Kekuasaan al-sul Analisis Karakteristik Wacana Kritis dalam Novel ونسيت انى إمراة /wa nasîtu annî imra´ah/ “Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan” Karya Ihsan Abdul Qudus

Misalnya, analisis wacana teks tentang selebaran mahasiswa yang menentang pemerintahan Soeharto. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi II 1995: 355 historis adalah berkenaan dengan sejarah; bertalian atau ada hubungannya dengan masa lampau; bersejarah. Contoh kutipan yang menunjukkan historis dapat dilihat pada novel imra`atu ‘inda nuqtati al-sifr ’Perempuan di Titik Nol’’ karya Nawal El- Sadawi adalah : wa yuhaddisani ‘ammi tawalun al-tariqun ‘an hujratuhu fi al-quli’atin fi nihayatin syari’in Muhammadun ‘Aliyyun, wa al-azharun, wa al-‘atabata al- khadra`i, wa al-tarami, wa al-nasi fi misra, wa yagni yasutu ‘azaba wa huwa yahtazu fawqa al-hamarata . ...dan paman menceritakan padaku panjang lebar tentang bilik tempat tinggalnya di ujung jalan Muhammad ‘Ali, dan Al-Azhar, dan benteng Ataba, dan Trem, dan orang-orang Mesir. halaman 21 bab II Dari contoh diatas dapat dilihat bahwa karakteristik historis yang tampak adalah penggambaran kota Kairo yang diceritakan oleh paman Firdaus padanya. Dalam contoh tersebut sang paman menceritakan bahwa ia tinggal di ujung jalan Muhammad Ali, menceritakan tentang Al-Azhar, benteng Ataba, Trem dan tentang orang-orang Mesir. Pada kenyataannya tempat-tempat yang diceritakan oleh paman Firdaus adalah tempat yang benar-benar terdapat di Mesir. Al-Azhar adalah sebuah universitas kenamaan di Mesir. Sedangkan benteng Ataba adalah sebuah benteng bersejarah di Kairo.

4. Kekuasaan al-sul

ţatu atau Power Menurut Eriyanto 2001: 11 analisis wacana kritis juga mempertimbangkan elemen kekuasaan power dalam analisisnya. Disini, setiap wacana yang muncul Universitas Sumatera Utara dalam bentuk teks, percakapan atau apa pun, tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan adalah salah satu kunci hubungan antara wacana dengan masyarakat. Misalnya konsep kekuasaan laki-laki dalam wacana mengenai gender, konsep kekuasaan kulit putih terhadap kulit hitam dalam wacana rasisme, konsep kekuasaan kelompok mayoritas dan dominan terhadap kelompok minoritas dan lain-lain. Hal ini mengindikasikan analisis wacana kritis tidak membatasi pada detil teks atau struktur wacana saja., tetapi juga mengkaitkannya dengan kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya dimana teks tersebut tercipta. Menurut Eriyanto 2001: 12 kekuasaan itu dalam hubungannya dengan wacana, penting untuk melihat apa yang disebut kontrol. Satu orang atau kelompok mengontrol orang atau kelompok lain lewat wacana. Kontrol disini tidaklah harus selalu dalam bentuk fisik dan langsung tetapi juga kontrol secara mental dan psikis. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi II 1995: 534 kekuasaan adalah kuasa untuk mengurus, memerintah, dsb; kemampuan; kesanggupan; daerah yang dikuasai; kemampuan orang atau golongan untuk menguasai orang atau golongan lain berdasarkan kewibawaan, wewenang, karisma atau kekuatan fisik. Contoh dari karakteristik kekuasaan dapat dilihat pada imra`atu ‘inda nuqtati al-sifr ’Perempuan di Titik Nol’’ karya Nawal El- Sadawi sebagai berikut : da’aini atakallamu, wa la taqata’aini, falaisa ‘indi waqtun li`asma’aki. Fi al- sa’atin al-sadisatin tamaman ba’da al-zuhra saya`tuna wa ya`khuzunaini, wa fi sabaha al-gadin lan akunu huna, wa lan akunu fi ay makanin ya’rifuhu ..biarkan aku berbicara, dan jangan memotongku, aku tak punya waktu untuk mendengarkanmu. Pada pukul enam tepat malam ini mereka akan datang dan Universitas Sumatera Utara menjemputku. Dan pada keesokan paginya saya tidak disini lagi, dan tidak berada di tempat manapun yang diketahui seorangpun. halaman 15 bab I Dari contoh ini dapat dilihat bahwa Firdaus dapat menguasai pembicaran dengan seorang dokter yang mempunyai banyak pengalaman dan lebih berpendidikan darinya. Dari contoh tersebut dapat dilihat bahwa Firdaus memiliki kekuasaan dalam mengendalikan pembicaraan tersebut dengan tidak memberi kesempatan kepada lawan bicaranya untuk memotong pembicaraannya. Malah sebaliknya, lawan bicaranya harus mendengarkannya dengan seksama, karena ia hanya akan bercerita satu kali. Mau tidak mau lawan bicaranya pun harus menuruti keinginannya agar ia mendapat informasi dan cerita yang dibutuhkannya dari Firdaus.

5. Ideologi al-idiy