-temurun adalah nelayan Mubyarto, 1989. Anak- anak dituntut untuk ikut mencari nafkah, menanggung beban kehidupan rumah tangga, dan mengurangi beban tanggung jawab orangtuannya Fathul, 2002. Oleh karena itu, sebagian besar anak nelayan masih ingin bekerja di bidang kenelayanan untuk menambah pendapatan keluarga daripada bersekolah Mulyadi, 2005. Hasil wawancara yang mendukung dengan salah satu nelayan Bapak X. “anak yang besar kelas 2 SMP ja, itu yang kecil sampe kelas 6 SD.. habis tu gak sanggup Bapak lagi membiayai nya nak.. uang bukunya lah, trus baju seragamnya lah, uang jajannya lah, uang sekolahnya lah.. aduh banyak kali biayanya nak, Bapak kan cuman nelayan, dapat uangnya pun gak tentu.. jadi orang ni kerjanya cari ‘Kepah’ di pinggir-pinggir pante itu, Universitas Sumatera Utara trus di jual lah… lumayan juga hasilnya dapat lima belas ribu sampe dua puluh ribulah nak..” Komunikasi Personal, 11 Desember 2011 Keterbatasan penghasilan atau kemiskinan yang dialami oleh masyarakat pesisir tidak jarang membuat isteri maupun anak-anak mereka ikut terlibat mencari nafkah tambahan guna memenuhi kebutuhan keluarga Kusnadi, 2003. Fenomena keseharian masyarakat pesisir yang terlihat yaitu anak lelaki maupun wanita secara lebih dini terlibat dalam proses pekerjaan nelayan dari mulai persiapan orangtua mereka untuk ke laut sampai dengan menjual hasil tangkapan. Hal ini tentunya berimplikasi kepada kelangsungan pendidikan anak-anaknya Pengemanan, 2002. Pada umumnya rumah tangga nelayan tidak memiliki perencanaan yang matang untuk pendidikan anak-anaknya. Pendidikan bagi sebagian besar rumah tangga masyarakat pesisir masih menjadi kebutuhan nomor sekian dalam rumah tangga. Dapat dikatakan bahwa antusias terhadap pendidikan di masyarakat nelayan relatif masih rendah Anggraini, 2000. Hal ini tentunya berimplikasi kepada kelangsungan pendidikan anak-anaknya Pengemanan, 2002. Hal ini didukung oleh hasil wawancara dengan kepala desa Medang Deras Batu Bara. “untuk pendidikan anak-anaknya kalo masyarakat sini kurang lah, anak- anaknya gak sekolah yah gak papa bagi mereka. Kalo anak-anak mereka dah putus sekolah yaudah dibawa melaut lah mereka supaya bantu-bantu keluarga.. bagi mereka pendidikan belum dianggap penting, karena ujung- ujungnya juga cari kerja trus sekarang cari kerja susah nti ujung-ujungnya jadi nalayan juga…” Komunikasi personal, 3 November 2011 Dalam hal pengasuhan anak, masyarakat pesisir memiliki pola pengasuhan yang khas yang dipengaruhi oleh budaya setempat, biasanya orangtua belajar dari Universitas Sumatera Utara budaya setempat tentang peran yang harus dilakukan dalam mengasuh anak. Winengan, 2007. Pengasuhan dapat dipengaruhi oleh budaya, etnis, dan status sosioekonomi, Bronfenbreener dalam Santrock, 2007. Budaya dalam masyarakat nelayan dalam hal pengasuhan anak cukup bervariasi namun secara garis besarnya mereka memandang bahwa anak adalah aset dalam membantu pekerjaaan orangtua di rumah dan membantu mencari nafkah. Sebagian orangtua merasa senang bila memiliki anak laki-laki sebab bisa membantu ayahnya mencari nafkah dan bisa meneruskan pekerjaan ayahnya, sedangkan anak perempuan dapat membantu ibunya dalam pekerjaan rumah tangga. Kebanyakan orangtua pesisir juga mempelajari pengasuhan anak dari orangtua mereka sebelumnya, mereka sering menganggap praktek pengasuhan yang diberikan orangtua mereka adalah pengasuhan yang membawa anak-anak mereka menjadi positif Kusnadi, 2003. Orang tua tentu saja memiliki pola asuh tersendiri dalam mengarahkan perilaku anak. Hal ini sangat dipengaruh oleh latar belakang pendidikan orang tua, mata pencaharian hidup, keadaan sosial ekonomi, adat istiadat, dan sebagainya. Dengan kata lain, pola asuh orangtua petani tidak sama dengan pedagang. Demikian pula pola asuh orangtua berpendidikan rendah berbeda dengan pola asuh orang tua yang berpendidikan tinggi. Ada yang menerapkan dengan pola yang keraskejam, kasar, dan tidak berperasaan. Namun, ada pula yang memakai pola lemah lembut, dan kasih sayang. Ada pula yang memakai sistem militer, yang apabila anaknya bersalah akan langsung diberi hukuman dan tindakan tegas yang biasa disebut pola otoriter Clemes, 2001. Universitas Sumatera Utara Kebanyakan orangtua mempelajari praktek pengasuhan dari orangtua mereka sendiri. Sebagian praktek tersebut mereka terima, namun sebagian lagi mereka tinggalkan. Suami dan istri mungkin saja membawa pandangan yang berbeda mengenai pengasuhan ke dalam pernikahan. Sayangnya, ketika metode orangtua diteruskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya, praktek yang baik maupun yang buruk diteruskan Santrock, 2007. Seperti yang terjadi di desa Medang Deras yaitu anak-anak yang sudah pandai mencari nafkah dari hasil laut maka akan di ijinkan untuk menikah tanpa menghiraukan pendidikan anaknya, karena hal tersebut akan membantu mengurangi jumlah tanggungan orangtua. Seperti penuturan seorang Ibu Z yaitu ibu rumah tangga di masyarakat setempat. “.... enaknya kan Anak-anakku ni bisa cepat-cepat pintar cari duet, kalo’ dah bisanya dia cari duet kan jadi enak bisa bantu-bantu ibuk... atau gak kawin lah biar gak tanggungan lagi.. ibu tamat SD ja dah kawin karena dulu ibu cepat-cepat di kawinkan sama orangtua ibuk, biar gak nyusahin lagi, gak tanggungan lagi lah...” Komunikasi personal, 3 November 2011 Hal tersebut mengindikasikan bahwa budaya membentuk perilaku pengasuhan yang beragam dengan berbagai nilai yang dimilikinya. Hal tersebut dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor diantaranya adalah latar belakang pendidikan orangtua, informasi yang didapat oleh orangtua tentang cara mengasuh anak, kultur budaya, kondisi lingkungan sosial, ekonomi Winengan, 2007. Proses pengasuhan bukanlah sebuah hubungan satu arah yang mana orangtua mempengaruhi anak namun lebih dari itu, pengasuhan merupakan proses interaksi antara orangtua dan anak yang dipengaruhi oleh budaya dan kelembagaan sosial dimana anak dibesarkan Brooks, 2001. Faktor Sosial, ekonomi, lingkungan, budaya dan pendidikan memberikan kontribusi pada kualitas pengasuhan orangtua Universitas Sumatera Utara Zevalkinki, 2007. Hal ini didukung oleh hasil wawancara dengan kepala desa Medang Deras Batu Bara. “... disini yang khasnya yaitu anak-anak disini dari kecil sudah diajarin ngaji baca Qur’an secara keras sama orang-orang tuanya, itu lah yang menjadi suatu yang positif dari masyarakat ini. Karena kan disini kan masyarakatnya suku melayu, kalo’ melayu kan identik dengan islam jadi mereka mengajarin anak-anaknya agar pande baca Qur’an, sholat, bacaan sholat.. tapi klo pendidikan secara akademis mereka sangat kurang sekali…” Komunikasi personal, 3 November 2011 Oleh karenanya, bila budaya yang ada mengandung seperangkat keyakinan yang dapat melindungi perkembangan anak, maka nilai-nilai pengasuhan yang diperoleh orangtua kemungkinan juga akan berdampak positif terhadap perkembangan anak. Sebaliknya, bila ternyata seperangkat keyakinan yang ada dalam budaya masyarakat setempat justru memperbesar munculnya faktor resiko maka nilai-nilai pengasuhan yang diperoleh orangtua pun akan menyebabkan perkembangan yang negatif pada anak Suhartono, 2007. Anak tumbuh dan berkembang di bawah asuhan orangtua. Melalui orangtua, anak beradaptasi dengan lingkungannya dan mengenal dunia sekitarnya serta pola pergaulan hidup yang berlaku di lingkungannya. Ini disebabkan oleh orang tua merupakan dasar pertama bagi pembentukan pribadi anak Clemes, 2001. Wawancara pada seorang nelayan Bapak Y. “anak-anak Bapak ni, Bapak suruh sekolah ngaji biar pande lah dia mengaji kan. Masa’ kita orang islam gak tau baca Qur’an kan malu lah.. sekolah ngaji nya bayarnya gak mahal nak, makanya Bapak masih mampu sekolahin ngajinya.. nanti kalo’ dia gak mau ngaji, tah main ja kerjanya mau lah Bapak pukul dia pake lidi sawit tu Bapak libas kan.. Pokoknya dia mesti sekolah ngaji lah nak, sampe dia pande ngaji dan sholat..” Komunikasi Personal, 11 Desember 2011 Universitas Sumatera Utara Hal tersebut menunjukkan pola pengasuhan yang otoriter penuh pembatasan dan hukuman kekerasan dengan cara orangtua memaksakan kehendaknya, sehingga orangtua dengan pola asuh authoritarian memegang kendali penuh dalam mengontrol anak-anaknya Baumrind, 1971. Hurlock 1994 mengatakan bahwa di dalam pengasuhan anak para orangtua mempunyai tujuan untuk membentuk anak menjadi yang terbaik sesuai dengan apa yang dianggap ideal oleh para orangtua dan dalam pengasuhan anak diberikan istilah disiplin sebagai pelatihan dalam mengendalikan dan mengontrol diri. Pola asuh orangtua merupakan pola interaksi antara anak dengan orangtua bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik seperti makan, minum, dan lain-lain dan kebutuhan psikologis seperti rasa aman, kasih sayang, tetapi juga mengajarkan norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan Santrock, 2002. Perlakuan orangtua terhadap seorang anak akan mempengaruhi bagaimana anak itu memandang, menilai, dan juga mempengaruhi sikap anak tersebut terhadap orangtua serta mempengaruhi kualitas hubungan yang berkembang di antara mereka Santrock, 2007. Orangtua punya peran yang penting dalam perkembangan. Ada berbagai gaya pengasuhan orangtua yang bisa amat berbeda-beda. Baumrind 1971 dalam David 2000 mengidentifikasi tiga pola utama pengasuhan orangtua. Pertama, orangtua yang otoriter mengharapkan kepatuhan mutlak dan melihat bahwa anak butuh untuk di kontrol. Kedua, orangtua yang permisif membolehkan anak untuk mengatur hidup mereka sendiri dan menyediakan haya sedikit panduan baku. Ketiga, orangtua yang otoritatif bersifat tegas, adil, dan logis. Gaya pengasuhan Universitas Sumatera Utara ini di pandang akan membentuk anak-anak secara psikologis sehat, kompeten, dan mandiri, yang bersifat kooperatif dan nyaman menghadapi situasi-situasi sosial. Masing-masing orangtua tentu saja memiliki pola asuh tersendiri dalam mengarahkan perilaku anak. Hal ini sangat dipengaruh oleh latar belakang pendidikan orangtua, mata pencaharian hidup, keadaan sosial ekonomi, adat istiadat atau budaya setempat, dan sebagainya Shochib, 1998. Keluarga pesisir yaitu nelayan seringkali dihadapkan pada persoalan- persoalan ekonomi dan ketidakpastian penghasilan walaupun hamparan laut dihadapaya menjanjikan ikan yang banyak, namun kenyataannya nelayan masih tetap dalam kemiskinan. Penghasilan yang mereka peroleh tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari, sehingga menuntut isteri dan anak untuk ikut serta mencari nafkah tambahan aga kebutuhan keluarga dapat terpenuhi. Beban kerja isteri selain mengasuh anak juga ikut membantu suami mencari nafkah, dengan demikian akan berimpliasi terhadap pola interaksi antara anak dan orangtua di dalam keluarga Kusnadi, 2003. Berdasarkan karakteristik masyarakat pesisir yang identik dengan nelayan yang merupakan bagian dari masyarakat terpinggirkan yang masih terus bergulat dengan berbagai persoalan kehidupan, baik ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, maupun budaya. Kondisi kehidupan mereka selalu dalam kondisi yang memprihatinkan, terutama secara ekonomi dan pendidikan, maka peneliti tertarik melihat seperti apa gambaran pola asuh yang terjadi pada masyarakat pesisir pantai. Universitas Sumatera Utara I.B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, masalah dalam penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaan penelitian yaitu: 1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pola asuh orangtua pada masyarakat pesisir pantai? 2. Bagaimanakah gambaran pola asuh orangtua pada masyarakat pesisir pantai? I.C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah melihat gambaran pola asuh orangtua pada masyarakat pesisir pantai I.D. MANFAAT PENELITIAN I.D.1. Manfaat Teoritis a. Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat serta wawasan pengetahuan dalam pengembangan ilmu psikologi, khususnya bidang Psikologi Perkembangan terutama dalam hal pola asuh orangtua. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi peneliti-peneliti lain yang ingin meneliti mengenai pola asuh orangtua pada masyarakat pesisir pantai. Universitas Sumatera Utara I.D.2. Manfaat Praktis a. Bagi orangtua khususnya pada masyarakat pesisir pantai dapat menjadi bahan informasi kepada mereka dalam bersikap tepat dalam memberikan pola asuh kepada anaknya. b. Bagi pemerintah, diharapkan dapat menjadi tambahan informasi untuk nantinya dijadikan referensi dalam sosialisasi pentingnya memberikan pengasuhan yang tepat bagi anak, terutama untuk masyarakat yang berada jauh dari pusat kota. I.E. SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab I Pendahuluan Bab ini terdiri dari latar belakang masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II Landasan Teori Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian. Memuat landasan teori tentang pola asuh orangtua, termasuk di dalamnya definisi pola asuh orangtua, dimensi pola asuh orangtua, gaya pola asuh orangtua, dan faktor yang mempengaruhi pola asuh orangtua. Serta teori tentang masyarakat pesisir pantai, termasuk di dalamnya definisi masyarakat pesisir, karakteristik masyarakat pesisir. Universitas Sumatera Utara Bab III : Metode Penelitian Bab ini berisi penjelasan mengenai alasan digunakannya pendekatan kualitatif, responden penelitian, teknik pengambilan responden, teknik pengumpulan data, alat pengumpulan data, prosedur penelitian, kredibilitas validitas penelitian, dan pengolahan data. Bab IV : Analisa Data dan Pembahasan Bab ini berisi deskripsi data, interpretasi data dari hasil wawancara yang dilakukan, dan membahas data-data penelitian tersebut dengan teori yang relevan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Bab V : Kesimpulan dan Saran Bab ini berisi kesimpulan yang berisikan hasil dari penelitian yang telah dilaksanakan dan saran yang berisi saran praktis dan saran untuk penelitian lanjutan dengan mempertimbangkan hasil penelitian yang diperoleh, keterbatasan, dan kelebihan penelitian. Universitas Sumatera Utara

BAB II LANDASAN TEORI