BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Sebelumnya
Penelitian mengenai analisis wacana kritis dalam novel wa nasītu annī imra`ah ’Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan’ di Program Studi
Bahasa Arab Fakultas Sastra USU sepanjang penulis ketahui belum ada. Namun penelitian-penelitian mengenai wacana sudah pernah diteliti sebelumnya oleh dua
orang mahasiswa Program Studi Bahasa Arab Fakultas Sastra USU. Penelitian pertama diakukan oleh saudara Ardiles, NIM: 020704010 dengan judul
skripsi ”Analisis Kohesi Gramatikal Wacana ”jundiyun muslimun” Dalam Kitab Dirasatu Al-Arabiyyati karya Saleh Ibnu Malik dkk”. Penelitian yang kedua
dilakukan oleh saudari Suci Amalia, NIM: 020704015 dengan judul skripsi ” Analisis Kohesi Leksikal Wacana ”man huwa al-irhabi” Dalam Majalah Alo Indonesia Edisi
28 April 2002. Skripsi ini meneliti tentang perwujudan kohesi leksikal menurut teori Halliday-Hasan dan untuk meneliti pertalian endoforiknya.
Adapun penelitian yang diteliti penulis dalam skripsi ini adalah penelitian tentang analisis karakteristik wacana kritis yang diteliti dalam sebuah novel yang
berjudul wa nasītu annī imra`ah ’Aku Lupa Bahwa Aku
Perempuan’. Judul penelitian ini adalah ”Analisis Wacana Kritis Dalam Novel wa nasītu annī imra`ah ’Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan’
Karya Ihsan Abdul Quddus”. Skripsi ini meneliti tentang karakteristik wacana kritis yang berjumlah lima karakteristik yaitu karakteristik tindakan, konteks, historis,
kekuasaan dan ideologi dalam novel wa nasītu annī
imra`ah ’Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan’ dengan memakai teori analisis wacana kritis Fairlough dan Wodak yang telah dikembangkan oleh Eriyanto dalam bukunya
yang berjudul ”Analisis Wacana : Sebuah Pengantar Media”.
Universitas Sumatera Utara
2.2 Pengertian Wacana dan Analisis Wacana Kritis
Menurut Douglas 1976: 266 dalam Mulyana 2005: 3, istilah wacana berasal dari bahasa Sansekerta wacwakvak, yang artinya berkata, berucap. Kata
tersebut kemudian mengalami perubahan bentuk menjadi wacana. Kridalaksana 1982 dalam Sinar 2008: 5 mengatakan bahwa wacana adalah
satuan bahasa terlengkap; dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh
novel, buku, seri ensiklopedia, dan sebagainya, paragraf, kalimat atau kata yang membawa amanat yang lengkap.
Menurut Kamus Linguistik Dewan Bahasa dan Pustaka 1997 dalam Sinar 2008: 5, wacana diterjemahkan sebagai discourse yaitu unit bahasa yang lengkap
dan tertinggi yang terdiri daripada deretan kata atau kalimat, sama ada dalam bentuk lisan atau tulisan, yang dijadikan bahan analisis linguistik.
Menurut J.S Badudu 2000 dalam Eriyanto 2001: 2, wacana adalah 1. rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan preposisi yang satu
dengan preposisi yang lainnya, membentuk satu kesatuan sehingga terbentuklah makna yang serasi diantara kalimat-kalimat itu; 2. kesatuan
bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi yang tinggi yang berkesinambungan, yang
mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tertulis.
Menurut Dardjowidjojo 1986: 108 dalam Mulyana 2005: 1 kajian wacana
berkaitan dengan pemahaman tentang tindakan manusia yang dilakukan dengan bahasa verbal dan bukan bahasa nonverbal. Hal ini menunjukkan, bahwa untuk
memahami wacana dengan baik dan tepat, diperlukan bekal pengetahuan kebahasaan, dan bukan kebahasaan umum. Pernyataan itu mengisyaratkan, betapa luas ruang
lingkup yang harus ditelusuri dalam kajian wacana. Sebagai objek kajian dan penelitian kebahasaan, wacana dapat diteliti dari
berbagai segi. Menurut Baryadi 2003: 15 bahwa analisis wacana mengkaji wacana baik dari segi internal maupun eksternalnya. Dari segi internal, wacana dikaji dari
jenis, struktur, dan hubungan bagian-bagian wacana; sedangkan dari segi eksternal,
Universitas Sumatera Utara
wacana dikaji dari segi keterkaitan wacana itu dengan pembicara, hal yang dibicarakan dan mitra bicara.
Aspek-aspek yang terkandung didalam wacana menyuguhkan kajian yang sangat beragam. Penelitian tentang wacana masih banyak berkutat pada persoalan
kebahasaannya secara internal. Belum banyak penelitian yang mengeksplorasi wacana dari segi eksternalnya, seperti sosial, sastra, budaya, ekonomi dan lain-lain.
Istilah analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai di dalam berbagai disiplin ilmu dengan berbagai pengertian.Titik singgung analisis wacana adalah studi
yang berhubungan dengan pemakaian bahasa. Menurut A.S Hikam dalam Eriyanto 2001: 4 ada tiga paradigma analisis wacana dalam melihat bahasa. Pertama,
pandangan positivisme-empiris; kedua, pandangan konstruktivisme; dan ketiga
pandangan kritis.
Menurut Eriyanto 2001: 6 pandangan kritis adalah pandangan ini ingin mengoreksi pandangan konstruktivisme yang kurang sensitif pada proses produksi
dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional. Analisis wacana dalam paradigma ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada
proses produksi dan reproduksi makna. Karena pandangan ini memakai perspektif kritis, analisis wacana kategori yang ketiga ini juga disebut sebagai analisis wacana
kritis al-tahlilu al-hadi
śu al-naqdiyatu atau disebut juga Critical Discourse Analysis. Ini untuk membedakan dengan analisis wacana dalam
kategori yang pertama atau kedua Discourse Analysis. Analisis wacana kritis adalah teori yang akan dipakai penulis dalam meneliti judul penelitian ini.
Analisis wacana kritis Critical Discourse Analysis berawal dari munculnya konsep analisis bahasa kritis Critical Language Awareness dalam dunia pendidikan
barat Lukmana, Aziz dan Kosasih, 2006: 12. Menurut Pennycook dan Schriffin 1994 dalam Lukmana, Aziz dan Kosasih
2006: 12 dilihat dari unsur kesejarahannya, analisis wacana kritis Critical
Universitas Sumatera Utara
Discourse Analysis merupakan kelanjutan atau bahkan bagian dari analisis wacana Discourse Analysis. Kajian analisis wacana Discourse Analysis ini begitu luas
baik dari segi cakupannya, metodologinya, maupun pemaknaannya. Lukmana, Aziz dan Kosasih 2006: 12 mengatakan bahwa :
Analisis wacana kritis Critical Discourse Analysis mempunyai ciri yang berbeda dari analisis wacana yang bersifat “non-kritis”, yang cenderung hanya
mendeskripsikan struktur dari sebuah wacana. Analisis wacana kritis Critical Discourse Analysis bertindak lebih jauh, diantaranya dengan menggali alasan
mengapa sebuah wacana memiliki struktur tertentu, yang pada akhirnya akan berujung pada analisis hubungan sosial antara pihak-pihak yang tercakup
dalam wacana tersebut. Analisis wacana kritis Critical Discourse Analysis juga merupakan kritik terhadap linguistik dan sosiologi. Tampak adanya
kurang komunikasi diantara kedua disiplin ilmu tersebut. Pada satu sisi, sosiolog cenderung kurang memperhatikan isu-isu linguistik dalam melihat
fenomena sosial meskipun banyak data sosiologis yang berbentuk bahasa. Mereka terlalu berfokus pada ‘isi’ dan mengabaikan aspek tekstur dan
intertekstualitas Fairlough, 1992b, 1995. Di pihak lain, para linguis cenderung tidak secara penuh memasukkan aspek-aspek sosial dalam
membahas wacana. Sebagai akibatnya, ada pembahasan wacana yang sangat sosiologis misalnya Focault, 1982 atau sangat linguis misalnya Harris,
1952.
Analisis wacana kritis menyediakan teori dan metode yang bisa digunakan untuk melakukan kajian empiris tentang hubungan-hubungan antara wacana dan
perkembangan sosial dan kultural dalam domain-domain sosial yang berbeda Jorgensen dan Philips, 2007: 114.
Tujuan analisis wacana kritis adalah menjelaskan dimensi linguistik kewacanaan fenomena sosial dan kultural dan proses perubahan dalam modernitas
terkini Jorgensen dan Philips, 2007: 116. Fairlough dan Wodak dalam Eriyanto 2001: 7 berpendapat bahwa :
Analisis wacana kritis melihat wacana –pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan- sebagai bentuk dari praktik sosial. Menggambarkan wacana sebagai
praktik sosial menyebabkan sebuah hubungan dialektis diantara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang
membentuknya. Praktik wacana bisa jadi menampilkan efek ideologi: ia dapat
Universitas Sumatera Utara
memproduksi dan mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial, laki-laki dan wanita, kelompok mayoritas dan minoritas
melalui mana perbedaan itu dipresentasikan dalam posisi sosial yang ditampilkan
Menurut Jorgensen dan Philips 2007: 120 Analisis wacana kritis itu bersifat “kritis” maksudnya adalah bahwa analisis ini bertujuan mengungkap peran praktik
kewacanaan dalam upaya melestarikan dunia sosial, termasuk hubungan-hubungan sosial yang melibatkan hubungan kekuasaan yang tak sepadan. Pendekatan analisis
wacana kritis memihak pada kelompok-kelompok sosial yang tertindas. Analisis wacana kritis merupakan teori untuk melakukan kajian empiris
tentang hubungan-hubungan antara wacana dan perkembangan sosial budaya. Untuk menganalisis wacana, yang salah satunya bisa dilihat dalam area linguistik dengan
memperhatikan kalimat-kalimat yang terdapat dalam teks novel bisa menggunakan teori analisis wacana kritis. Teori analisis wacana kritis memiliki beberapa
karakteristik dan pendekatan. Pendekatan analisis wacana kritis menurut Eriyanto terdiri dari lima bagian yaitu analisis bahasa kritis, analisis wacana pendekatan
Prancis, pendekatan kognisi sosial, pendekatan perubahan sosial, dan pendekatan wacana sejarah. Namun yang ingin dikaji oleh penulis disini hanya karakteristiknya
saja yang terdiri dari lima bagian. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke II Depdikbud, 1995: 445
karakteristik adalah ciri-ciri khusus; mempunyai sifat khas sesuai dengan perwatakan tertentu.
Sedangkan menurut Kamus Istilah Sastra Laelasari dan Nurlailah, 2006: 133 karakterisitik adalah hal-hal yang terdapat pada naskah tertentu ciri khas.
2.3 Karakteristik Analisis Wacana Kritis